Pada zaman Rasulullah SAW tidak ada
seruan luas untuk ber-KB, atau
mencegah kehamilan ditengah-tengah kaum muslimin. Tidak ada upaya dan usaha yang serius untuk
menjadikan al-’azl sebagai amalan yang meluas dan tindakan yang populer
di tengah-tengah masyarakat.
Sebagian
sahabat Rasulullah SAW yang melakukannya pun tidak lebih hanya pada kondisi
darurat, dan ketika hal itu diperlukan oleh keadaan pribadi mereka. Oleh karena itu,
Nabi Muhammad SAW tidak menyuruh dan tidak melarang al-’azl.
Pada masa kita sekarang ini, umat manusia banyak menciptakan alat untuk
menciptakan berbagai cara dan alat untuk meng-hentikan kehamilan.[1]
KB
secara prinsipil dapat diterima oleh Islam, bahkan KB dengan maksud menciptakan keluarga sejahtera
yang berkualitas dan melahirkan keturunan yang tangguh sangat sejalan dengan tujuan syari`at Islam yaitu mewujudkan kemashlahatan bagi umatnya. Selain itu, KB juga memiliki sejumlah manfaat yang dapat mencegah
timbulnya kemudlaratan. Bila
dilihat dari fungsi dan manfaat KB yang dapat melahirkan kemaslahatan dan mencegah kemudlaratan maka tidak
diragukan lagi kebolehan KB dalam Islam.[2]
Di
dalam Al-Qur’an dan Hadits, yang merupakan sumber pokok hukum Islam dan yang menjadi pedoman hidup
bagi umat Islam tidak ada nash yang
sharih yang melarang
ataupun yang memerintahkan ber-KB secara eksplisit. Karena itu, hukum ber-KB harus dikembalikan
kepada kaidah hukum Islam (qaidah fiqhiyah) yang menyatakan:
ألأصل في الأشياء و
الأفعال الإباحة حتى يدل الدليل على تحريمها
“Pada dasarnya segala sesuatu perbuatan itu boleh, kecuali
ada dalil yang manunjukkan keharamannya”.
Selain
berpegangan dengan kaidah hukum Islam tersebut di atas, pada dasarnya Islam
membolehkan orang Islam ber-KB.[3]
Jika
mengetahui dan memahami betul maksud dan hikmah Islam di balik pemberian
keringanan atas pelaksanaan hubungan terputus pada berbagai kondisi darurat
adalah karena terinspirasi dari pemahaman yang sempurna bahwa seorang anak menjadi
tanggung jawab yang sangat besar, dan wajib dipelihara dengan pemeliharaan yang
sempurna dan kepedulian tinggi, atau karena alasan bahwa kelahiran seorang anak
akan membahayakan sang ibu bahkan ancaman kematian.
Sesungguhnya
syariat Islam datang untuk membawa maslahat bagi manusia, mencegah hal-hal yang
menimbulkan kerusakan, dan memilih yang lebih kuat di antara dua maslahat, serta mengambil yang lebih ringan bahayanya
apabila terjadi kontradiksi.[4]
Di
samping itu, pertumbuhan seorang anak pada masa menyusui juga terancam bila
sang ibu hamil lagi. Dalam kondisi-kondisi seperti di atas bila seseorang
menggunakan salah satu cara atau alat untuk mencegah kehamilan setelah mendapat
petunjuk dari dokter yang terpercaya, tidak mengapa kalau dia melakukan hal
tersebut.
Hal
ini boleh-boleh saja di qiyaskan dengan fenomena al-’azl, tetapi dengan syarat,
umat ini tidak membuat sebuah peraturan umum untuk memperkecil angka kelahiran,
dan alat atau cara ini tidak digunakan, kecuali kalau ia sangat dibutuhkan,
atau karena darurat yang menuntut agar ia dilakukan.
Maka pencegahan kehamilan karena
keterpaksaan, seperti tidak bisa melahirkan secara alami sehingga harus
melalui operasi untuk mengeluarkan
bayinya, maka pencegahan kehamilan boleh dilakukan. Adapun dengan penggunaan
alat, seperti pil dan yang serupa dengannya, untuk menunda
kahamilan dalam masa tertentu
demi kemaslahatan istri, seperti karena
kondisi fisiknya yang sangat lemah sehingga tidak kuat untuk hamil secara
berturut-turut, bahkan bisa membahayakan, maka tidak berdosa. Dalam kondisi atau masa tertentu penundaan harus dilakukan sampai
terarur bahkan mencegahnya sama sekali
jika dipastikan kehamilannya membahayakan.[5]
Bukti pembolehan ini dinyatakan oleh Imam Ar-Ramli
yang menukilkan perkataan Imam
Az-Zarksyi setelah dia berbicara
mengenai aborsi dengan menggunakan obat-obatan,
”(Larangan) ini semua
berhubungan dengan penggunaan obat setelah air mani ditumpahkan, sedangkan menggunakan sesuatu untuk mencegah
kehamilan sebelum terjadinya penumpahan sperma ketika sedang melakukan hubungan
seksual hukumnya boleh-boleh saja.”[6]
Bahkan kadang-kadang hukum ber-KB itu bisa berubah
dari mubah (boleh) menjadi sunnah, wajib, makruh atau haram seperti halnya hukum perkawinan bagi orang Islam,
yang hukum asalnya juga mubah. Tetapi hukum mubah ini bisa berubah sesuai
dengan situasi dan kondisi individu muslim yang bersangkutan
dan juga memperhatikan perubahan zaman, tempat dan keadaan masyarakat atau
Negara.
Kalau seorang Muslim melaksanakan KB dengan
motivasi yang hanya bersifat pribadi,
misalnya ber-KB untuk menjarangkan kehamilan atau kelahiran, untuk menjaga kesehatan badan si ibu, hukumnya
boleh saja tetapi
kalau seorang ber-KB disamping
punya motivasi yang bersifat pribadi seperti kolektif dan nasional seperti untuk kesejahteraan masyarakat atau Negara,
maka hukumnya bisa sunnah atau wajib, tergantung keadaan
masyarakat dan Negara.
Hukum
ber-KB bisa menjadi makruh bagi pasangan suami istri yang tidak menghendaki kehamilan si istri, padahal suami-istri tersebut tidak
ada hambatan atau kelainan untuk mempunyai keturunan. Sebab hal yang demikian itu bertentangan dengan tujuan
perkawinan menurut agama, yakni untuk menciptakan rumah tangga yang bahagia dan untuk mendapatkan
keturunan yang sah yang diharapkan
menjadi anak yang saleh sebagai generasi penerus.
Hukum
ber-KB juga menjadi haram, apabila orang melaksanakan KB dengan cara yang
bertentangan dengan norma agama. Misalnya dengan cara vasektomi
(sterilisasi suami) dan abortus (pengguguran).
Adapun
ayat-ayat Al-Qur’an yang dapat dijadikan dalil untuk dibenarkan ber-KB antara
lain adalah sebagai berikut:
a. Firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 233:
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang
ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan
pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan
menurut kadar ke sanggupannya. Janganlah
seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun
berkewajiban demi kian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka
tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh
orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut
yang patut. bertakwallah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha
melihat apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. Al-Baqoroh : 233)[7]
Firman
Allah dalam Surat Luqman ayat 14:
”Dan Kami perintahkan
kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya,
ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan
menyapihnya dalam dua tahun.
Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”. (Q.S. Luqman :14).[8]
Firman
Allah dalam Surat Al-Ahqaf ayat 15:
“Kami perintahkan
kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya
mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula).
mengandung nya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabi la
Dia telah dewasa dan umurnya sampai
empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk
mensyukuri nikmat Engkau
yang telah Engkau berikan
kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal
yang saleh yang Engkau ridhai, berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi
kebaikan) kepada anak cucuku.
Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang
berserah diri". (Q.S. Al-
Ahqaaf : 15).[9]
Ayat-ayat
tersebut di atas memberi petunjuk bahwa perlu
melaksanakan perencanaan keluarga atas dasar mencapai keseimbangan antara mendapat-kan
keturunan dengan terpeliharanya kesehatan ibu dan anak, memberi petunjuk
keselamatan jiwa ibu kerena beban
jasmani dan rohani selama hamil, melahirkan, menyusui dan memelihara anak serta timbulnya
kejadian-kejadian yang tidak
diinginkan dalam keluarganya. Terpeliharanya kesehatan jiwa, kesehatan jasmani dan rohani anak serta tersedianya pendidikan bagi anak. Terjaminnya keselamatan agama
orang tua yang dibebani kewajiban mencukupkan kebutuhan hidup keluarga.
Berhubungan dengan hal-hal tersebut di atas,
maka dapat dipahami, yaitu:
a.
Seorang ayah sebagai kepala keluarga wajib bertanggung jawab atas kesejahteraan
anak dan istrinya.
b. Seorang ibu tidak dibenarkan menderita
karena anaknya, dengan demikian
pula ayahnya dan ahli warisnya.
c. Sesuai dengan ilmu kesehatan, bahwa selama
ibu menyusui anaknya ia dapat tidak
mengalami menstruasi dan ini berarti salama dua tahun menyusui, ia dapat tidak
hamil sehingga dengan demikian dapat di ambil pengertian dari ayat-ayat tersebut bahwa
ibu hendaknya mengatur jarak antara dua kehamilan atau kelahiran minimal
dua setengah tahun dan bisa dibulatkan tiga tahun sebagai jarak antara kehamilan atau kelahiran memang baik menurut ilmu kesehatan, karena si ibu mamang memerlukan
waktu tersebut untuk menjaga kesehatan pada waktu hamil agar kandungannya selamat dan ia perlu menyusui
dan merawat bayinya dengan saksama. Kemudian ia perlu merehabilisasi (memperbaiki) dirinya sendiri.
d. Perlu musyawarah antara suami-istri dan
adanya persetujuan dari keduanya jika
ingin menyapih anaknya lebih cepat dari dua tahun. Dan ini berarti pengaturan
atau penjarangan kahamilan itu mutlak diperlukan musyawarah antara suami-istri
dan adanya persetujuan dari mereka yang bersangkutan. Musyawarah artinya
segala aspek kehidupan dalam rumah tangga harus diputuskan diselesaikan berdasarkan hasil
musyawarah antara suami dan istri dan kalau dibutuhkan juga melibatkan seluruh anggota
keluarga yakni suami, istri dan
anak-anak.
Kehidupan
dalam rumah tangga juga memerlukan adanya demokrasi, demokrasi disini diperlukan karena antara suami istri harus aling terbuka untuk
menerima pandangan dan pendapat pasangan. Demikian juga antara orang tua dan anak
harus menciptakan suasana yang saling menghargai, menghormati dan menerima
pandangan dan pendapat anggota keluarga. Musyawarah dan demokrasi ini dapat
diwujudkan dalam bentuk: memutuskan masalah-masalah yang berhubungan
dengan reproduksi, jumlah dan pendidikan anak dan
keturunan, ataupun yang lain-lainnya.[10]
MengenaiHadits-hadits Nabi yang dapat
dijadikan dalil untuk membenar-kan KB antara lain adalah sebagai berikut:
انك ان تذر ورثتك
أغنياء خير من ان تذرهم عالة يتكففون الناس (متفق عليه)
”Sesungguhnya lebih
baik bagimu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kecukupan daripada
meninggalkan mereka menjadi beban tanggungan orang banyak”. (H.R Al-Bukhari
dan Muslim dari Saad bin Abi Waqqash ra).
Hadits
di atas memberi petunjuk bahwa faktor kemampuan suami istri untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya hendak dijadikan
pertimbangan mereka yang ingin manambah jumlah anaknya.
عن جابر قال كنا نعزل
على عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم و القرآن ينزل (متفق عليه)
“Diriwayatkan dari
Jabir ra, ia berkata, “Kami melakukan ‘azel di masa Rasulullah pada waktu ayat-ayat Al-Qur’an m asih
diturunkan dan tak ada satu ayat pun
yang melarangnya” (H.R Al-Bukhari dan Muslim).
عن جابر أن رجلا أتى
رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال أن لي جارية و هي خادمتنا و ساقيتنا و انا
أطوف عليها و انا أكره ان تحمل فقال اعزل عنها إن شئت فإنه سيأتيها ما قدر لها
فلبث الرجل ثم أتاه فقال إن الجارية قد حملت قال قد أخبرتك أنه سيأتيها ما قدر لها
(رواه مسلم)
”Diriwayatkan dari Jabir
ra, bahwa seorang lelaki datang kepada Raulullah seraya berkata, ”sesungguhnya
saya mempunyai seorang jariyah (hamba sahaya wanita). Ia adalah pelayan da n
pengambil air kami atau penyiram kami. Saya ingin melakukan hubungan seks
dengan dia, tetapi saya tidak ingin dia
hamil. Maka Nabi bersabda, ”Lakukanlah ’azel padanya jika engkau kehendaki.
Maka sesungguhnya ap a yang ditakdirkan Tuhan padanya pasti akan terjadi”. Kemudian
laki-laki itu pergi, lalu datang kembali beberapa waktu dan berkata
kepada Nabi, ”Sesungguhnya jariyah saya kini sudah hamil”. Maka Rasulullah bersabda, ”Bukanlah sudah kukatakan
kepadamu, bahwa apa sudah ditakdirkan Tuhan padanya pasti terjadi”. (H.R
Muslim).
Dari
kedua hadits tersebut di atas menunjukkan bahwa ’azel yang dilakukan
orang dalam rangka usahanya menghindari kehamilan dapat dibenarkan oleh Islam,
sebab sekiranya ’azel itu dilarang, pasti dilarang dengan diturunkan ayat
al-Qur’an atau dengan keterangan Nabi sendiri. Tetapi di samping itu, Nabi juga
mengingatkan bahwa ’azel itu hanya sekedar ikhtiar manusia belaka untuk
menghindari kehamilan, sedangkan berhasil tidaknya terserah kepada Tuhan.[11]
Oleh
karena itu, bisa disimpulkan bahwa penggunaan alat-alat pencegah kehamilan
tradisional dan modern yang aman dan terjamin dari berbagai bahaya dan akibat
buruk, dan tentunya dengan petunjuk dari dokter yang terpercaya sehingga
terhindar dari berbagai penyakit yang berkaitan dengan kehamilan itu sendiri
adalah boleh-boleh saja dari segi hukum Islam. Bahkan ia juga bisa dilakukan
karena darurat untuk menghindari berbagai bahaya dalam beberapa kondisi dan
keadaan.[12]
[1] Thariq At-Thawari,
”KB Cara Islam” , (Solo: PT. Aqwam Media
Profetika, 2007), 123.
[2] BKKBN, ”KB
Tidak Bertentangan Dengan
Ajaran Islam”,
(http://www.bkkbn.go.id/gemapria/info.detail.php?infid=29), 1.
[3] Masjfuk Zuhdi,
Masail Fiqhiyah (Jakarta: PT. Midas
Surya Grafindo, 1997), 55-56.
[4] Abu Zahroh
Al-Anwar, Untuk Yang Merindukan Keluarga Sakinah (Gresik: Pustaka Al-Furqon,
2008), 123.
[5] Ibid.
[6] Thariq At-Thawari,
Op., Cit. 123.
[7] Al-Qur'an dan
Terjemahnya (Jakarta: Depertemen Agama, 1992).
[8] Ibid.,
[9] Ibid.,
[10] Khoiruddin Nasutioan,
Membentuk Keluarga Sakinah (Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, 2002), 32-35.
[11] Masjfuk Zuhdi, Op.,
Cit. 56-63.
[12] Thariq At-Thawari,
Op., Cit. 123.
No comments:
Post a Comment