BIOGRAFI MUHAMMAD SAID RAMADLAN AL-BUTHY


Muhammad Said Ramadlan al-Buthy lahir pada tahun 1929 M di Buthan, , Turki. Saat usia empat tahun Ia hijrah bersama orang tuanya, Syekh Mulla Ramadlan, ke Damasykus Syiria. Pada tahun 1953 menyelesaikan pendidikan menengahnya di Ma'had at-Tawjih al-Islamy yang diasuh oleh Syekh Hasan Habanakah al-Midany di perkampungan al-Midan, Damasykus Syiria. Kemudian melanjutkan ke Fakultas Syariah di Universitas al-Azhar Kairo dan mendapat gelar Lc pada tahun 1955. Lalu melanjutkan ke Fakultas Bahasa Arab di Universitas yang sama. Gelar Doktornya diperoleh pada tahun 1965 juga dari universitas al-Azhar dengan disertasi berjudul Dhowabith al-Maslahah fi al-Syariah al-Islamiyyahdengan nilai Summa Cumlaude serta direkomendasikan untuk diterbitkan dengan biaya universitas dan diinstruksikan agar dipublikasikan di universitas lainnya (al-syaraf al-uwla ma'a al-washiyyah bi at-thob'I ala nafaqotil jami'ah wa at-tabadul ma'a al-jamiatil ukhra).

Kitab ini adalah kitab pertama yang mengorbitkan nama al-Buthy di jagad intelektual. Melalui kitab ini, Ia menolak pandangan sebagian pihak yang mengatakan syariat Islam hanyalah kumpulan aturan-aturan dogmatif yang sama sekali tidak bisa dinalar, dan upaya mengeluarkan hikmah dan manfaat-manfaat duniawi dari hukum-hukum syariat adalah usaha sia-sia dan berlebihan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam. Bagi al-Buthy, syariat Islam datang hanyalah untuk kemaslahatan manusia. Ada banyak dalil yang ia tampilkan untuk membuktikan kebenaran pandangan ini. Salah satunya adalah firman Allah yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad diutus adalah untuk menjadi rahmat bagi seluruh Alam(QS, al-Anbiya' 10). Menurutnya, terutusnya seorang Rasul hanya akan menjadi rahmat jika syariat yang dibawanya membawa kemaslahatan dan menjamin kebahagiaan manusia, jika tidak, maka syariat itu justru menjadi petaka bagi mereka.

Namun, melalui kitab ini pula ia menolak pandangan sebagian pihak yang terlalu ceroboh dalam penggunaan maslahah. Bagi al-Buthy, meski benar bahwa maslahah adalah spirit teks-teks syariah, namun hal itu tidak lantas berarti bahwa maslahah bisa dijadikan amunisi untuk menganulir ketentuan-ketentuan teks. Maslahah di dalam syariat Islam memiliki batas-batas nalar jelas yang harus selalu dijadikan pedoman oleh para pengkaji hukum Islam. Al-Buthy mengajukan kesimpulan bahwa sebuah maslahah bisa dinilai sebagai maslahah hakiki adalah jika memenuhi lima dlowâbith sebagai berikut : (1) Maslahah harus masuk dalam lingkup tujuan-tujuan universal syariat(2) Maslahah tidak bertentangan dengan al-Quran(3) Maslahah tidak bertentangan dengan al-Sunnah (4) maslahah tidak bertentangan dengan al-Qiyas (5) Maslahah tidak mengabaikan maslahah yang lebih urgen.

Dalam pengantar kitab ini, al-Buthy menulis, ''Sesungguhnya maslahah dalam syariat Islam dari segala sisinya  memiliki batas-batas jelas yang tidak meninggalkan sedikitpun kesulitan dalam memahaminya, tersusun secara rapi yang tidak memungkinkan terjadi kontradiksi di antara bagian-bagiannya, serta terbangun di atas dasar yang sangat kuat dan menancap dalam hati setiap mukmin yang sesungguhnya yaitu sifat penghambaan diri kepada Allah, sebuah prinsip yang terbangun dari firman Allah : "Katakanlah, sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku adalak milik Allah tuhan semesta alam".  Dengan demikian, tidak mungkin ada yang bisa mencoba bermain-main dalam masalah ini. Karena ia memiliki batas-batas jelas, baik dari aspek pondasi, masalah-masalah yang dicakupnya maupun urut-urutan secara sistematis antara bagian-bagiannya".

Sepulang dari Kairo Ia kemudian aktif dalam dunia pendidikan, menjadi pengajar di beberapa sekolah dan menjadi dosen di beberapa Universitas seperti  Universitas Damasykus Syiria. Pada tahun 1977 Ia diangkat menjadi dekan Fakultas Syariah Universitas Damasykus dan mulai tahun 2002 sampai sekarang menjabat sebagai Kepala Departemen Akidah dan Agama (qism al-'aqaid wa al-adyan) di Fakultas tersebut. Selain itu, al-Buthy juga sering diundang untuk menjadi pembicara dalam berbagai seminar, mu'tamar, dan pertemuan-pertemuan ilmiah lainnya, baik dalam negeri maupun luar negeri.

Al-Buthy adalah salah satu ulama yang sangat produktif di abad ini. Diantara karyanya yang terkenal dan memiliki pengaruh besar dalam dunia Islam adalah Fiqh al-Sirah al-Nabawiyyah, Kubra al-Yaqqiniyyat al-Kawniyyat, al-Insan Musayyar am Mukhayyar, Allah am al-Insan: Ayyuhuma Aqdar 'ala Ri'ayah Huquq al-Insan, al-Insan wa 'AdalatuLlah fi al-Ardli, Min Rawai' al-Qur'an, Difa' 'An al-Islam wa al-Tarikh, al-La Madzhabiyyah Akhtaru Bid'atin Tuhaddidu al-Syari'ah al-Islamiyyah, al-Salafiyyah Marhalah Tarikiyyah Mubarakah Wa laysa Madzhaban Islamiyyan, al-Aqidah al-Islamiyyah wa al-Fikr al-Mu'ashir, Ila Kulli Fatatin Tu'minu bi Allah, al-Mar ah baina Thughyan an-Nidhom al-Gharb wa Lathoif  al-Tasyri' al-Islamy, Qodlaya Fikhiyyah Mu'ashirah, al-'Aqidah al-Islamiyyah wa al-Fikr al-Mu'ashir,  al-Jihad fi al-Islam, Min al-Fikri wa al-Qalb, 'Ala Thariq al-'Audah  ila al-Islam, al-Hikam al-'Athaiyyah Syarhu wa Tahlil, al-Mar ah baina Thughyan al-Gharb wa Lathaif al-Tasyri' al-Islamy, Manhaj al-Hadlarah al-Insaniyyah fi al-Qur an, Hiwar Hawla Musykilatin Hadlariyyah, Bathin al-Itsmi: al-Khatar al-Akbar fi Hayati al-Muslimin, al-Islam wa Musykilati al-Syabab, Man al-Mas-ul 'an Takhalluf al-Muslimin, Naqdu Awham al-Maddiyyah al-Jadaliyyah:al-Diyaklitikiyyah, Muhadlarat fi al-Fiqh al-Muqaran, Mamuwzain: Qishshotu Hubbin Nabata fi al-Ardli wa Ayna'a fi al-Sama', dll.

Selain dikenal sebagai cendekiawan dan intelektual Islam yang produktif, al-Buthy juga dikenal sebagai dai yang banyak memberikan ceramah-ceramah dan pengajian-pengajian yang menyejukkan kepada masyarakat. Pengajian-pengajian al-Buthy selalu dipenuhi jama'ah, baik dari kota Damasykus ataupun kota-kota terdekat disekitarnya, sehingga berkali-kali harus berpindah dari satu Masjid ke Masjid lain yang lebih luas. Ilmu yang dalam, wawasan yang luas, dipadu dengan hati yang ikhlas menempatkan al-Buthy sebagai ulama' yang sangat berpengaruh yang tidak hanya dihormati dan dicintai masyarakat tetapi juga disegani oleh penguasa. Ceramah-ceramahnya di hadapan beberapa penguasa diterbitkan dalam sebuah buku berjudul, Hadza Ma Qultuhu Amama Ba'dli ar-Ruasa' wa al-Muluk. Sebagai bukti pengakuan masyarakat terhadap keberhasilan dakwah al-Buthy, saat ini sudat diterbitkan disertasi doktoral karya Khalid Abdus Sami' Abdullah dengan judul, Manhaj al-Duktur Muhammad Sa'id Ramadlan al-Buthy fi al-Da'wah ila Allah dari Fakultas Ushuluddin bidang dakwah dan kebudayaan Islam (Qismu al-Da'wah as-Tsaqafah al-Islamiyyah) Universitas al-Azhar.

Menurut Dr. Wahbah al-Zuhaily, al-Buthy adalah sosok ulama' kontemporer pembaharu, pakar Fikih yang satrawan dan pakar Ushul Fikih yang yang sangat cerdas (al-Faqih al-Adib wa al-Ushuli al-Arib), pemikir yang wara', ikhlas, memiliki komitmen yang sangat kuat terhadap syariat Islam, memiliki perhatian yang sangat besar terhadap persoalan umat, selalu bertutur kata yang baik dan penuh hikmah, mengamalkan al-kitab dan sunnah-sunnah Nabi, pengikut para salafusshollih, dan seorang dai yang unggul dalam segala bidang.

Sebagai penutup biografi singkat al-Buthy ini saya merasa perlu untuk menulis sebuah cerita yang ditulis oleh Dr. Ahmad Bassam Sa'e, sahabat karib al-Buthy, karena cerita ini menurut hemat saya sangat penting diketahui oleh para pelajar untuk dijadikan 'ibrah dan uswah.

Saat itu, al-Buthy sudah menjadi Dekan Fakultas Syariah Universitas Damasykus Syiria. Namun, meski demikian dan meski memiliki banyak kesibukan ia tetap bersedia untuk mengajar materi al-Quran al-Karim di Universitas al-Ladziqiyyah setiap hari Rabu. Tepatnya pada malam Kamis Rektor Universitas al-Ladziqiyyah mengundang para dosen untuk makan malam di rumahnya dalam rangka acara satu tahun berdirinya Universitas al-Ladziqiyyah. Al-Buthy termasuk salah satu dari undangan tersebut. Ia diundang pada malam itu dan baru bisa pulang ke Damasykus setelah dhuhur pada hari kamis. Dr. Ahmad Bassam(penulis cerita ini) pada saat itu sedang merealisasikan pendirian perpustakaan universitas dan mengundang al-Buthy sebagai tamu di kantornya. Tiba-tiba sang Rektor  berkunjung ke kantornya dan mengundangnya bersama al-Buthy untuk menghadiri makan malam. Dr. Ahmad Bassam langsung bersedia untuk hadir, sementara al-Buthy dengan halus meminta untuk terlebih dahulu meminta izin kepada orang tuanya, Syekh Mulla Ramadlan di Damasykus.

Melihat pristiwa ini, Dr. Ahmad Basam dan Rektor Universitas al-Ladziqiyyah merasa sangat heran. Dalam hati mereka, jika alasan meminta izin adalah hal lain mungkin adalah biasa saja, namun yang menjadikan tidak biasa, bagaimana seorang dosen yang sudah berumur empat puluhan dan anak-anaknya sudah menjadi mahasiswa di perguruan tinggi, dan ia sendiri menjadi Dekan di fakultas besar dan di universitas besar seperti Universitas Damasykus masih meminta izin kepada orang tuanya hanya untuk menghadiri makan malam dan memperpanjang kunjungannya di Ladziqiyyah dari sore hari kamis sampai ke pagi hari jum'at ?.

Bagi  Dr. Ahmad Bassam dan Rektor Universitas al-Ladziqiyyah peristiwa ini merupakan pristiwa yang sangat mengejutkan, namun meski begitu, sang rektor tetap berupaya menghilangkan keterkejutannya dengan segera berdiplomasi dan miminta Dr. Ahmad Bassam untuk membawa al-Buthy ke kantornya agar menghubungi ayahnya di Damasykus melalui teleponnya. Namun, hal mengejutkan ternyata tidak berhenti disitu, sebab ketika al-Buthy menelepon ayahnya, nampak sekali betapa besarnya penghormatan al-Buthy kepada ayahnya!.

      Dibawah ini pembicaraan al-Buthy yang didengarkan oleh Dr. Ahmad Basam saat meminta izin kepada ayahnya.

“Assalamu'alaikum Aby..”
-…………………………
-  “As-Sayyid Rais da'ani ma'a baqiyyah al-asatidzah masaa ghodin fi manzilihi fa hal astathi'u hudlur al-ma'dabah wa a'uwdu ila dimasyqa shabaha al-jum'ah ?”.
-……….
-  “Syukran Abi..as-Salamu'alaikum”.

Setelah al-Buthy meletakkan telepon, Dr. Ahmad Bassam berkata kepada al-Buthy ; “Alhamdulillah, demikianlah urusannya menjadi mudah dan semuanya bisa diam dengan tenang”. Namun hal mengejutkan terjadi lagi karena al-Buthy ternyata berkata; “Tidak, demi Allah saya tidak bisa, ayahku tidak setuju”.

Dalam mengomentari cerita ini Dr Ahmad Bassam berkata; “Selamanya tidak akan tergambarkan keterkejutan yang nampak di wajahku dan di wajah bapak Rektor saat aku sampaikan kepada beliau pembicaraan al-Buthy melalui telepon. Masuk akalkah ini ? Tidak ada bantahan, tidak ada penolakan, tidak ada permintaan dan tidak ada bahkan meski sekedar kalimat harapan atau upaya agar ayahnya merubah keputusannya! Tidak, tidak dan cukup. Lihatlah, apa yang akan dikatakan oleh generasi ini ketika mereka mendengarkan cerita ini, adakah sebagian dari mereka yang akan berupaya meniru meski hanya sekali saja?! 

Lebih aneh lagi, ketika cerita ini saya sampaikan di hadapan orang-orang yang hadir di Akademi Oxford saat al-Buthy hendak menyampaikan ceramah disana, ia memandang kepadaku dengan pandangan tenang seperti orang yang memandang sambil berharap nuktah-nuktah yang lain segera disampaikan, sedang kedua matanya seolah-olah berkata kepadaku ; Ia, dan apa dalam hal ini? Di mana sisi aneh dalam cerita itu ?”. 

No comments:

Post a Comment