Isim Dlamir adalah isim yang digunakan sebagai kunyah atau
pengganti dari mutakallim (orang yang berbicara) atau mukhathab
(orang yang diajak bicara) atau ghaib (orang yang sedang dibicarakan
tetapi dia tidak hadir dalam majelis pembicaraan), sehingga isim itu menempati
tempatnya isim yang dia kunyahi,[1]
seperti (اَناَ), (اَنْتَ) dan (هُوَ).
Semua isim dlamir adalah ma’rifat
kecuali dlamir sya’an atau dlamir qisshah yang nakirah karena bisa kemasukan (رُبَ), seperti
syair berikut,[2]
رُبَّهُ فَتِيَّة
دَعَوت إِلَى ماَ * يُورِثُ الْمَجْدَ دَائِباً فَأَجَابُوا
Pembagian Isim Dlamir
Isim
Dlamir terbagi menjadi dua, yaitu: Dlamir Muttashil dan Dlamir Munfashil.
1) Dlamir Muttashil
Dlamir
Muttashil adalah dlamir yang tidak boleh
untuk dijadikan permulaan dan tidak boleh jatuh setelah (اِلاَّ), kecuali
dalam dlarurat syair,[3]
seperti ta’ dan kaf pada semisal (اَكْرَمْتُكَ). Sehingga tidak boleh diucapkan
dengan (مَا اَكْرَمْتُ اِلاَّكَ). Dlamir muttashil itu adakalanya
bersambung dengan fi’il, seperti waw pada lafal (كَتَبُوْا), atau isim,
seperti ya’ pada lafal (كِتَابِيْ), atau pada kalimah huruf, seperti
(عَلَيْكَ).
Adakalanya
dlamir itu tersambung dengan kalimah fi’il, seperti waw pada lafal (كَتَبُوا), atau kalimah
isim, seperti ya’ pada lafal (كِتاَبِي), atau dengan kalimah huruf,
seperti kaf pada lafal (عَلَيْكَ).
Dlamir
muttashil banyaknya ada sembilan, yaitu ta’, (ناَ), waw, alif, nun, kaf, ya’, ha’ (هـ) dan (هاَ).
Alif,
ta’, waw dan nun hanya untuk rafa’, karena keempatnya hanya menjadi fa’il atau
na’bul fa’il, seperti (كَتَباَ وَ كَتَبْتُ وَ كَتَبُوا وَ كَتَبْنَ).
(ناَ) dan ya’, bisa
untuk dlamir rafa’, seperti (كَتَبْناَ وَ تَكْتُبِيْنَ وَ اكْتُبِي), atau dlamir
nashab, seperti (اَكْرَمَنِيَ الْمُعَلِّمُ وَ اَكْرَمَناَ
الْمُعَلِّمُ), atau dlamir jer, seperti (صَرَّفَ اللهُ عَنِّي وَ عَناَّ
الْمَكْرُوهَ).
Kaf, (هـ) dan (هَا), bisa untuk
dlamir nashab, seperti (اَكْرَمْتُكَ وَ اَكْرَمْتُهُ وَ اَكْرَمْتُهاَ) dan dlamir jer,
seperti (اَحْسَنْتُ اِلَيْكَ وَ اِلَيْهِ وَ اِلَيْهاَ). Ketiganya tidak bisa untuk rafa’
karena tidak bisa disandari.
Pembagian Dlamir Muttashil
Dlamir
muttashil dibagi menjadi dua, yaitu Dlamir Mustatir dan Dlamir Bariz.
Dlamir
Bariz adalah dlamir muttashil yang
mempunyai bentuk didalam pelafalannya sekaligus bisa diucapkan,[4]
seperti dlamir ta’ dalam lafal (قُمْتُ), karena dlamir tersebut mempunyai
bentuk dan sekaligus bisa diucapkan.
Dlamir
Mustatir adalah dlamir muttashil yang tidak
memiliki bentuk dalam pelafalannya, tetapi dikira-kirakan dalam hati,[5]
seperti dlamir mustatir yang terdapat dalam lafal (اُكْتُبْ), karena
penakdirannya adalah (اُكْتُبْ اُنْتَ).
Dlamir
Mustatir terbagi menjadi dua, yaitu:
a) Mustatir Wujuban, yaitu dlamir mustatir yang harus tersimpan dan
tempatnya tidak boleh ditempati oleh isim dzahir atau dlamir munfashil.[6]
Dlamir tersebut berada di enam tempat, yaitu:[7]
(1) Pada kalimah
fi’il yang diisnadkan kepada dlamir mutakallim, baik mufrad atau jama’, seperti
(اَجْتَهِدُ) dan (تَجْتَهِدُ).
(2) Pada kalimah
fi’il yang diisnadkan kepada dlamir mufrad mukhathab, seperti (اِجْتَهِدْ).
(3) Pada isim
fi’il yang diisnadkan kepada dlamir mutakallim atau dlamir mukhathab, seperti (اُفٍّ) dan (صَهْ).
(4)
Pada fi’il
ta’ajjub yang berwazan (ماَ اَفْعَلَ), seperti (ماَ اَحْسَنَ الْعِلْم).
(5)
Pada
fi’il-fi’il yang untuk istitsna’, yaitu (خَلاَ), (عَداَ), (حَاشَا), (لَيْسَ) dan (لاَ يَكُوْنُ), seperti (جَاءَ الْقَوْمُ مَا خَلاَ زُهَيْراً اَو لَيْسَ زُهَيْراً اَو لاَ يَكُوْنُ زُهَيْراً).
(6) Pada masdar yang menggantikan tempat fi’ilnya, seperti (صَبْراً عَلَى
الشَّدَائِدِ).
b) Mustatir Jawazan, yaitu dlamir mustatir yang tersimpannya tidak wajib,
dan tempatnya dlamir tersebut boleh bila ditempati oleh isim dzahir.[8]
Dlamir model ini hanya terdapat dalam Fi’il Mudlari’ yang diisnadkan kepada
dlamir mufrad ghaib, seperti (سَعِيْدٌ اِجْتَهَدَ), atau kepada dlamir mufradah
ghaibah, seperti (فَاطِمَةُ تَجْتَهِدُ)[9].
Kaidah:
Ø
Yang menjadi
dlamir pada semisal lafal (جِئْتُماَ), (جِئْتُمْ) dan (جِئْتُنَّ) adalah ta’ saja, pada semisal
lafal (اَكْرَمَكُماَ), (اَكْرَمَكُمْ) dan
(اَكْرَمَكُنَّ) adalah kaf
saja, dan pada semisal (اَكْرَمَهُماَ), (اَكْرَمَهُمْ)
dan (اَكْرَمَهُنَّ) adalah ha’ (هـ) saja.
Adapun mim dan alif yang masuk pada dlamir adalah huruf
untuk menunjukkan pada makna tatsniyyah. Namun ada sebagian ulama’ yang
menjadikan mim sebagai huruf ‘imad dan alif sebagai tanda tatsniyyah.[10]
Adapun mim yang masuk pada dlamir adalah huruf sebagai
tanda jama’ mudzakar yang berakal. Dan nun yang ditasydid masuk pada dlamir
adalah huruf sebagai tanda jama’ mu’annats. Namun, ada sebagian ulama’ yang
menjadikan dlamir dan alamat yang menyertainya sebagai satu kalimah dengan satu
i’rab.[11]
Ø Para ulama’ telah membuat kaidah pengharakatan dlamir
ghaib, yaitu ketika dlamir ghaib didahului kasrah atau ya’ yang mati, maka ha’
(هـ) dlamir
diharakati kasrah, seperti (خُذْ بِيَدِهِ اِشْفَاقاً عَلَيْهِ). Dan pada selain keadaan itu, maka
ha’ dlamir diharakati dlammah, seperti (هَذَا اَبُوْهُمْ وَ اَكْرَمْتُ اَبَاهُمْ).[12]
Ø Diperbolehkan untuk membaca sukun atau fathah ya’
mutakallim, kecuali ketika didahului huruf mati, seperti alif maqshurah, ya’
manqush, alif tatsniyyah atau ya’ tatsniyyah dan jama’, maka ya’ mutakallim
wajib dibaca fathah untuk menolak bertemunya dua huruf mati, seperti (هَذِهِ عَصَايَ), (هَذَا رَاجِيَّ), (هَاتَانِ عَصَوَايَ), (رَفَعْتُ عَصَوَيَّ) dan (هَؤَلاَءِ مُعَلِّمِيَّ).[13]
Ø
Alif pada (اِلَى), (عَلَى) dan (لَدَى) diganti ya’ ketika bertemu dengan
dlamir,[14]
seperti (اِلَيَّ), (عَلَيْهِ) dan (لَدَيْكَ).
Nun Wiqayah
Ketika kalimah fi’il atau isim fi’il bertemu dengan ya’
mutakallim, maka diwajibkan untuk memisah diantara keduanya dengan nun yang
bernama Nun Wiqayah, karena nun tersebut yang menjaga lafal yang bersambung
dengannya dari kasrah,[15]
kita ucapkan (اَكْرَمَنِيْ), (يُكْرِمُنِيْ), (اُكْرِمُنِي), (تُكْرِمُونَنِيْ), (اَكْرَمْتَنِيْ), dan (اَكْرَمَتْنِيْ
فَاطِمَةُ).
Ketika yang bertemu dengan ya’ mutakallim adalah kalimah
huruf yang menyerupai kalimah fi’il, maka yang banyak terjadinya adalah
menetapkan nun wiqayah ketika bersama (لَيْتَ) dan membuang nun wiqayah ketika
bersama (لَعَلَّ), dan dengannyalah al-Qur’an datang,[16]
seperti (ياَ لَيْتَنِيْ كُنْتُ مَعَهُمْ فَأَفُوزُ فَوزاً عَظِيْماً) dan (لَعَلِّي اَبْلُغُ
الْأَسْبَابَ).
Dan dihitung langka membuang nun wiqayah ketika bersama (لَيْتَ) dan
menetapkannya ketika bersama (لَعَلَّ), seperti,
كَمُنِيَّةِ
جَابِرٍ اِذْ قَالَ لَيْتِيْ * اُصَادِفُهُ وَ اُتْلِفُ جُلَّ ماَلِي
Dan syair,
فَقُلْتُ اَعِيْرَانِي الْقُدُومَ لَعَلَّنِي
* اَخُطُّ بِهاَ قَبْراً لَأَبِيْضَ مَاجِدِ
Adapun ketika bersama (اِنَّ), (اَنَّ) dan (لَكِنَّ), maka
diperbolehkan untuk memilih, jika kita ingin maka kita tetapkan nun wiqayah
atau membuangnya.[17]
Jika yang bertemu dengan ya’ mutakallim adalah (مِنْ) atau (عَنْ) yang
merupakan huruf jer, maka diantara keduanya wajib dipisah dengan nun wiqayah,
dan syadz perkataan syair,[18]
اَيُّهاَ
السَّائِلُ عَنْهُمْ وَ عَنِيْ * لَسْتُ مِنْ قَيْسٍ وَ لاَ قَيْسُ مِنِيْ
Adapun huruf jer selain keduanya, maka tidak usah dipisah
dengan nun wiqayah.
2) Dlamir Munfashil
Dlamir Munfashil,
yaitu dlamir yang sah bila dijadikan permulaan, seperti juga kesahannya jatuh
setelah (اِلاَّ) pada keadaan apapun,[19]
seperti (اَناَ) pada lafal (اَناَ مُجْتَهِدٌ) dan (مَا اجْتَهَدَ
اِلاَّ اَناَ).
Dlamir munfashil ada dua puluh empat, yaitu dua belas
dlamir dibaca rafa’ (yaitu, (أَناَ), (نَحْنُ), (أَنْتَ), (أَنْتِ), (أَنْتُماَ), (أَنْتُمْ), (أَنْتُنَّ), (هُوَ), (هِيَ), (هُماَ), (هُمْ) dan (هُنَّ)), dan dua
belas dlamir dibaca nashab (yaitu (إِياَّيَ), (إِياَّناَ), (إِياَّكَ), (إِيَّاكِ), (إِياَّكُماَ), (إِياَّكُمْ), (إِياَّكُنَّ), (إِياَّهُ), (إِياَّهاَ), (إِياَّهُماَ), (إِياَّهُمْ) dan (إِياَّهُنَّ))
Dlamir (هُمْ) hanya untuk jama’ mudzakar yang
berakal.
Diperbolehkan untuk mensukun ha’nya (هُوَ) yang jatuh
setelah waw atau fa’, seperti (وَ هْوَ الْغَفُورُ الْوَدُودُ) dan (فَهْوَ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ قَدِيْرٌ), dan itulah yang sudah masyhur. Atau setelah lam taukid,
seperti (اِنَّ خاَلِداً لَهْوَ شُجَاعٌ), namun sedikit sekali digunakan.
Faidah :[20]
Dlamir dalam (أَنْتَ), (أَنْتِ), (أَنْتُماَ) dan (أَنْتُنَّ) adalah (أَنْ). Adapun ta’
yang masuk pada dlamir-dlamir itu adalah huruf khithab.
Dlamir pada (هُمْ), (هُماَ) dan (هُنَّ) adalah ha’
yang merupakan peringanan dari (هُوَ).
Sedangkan mim dan
alif pada (أَنْتُماَ) dan (هُماَ) adalah huruf yang menunjukkan pada
makna tatsniyyah, atau mim adalah huruf ‘imad sedangkan alif adalah alamat
tatsniyyah.
Mim dalam dlamir (أَنْتُمْ) dan (هُمْ) adalah huruf
sebagai alamat jama’ mudzakar berakal.
Nun yang ditasydidi pada dlamir (أَنْتُنَّ) dan (هُنَّ) adalah huruf
sebagai alamat jama’ mu’annats.
Namun, diantara para ulama’ Nahwu ada yang menjadikan
dlamir dan huruf yang menyertainya sebagai satu kalimah dengan satu i’rab.
Membuat Dlamir Muttashil Dan
Munfashil
Dlamir menempati tempatnya isim dzahir. Maksud dari
mendatangkan dlamir adalah untuk meringkas (ikhtishar). Dlamir muttashil
lebih ringkas dibandingkan dlamir munfashil. Jadi, semua tempat yang mungkin
untuk didatangkan dengan dlamir muttashil, maka tidak diperbolehkan berpindah
ke dlamir munfashil.[21]
Sehingga diucapkan (اَكْرَمْتُكَ) tidak boleh (اَكْرَمْتُ
إِياَّكَ).
Dan jika tidak
dimungkinkan untuk membuat dlamir muttashil, maka diwajibkan untuk membuat
dlamir munfashil.[22]
Demikian itu, adalah ketika maqam kalam menuntut untuk mendahulukan dlamir,
seperti (إِياَّكَ نَعْبُدُ), atau dlamir itu menjadi mubtada’, seperti (أَنْتَ مُجْتَهِدٌ), atau menjadi
khabar, seperti (اَلْمُجْتَهِدُونَ اَنْتُمْ), atau diringkas (hashru)
dengan (إِلاَّ) atau (إِنَّماَ), seperti (أَمَرَ اَنْ لاَ
تَعْبُدُوا إِلاَّ إِياَّهُ), atau amilnya dibuang, seperti (إِياَّكَ وَ ماَ
يُعْتَذَرُ مِنْهُ), atau menjadi maf’ul bagi masdar yang diidlafahkan kepada
fa’ilnya, seperti (يَسُرُّنِي اِكْرَامُ الْأُسْتاّذِ إِياَّكَ), atau
mengikuti lafal sebelumnya dalam i’rabnya, seperti (يُخْرِجُونَ
الرَّسُولَ وَ اِيَّاكُمْ).[23]
Diperbolehkan untuk menyambung atau memisah dlamir,
ketika dlamir itu menjadi khabarnya (كَانَ) atau sesamanya, seperti (كُنْتُهُ) dan (كُنْتُ إِياَّهُ), atau menjadi
dlamir kedua dari dua dlamir yang dibaca nashab dengan amil dari bab (اَعْطَى) dan (ظَنَّ) (: artinya
fi’il yang bisa menashabkan dua maf’ul yang asalnya bukanlah mubtada’-khabar,
atau fi’il yang bisa menashabkan dua maf’ul yang asalnya adalah
mubtada’-khabar),[24]
seperti (سَأَلْتُكَهُ), (سَأَلْتُكَ إِياَّهُ), (ظَنَنْتُكَهُ) dan (ظَنَنْتُكَ
إِياَّهُ).
Dlamir mutakallim lebih khusus dibandingkan dlamir
mukhathab, artinya dlamir mutakallim lebih ma’rifat dibandingkan dlamir
mukhathab. Dlamir mukhathab lebih khusus dibandingkan dlamir ghaib.[25]
Ketika ada dua dlamir muttashil berkumpul dalam bab (كَانَ), (اَعْطَى) atau (ظَنَّ), maka
diwajibkan untuk mendahulukan dlamir yang lebih khusus dari kedua dlamir itu,
seperti (كُنْتُهُ), (سَلْنِيْهِ) dan (ظَنَنْتُكَهُ). Dan ketika
salah satunya dipisah, maka kita diperbolehkan untuk mendahulukan dlamir
manapun yang kita inginkan, jika diamankan dari keserupaan, seperti (الدِّرْهَمُ أَعْطَيْتُهُ
إِياَّكَ).
Namun, jika tidak diamankan dari terjadinya kesamaran
makna, maka diwajibkan untuk mendahulukan dlamir yang bisa menghilangkan
kesamaran, meskipun dlamir itu tidaklah lebih khusus, sehingga kita ucapkan (زُهَيْرٌ
مَنَعْتُكَ إِياَّهُ), jika yang kita inginkan adalah mencegah mukhathab dari sampai
kepada ghaib. Dan (مَنَعْتُهُ إِياَّكَ) jika yang kita inginkan adalah
mencegah ghaib dari sampai kepada mukhathab.[26]
Jika ada dua dlamir sama dalam tingkatannya, seperti bila
keduanya sama-sama mutakallim atau mukhathab atau ghaib, maka diwajibkan untuk
memisah salah satunya,[27]
seperti (اَعْطَيْتُهُ إِياَّهُ), (خِلْتُكَ إِياَّكَ) dan (سَأَلْتَنِي
إِياَّيَ).
Kembalinya Dlamir
Ketika dlamir berupa dlamir ghaib, maka diwajibkan adanya
marji’ (lafal yang dlamir kembali kepadanya).
Dlamir ghaib adakalanya kembali kepada isim yang
mendahuluinya dalam pelafalan, yaitu yang asal, seperti (الْكِتاَب
اَخَذْتُهُ). Adakalanya kembali kepada lafal yang diakhirkan darinya dalam
pengucapan, namun didahulukan derajatnya (: artinya dari segi asalnya), seperti
(اَخَذَ كِتاَبَهُ زُهَيْرٌ). Ha’ dlamir
kembali kepada (زُهَيْر) yang diakhirkan secara pengucapan,
namun diniati didahulukan dengan melihat derajatnya karena dia sebagai fa’il.[28]
Adakalanya kembali kepada perkara yang telah disebutkan
sebelumnya dari segi makna bukan pelafalan,[29]
seperti (اِجْتَهِدْ يَكُنْ خَيْراً لَكَ) yang artinya (يَكُنِ
الْإِجْتِهاَدُ خَيْراً لَكَ). Dlamir itu kembali kepada (الْإِجْتِهاَدُ) yang dipaham dari lafal (اِجْتَهِدْ).
Dan adakalanya kembali kepada perkara yang tidak
disebutkan, tidak dalam pelafalan maupun makna, jika runtutannya kalam
menentukannya, seperti (وَ اسْتَوَتْ عَلَى الْجُودِيِّ), yang dlamir
itu kembali kepada (سَفِيْنَةُ نُوحٍ) yang telah maklum dari maqam.[30]
Dlamir bisa kembali kepada perkara yang paling dekat
penyebutannya dalam kalam, selama perkara yang lebih dekat itu tidak berupa
mudlaf ilaih. Jika berupa mudlaf ilaih, maka dlamir kembali kepada mudlaf.
Namun, terkadang kepada mudlaf ilaih, jika memang disitu terdapat perkara yang
menentukannya, seperti (كَمَثَلِ الْحِماَرِ يَحْمِلُ اَسْفاَراً).[31]
Dan terkadang dlamir kembali kepada
lafal yang jauh dengan adanya qarinah yang menunjukkannya,[32]
seperti (آمِنُوا بِاللهِ وَ رَسُولِهِ وَ اَنْفِقُوا مِماَّ جَعَلَكُمْ
مُسْتَخْلَفِيْنَ). Dlamir mustatir kembali kepada (الله) bukan (الرسول).
Dlamir Fashlu
Terkadang dlamir
menjadi penengah diantara mubtada’ dan khabar atau lafal yang asalnya adalah
mubtada’ dan khabar, yang dlamir itu dinamakan dlamir fashlu, untuk menunjukkan
kalau lafal setelah dlamir itu adalah khabar bukan na’at,[33]
seperti (زُهَيْرٌ هُوَ الشَّاعِرُ) dan (ظَنَنْتُ عَبْدَ
اللهِ هَوَ الْكاَتِبُ).
Dlamir fashlu adalah kalimah huruf yang tidak punya
mahall dari i’rab, menurut qaul ashah. Bentuk dari dlamir itu adalah seperti
dlamir munfashil, dan tertashrif seperti tertashrifnya dlamir munfashil,
tergantung tempatnya, namun dlamir itu bukanlah dlamir munfashil.[34]
Kemudian masuknya dlamir fashlu diantara mubtada’ dan
khabar yang telah dinaskh dengan (كاَنَ), (ظَنَّ) dan (إِنَّ) serta
sesamanya adalah mengikut pada masuknya dlamir itu diantara keduanya sebelum di
nasakh, sehingga dari segi i’rab dlamir itu tidak bisa mempengaruhi lafal
setelahnya dan lafal setelah dlamir fashlu dipengaruhi oleh lafal sebelum
dlamir fashlu,[35] seperti
(فَلَمَّا
تَوَفَّيْتَنِي كُنْتَ اَنْتَ الرَّقِيْبَ عَلَيْهِمْ).
Dlamir fashlu berfaidah untuk mentaukidi hukum, karena
bisa menambah pada pertalian hubungan.[36]
[1] Fath Rab
al-Bariyyah, hlm. 23
[2] Tasywiq
al-Khillan, hlm. 170
[3] Fath Rab
al-Bariyyah, hlm. 23
[4] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 122
[5] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 122
[6]
Fath Rab
al-Bariyyah, hlm. 23
[7] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 122
[8]
Fath Rab
al-Bariyyah, hlm. 23
[9] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 123
[10] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 117
[11] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 117
[12] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 117
[13] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 118
[14] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 118
[15] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 118
[16] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 118
[17] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 119
[18] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 119
[19] Fath Rab
al-Bariyyah, hlm. 23
[20] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 119
[21] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 120
[22]
Tasywiq al-Khillan,
hlm. 171
[23] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 120
[24] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 121
[25] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 121
[26] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 121
[27] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 121
[28] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 124
[29] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 125
[30] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 125
[31] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 125
[32] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 125
[33] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 126
[34] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 126
[35] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 126
[36] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 126
No comments:
Post a Comment