MANUSIA DALAM PANDANGAN AL-QUR’AN


Al-Qur’an mempunyai pandangan yang khas mengenai manusia lembaran-lembarannya memuat petunjuk Ilahi tentang penciptaan manusia dan hakekat manusia baik tersurat (jelas maknanya) maupun tersirat (perlu penafsiran). Manusia, salah satu dari  sekian permasalahan yang di bahas dalam al-Qur’an yang acap kali menjadi  bahan kajian yang sering dinilai secara spekulatif, yangdidasarkan pada pandangan yang sangat subjektif dan tidak disandarkan pada pegangan yang benar-benar bisa dipercaya.[1]
Dengan mempelajari ayat-ayat al-Qur’an terutama ayat-ayat yang berkaitan dengan riwayat nabi Adam  as.. Mengingat bahwa dalam keyakinan Islam Nabi Adam as. adalah “Cikal Bakal” umat manusia yang diciptakan langsung oleh Kuasa kehendak Allah, dengan demikian merupakan prototipe manusia pada umumnya.
Manusia mengungguli makhluk-mahluk lain ciptaan Allah, kedudukannya selaku khalifah Allah dimuka bumi melahirkan bentuk hubungan antara manusia, alam dan hewan yang bersifat penguasaan, pengaturan dan penempatan oleh dan untuk manusia, keunggulan manusia tersebut terletak dalam  wujud kejadiannya sebagai makhluk yang diciptakan dalam bentuk sebaik-baiknya makhluk (Ahsana al-Taqwim) baik dalam keindahan,  kesempurnaan bentuk tubuhnya, maupun dalam kemampuan memaknainya, baik intelektual maupun spiritual.[2]
Di samping itu, ada unsur lain yang membuat dirinya dapat mengatasi pengaruh dunia sekitar serta problem dirinya yaitu unsur jasmani dan rohani. Kedua unsur ini sebenarnya sudah tampak pada berbagai makhluk lain yang diberi nama jiwa, atau soul, anima dan psyche. Tetapi pada kedua unsur itu manusia dianugerahi nilai lebih, hingga kualitasnya berada diatas kemampuan yang dimiliki makhluk-makhluk lain. Dengan bekal istimewa ini, manusia mampu menopang keselamatan, keamanan, kesejahteraan dan kualitas hidupnya selain itu juga manusia merupakan makhluk berperadaban yang mampu membuat sejarah generasinya.[3]
Komponen jasmani manusia berasal dari tanah (QS. al-Syajadah (32): 7) dengan komponen rahani yang ditiupkan oleh Allah (QS. al-Hijr (15): 29). Dengan demikian manusia merupakan satu kesatuan dari mekanisme biologis, yang dapat dinyatakan berpusat pada jantung (sebagai pusat kehidupan) dan mekanisme kejiwaan yang berpusat pada otak (sebagai lambang berpikir, merasa dan bersikap).[4]
Dari uraian di atas dapat dipertegas lagi menjadi konsep yang lebih jelas, untuk mengungkapkan manusia, al Qur’an menggunakan kata-kata al-Basyar, al-Insan (al-Ins, al-Unas, al-Nas), bani Adam. Nama-nama sebutan ini mengacu kepada gambaran tugas yang seharusnya diperankan oleh manusia.
a.  Al-Basyar (البشر)
Kata Basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti “menampakkan sesuatu yang baik dan indah”. Dari kata yang sama lahir kata Basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai Basyar karena memiliki kulit yang jelas, dan berbeda dengan kulit binatang yang lain, yang justru lebih kelihatan bulu rambutnya dari pada kulit. Setiap pengungkapan manusia dari segi fisik dan bentuk lahiriahnya yakni manusia dipandang sebagai makhluk biologis yang memerlukan makan, minum, hubungan seksual, dorongan mempertahankan diri, dorongan mengembangkan diri sebagai bentuk dorongan primer makhluk biologis.[5]
b.  Al-Insan  ( الإنسان)
Kelompok kedua adalah istilah al-Insan yang meliputi kata-kata sejenisnya yaitu al-Ins, al-Nas, dan al-Unas. Kata al-Insan mempunyai tiga asal kata. Pertama, berasal dari kata anasa yang berarti absara yaitu melihat, ‘alima yang berarti mengetahui, isti’zan yang berarti meminta izin. Kedua, berasal dari kata nasiya yang berarti lupa. Ketiga, berasal dari kata al-Nus yang berarti jinak, lawan dari kata al-wakhsyah yang berarti buas.
Dan selanjutnya dapat dijelaskan bahwa al-insan dilihat dari asal kata anasa yang berarti melihat, mengetahui dan meminta izin, maka ia memiliki sifat-sifat potensial: aktual untuk mampu berpikir dan bernalar sedangkan al-Insan dari sudut asal kata  nasiya yang berarti lupa, menunjukkan bahwa manusia mempunyai potensi untuk lupa, bahkan hilang ingatan atau kesediannya. Demikian juga al-Insan dari sudut asal kata al-nus, atau anisa yang berarti jinak, maka manusia adalah makhluk yang jinak, ramah, serta dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan.[6]
Dengan potensi yang dimiliki manusia menjadikan ia sebagai makhluk yang tinggi martabatnya (QS.Al-Isra: 70) berbeda dengan makhluk lainnya, tetapi apabila potensi tersebut tidak digunakan dengan baik maka bisa menjadikan manusia tidak lebih dari binatang bahkan lebih hina (QS. al-A’raf: 79, al-Furqan: 44).[7]
c.  Bani  Adam  (بني آدم)  atau Dzarriyat Adam
Arti kata “bani Adam” ialah anak Adam atau putra nabi Adam as. Sedangkan Dzurriyat Adam berarti keturunan Adam[8] sebagaimana firman Allah :
أولئك الذين أنعم الله عليهم من النبيين من ذرية آدم و ممن حملنا مع نوح....
“Mereka itu adalah  orang-orang yang telah memberikan kenikmatan kepada mereka yakni para nabi yang berasal dari keturunan Adam dan sebagian  orang-orang yang telah kami angkat bersama Nuh.” (QS. Maryam: 58).[9]
Dalam konteks ayat-ayat yang mengandung konsep Bani Adam manusia diingatkan Allah agar tidak tergoda setan (Qs. al-A’raf: 26-278), pencegahan dari makan minum yang berlebih-lebihan dan tata cara berpakaian yang pantas saat melaksanakan ibadah (QS. al-A’raf: 31)  ketakwaan  (QS. al-A’raf: 35) kesaksian manusia terhadap Tuhannya (QS. al-A’raf: 172) dan terakhir peringatan agar manusia tidak terpedaya hingga menyembah setan (QS.Yasin: 60).
Penjelasan ayat-ayat di atas mengisyaratkan, bahwa manusia selaku bani Adam dikaitkan dengan gambaran peran Adam as. saat awal penciptaannya pada saat Adam as. akan diciptakan, para malaikat khawatir karena manusia akan menjadi perusak di bumi dan makhluk yang suka berperang menumpahkan darah (QS.Al-Baqarah: 30) kemudian terbukti dengan Adam as. dan Hawa, istrinya  di keluarkan dari surga karena melakukan kesalahan fatal (QS. Baqarah: 35-36 ).[10]
Selain dari pada itu ayat-ayat yang menggunakan kata Bani Adam dapat dipahami bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki kelebihan dan keistimewaan dari makhluk lainnya, keistimewaan itu meliputi fitrah keagamaan, peradaban dan kemampuan memanfaatkan alam. Dengan kata lain bahwa manusia adalah makhluk yang berada dalam relasi (hablun) dengan Tuhan  (hablun min  Allah)  dan  relasi  dengan  sesama  manusia (hablun min al nas) dan relasi dengan alam (hablun min al ‘alam).[11]




[1] Abd. Rahman Shaleh, Muhbib, Abd.Wahab,  “Psikologi Suatu Pengantar Ilmu Perspektif Islam”, Prenada Media, Jakarta,  2004, hlm. 49
[2] Djohan Effendi.  “Tasawuf Al-Qur’an tentang Perkembangan Jiwa Manusia”, Jurnal Ulumul Qur’an, No. 8, Vol. II, 1991, hlm. 4
[3] H. Jalaluddin, “Teologi Pendidikan”, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 12 - 13.
[4] Abd. Rahman S., Muhbib A.W., Op. cit., hlm. 49
[5] Yusuf Suyono,  Antropologi Alqur’an, Tinjauan Konsep Manusia Menurut Al Qur’an, Teologi, Fakultas Ushuluddin, IAIN Walisongo, Semarang, No. 20, Februari, 1994, hlm. 6
[6] Burhanudin, Paradigma Psikologi Islami, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hlm. 69- 70
[7] Arif Sukino,  “Telaah Hakikat Manusia Menurut Para Filosof Muslim Klasik ( Sebuah Tinjauan Paedagogik )”, Jurnal Studi Islam, Program Pasca-Sarjana IAIN Walisongo, Semarang, Vol. 03, No. 01, Februari, 2003, hlm. 3
[8] M. Hamdani Bakran Adz-Dzaky, “Konseling dan psikoterapi Islam, Fajar Pustaka Baru, Yograkarta, 2002, hlm.15
[9] Al-Qur’an Terjamah, hlm. 469
[10] H. Jalaludin, Op. cit., hlm. 25-26
[11] Baharrudin, Op. cit., hlm. 90

No comments:

Post a Comment