JAMA’ MU’ANNATS SALIM


Jama’ Mu’annats Salim adalah lafal yang dijama’kan dengan memberikan tambahan alif dan ta’, seperti (هِنْدَاتٌ), (مُرْضِعاَتٌ) dan (فَاضِلاَتٌ).

Semisal (قُضَاةٌ) dan (هُدَاةٌ), termasuk dalam jama’ taksir dan bukanlah jama’ mu’annats salim, karena alifnya bukanlah tambahan akan tetapi hasil dari perubahan. Asal dari lafal itu adalah (قَضِيَّةٌ) dan (هَدِيَّةٌ) dengan wazan (فُعَلَةٌ). Ta’ pada jama’ mu’annats salim berupa ta’ mabsuthah, sedangkan ta’ pada (قُضَاةٌ), (هُدَاةٌ) dan semisalnya berupa ta’ marbuthah. Dan semisal (أَبْيَاتٌ) dan (أَشْتاَتٌ) termasuk dalam jama’ taksir juga, karena ta’-nya adalah asli.

Isim Yang Boleh Dijama’ Mu’annatskan
 
Ada sepuluh perkara yang boleh dijama’kan dengan jama’ mu’annats salim, yaitu:

a.   Alam mu’annats, seperti (دَعْدُ), (مَرْيَمُ) dan (فَاطِمَةُ).

b.   Lafal yang diakhiri dengan ta’ ta’nits, seperti (شَجَرَةٌ), (ثَمْرَةٌ), (طَلْحَةٌ) dan (حَمْزَةُ).[1]

Dikecualikan dari ketentuan tersebut adalah (اِمْرَأَةٌ), (شَاةٌ), (أَمَّةٌ), (أُمَّةٌ), (شَفَةٌ) dan (مِلَّةٌ), maka lafal-lafal tersebut tidak boleh dijama’-kan dengan jama’ mu’annats salim, namun dijama’kan menjadi (نِسَاءٌ), (شِيَاهٌ), (إِماَءٌ), (أُمَمٌ), (شِفَاهٌ) dan (مِلَلٌ).

c.   Sifat mu’annats yang dibarengi ta’, seperti (مُرْضِعَةٌ) menjadi (مُرْضِعَاتٌ), atau yang menunjukkan pada makna tafdlil, seperti (فُضْلَى) mu’annatsnya (أَفْضَلُ) menjadi (فُضْلَيَاتٌ).[2]

d.   Sifat mudzakar yang tidak berakal, seperti (جَبَلٌ شَاهِقٌ) menjadi (جِباَلٌ شَاهِقَاتٌ), dan (حِصَانٌ سَابِقٌ) menjadi (حُصنٌ سَابِقَاتٌ).

e.   Masdar yang hurufnya lebih dari tiga yang tidak mentaukidi fi’ilnya, seperti (إِكْرَاماَتٌ), (إِنْعاَماَتٌ) dan (تَعْرِيْفاَتٌ).
f.    Mushaggharnya mudzakar yang tidak berakal, seperti (دُرَيْهِمٌ) menjadi (درَيْهِماَتٌ), dan (كُتَيِّبٌ) menjadi (كُتَيِّباَتٌ).[3]

g.   Lafal yang diakhiri dengan alif ta’nits mamdudah, seperti (صَحْرَاءُ) menjadi (صَحْرَاوَاتٌ), dan (عَذْرَاءُ) menjadi (عَذْرَاواَتٌ).

Kecuali, lafal yang mengikuti wazan (فَعْلاَءُ) mu’annatsnya (أَفْعَل), maka tidak boleh dijama’kan dengan jama’ mu’annats salim, seperti (حَمْرَاءُ) mu’annatsnya (أَحْمَرُ), (كَحْلاَءُ) mu’annatsnya (أَكْحَلُ), dan (صَحْرَاءُ) mu’annatsnya (أَصْحَرُ), namun lafal itu dan mudzakarnya dijama’kan dengan mengikuti wazan (فُعْلٌ), seperti (حُمْرٌ), (كُحْلٌ) dan (صُحْرٌ).[4]

h. Lafal yang diakhiri dengan alif ta’nits maqshurah, seperti (ذِكْرَى) menjadi (ذِكْرَياَتٌ), (فُضْلَى) menjadi (فُضْلَيَاتٌ), dan (حُبْلَى) menjadi (حُبْلَيَاتٌ).

Kecuali, lafal yang mengikuti wazan (فَعْلَى) mu’annatsnya (فَعْلاَنُ), maka tidak boleh dijama’kan dengan jama’ mu’annats salim, seperti (سَكْرَى) mu’annatsnya (سَكْرَانُ), (رَيَّا) mu’annatsnya (رَيَّانُ), (عَطْشَى) mu’annatsnya (عَطْشَانُ). Pada jama’nya (سَكْرَى) dan mudzakarnya diucapkan dengan (سُكَارَى), (سَكَارَى) dan (سَكْرَى), pada jama’nya (رَيَّا) dan mudzakarnya diucapkan (رِوَاءٌ), pada jama’nya (عَطْشَى) dan mudzakarnya diucapkan (عِطاَشٌ) dan (عَطَاشَى).

i.     Isim yang tidak berakal yang diawali dengan (اِبْنٌ) atau (ذُو), seperti (اِبْنُ آوَى) menjadi (بَناَتُ آوَى), dan (ذُو الْقَعْدَةِ) menjadi (ذَوَاتُ الْقَعْدَةِ).[5]

j.    Semua isim ‘ajam yang tidak diketahui bentuk jama’nya yang lain, seperti (تَلِغرَافُ), (تَلِفُونُ), (فُنُغرَافُ), (رِزْناَمَجُ) dan (بَرْناَمَجُ).

Selain isim yang telah disebutkan di atas, maka tidak boleh dijama’kan dengan jama’ muannats salim, melainkan sama’i, seperti (سَماَوَاتُ), (أَرَضَاتُ), (أُمَّهاَتُ), (أُمَّاتُ), (سِجِلاَّتُ), (أَهلاَتُ), (حَماَماَتُ), (إِصْطِبَالاَتُ), (ثَيِّباَتُ) dan (شَماَلاَتُ). Termasuk juga sebagian dari bentuk jama’nya jama’, seperti (جمَالاَتُ), (رِجاَلاَتُ), (كِلاَباَتُ), (بُيُوتاَتُ), (حُمُراَتُ), (دُوراَتُ), (دِيَارَاتُ) dan lafal (قُطُراَتُ). Kesemuanya adalah sama’i yang tidak boleh diqiyaskan.

Mulhaq Jama’ Mu’annats Salim

Diilhaqkan dengan jama’ mu’annats salim, dari segi i’rabnya, adalah dua perkara, yaitu: (1) lafal (أُولاَتُ) dengan makna (صَاحِباَتٌ), dan (2) lafal dari jama’ mu’annats salim yang dijadikan nama, seperti (عَرَفَاتٌ) dan (أَذْرِعاَتٌ).

Menjama’ Mu’annats Salimkan Isim Yang Diakhiri Dengan Ta’
 
Ketika kita ingin menjama’kan isim yang diakhiri dengan ta’ dengan menggunakan jama’ mu’annats salim, maka ta’ tersebut wajib kita buang, sehingga dalam jama’nya (فَاطِمَةُ) dan (شَجَرَةٌ) kita ucapkan (فَاطِماَتٌ) dan (شَجَرَاتٌ).

Menjama’  Mu’annats Salimkan Isim Mamdud

Ketika yang ingin dijama’kan dengan jama’ mu’annats salim berupa isim mamdud, maka hamzahnya kita berikan hukum pada hamzah itu seperti ketika hamzah itu di-tatsniyyahkan, sehingga kita ucapkan dalam jama’nya (عَذْرَاءُ) dan (صَحْرَاءُ) dengan (عَذْرَاوَاتٌ) dan (صَحْرَاوَاتٌ).[6] Dalam jama’nya (قُرَّاءٌ) dan (وُضَّاءٌ) yang dijadikan namanya perempuan kita ucapkan (قُرَّاءَاتٌ) dan (وُضَّاءَاتٌ).[7] Dan dalam jama’nya (سَماَءٌ), (عِلْبَاءُ) dan (حَيَاءٌ) yang menjadi nama perempuan kita ucapkan dengan (سَماَءَاتٌ), (عِلْبَاتٌ) dan (حَيَاءَاتٌ), atau (سَماَوَاتٌ), (عِلْبَاوَاتٌ) dan (حَيَاوَاتٌ).[8]

Menjama’ Mu’annats Salimkan Isim Maqshur

Ketika kita ingin menjama’kan isim maqshur dengan jama’ mu’annats salim, maka alifnya kita berikan hukumnya ketika ditatsniyyahkan, sehingga kita ucapkan dalam jama’nya (حُبْلَى) dan (فُضْلَى) dengan (حُبْلَيَاتٌ) dan (فُضْلَيَاتٌ),[9] dan dalam jama’nya (رَجاَ) dan (هُدَى), yang dijadikan nama perempuan, dengan (رَجَوَاتٌ)[10] dan (هُدَيَاتٌ).[11]

Ketika kita akan menjama’kan semisal (صَلاَةٌ), (زَكاَةٌ), (فَتاَةٌ) dan (نَوَاةٌ), yaitu dari lafal yang alifnya merupakan gantian dari waw atau ya’, maka kita buang ta’nya dan alif yang gentian dari waw kita rubah menjadi waw, sedangkan alif yang gantian dari ya’ kita rubah menjadi ya’ dan kemudian kita jama’kan dengan memberi tambahan alif dan ya’, seperti (صَلَوَاتٌ), (زَكَوَاتٌ), (فَتَياَتٌ) dan (نَوَياَتٌ).
 
 Ketika kita akan menjama’kan semisal (حَياَةٌ), yaitu dari lafal yang alifnya hasil gantian dari ya’ yang didahului dengan ya’, maka alifnya kita rubah menjadi waw, jika alif itu berada ketiga dan asalnya adalah ya’, seperti (حَيَوَاتٌ), dan tidak boleh diucapkan (حَيَيَاتٌ) karena tidak disukainya berkumpulnya dua ya’ yang difathah.

Menjama’ Mu’annats Salimkan Isim Tsulatsi Yang Disukun Huruf Keduanya

Ketika kita ingin menjama’kan, dengan jama’ mu’annats salim, isim[12] tsulatsi yang difathah huruf pertamanya dan huruf keduanya disukun, yang shahih akhir dan dikosongkan dari idgham, maka diwajibkan untuk memfathah huruf keduanya untuk mengikuti pada huruf pertamanya, sehingga pada semisal (دَعْدٌ), (سَجْدَةٌ) dan (ظَبْيَةٌ) kita ucapkan (دَعَدَاتٌ), (سَجَدَاتٌ) dan (ظَبَيَاتٌ).

Ketika kita akan menjama’kan dengan jama’ mu’annats salim, isim tsulatsi yang didlammah huruf pertamanya atau dikasrah dan huruf keduanya disukun, yang shahih dan dikosongkan dari idgham, semisal (خُطْوَةٌ), (جُمْلٌ), (هِنْدٌ), (قِطْعَةٌ) dan (فِقْرَةٌ), maka diperbolehkan tiga wajah, yaitu :
1)    Mengikutkan huruf kedua kepada huruf pertamanya, seperti (خُطُوَاتٌ), (جُمُلاَتٌ), (هِنِدَاتٌ), (قِطِعاَتٌ) dan (فِقِرَاتٌ).
2)    Memfathah huruf kedua, seperti (خُطَوَاتٌ), (جُمَلاَتٌ), (هِنَدَاتٌ), (قِطَعاَتٌ) dan (فِقَرَاتٌ).
3)    Menetapkan huruf keduanya seperti pada keadaannya semula, seperti (خُطْوَاتٌ), (جُمْلاَتٌ), (هِنْدَاتٌ), (قِطْعاَتٌ) dan (فِقْرَاتٌ).
 
Adapun selain isim tsulatsi, seperti (زَيْنَبُ) dan (سُعاَدُ), atau isim sifat, seperti (ضَخْمَةٌ) dan (عَبْلَةٌ), atau isim tsulatsi yang difathah huruf keduanya, seperti (شَجَرَةٌ) dan (عِنَبَةٌ), atau isim tsulatsi yang huruf keduanya berupa huruf illat, seperti (جَوْزَةٌ), (بَيْضَةٌ) dan (سُورَةٌ), atau isim tsulatsi yang mengalami peng-idghaman, seperti (حِجَّةٌ) dan (مَرَّةٌ), maka kesemuanya tidak mengalami perubahan, akan tetapi diucapkan (زَيْنَبَاتٌ), (سُعاَدَاتٌ), (ضَخْماَتٌ), (عَبْلاَتٌ), (شَجَرَاتٌ), (عِنَباَتٌ), (جَوْزَاتٌ), (بَيْضَاتٌ), (سُورَاتٌ), (حِجَّاتٌ) dan (مَرَّاتٌ).

Namun Bani Hudzail telah mengharakati dengan fathah huruf keduanya isim tsulatsi, ketika huruf kedua berupa huruf illat, ketika dijama’kan dengan jama’ mu’annats salim, meskipun huruf sebelumnya diharakati dengan harakat apapun, sehingga mereka mengucapkan dalam jama’nya (سُورَةٌ), (صُورَةٌ), (دِيْمَةٌ) dan (بِيْعَةٌ) dengan (سُوَرَاتٌ), (صُوَرَاتٌ), (دِيَماَتٌ) dan (بِيَعاَتٌ).




[1] Tidak ada bedanya ketika lafal yang diakhiri dengan ta’ ta’nits itu adalah mu’annats, seperti (شَجَرَةٌ) dan (ثَمرَةٌ), atau mudzakar, seperti (حَمْزَةُ) dan (طَلْحَةُ) yang menjadi namanya lelaki.
[2] Oleh karenanya, pada semisal (حَائِضٌ), (حاَمِلٌ), (طاَلِقٌ), (صَبُورٌ), (جَرِيْحٌ) dan (ذُمُولٌ), yaitu dari sifat-sifat mu’annats, tidak boleh dijama’kan dengan jama’ mu’annats salim, karena syarat dijama’kannya sifat mu’annats dengan jama’ mu’annats salim adalah harus diakhiri dengan ta’ atau menunjukkan pada makna tafdlil, sedangkan sifat-sifat itu tidaklah seperti itu. Akan tetapi sifat-sifat itu dijama’kan menjadi (حَوَائِضُ), (حَوَامِلُ), (طَوَالِقُ), (صُبُرٌ), (جَرْحَى) dan (ذُمُلٌ).
[3] Sesungguhnya diperbolehkan untuk menjama’kannya karena mushagghar adalah sifat dari segi maknanya, dan sifatnya mudzakar yang tidak berakal maka dijama’kan dengan jama’ mu’annats salim, seperti yang telah kalian ketahui.
Adapun mushagghar mu’annats yang tidak berakal, maka tidak boleh dijama’kan dengan jama’ mu’annats salim, seperti (أُرَيْنِبٌ), (خُنَيْصِرٌ) dan (عُقَيْرِبٌ) tasghirannya (أُرْنُبٌ), (خِنْصِرٌ) dan (عَقْرَبٌ), karena mushaggar itu dari segi maknanya adalah sifat untuk mu’annats yang dikosongkan dari ta’ dan tidaklah menunjukkan pada makna tafdlil, seperti yang telah kalian lihat.
Para ulama’ telah menjelaskan bahwa mushagghar mu’annats yang tidak berakal tidak boleh dijama’kan dengan jama’ mu’annats salim, silahkan kalian lihat Hasyiyah Shobban, Hasyiyah Ibnu ‘Aqil karangan al-Khudlari, Jam’ul Jawami’ dan syarahnya yaitu Ham’ul Hawami’ karangan al Suyuthi dan al-Tashrih Syarah al Taudlih karangan Syeikh Kholid. Adapun semisal (أُذَيْنَةٌ) tasghirannya (أُذُنٌ), maka dijama’kan dengan (أُذَيْناَتٌ), karena adanya ta’ yang masuk ketika ditasghirkan, dan lafal yang diakhiri dengan ta’ ta’nits maka boleh dijama’kan dengan jama’ mu’annats salim secara mutlak, seperti yang telah kalian ketahui.
[4] Adapun menjama’kannya orang arab pada (خَضْرَاءُ) menjadi (خَضْرَاوَاتٌ), seperti dalam hadits (لَيْسَ فِي الْخَضْرَاوَاتِ صَدَقَةٌ), maka (خَضْرَاءُ) disitu bukanlah yang dimaksud dengan sifat hijau akan tetapi yang mereka inginkan adalah makna hijau, yaitu sayuran dan buah-buahan, sehingga lafal itu telah menjadi isim untuk sayur-sayuran itu, tidak lagi menjadi sifat.
[5] (اِبْنٌ) dan (ذُو) yang diidlafahkan kepada yang tidak berakal, maka kita jama’kan menjadi (بَناَتُ) dan (ذَوَاتُ). Adapun jika diidlafahkan kepada yang berakal, maka dijama’kan menjadi (بَنُونَ) atau (أَبْناَءُ) dan (ذَوُو). Sehingga pada jama’nya (اِبْنُ عَبَّاسٍ) dan (ذُو عِلْمٍ) dijama’kan menjadi (بَنُو عَبَّاسٍ) atau (أَبْناَءُ عَبَّاسٍ) dan (ذَوُوْ عِلْمٍ).
[6] Dengan merubah hamzah menjadi waw, karena hamzah itu ditambahkan untuk ta’nits.
[7] Dengan menetapkan hamzah pada keadaannya semula, karena hamzah itu adalah asli.
[8] Dengan menetapkan hamzah pada keadaannya semula atau me-rubahnya menjadi waw, karena hamzah pada (عِلْبَاءٌ) adalah ditambahkan untuk ilhaq, sedangkan hamzahnya (سَماَءٌ) adalah gantian dari waw, dan hamzah dalam (حَيَاءٌ) adalah gantian dari ya’.
[9] Alif mengalami perubahan menjadi ya’ karena alif berada diatas ketiga.
[10] Dengan merubah alif menjadi waw, karena alif berada ketiga dan alif itu gantian dari waw.
[11] Dengan merubah alif menjadi ya’, karena alif berada ketiga dan asalnya adalah ya’.
[12] Artinya lafal itu berupa isim tidak sifat, seperti (رَحْبَةٌ) dan (سَمْحَةٌ), maka semisal lafal sifat itu tidak boleh diharakati huruf kedua-nya untuk diikutkan kepada huruf pertamanya, akan tetapi di-tetapkan pada keadaannya semula, seperti yang nanti akan dijelaskan.

No comments:

Post a Comment