Bina’
atau wazan adalah shighat dengan bentuk-bentuknya. Artinya bentuk kalimah yang
dihasilkan dari hurufnya yang disusun, harakat-harakatnya yang tertentu dan sukun-sukunnya
dengan masih mempertimbangkan huruf yang zaidah atau huruf tambahan dan huruf
yang asli, yang masing-masing ada pada tempatnya.
Bina’-nya Kalimah Isim (isim
al-mutamakkin) yang asli adalah Isim Tsulatsi (: kalimah isim yang tiga
hurufnya), Isim Ruba’i (: kalimah isim yang empat hurufnya) dan Isim
Khumasi (: kalimah isim yang lima hurufnya).
Bina’-nya kalimah fi’il yang asli
adalah fi’il tsulatsi (: kalimah fi’il yang tiga hurufnya) dan fi’il
ruba’i (: kalimah fi’il yang empat hurufnya).
Bina’-bina’ tersebut, (baik pada
kalimah isim atau kalimah fi’il), memiliki wazan yang digunakan untuk mewazani
lafal.
Huruf yang digunakan untuk mewazani lafal ada tiga, yaitu: (ف), (ع) dan (ل).
Lafal yang hurufnya ada tiga (baik
kalimah isim atau kalimah fi’il) diwazani dengan ketiga huruf itu. Adapun lafal
yang hurufnya lebih dari tiga, maka diwazani dengan ketiga huruf itu dan diberi
tambahan lam kedua (bila lafalnya empat huruf) dan lam ketiga (bila lafalnya
lima huruf). Jadi, semisal lafal (نَصَرَ)
mengikuti wazan (فَعَلَ), lafal (دَحْرَجَ)
mengikuti wazan (فَعْلَلَ) dan lafal
(سَفَرْجَلٌ)
mengikuti wazan (فَعَلَّلٌ), dan seterusnya.[1]
Fi’il
Tsulatsi Mujarrad (kalimah fi’il yang ketiga hurufnya
adalah asli) memiliki tiga bina’, yaitu:
1.
(فَعَلَ), seperti (نَصَرَ) dan (ضَرَبَ).
2.
(فَعِلَ), seperti (سَمِعَ) dan (عَلِمَ).
3.
(فَعُلَ), seperti (كَرُمَ) dan (حَسُنَ).
Fi’il
Ruba’i Mujarrad (kalimah fi’il yang ke empat
hurufnya adalah asli) memiliki satu bina’, yaitu: (فَعْلَلَ), seperti (دَحْرَجَ)
dan (عَرْبَدَ).
Semua huruf yang tidak searah dengan
huruf-huruf wazan, maka huruf tersebut dinamakan huruf zaidah.
Dalam wazan huruf zaidah diibaratkan
dengan huruf itu sendiri. Jadi, pada semisal (اِقْتَصَرَ)
kita ucapkan bahwa lafal itu mengikuti wazan (اِفْتَعَلَ). Kecuali, huruf yang menjadi
pengganti ta’ pada wazan (اِفْتَعَلَ), maka pada wazan huruf itu tidak boleh diibaratkan dengan
huruf penggantinya tetapi diibaratkan dengan ta’. Sehingga pada semisal lafal (اِصْطَبَرَ)
berwazan (اِفْتَعَلَ), (bukan berwazan اِفْطَعَلَ).
Begitu juga huruf yang diulang-ulang untuk ilhaq atau yang lainnya, maka pada wazan diucapkan dengan bentuk huruf wazannya huruf sebelumnya tidak dengan bentuk huruf yang diulang itu, seperti lafal (جَلْبَبَ) dan (قَطَّعَ). Lafal yang pertama (yaitu جَلْبَبَ) berwazan (فَعْلَلَ) bukan (فَعْلَب), dan lafal yang kedua (yaitu قَطَّعَ) berwazan (فَعَّلَ) bukan (فَعْطَلَ).
Huruf zaidah ada sepuluh dan
terkumpul dalam ucapan kita (سألتمونيها), yaitu siin (س), hamzah (ء), lam (ل), ta’ (ت), mim (م), waw (و), nun (ن), ya’ (ي), ha’ (هـ) dan alif (ا).[2]
Huruf
zaidah ada dua macam, yaitu:
1.
Huruf
zaidah yang ditambahkan karena ada makna, seperti siin dan ta’ pada semisal
lafal (اِسْتَغْفَرَ) “meminta ampun,” karena
keduanya ditambahkan untuk makna thalab (: permintaan), dan pada semisal (اِسْتَحْجَرَ) “menjadi batu,” karena keduanya ditambahkan untuk makna
shairurah (: menjadi).
2.
Ditambahkan
untuk ilhaq atau semisalnya, seperti waw pada semisal lafal (كَوْثَرٌ), karena waw ditambahkan pada lafal itu untuk diilhaqkan dengan
lafal (جَعْفَرٌ).[3]
Arti dari ilhaq adalah
menjadikan suatu kalimah menyerupai kalimah yang lain.
Keziadahan suatu huruf didalam
kalimah bisa diketahui, yaitu ketika suatu kalimah masih memiliki makna tanpa
adanya huruf tersebut, seperti (قَاتَلَ), (تَبَاعَدَ) dan (اسْتَعْطَفَ). Namun jika kalimah itu tidak memiliki makna dengan tidak
adanya huruf itu, maka huruf itu bukan huruf zaidah, seperti (وَسْوَسَ).[4]
Keziadahan suatu huruf juga bisa
diketahui dengan huruf itu ditemukan dalam musytaq (lafal yang
dikeluarkan) bukan pada musytaq minhu (lafal yang dikeluari), seperti (سَلِمَ سَلاَمَةً)
dan (سَلَّمَ تَسْلِيْمًا).
Isytiqaq
adalah mengambil kalimah dari kalimah yang lain dengan bentuk perubahan beserta
kecocokan makna.
Perubahan tersebut adakalanya dalam
harakat saja, seperti (نَصَرَ) dari
(نَصْرٌ), atau dalam harakat dan hurufnya
dengan menambah atau mengurangi hurufnya, seperti fi’il amarnya (وَعْدٌ), yaitu (عِدْ), atau fi’il amarnya (نَصْرٌ), yaitu (اُنْصُرْ).
Lafal yang Musytaq ada
sepuluh, yaitu: fi’il madli, fi’il mudlari’, fi’il amar, isim fa’il, isim
maf’ul, sifat musyabbahat, isim tafdlil, isim zaman, isim makan dan isim alat.
Sedangkan lafal yang Musytaq
Minhu adalah masdar, yaitu isim yang menunjukkan pada terjadinya pekerjaan
bukan waktu terjadinya pekerjaan.
Masdar ada dua macam, yaitu Masdar
Qiyasi dan Masdar Sama’i.
Masdar qiyasinya fi’il yang berwazan (فَعَلَ) adalah meng-ikuti wazan (فَعْلٌ), ketika fi’il tersebut berupa fi’il muta’addi. Dan masdarnya mengikuti wazan (فُعُوْلٌ), ketika fi’il tersebut berupa fi’il lazim. Misal yang pertama adalah (قَتَلَ قَتْلاً), (رَدَّ رَدًّا), (ضَرَبَ ضَرْبًا) dan (فَتَحَ فَتْحًا). Dan contoh yang kedua adalah, (خَرَجَ خُرُوْجًا), (جَلَسَ جُلُوْسًا) dan (نَهَضَ نُهُوْضًا).
Masdar qiyasi dari fi’il yang
berwazan (فَعِلَ يَفْعَلُ) adalah mengikuti wazan (فَعْلٌ), jika fi’ilnya berupa fi’il
muta’addi, seperti (حَمِدَ حَمْداً) dan (فَهِمَ فَهْماً). Dan masdarnya berwazan (فَعَلٌ), jika fi’ilnya berupa fi’il lazim,
seperti (تَعِبَ تَعَباً) dan (فَرِحَ فَرَحاً).
Masdar qiyasinya fi’il berwazan (فَعُلَ) adalah mengikuti wazan (فَعَالَةً)
atau (فُعُوْلَةً), seperti (ظَرُفَ
ظَرَافَةً), (جَزُلَ
جَزَالَةً), (صَعُبَ
صُعُوْبَةً) dan (سَهُلَ
سُهُوْلَةً).
Adapun masdar yang sama’i
sangat banyak. Masdar sama’i dari wazan yang pertama, yaitu (فَعَلَ), baik muta’addi maupun lazim, adalah
(طَلَبَ
طَلَبا), (نَبَتَ
نَبَتاً),(كَتَبَ
كِتاَباً), (حَرَسَ
حِرَاسَةً), (حَسَبَ
حُسْبَاناً), (شَكَرَ
شُكْراً), (ذَكَرَ
ذِكْراً), (كَتَمَ
كِتْمَاناً), (كَذَبَ
كَذِباً), (غَلَبَ
غَلَبَةً), (حَمَى
حِمَايَةً), (غَفَرَ
غُفْرَاناً), (عَصَى
عِصْيَاناً), (قَضَى
قَضَاءً), (هَدَى
هِدَايَةً) dan (رَأَى
رُؤْيَةً).
Diantara masdar sama’i dari
wazan kedua, yaitu (فَعِلَ), baik lazim maupun muta’addi) adalah
(لَعِبَ
لَعَباً), (نَضِجَ
نُضْجاً), (كَرِهَ
كَرَاهِيَّة), (سَمِنَ
سِمَناً), (قَوِيَ
قُوَّة), (صَعِدَ
صُعُوْداً), (قَبِلَ
قَبُوْلاً) dan (رَحِمَ
رَحْمَة).
Diantara masdar sama’i dari
wazan ketiga, yaitu wazan (فَعُلَ), adalah (كَرُمَ كَرَماً), (عَظُمَ عِظَماً),
(مَجُدَ
مَجْداً), (حَسُنَ
حُسْناً), (حَلُمَ
حِلْماً) dan (جَمُلَ
جَمَالاً).
Isim
marrah dari fi’il tsulatsi mengikuti wazan
(فَعْلَةٌ), seperti
(جَلْسَةٌ)
“satu dudukan” dan (قَعْدَةٌ) “satu dudukan.” Kecuali
jika wazan masdarnya fi’il tersebut berwazan (فَعْلَةٌ), maka untuk menunjukkan makna marrah
setelah, masdar tersebut didatangkan lafal yang menunjukkan pada hitungan,
misalnya (رَحِمْتُهُ رَحْمَةً وَاحِدَةً) “aku menyayangi dia dengan satu
kasih sayang.” Begitu juga pada isim
haiat.
Dari contoh di atas bisa diketahui
kalau wazan (فَعْلَةٌ) yang
untuk marrah adalah untuk sesuatu yang menunjukkan pada perbuatan
anggota badan yang dzahir dan bisa diindra, tidak untuk sesuatu yang
menunjukkan pada perbuatan bathiniyyah atau sifat yang tetap.
Isim
Haiat dari fi’il tsulatsi adalah
mengikuti wazan (فِعْلَةٌ), seperti (جِلْسَةٌ) “keadaan duduk”
dan (قِعْدَةٌ) “keadaan duduk.”
Hukum di atas semuanya berlaku pada
masdarnya fi’il tsulatsi. Adapun pada selain fi’il tsulatsi maka nanti akan
dijelaskan dalam bab fi’il.
[1] Para ulama’ telah memberi nama huruf yang searah fa’
wazan dengan nama fa’ kalimah, yang searah ‘ain wazan dengan nama
‘ain kalimah dan yang searah lam wazan dengan nama lam kalimah.
Jadi, huruf asli dari suatu kalimah yang ingin diwazani
adalah searah dengan ketiga huruf wazan di atas dengan tanpa mengulang lam,
atau mengulang lam sekali atau dua kali, dengan masih menjaga
harakat-harakatnya kalimah yang diwazani dan sukun-sukunnya yang maising-masing
ada pada tempatnya.
Sedangkan huruf zaidah atau huruf tambahan, maka dalam
wazan adalah dengan huruf zaidah itu sendiri seperti yang akan dijelaskan
nanti.
Jika pada lafal yang akan diwazani terdapat penggantian
atau pembuangan huruf dan diinginkan untuk mewazaninya dengan keadaannya itu,
maka wazannya adalah seperti lafal itu. Misal pada wazannya (قَاضٍ) adalah (فَاعٍ). Dan jika yang diinginkan adalah menjelaskan asalnya, maka
dikembalikan kepada asalnya, sehingga wazannya (قَاضٍ) adalah (فَاعِلٌ).
[2] Huruf yang diulang untuk ilhaq atau
yang lainnya tidak harus diambil dari huruf zaidah sepuluh di atas, namun
terkadang diambil dari huruf zaidah sepuluh di atas dan terkadang dari yang
lainnya.
[3] Pada lafal قَبَعْثَرَى,
alif yang berada diakhir ditambahkan tidak untuk menunjukkan makna dan
juga tidak untuk ilhaq tetapi murni untuk memperbanyak hurufnya suatu kalimah,
dan penambahan itu adalah seperti untuk ilhaq.
[4] Demikian itu
pada selain huruf yang keziadahannya dihukumi untuk ilhaq seperti wawnya (كَوْكَبٌ) dan ya’nya (زَيْنَبٌ),
karena disamping keduanya (waw dan ya’) dihukumi zaidah namun kedua lafal itu
tidak akan ada maknanya tanpa adanya kedua huruf itu.
No comments:
Post a Comment