ISIM DLAMIR


Isim Dlamir adalah isim yang digunakan sebagai kunyah atau pengganti dari mutakallim (orang yang berbicara) atau mukhathab (orang yang diajak bicara) atau ghaib (orang yang sedang dibicarakan tetapi dia tidak hadir dalam majelis pembicaraan), sehingga isim itu menempati tempatnya isim yang dia kunyahi,[1] seperti (اَناَ), (اَنْتَ) dan (هُوَ).

Semua isim dlamir adalah ma’rifat kecuali dlamir sya’an atau dlamir qisshah yang nakirah karena bisa kemasukan (رُبَ), seperti syair berikut,[2]

رُبَّهُ فَتِيَّة دَعَوت إِلَى ماَ * يُورِثُ الْمَجْدَ دَائِباً فَأَجَابُوا

Pembagian Isim Dlamir

Isim Dlamir terbagi menjadi dua, yaitu: Dlamir Muttashil dan Dlamir Munfashil.

1)   Dlamir Muttashil

Dlamir Muttashil adalah dlamir yang tidak boleh untuk dijadikan permulaan dan tidak boleh jatuh setelah (اِلاَّ), kecuali dalam dlarurat syair,[3] seperti ta’ dan kaf pada semisal (اَكْرَمْتُكَ). Sehingga tidak boleh diucapkan dengan (مَا اَكْرَمْتُ اِلاَّكَ). Dlamir muttashil itu adakalanya bersambung dengan fi’il, seperti waw pada lafal (كَتَبُوْا), atau isim, seperti ya’ pada lafal (كِتَابِيْ), atau pada kalimah huruf, seperti (عَلَيْكَ).

Adakalanya dlamir itu tersambung dengan kalimah fi’il, seperti waw pada lafal (كَتَبُوا), atau kalimah isim, seperti ya’ pada lafal (كِتاَبِي), atau dengan kalimah huruf, seperti kaf pada lafal (عَلَيْكَ).

Dlamir muttashil banyaknya ada sembilan, yaitu ta’, (ناَ), waw, alif, nun, kaf, ya’, ha’ (هـ) dan (هاَ).

Alif, ta’, waw dan nun hanya untuk rafa’, karena keempatnya hanya menjadi fa’il atau na’bul fa’il, seperti (كَتَباَ وَ كَتَبْتُ وَ كَتَبُوا وَ كَتَبْنَ).

(ناَ) dan ya’, bisa untuk dlamir rafa’, seperti (كَتَبْناَ وَ تَكْتُبِيْنَ وَ اكْتُبِي), atau dlamir nashab, seperti (اَكْرَمَنِيَ الْمُعَلِّمُ وَ اَكْرَمَناَ الْمُعَلِّمُ), atau dlamir jer, seperti (صَرَّفَ اللهُ عَنِّي وَ عَناَّ الْمَكْرُوهَ).

Kaf, (هـ) dan (هَا), bisa untuk dlamir nashab, seperti (اَكْرَمْتُكَ وَ اَكْرَمْتُهُ وَ اَكْرَمْتُهاَ) dan dlamir jer, seperti (اَحْسَنْتُ اِلَيْكَ وَ اِلَيْهِ وَ اِلَيْهاَ). Ketiganya tidak bisa untuk rafa’ karena tidak bisa disandari.

Pembagian Dlamir Muttashil

Dlamir muttashil dibagi menjadi dua, yaitu Dlamir Mustatir dan Dlamir Bariz.

Dlamir Bariz adalah dlamir muttashil yang mempunyai bentuk didalam pelafalannya sekaligus bisa diucapkan,[4] seperti dlamir ta’ dalam lafal (قُمْتُ), karena dlamir tersebut mempunyai bentuk dan sekaligus bisa diucapkan.

Dlamir Mustatir adalah dlamir muttashil yang tidak memiliki bentuk dalam pelafalannya, tetapi dikira-kirakan dalam hati,[5] seperti dlamir mustatir yang terdapat dalam lafal (اُكْتُبْ), karena penakdirannya adalah (اُكْتُبْ اُنْتَ).

Dlamir Mustatir terbagi menjadi dua, yaitu:

a) Mustatir Wujuban, yaitu dlamir mustatir yang harus tersimpan dan tempatnya tidak boleh ditempati oleh isim dzahir atau dlamir munfashil.[6] Dlamir tersebut berada di enam tempat, yaitu:[7]

(1)    Pada kalimah fi’il yang diisnadkan kepada dlamir mutakallim, baik mufrad atau jama’, seperti (اَجْتَهِدُ) dan (تَجْتَهِدُ).

(2) Pada kalimah fi’il yang diisnadkan kepada dlamir mufrad mukhathab, seperti (اِجْتَهِدْ).

(3) Pada isim fi’il yang diisnadkan kepada dlamir mutakallim atau dlamir mukhathab, seperti (اُفٍّ) dan (صَهْ).

(4)     Pada fi’il ta’ajjub yang berwazan (ماَ اَفْعَلَ), seperti (ماَ اَحْسَنَ الْعِلْم).

(5)     Pada fi’il-fi’il yang untuk istitsna’, yaitu (خَلاَ), (عَداَ), (حَاشَا), (لَيْسَ) dan (لاَ يَكُوْنُ), seperti (جَاءَ الْقَوْمُ مَا خَلاَ زُهَيْراً اَو لَيْسَ زُهَيْراً اَو لاَ يَكُوْنُ زُهَيْراً).

(6)     Pada masdar yang menggantikan tempat fi’ilnya, seperti (صَبْراً عَلَى الشَّدَائِدِ).

b)   Mustatir Jawazan, yaitu dlamir mustatir yang tersimpannya tidak wajib, dan tempatnya dlamir tersebut boleh bila ditempati oleh isim dzahir.[8] Dlamir model ini hanya terdapat dalam Fi’il Mudlari’ yang diisnadkan kepada dlamir mufrad ghaib, seperti (سَعِيْدٌ اِجْتَهَدَ), atau kepada dlamir mufradah ghaibah, seperti (فَاطِمَةُ تَجْتَهِدُ)[9]. 

Kaidah:

Ø  Yang menjadi dlamir pada semisal lafal (جِئْتُماَ), (جِئْتُمْ) dan (جِئْتُنَّ) adalah ta’ saja, pada semisal lafal (اَكْرَمَكُماَ), (اَكْرَمَكُمْ) dan (اَكْرَمَكُنَّ) adalah kaf saja, dan pada semisal (اَكْرَمَهُماَ), (اَكْرَمَهُمْ) dan (اَكْرَمَهُنَّ) adalah ha’ (هـ) saja.

Adapun mim dan alif yang masuk pada dlamir adalah huruf untuk menunjukkan pada makna tatsniyyah. Namun ada sebagian ulama’ yang menjadikan mim sebagai huruf ‘imad dan alif sebagai tanda tatsniyyah.[10]

Adapun mim yang masuk pada dlamir adalah huruf sebagai tanda jama’ mudzakar yang berakal. Dan nun yang ditasydid masuk pada dlamir adalah huruf sebagai tanda jama’ mu’annats. Namun, ada sebagian ulama’ yang menjadikan dlamir dan alamat yang menyertainya sebagai satu kalimah dengan satu i’rab.[11] 

Ø  Para ulama’ telah membuat kaidah pengharakatan dlamir ghaib, yaitu ketika dlamir ghaib didahului kasrah atau ya’ yang mati, maka ha’ (هـ) dlamir diharakati kasrah, seperti (خُذْ بِيَدِهِ اِشْفَاقاً عَلَيْهِ). Dan pada selain keadaan itu, maka ha’ dlamir diharakati dlammah, seperti (هَذَا اَبُوْهُمْ وَ اَكْرَمْتُ اَبَاهُمْ).[12]

Ø  Diperbolehkan untuk membaca sukun atau fathah ya’ mutakallim, kecuali ketika didahului huruf mati, seperti alif maqshurah, ya’ manqush, alif tatsniyyah atau ya’ tatsniyyah dan jama’, maka ya’ mutakallim wajib dibaca fathah untuk menolak bertemunya dua huruf mati, seperti (هَذِهِ عَصَايَ), (هَذَا رَاجِيَّ), (هَاتَانِ عَصَوَايَ), (رَفَعْتُ عَصَوَيَّ) dan (هَؤَلاَءِ مُعَلِّمِيَّ).[13]

Ø  Alif pada (اِلَى), (عَلَى) dan (لَدَى) diganti ya’ ketika bertemu dengan dlamir,[14] seperti (اِلَيَّ), (عَلَيْهِ) dan (لَدَيْكَ).

Nun Wiqayah

Ketika kalimah fi’il atau isim fi’il bertemu dengan ya’ mutakallim, maka diwajibkan untuk memisah diantara keduanya dengan nun yang bernama Nun Wiqayah, karena nun tersebut yang menjaga lafal yang bersambung dengannya dari kasrah,[15] kita ucapkan (اَكْرَمَنِيْ), (يُكْرِمُنِيْ), (اُكْرِمُنِي), (تُكْرِمُونَنِيْ), (اَكْرَمْتَنِيْ), dan (اَكْرَمَتْنِيْ فَاطِمَةُ).

Ketika yang bertemu dengan ya’ mutakallim adalah kalimah huruf yang menyerupai kalimah fi’il, maka yang banyak terjadinya adalah menetapkan nun wiqayah ketika bersama (لَيْتَ) dan membuang nun wiqayah ketika bersama (لَعَلَّ), dan dengannyalah al-Qur’an datang,[16] seperti (ياَ لَيْتَنِيْ كُنْتُ مَعَهُمْ فَأَفُوزُ فَوزاً عَظِيْماً) dan (لَعَلِّي اَبْلُغُ الْأَسْبَابَ).

Dan dihitung langka membuang nun wiqayah ketika bersama (لَيْتَ) dan menetapkannya ketika bersama (لَعَلَّ), seperti,

كَمُنِيَّةِ جَابِرٍ اِذْ قَالَ لَيْتِيْ * اُصَادِفُهُ وَ اُتْلِفُ جُلَّ ماَلِي

Dan syair,

فَقُلْتُ اَعِيْرَانِي الْقُدُومَ لَعَلَّنِي * اَخُطُّ بِهاَ قَبْراً لَأَبِيْضَ مَاجِدِ

Adapun ketika bersama (اِنَّ), (اَنَّ) dan (لَكِنَّ), maka diperbolehkan untuk memilih, jika kita ingin maka kita tetapkan nun wiqayah atau membuangnya.[17]

Jika yang bertemu dengan ya’ mutakallim adalah (مِنْ) atau (عَنْ) yang merupakan huruf jer, maka diantara keduanya wajib dipisah dengan nun wiqayah, dan syadz perkataan syair,[18]

اَيُّهاَ السَّائِلُ عَنْهُمْ وَ عَنِيْ * لَسْتُ مِنْ قَيْسٍ وَ لاَ قَيْسُ مِنِيْ

Adapun huruf jer selain keduanya, maka tidak usah dipisah dengan nun wiqayah.

2)   Dlamir Munfashil

Dlamir Munfashil, yaitu dlamir yang sah bila dijadikan permulaan, seperti juga kesahannya jatuh setelah (اِلاَّ) pada keadaan apapun,[19] seperti (اَناَ) pada lafal (اَناَ مُجْتَهِدٌ) dan (مَا اجْتَهَدَ اِلاَّ اَناَ).

Dlamir munfashil ada dua puluh empat, yaitu dua belas dlamir dibaca rafa’ (yaitu, (أَناَ), (نَحْنُ), (أَنْتَ), (أَنْتِ), (أَنْتُماَ), (أَنْتُمْ), (أَنْتُنَّ), (هُوَ), (هِيَ), (هُماَ), (هُمْ) dan (هُنَّ)), dan dua belas dlamir dibaca nashab (yaitu (إِياَّيَ), (إِياَّناَ), (إِياَّكَ), (إِيَّاكِ), (إِياَّكُماَ), (إِياَّكُمْ), (إِياَّكُنَّ), (إِياَّهُ), (إِياَّهاَ), (إِياَّهُماَ), (إِياَّهُمْ) dan (إِياَّهُنَّ))

Dlamir (هُمْ) hanya untuk jama’ mudzakar yang berakal.

Diperbolehkan untuk mensukun ha’nya (هُوَ) yang jatuh setelah waw atau fa’, seperti (وَ هْوَ الْغَفُورُ الْوَدُودُ) dan (فَهْوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ), dan itulah yang sudah masyhur. Atau setelah lam taukid, seperti (اِنَّ خاَلِداً لَهْوَ شُجَاعٌ), namun sedikit sekali digunakan.

Faidah :[20]

Dlamir dalam (أَنْتَ), (أَنْتِ), (أَنْتُماَ) dan (أَنْتُنَّ) adalah (أَنْ). Adapun ta’ yang masuk pada dlamir-dlamir itu adalah huruf khithab.

Dlamir pada (هُمْ), (هُماَ) dan (هُنَّ) adalah ha’ yang merupakan peringanan dari (هُوَ).

 Sedangkan mim dan alif pada (أَنْتُماَ) dan (هُماَ) adalah huruf yang menunjukkan pada makna tatsniyyah, atau mim adalah huruf ‘imad sedangkan alif adalah alamat tatsniyyah.

Mim dalam dlamir (أَنْتُمْ) dan (هُمْ) adalah huruf sebagai alamat jama’ mudzakar berakal.

Nun yang ditasydidi pada dlamir (أَنْتُنَّ) dan (هُنَّ) adalah huruf sebagai alamat jama’ mu’annats.

Namun, diantara para ulama’ Nahwu ada yang menjadikan dlamir dan huruf yang menyertainya sebagai satu kalimah dengan satu i’rab.

Membuat Dlamir Muttashil Dan Munfashil

Dlamir menempati tempatnya isim dzahir. Maksud dari mendatangkan dlamir adalah untuk meringkas (ikhtishar). Dlamir muttashil lebih ringkas dibandingkan dlamir munfashil. Jadi, semua tempat yang mungkin untuk didatangkan dengan dlamir muttashil, maka tidak diperbolehkan berpindah ke dlamir munfashil.[21] Sehingga diucapkan (اَكْرَمْتُكَ) tidak boleh (اَكْرَمْتُ إِياَّكَ).

 Dan jika tidak dimungkinkan untuk membuat dlamir muttashil, maka diwajibkan untuk membuat dlamir munfashil.[22] Demikian itu, adalah ketika maqam kalam menuntut untuk mendahulukan dlamir, seperti (إِياَّكَ نَعْبُدُ), atau dlamir itu menjadi mubtada’, seperti (أَنْتَ مُجْتَهِدٌ), atau menjadi khabar, seperti (اَلْمُجْتَهِدُونَ اَنْتُمْ), atau diringkas (hashru) dengan (إِلاَّ) atau (إِنَّماَ), seperti (أَمَرَ اَنْ لاَ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِياَّهُ), atau amilnya dibuang, seperti (إِياَّكَ وَ ماَ يُعْتَذَرُ مِنْهُ), atau menjadi maf’ul bagi masdar yang diidlafahkan kepada fa’ilnya, seperti (يَسُرُّنِي اِكْرَامُ الْأُسْتاّذِ إِياَّكَ), atau mengikuti lafal sebelumnya dalam i’rabnya, seperti (يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَ اِيَّاكُمْ).[23]

Diperbolehkan untuk menyambung atau memisah dlamir, ketika dlamir itu menjadi khabarnya (كَانَ) atau sesamanya, seperti (كُنْتُهُ) dan (كُنْتُ إِياَّهُ), atau menjadi dlamir kedua dari dua dlamir yang dibaca nashab dengan amil dari bab (اَعْطَى) dan (ظَنَّ) (: artinya fi’il yang bisa menashabkan dua maf’ul yang asalnya bukanlah mubtada’-khabar, atau fi’il yang bisa menashabkan dua maf’ul yang asalnya adalah mubtada’-khabar),[24] seperti (سَأَلْتُكَهُ), (سَأَلْتُكَ إِياَّهُ), (ظَنَنْتُكَهُ) dan (ظَنَنْتُكَ إِياَّهُ).

Dlamir mutakallim lebih khusus dibandingkan dlamir mukhathab, artinya dlamir mutakallim lebih ma’rifat dibandingkan dlamir mukhathab. Dlamir mukhathab lebih khusus dibandingkan dlamir ghaib.[25]

Ketika ada dua dlamir muttashil berkumpul dalam bab (كَانَ), (اَعْطَى) atau (ظَنَّ), maka diwajibkan untuk mendahulukan dlamir yang lebih khusus dari kedua dlamir itu, seperti (كُنْتُهُ), (سَلْنِيْهِ) dan (ظَنَنْتُكَهُ). Dan ketika salah satunya dipisah, maka kita diperbolehkan untuk mendahulukan dlamir manapun yang kita inginkan, jika diamankan dari keserupaan, seperti (الدِّرْهَمُ أَعْطَيْتُهُ إِياَّكَ).

Namun, jika tidak diamankan dari terjadinya kesamaran makna, maka diwajibkan untuk mendahulukan dlamir yang bisa menghilangkan kesamaran, meskipun dlamir itu tidaklah lebih khusus, sehingga kita ucapkan (زُهَيْرٌ مَنَعْتُكَ إِياَّهُ), jika yang kita inginkan adalah mencegah mukhathab dari sampai kepada ghaib. Dan (مَنَعْتُهُ إِياَّكَ) jika yang kita inginkan adalah mencegah ghaib dari sampai kepada mukhathab.[26]

Jika ada dua dlamir sama dalam tingkatannya, seperti bila keduanya sama-sama mutakallim atau mukhathab atau ghaib, maka diwajibkan untuk memisah salah satunya,[27] seperti (اَعْطَيْتُهُ إِياَّهُ), (خِلْتُكَ إِياَّكَ) dan (سَأَلْتَنِي إِياَّيَ).

Kembalinya Dlamir

Ketika dlamir berupa dlamir ghaib, maka diwajibkan adanya marji’ (lafal yang dlamir kembali kepadanya).

Dlamir ghaib adakalanya kembali kepada isim yang mendahuluinya dalam pelafalan, yaitu yang asal, seperti (الْكِتاَب اَخَذْتُهُ). Adakalanya kembali kepada lafal yang diakhirkan darinya dalam pengucapan, namun didahulukan derajatnya (: artinya dari segi asalnya), seperti (اَخَذَ كِتاَبَهُ زُهَيْرٌ). Ha’ dlamir kembali kepada (زُهَيْر) yang diakhirkan secara pengucapan, namun diniati didahulukan dengan melihat derajatnya karena dia sebagai fa’il.[28]

Adakalanya kembali kepada perkara yang telah disebutkan sebelumnya dari segi makna bukan pelafalan,[29] seperti (اِجْتَهِدْ يَكُنْ خَيْراً لَكَ) yang artinya (يَكُنِ الْإِجْتِهاَدُ خَيْراً لَكَ). Dlamir itu kembali kepada (الْإِجْتِهاَدُ) yang dipaham dari lafal (اِجْتَهِدْ).

Dan adakalanya kembali kepada perkara yang tidak disebutkan, tidak dalam pelafalan maupun makna, jika runtutannya kalam menentukannya, seperti (وَ اسْتَوَتْ عَلَى الْجُودِيِّ), yang dlamir itu kembali kepada (سَفِيْنَةُ نُوحٍ) yang telah maklum dari maqam.[30]

Dlamir bisa kembali kepada perkara yang paling dekat penyebutannya dalam kalam, selama perkara yang lebih dekat itu tidak berupa mudlaf ilaih. Jika berupa mudlaf ilaih, maka dlamir kembali kepada mudlaf. Namun, terkadang kepada mudlaf ilaih, jika memang disitu terdapat perkara yang menentukannya, seperti (كَمَثَلِ الْحِماَرِ يَحْمِلُ اَسْفاَراً).[31]

Dan terkadang dlamir kembali kepada lafal yang jauh dengan adanya qarinah yang menunjukkannya,[32] seperti (آمِنُوا بِاللهِ وَ رَسُولِهِ وَ اَنْفِقُوا مِماَّ جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِيْنَ). Dlamir mustatir kembali kepada (الله) bukan (الرسول).

Dlamir Fashlu

 Terkadang dlamir menjadi penengah diantara mubtada’ dan khabar atau lafal yang asalnya adalah mubtada’ dan khabar, yang dlamir itu dinamakan dlamir fashlu, untuk menunjukkan kalau lafal setelah dlamir itu adalah khabar bukan na’at,[33] seperti (زُهَيْرٌ هُوَ الشَّاعِرُ) dan (ظَنَنْتُ عَبْدَ اللهِ هَوَ الْكاَتِبُ).

Dlamir fashlu adalah kalimah huruf yang tidak punya mahall dari i’rab, menurut qaul ashah. Bentuk dari dlamir itu adalah seperti dlamir munfashil, dan tertashrif seperti tertashrifnya dlamir munfashil, tergantung tempatnya, namun dlamir itu bukanlah dlamir munfashil.[34]

Kemudian masuknya dlamir fashlu diantara mubtada’ dan khabar yang telah dinaskh dengan (كاَنَ), (ظَنَّ) dan (إِنَّ) serta sesamanya adalah mengikut pada masuknya dlamir itu diantara keduanya sebelum di nasakh, sehingga dari segi i’rab dlamir itu tidak bisa mempengaruhi lafal setelahnya dan lafal setelah dlamir fashlu dipengaruhi oleh lafal sebelum dlamir fashlu,[35] seperti (فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِي كُنْتَ اَنْتَ الرَّقِيْبَ عَلَيْهِمْ).

Dlamir fashlu berfaidah untuk mentaukidi hukum, karena bisa menambah pada pertalian hubungan.[36]




[1] Fath Rab al-Bariyyah, hlm. 23
[2] Tasywiq al-Khillan, hlm. 170
[3] Fath Rab al-Bariyyah, hlm. 23
[4] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 122
[5] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 122
[6] Fath Rab al-Bariyyah, hlm. 23
[7] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 122
[8] Fath Rab al-Bariyyah, hlm. 23
[9] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 123
[10] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 117
[11] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 117
[12] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 117
[13] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 118
[14] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 118
[15] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 118
[16] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 118
[17] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 119
[18] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 119
[19] Fath Rab al-Bariyyah, hlm. 23
[20] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 119
[21] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 120
[22] Tasywiq al-Khillan, hlm. 171
[23] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 120
[24] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 121
[25] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 121
[26] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 121
[27] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 121
[28] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 124
[29] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 125
[30] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 125
[31] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 125
[32] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 125
[33] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 126
[34] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 126
[35] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 126
[36] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 126

No comments:

Post a Comment