Siang yang terik. Matahari memanggang
bumi yang gersang di desa Tanggulangin.
Dari
ujung desa nampak serombongan orang berkuda bersorak-sorai meneriakkan kata-kata kasar dan kotor. Mereka memacu
kudanya dengan kecepatan tinggi.
Penduduk
desa, terutama wanita dan anak-anak yang berada di luar rumah, langsung
berteriak ketakutan dan masuk ke dalam rumah masing-masing ketika melihat
gerombolan orang berkuda itu memasuki jalanan desa.
Gerombolan
orang berkuda itu ada sekitar dua puluh orang, terus memacu kudanya hingga
ketengah-tengah perkampungan penduduk.Dua orang berada di barisan terdepan
mengangkat tangannya tinggi-tinggi sebagai pertanda agar mereka yang
dibelakangnya berhenti.
Agaknya
dua orang yang berada paling depan itu adalah pemimpinnya. Yang pertama
tubuhnya tinggi besar, berewokan, ada membawa tanda tentara kerajaandi dadanya
namun tanda itu dikenakan enaknya saja tanpa mengindahkan aturan satuan
pasukan. Yang seorang lagi bertubuh sedang bahkan agak kurus, namun pakaiannya lebih
bersih dan rapi. Hanya saja pakaian yang dikenakannya adalah pakaian biasa
pakaian para petani perdesaan.
Delapan
belas orang di belakang lebih parah lagi. Potongan mereka memang seperti
prajurit kerajaan, tapi cara berpakaian mereka sudah tidak keruan.
“Hai
penduduk Tanggulangin!” teriak si tinggi besar dan berewokan dengan kerasnya.
"Aku Julung Pujud ! Kuperintahkan kalian menyerahkan harta benda yang
kalian punyai di pelataran rumah masing-masing. Jika tidak ! Seluruh desa ini
akan kuratakan dengan tanah, kubakar habis rumah kalian !”
Tak
ada reaksi maupun jawaban. Rumah para penduduk tetap tertutup rapat. Tak
seorangpun berani menampakkan diri.
Wajah
si penunggang kuda berpakaian petani nampak murung mendengar ucapan orang yang
menyebut dirinya Julung Pujud itu. Namun dia hanya dapat menghela nafas
panjang. “Sampai kapan ini akan berlangsung ……….?” Gumannya lirih. Sebenarnya
aku sudah muak melakukannya.”
“Hei,
Tekuk Panjalin !" Tegur Julung Pujud. "Kau barusan bicara apa?”
“Tidak
apa-apa," Sahut Tekuk Panjalin. "Tak usah dihiraukan."
“Jangan
macam-macam,” tukas Julung Pujud. "Kita harus melakukannya. Terus
melakukannya hingga harta kita terkumpul banyak dan nantinya dapat kita gunakan
untuk bersenang-senang hingga tujuh turunan.”
Orang
yang disebut Tekuk Panjalin hanya berdiam diri. Beberapa saat kemudian, karena
tak ada jawaban dari penduduk setempat. Wajah Julung Pujud nampak merah padam.
“Kurang
ajar !” Bentaknya marah. "Di desa manapun orang akan membungkuk-bungkuk
dan menyembah kakiku jika mendengar namaku disebut. Tapi kalian penduduk
Tanggulangin tidak memandangku sebelah mata. Baik ! Kalian memang perlu diberi
pelajaran!”
Ia
menoleh kepada anak buah yang berada di belakangnya.
“Nyalakan
obor !” Perintahnya. “Bakar semua rumah desa ini !”
Beberapa
orang segera turun dari kuda untuk menyalakan obor yang sudah mereka siapkan.
Lalu naik lagi ke atas kuda beberapa rekannya yang lain tinggal menyahutkan api
pada obor itu. Dalam tempo singkat tiga belas orang itu sudah memegang obor
menyala di tangan kanan. Sementara tangan kirinya tetap memegang kendali kuda.
Kini
mereka mulai mendekati rumah-rumah penduduk. Siap menyulutkan api ke
dinding-dinding rumah yang terbuat dari kayu dan beratapkan ilalang.
Sepasang
mata Julung Pujud tiba-tiba menatap lurus ke arah sebuah bangunan aneh. Sebuah
rumah terbuat dari dinding kayu beratapkan genteng. Nampaknya baru saja
didirikan di sebelah barat pusat perkampungan. Sepasang matanya yang tajam
dapat melihat sekelompok orang sedang duduk bersila dengan mulut komat kamit.
Julung
Pujud segera mendekati bangunan baru itu. Sepertinya Sanggar Pemujaan. Tapi
makin dekat hatinya makin yakin jika bangunan itu bukan tempat beribadahnya
orang-orang beragama Hindu maupun Budha.
Tepat
pada saat itu orang yang duduk di bagian paling depan mengorak sila, berdiri
dan mengajak orang-orang yang berada di belakangnya untuk keluar menemui Julung
Pujud.
“Hoooo
! Jadi kalian berkumpul dan bersembunyi di tempat ini. Apa yang kalian
rundingkan. Mau melawanku ?” tanya Julung Pujud dengan suara mengejek.
Seorang
pemuda berusia dua puluh lima
tahun maju menghampiri Julung Pujud yang masih duduk di atas kudanya. Wajahnya
bersih bercahaya. Kepalanya dibungkus dengan kain putih hingga sebagian
rambutnya tak kelihatan kecuali di dekat pelipis dan telinga.
“Ki
Julung Pujud !” tegur pemuda itu dengan suara mantap. "Sudah lama kudengar
nama dan sepak terjangmu ! Sungguh sangat kebetulan sekali sekarang dapat
bertemu denganmu. Mana anak buahmu ?”
Julung
Pujud mendelik. Hampir saja sepasang matanya meloncat keluar saking marahnya.
Baru kali ini ada seorang penduduk berani berkata seperti kepada dirinya. Biasanya
mereka tak berani menatap wajahnya, menunduk bahkan menyembah-nyembah.
“Edan
! Gila !” umpatnya keras-keras. “Lancang sekali mulutmu anak muda. Sudah bosan
hidup rupanya. Katakan kaukah yang mengumpulkan para penduduk untuk bersembunyi
di tempat ini ?”
Pemuda
itu malah menatap lekat ke arah Julung Pujud. Lalu ganti ke arah lelaki di
sampingnya yaitu Tekuk Penjalin yang lebih suka berdiam diri dan nampaknya
lebih tenang. Tak ada rasa takut maupun gentar. Julung Pujud benar-benar merasa
dilecehkan.
"Ki
Julung Pujud ! Sebagian orang memang takut kepadamu. Terutama wanita yang lemah
dan anak-anak. Tetapi tadi kami berkumpul di surau bukannya bersembunyi.
Melainkan sedang mengerjakan shalat dhuhur !” jawab pemuda tampan itu.
Julung
Pujud menoleh ke arah Tekuk Penjalin yang tetap berdiam diri namun sepasang
matanya menatap tajam-tajam ke arah si pemuda.
“Hem,
akhirnya kita ketemu macan juga rupanya," Guman Tekuk Penjalin lirih.
“Macan?”
tukas Julung Pujud. “Masih perlu dibuktikan lagi, apakah dia seekor macan atau
sekedar kucing buduk dan anjing kurap yang biasanya Cuma mengonggong !”
“Buktikanlah!"
sahut Tekuk Penjalin tanpa basa basi.
“Baik,
panggil anak buah kita supaya dapat menyaksikan bagaimana caranya aku menggebuk
anjing muda-muda ini supaya lari terkaing-kaing !” kata Julung Pujud sembari
melompat dari atas kuda dan langsung hinggap di hadapan si pemuda tampan.
Tekuk
Penjalin memutar kudanya dan segera memacu ke arah anak buahnya yang sudah
bersiap-siap hendak membakar rumah-rumah penduduk.
Cepat
berkumpul. Buang obor kalian ! Kita bakal menyaksikan pertandingan menarik!” teriak
Tekuk Penkalin begitu melihat anak buahnya.
Maka
delapan belas orang berkuda itu segera mengikuti langkah kaki kuda Tekuk
Penjalin untuk menuju ke tempat Julung Pujud sedang berhadapan dengan si pemuda
tampan.
“Anak
muda !” hardik Julung Pujud. "Sebelum nyawamu lepas dari badan. Katakan
siapa namamu supaya orang-orangku mengetahui bahwa pernah ada seorang anak muda
berani coba-coba melawanku, dan akhirnya bernasib sial!”
“Namaku
Ghafur ! Tetapi lidah orang-orang jawa memanggilku Gapur. Kuperingatkan kepadamu,
tinggalkan dunia kejahatan, jadilah orang baik-baik sebelum terlambat !”
“Hoo!
Jadi namamu Kapur?” ejek Julung Pujud "Pantas wajah dan kulitmu putih
seperti mayat. Dan memang kau akan segera jadi mayat !”
Tepat
pada saat itu Tekuk Penjalin datang bersama tiga belas orang anak buahnya.
“Hem,”
ujar Tekuk Penjalin. “Jadi kaupun ikut-ikutan jadi anjing, Pujud? Apakah kaupun
hanya akan mengajak anak muda itu untuk saling mengonggong?”
Julung
Pujud melirik ke arah Tekuk Penjalin dengan hati mendongkol.
“Penjalin!
Aku hanya sekedar mengisi waktu untuk menunggu kedatanganmu !” ujarnya pedas.
“Nah,
mulai meraung lagi. Kenapa tidak lekas kau bikin modar anak muda itu?” tukas
Tekuk Penjalin.
Sementara
itu pemuda bernama Gafur segera melipat lengan bajunya yang panjang.
Agaknya
pertarungan antaranya dengan Julung Pujud tak bisa dihindarkan lagi.
‘Sebenarnya
aku paling benci menggunakan kekerasan. Tapi kepala kalian memang kepala batu
yang patut dipukul dengan tangan besi!” ujar Gafur.
“Hiaaaaat
!” Tanpa basa basi lagi karena malu terus diejek Tekuk Penjalin, lelaki
berewokan itu menerjang maju ke arah Gafur. Sepasang tangannya membentuk cakar
rajawali di arahkan ke wajah Gafur yang putih bersih.
Semua
orang, terutama para pendududk desa yang berdiri di belakang Gafur berteriak
kaget. Sebab Gafur sepertinya tak bereaksi, hanya diam saja, Seolah membiarkan
Julung Pujud menampar dan mencakar wajahnya begitu saja.
“Plak
! Dess !” ternyata tidak. Begitu jarak serangan tinggal sekilan (kurang lebih
10 cm) Gafur menangkis tangan yang hendak mencengkeram wajahnya bahkan langsung
balik mengirim serangan dengan menendang dada Julung Pujud.
Julung
Pujud mengaduh kesakitan dengan tubuh terdorong ke belakang beberapa langkah.
Dadanya terasa bagai di hantam palu godam puluhan kilo. Benar-benar kecele.
Sudah
diperhitungkan, melihat keberanian si pemuda tentulah Gafur itu mempunyai
sedikit kepandaian. Tapi sungguh tak disangkanya jika kepandaian ilmu silat si
pemuda demikian tingginya sehingga sekali gebrak dia dibikin mundur sempoyongan
dengan dada ampek.
Tadinya
ia berharap akan meringkus pemuda itu dengan sekali serangan saja. Itu sebabnya
dia langsung mengerahkan jurus Rajawali Sakti tingkat ke delapan belas. Dia
ingin mencengkeram dan langsung memutar leher Gafur, sekali pelintir putuslah
nyawa pemuda itu.
Tapi
siapa sangka keadaan jadi terbalik. Justru dia yang terkena tendangan telak.
Kini dengan wajah merah padam Julung Pujud langsung mencabut golok di
pinggangnya. Dan dengan teriakan mengguntur dia merangsak lagi ke depan. Menebaskan
goloknya ke arah perut Gafur. Namun dengan mudahnya pemuda itu berkelit ke sana kemari.
Semua
serangan Julung Pujud hanya mengenai tempat kosong. Keringat dingin segera
membasahi wajahnya. Ia merasa malu dan penasaran. Tekuk Penjalin juga merasa
terkejut.
Dia
adalah seorang pendekar kawakan. Belum pernah dia melihat kecepatan gerak
seorang pesilat seperti Gafur. Ia terus memperhatikan cara-cara Gafur mengelak
dan balas menyerang.
Akhirnya
dia dapat menyimpulkan ciri khas dari ilmu silat yang dimiliki pemuda itu.
“Lembu
Sekilan ………. ?” teriaknya agak ragu.
Julung
Pujud yang mendengar teriakan Tekuk Penjalin terkejut sekali. Lembu Sekilan
adalah ilmu tingkat tinggi. Tak sembarang orang mampu mempelajari ilmu itu.
Tapi Gafur yang berusia semuda itu sudah menguasainya dengan baik. Sehingga
setiap serangan yang dilancarkan tidak akan pernah menyentuhnya. Selalu
berjarak kurang dari sekilan dari sasaran.
Tiga puluh jurus telah berlalu.
Selama ini Gafur lebih banyak mengalah. Ia lebih sering mengelak atau
menangkis, hanya sesekali balas menyerang dengan tenaga biasa.
Sementara
Julung Pujud sangat bernafsu merobohkan atau membunuh pemuda itu dengan seluruh
kemampuan yang ada. Ia telah mengerahkan semua ilmunya. Baik ilmu yang
dipelajarinya dari satuan pasukan elite Majapahit maupun ilmu kotor dengan
jurus-jurus keji yang penuh gerak tipuan. Semua itu ternyata tak mampu
dipergunakan untuk menyentuh tubuh Gafur.
“Dasar
tak tahu diri !” tiba-tiba Tekuk Penjalin angkat bicara. “Kalau mau sebenarnya dia
sudah mampu mencabut nyawamu sejak tadi !”
Julung
Pujud makin panas mendengar ejekan rekannya itu. Tekuk Penjalin memang selalu
jadi saingannya dalam segala hal. Ilmu mereka berimbang tapi Tekuk Penjalin
nampak lebih tenang dan penuh perhitungan. Tak gampang terbawa arus nafsu
amarah yang merusak segala pertimbangan akal sehat.
Kini Julung Pujud menyerang
Gafur dengan membabi buta. Hingga suatu ketika Gafur merasa sudah saatnya
memberikan pelajaran kepada pemimpin gerombolan perampok itu.
“Trang
! Desss ! Desss !”
Saat
itu Julung Pujud membacokan goloknya ke arah kepala Gafur. Gafur menangkis
dengan tangan kirinya. Semua orang terkejut. Mengira tangan Gafur yang bakal
putus dibabat golok itu. Ternyata justru golok itulah yang patah menjadi dua.
Dan sebelum hilang rasa terkejutnya, Julung Pujud tahu-tahu merasa perutnya
kena tendangan teramat keras dari sepasang kaki Gafur yang dilancarkan secara
beruntun. Tubuh Julung Pujud terjungkal ke belakang dengan terjembab ke tanah
dengan keras sekali. Mulutnya mengeluarkan darah segar. Nafasnya
terengah-engah. Tiga belas anak buahnya hanya memandanginya dengan bengong, tak
tahu apa yang harus dilakukannya.
"Goblok
!” umpatnya dengan nafas tersenggal. “Mengapa kalian diam saja. Cepat serbu
bangsat itu ! Bunuh dia !”
Delapan
belas prajurit itu langsung turun dari kudanya masing-masing. Dengan menghunus
golok di tangan mereka menyerbu ke arah Gafur. Namun puluhan penduduk yang
tadinya hanya berdiri di belakang Gafur segera mengambil senjata seadanya. Dan
mereka segera menyerbu ke arah kawanan perampok yang hendak mengeroyok Gafur.
Ternyata
ada beberapa pemuda desa yang telah mempunyai kepandaian ilmu silat. Dan cukup
membuat kawanan rampok itu repot meladeni serangannya. Belum lagi puluhan
penduduk yang menyerang dengan nekad dengan senjata parang, golok, tombak,
cangkul, tongkat penumbuk padi, lemparan batu dan sebagainya.
Selama
menjarah desa puluhan kali belum pernah kawanan rampok itu mendapat perlawanan
sesengit ini. Biasanya para penduduk desa sudah mengkeret begitu mendengar gertakan
mereka. Tak ada yang berani melawan.
Apa
yang dikatakan Tekuk Penjalin bahwa mereka sedang bertemu dengan macan rupanya
benar-benar menjadi kenyataan. Seluruh penduduk desa Tanggulangin agaknya telah
berubah menjadi sekawanan harimau terluka. Siap menerkam siapa saja yang
coba-coba mengusik ketenangannya.
Julung Pujud melangkah tertatih-tatih
ketepian. Menjauhi pertempuran. Mendekati kudanya yang ditambatkan pada
sebatang pohon sawo. Sementara delapan belas anak buahnya bertarung sengit
dengan puluhan penduduk desa. Tekuk Penjalin langsung meloncat ke depan Gafur.
“Senang
sekali bertemu denganmu anak muda.” Katanya dengan wajah berseri-seri.
“Sudah
lama sekali aku tak bertemu lawan tangguh yang dapat mengimbangi ilmuku.”
Habis
berkata demikian dia langsung melancarkan serangan dari jarak jauh. Serangkum
hawa panas meluncur ke dada Gafur. Pemuda itu, sudah merasakan kesiuran angin
sebelum tenaga dalam yang dilancarkan Tekuk Penjalin mengenai tubuhnya. Cepat
ia membaca beberapa ayat Al-Qurán. Kedua telapak tangannya dibentangkan
lebar-lebar untuk menangkis.
“Wesssss
.......... ! Hiaaaaat ! Tap !”
Cerdik
sekali Tekuk Penjalin. Ia sudah menduga serangannya bakal membalik. Maka dia
meloncat tinggi-tinggi ke arah pohon mangga. Dan hinggap disalah satu dahannya.
Gafur memandangnya sejenak. Kemudian menoleh ke arah penduduk desa yang sedang
bertempur melawan kawanan perampok. Ia mengerutkan dahi. Buas dan brutal sangat
cara para perampok itu bertempur. Beberapa penduduk berhasil dilukainya, bahkan
ada lima orang
penduduk yang sudah roboh di atas tanah dengan luka parah terbabat golok.
“Aku
tak bisa membiarkan ini terjadi.” Gumannya lirih. Lalu meloncat ke arah Tekuk
Penjalin yang masih tertengger diatas dahan pohon mangga.
Tanpa
diduga tiba-tiba Tekuk Penjalin menyambitkan sebuah daun ke arahnya. Gafur
berjumpalitan di udara beberapa kali untuk menghindari daun mangga yang
meluncur bagai sebatang anak panah.
“Tasss
! Jreppp !”
Gafur
berhasil menghindari sembitan daun mangga yang telah diisi dengan tenaga sakti.
Daun itu mengenai batang pohon pisang di sebelahnya, tembus dan meluncur lagi
ke arah batang pohon kelapa. Amblas dan menancap di batang pohon kelapa itu.
Gafur
bergidik ngeri. Bagaimanakah jika daun itu mengenai tubuhnya ? Nalurinya
berkata lawannya kali ini bukan sembarang orang. Melainkan lawan tangguh yang
mempunyai ilmu sangat tinggi. Ia sudah berhasil hinggap di salah satu dahan
pohon mangga, tepat diseberang Tekuk penjalin.
“Ki
Tekuk Penjalin, andika seorang pendekar perkasa" Tegur Gafur dengan sopan sekali.
“Mengapa harus berloncatan ke dahan pohon seperti tupai ? Mari kita tuntaskan
pertarungan ini di atas tanah.”
“Kau
takut bertempur di atas pohon ? Ejek Tekuk Penjalin.
“Andika
salah sangka. Saya hanya tidak mau merusak pohon ini tanpa suatu alasan yang
benar. Kasihan penduduk desa yang telah menanamnya dengan susah payah selama
puluhan tahun” ujar Gafur dengan suara datar.
Tekuk
Penjalin melangak. Hanya sebatang pohon mangga. Pemuda itu demikian
menghargainya. Ia merasa malu karena selama bertahun-tahun membunuh dan
memperlakukan manusia bagaikan barang yang tidak berharga.
“Baiklah,
kuturuti apa maumu !” kata Tekuk Penjalin sembari melayang turun. Dengan ringan
tubuhnya hinggap di atas tanah.
Gafur
melakukan hal serupa. Bahkan gerakannya membuat Tekuk Penjalin tercekat. Cepat
bagai kilat namun indah bagaikan sehelai daun kuning jatuh ke tanah.
“Nah,
majulah anak muda !” tantang Tekuk Penjalin.
Gafur
memang bermaksud segera menyudahi pertempuran itu. Ia merasa kasihan pada para
penduduk desa yang terus menerus berjatuhan karena kalah pengalaman dibanding
kawanan perampok yang asalnya memang dari pasukan tempur kerajaan Majapahit.
Tanpa
basa basi lagi Gafur mengerahkan ilmunya. Ilmu silat yang berasal dari
Perguruan Al-Karomah. Tekuk Penjalin langsung roboh terjungkal ke tanah.
Nafasnya terengah-engah. Mulutnya mengeluarkan darah segar. Beberapa bagian
tubuhnya nampak matang biru.
Melihat
kenyataan itu. Julung Pujud yang sudah naik ke atas punggung kuda menjadi kecut
hatinya. Ia menggiring kudanya secara diam-diam untuk menjauhi arena
pertarungan. Rupanya Julung Pujud bersiap-siap hendak melarikan diri jika
ternyata pihaknya menderita kekalahan.
“Ilmu
setan ……….!” Desis Tekuk Penjalin dengan pandang mata penasaran.
“Andika
keliru !” sahut Gafur sembari melangkah mendekati Tekuk Penjalin yang terkapar
tanpa dapat bangun lagi. "Kami bahkan sangat membenci ilmu setan. Ilmu
yang barusan kupergunakan tadi adalah ilmu Pencak Silat Karomah.”
“Kau
berasal dari perguruan mana ?”
"Garawesi!”
Sahut Gafur sambil menoleh ke arah penduduk yang masih terus bertempur dengan
kawanan perampok. Kemudian berpaling dan mendekati ke arah Tekuk Penjalin.
“Cepat
perintahkan anak buahmu untuk menyerah !” Bentak Gafur dengan pandang mata
mencorong.
Tekuk
Penjalin hanya diam saja. Gafur jadi gelisah. Ia melangkah makin dekat.
Sepasang kakinya berdiri di sisi tubuh Tekuk Penjalin yang terkapar. “Jika kau
tak mau perintahkan anak buahmu menyerah, maka sekali kuinjakkan kakiku ke
dadamu, pasti kau akan mati !” Ancamnya tanpa main-main.
Tekuk
Penjalin masih tak mau buka suara. Sepasang matanya memandang Gafur dengan
penuh penasaran. Rasanya dia masih belum percaya jika telah dirobohkan pemuda
itu hanya dalam tiga kali gebrakan. Benar-benar mustahil. Tapi kenyataan telah
membuka pandangan hidup bahwa seolah-olah di dunia ini tidak ada orang sakti
selain dirinya.
“Cepat
! perintahkan anak buahmu untuk menyerah !" Ancam Gafur dengan hati galau.
Kini ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Siap dihantamkan ke dada Tekuk
Penjalin.
Tekuk
Penjalin sendiri masih bungkam. Hatinya bergolak, “Bertahun-tahun aku
mengembara. Ingin bertemu dengan tokoh silat tingkat tinggi, kini tokoh itu
ternyata hanya seorang anak muda. Aku kecewa, daripada hidup menanggung malu,
lebih baik aku mati ditangannya.”
Tanpa
diduga oleh Gafur, tiba-tiba Tekuk Penjalin menggerakkan mulutnya. Bukan untuk
memberi perintah agar anak buahnya menyerah. Melainkan justru meludahi wajah
Gafur yang hendak menginjak dadanya.
“Juhhhhh
.......... !”
Gafur
tak sempat mengelak. Ludah itu menempel di wajahnya. Seketika wajahnya yang
putih bersih berubah jadi merah padam pertanda marah. Sepasang tangannya
terkepal erat. Kaki kanannya bergetar hebat menahan amarah. Sekali injak tentu
ambrol dada Tekuk Penjalin.
Melihat wajah Gafur yang merah membara itu
tergetarlah hati Tekuk Penjalin, bagaimanapun sebenarnya dia tidak rela mati
begitu saja. Kini lenyaplah kepongahan hatinya. Berubah jadi kecut dan ciut.
Wajahnya seketika berubah jadi pucat pasi.
“Kali
ini tamatlah riwayatku .......” Desis Tekuk Penjalin melihat kaki kanan Gafur
diangkat tinggi-tinggi. Siap menggempur dadanya.
Tiba-tiba
terjadilah keanehan. Gafur mengrungkan niatnya menghantam dada Tekuk Penjalin
dengan kakinya. Dia menarik kaki kanannya dan berdiri dengan sikap biasa.
Terdengar ia menyebut , “Astaghfirullah ..”
Wajahnya
yang tadi merah pedam karena dialiri darah amarah yang menggelegak mendadak
berubah lagi jadi putih bersih. Perlahan dia membersihkan ludah Tekuk Penjalin
yang menempel di wajahnya.
“Mengapa?
mengapa aku tak jadi kau bunuh?” tanya Tekuk Penjalin keheranan.
“Karena
tadi kau telah membuatku marah !” jawab Gafur datar.
“Aku
tidak boleh menghukum orang dalam keadaan marah. Itu termasuk dosa !”
“Kenapa
berdosa ?” ujar Tekuk Penjalin masih penasaran.” Bukankah aku ini perampok
jahat yang pantas di bunuh ?”
“Tadi
.........." kata Gafur. "Sebelum kau meludahiku dan sebelum aku
marah. Aku boleh membunuhmu karena niatku membunuhmu adalah untuk jihad fi
sabilillah, memerangi kejahatan. Tetapi setelah kau meludahi, maka hatiku jadi
marah. Yang marah adalah aku pribadi. Karena diri pribadiku tersinggung.
Sedangkan aku tak boleh mencampur adukkan antara kepentingan pribadi dengan
niat berjuang di jalan Allah. Saat aku marah hatiku sudah menyeleweng dari
jalan Allah, jadi aku akan menanggung dosa besar jika membunuhmu atas dasar
kebencian pribadi. Bukan atas dasar perang di jalan Allah, yang sesuai dengan
ajaran agamaku !”
Tekuk
Penjalin tertegun. Hatinya bergolak.
“Betapa
luhur ajaran agamamu, apakah nama agama yang kau anut itu ?” tanya Tekuk
Penjalin.
“Islam
!” jawab Gafur. “Islam artinya selamat. Siapa yang memeluk agama Islam akan
selamat hidupnya di dunia dan akhirat.”
“Aku
………. adalah bekas perwira Majapahit yang membelot dan menjadi pemimpin rampok.
Kejahatanku bertumpuk-tumpuk, apakah Tuhanmu masih mau mengampuniku ?” tanya
Tekuk Penjalin.
“Kenapa
tidak ?” Sahut Gafur. “Misalkan dosamu setinggi gunung sepenuh langit dan bumi.
Namun kalau kau masuk agama Islam, dan bertobat secara sungguh-sungguh. Artinya
kita tidak akan mengulangi perbuatanmu yang jahat, menggantinya dengan
perbuatan baik, maka Tuhan akan mengampunimu. Dosa-dosa di masa lalu akan
dihapus semua.”
“Benarkah
begitu ?” sahut Tekuk Penjalin ragu.
“Aku
bicara apa adanya. Dusta adalah suatu dosa !” sahut Gafur.
Tiba-tiba
Tekuk Penjalin berusaha bangkit untuk berdiri. Karena tubuhnya masih lemah maka
ia segera roboh lagi. Gafur cepat menyambarnya. Sementara itu, pertempuran
antara penduduk desa dengan kawanan perampok masih berlangsung seru. Tiba-tiba
terdengar bentakan yang membahana.
“Berhenti
! Hentikan pertempuran !”
Semua
orang terkejut dan segera menghentikan pertempuran. Ternyata bentak itu berasal
dari Tekuk Penjalin. Dia berdiri tegak di samping Gafur. Gafur telah menolong
Tekuk Penjalin sehingga tubuhnya kembali segar bugar seperti semula.
“Dengarkan
! Mulai sekarang kutinggalkan dunia kejahatan. Aku tak mau lagi hidup
bergemilang dosa. Hari ini juga aku masuk agama Islam dam menjadi pengikut
saudara Gafur Satria Mega Pethak !”
Semua
orang terkejut mendengar perkataan itu. Baik dari kalangan penduduk desa maupun
para perampok itu sendiri. Sementara bagi Pulung Pujud ucapan Tekuk Penjalin
itu bagaikan petir menyambar di telinganya.
Jika Tekuk Penjalin yang tadinya
andalan gerombolannya sudah menyeberang ke pihak lain, maka tamatlah
riwayatnya. Tekuk Penjalin menatap wajah seluruh anak buahnya.
“Kalian
boleh pilih, tetap menjadi gerombolan perampok dengan risiko diburu petugas
pemerintah Majapahit dan dimusuhi seluruh rakyat atau hidup baik-baik, bertobat
dan membaur dengan masyarakat !”
Delapan
belas perampok itu sekarang tinggal lima
belas. Tiga rekannya telah mati di tangan penduduk desa. Delapan orang langsung
membuang senjatanya ditanah begitu mendengar seruan Tekuk Penjalin.
Tujuh
lainnya berlari ke arah kudanya masing-masing dan bergerak menuju Julung Pujud.
“Ki Tekuk Penjalin ! Tidak sudi kami mengikuti jejakmu. Biarkan kami menempuh
jalan kami sendiri !”
“Terserah
kalian !” sahut Tekuk Penjalin. “Tapi jangan coba-coba mengganggu desa ini
lagi. Bila itu kalian lakukan maka aku sendiri yang bakal membasmi kalian !”
“Ha
ha ha ha .......... !” Julung Pujud tertawa keras. “Mari anak buahku yang
jantan !” kita tinggalkan Tekuk Penjalin yang telah menjadi banci!”
Julung
Pujud mendahului memacu kudanya keluar desa. Diikuti tujuh orang anak buahnya
yang tidak mau menerima fitrah kebenaran abadi. Beberapa penduduk desa yang
masih merasa geram dan dendam segera menendang dan memukuli delapan perampok
yang telah menyerah, duduk bersimpuh di atas tanah tanpa mengadakan perlawanan
sama sekali.
Gafur
segera membentak ke arah penduduk desa, “Hentikan ! tidak pantas menyerang
orang yang sudah menyerahkan diri !”
“Mereka
sudah membujuk teman-teman kami !” protes penduduk.
“Serahkan
mereka padaku. Aku akan mengurusnya !” jawab Gafur dengan suara berwibawa.
Kemudian ia memberi isyarat kepada seluruh penduduk untuk berkumpul. Ki Tekuk
Penjalin dan anak buahnya duduk bersimpul di belakang Gafur, menghadap ke arah
penduduk desa yang segera berkumpul di hadapan Gafur.
“Sudah
kalian saksikan sendiri," Gafur membuka suara. "Muslim yang kuat
lebih disukai Allah. Dengan adanya kekuatan kita dapat mempertahankan diri dari
pemaksaan kehendak orang lain, itulah sebabnya para pemuda di desa ini kuajari
ilmu pencak silat di samping belajar ilmu agama !”
Demikianlah,
secara panjang lebar Gafur memberikan bimbingan kepada penduduk setempat untuk
mengenal dan memperdalam agama Islam. Bukan hanya sekedar ceramah saja.
Melainkan dibuktikan dengan perbuatan nyata. Gafur adalah murid si Kakek Bantal
yang ditugaskan membina desa-desa tertinggal, dan masyarakat yang belum
mengenal Islam.
Dia membantu para penduduk untuk meningkatkan taraf
kehidupannya dengan cara membimbing mereka bertanam padi dengan cara yang lebih
baik. Dengan ilmu pengobatan yang dipelajari dari gurunya ia juga telah banyak
menolong para penduduk yang menderita sakit.
Penduduk
setempat akhirnya menaruh simpati. Di saat itulah Gafur baru menawarkan dan
mengenalkan keindahan dan keluhuran agama Islam kepada mereka. Tekuk Penjalin
dan anak buahnya dibina di desa itu. Akhirnya mereka menjadi orang baik-baik
dan menjadi pelindung desa dari rongrongan para perampok.
Itulah
cara dakwah yang ditempuh oleh Gafur yang oleh Tekuk Penjalin disebut sebagai
Satria Mega Pethak atau Satria Awan putih. Seputih hati dan sebersih jiwa
pemuda dalam menempuh perjalanan hidupnya.
Gafur
sangat toleran terhadap kepentingan pribadi, patuh terhadap ajaran agama.
Teguh
menjauhi kemungkaran dan tiada henti-hentinya menegakkan kebenaran yang dinodai
sekelompok orang tak bertanggung jawab.
Gafur hanyalah salah satu di antara
sekian banyak murid Kakek Bantal yang tinggal di Garawesi atau Gresik. Lalu
siapakah si Kakek Bantal itu. “Ya, siapakah sebenarnya Guru saudara Gafur yang
disebut Kakek Bantal itu?” tanya Tekuk Penjalin pada suatu hari.
Gafur
tersenyum lalu menjawab, “Kakek Bantal adalah seorang ulama besar dari Negeri
Seberang. Beliau tinggal di Jawa, tepatnya di Gresik. Bantal artinya Bumi.
Disebut demikian karena beliau mampu membaur dengan penduduk setempat sehingga
boleh dikatakan sudah membumi dengan lingkungan dan masyarakat sekitar. Ada pula yang mengatakan
Bantal adalah bantal untuk alas tidur, sebab beliau sangat berilmu tinggi.
Petuah dan nasehatnya melegakan semua orang yang mendengarkannya sehingga hati
dan jiwa menjadi tenang, setenang saat mereka tidur nyenyak diatas bantal
empuk.”
No comments:
Post a Comment