Sudah banyak orang tahu bahwa Sunan Kalijaga itu aslinya
bernama Raden Said.
Putra Adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta. Tumenggung
Wilatikta seringkali disebut Raden Sahur, walau dia termasuk keturunan
Ranggalawe yang beragama Hindu tapi Raden Sahur sendiri sudah masuk agama
Islam.
Sejak kecil Raden Said sudah diperkenalkan kepada agama Islam oleh
guru agama Kadipaten Tuban. Tetapi karena melihat keadaan sekitar atau
lingkungan yang kontradiksi dengan kehidupan rakyat jelata maka jiwa Raden Said
berontak. Gelora jiwa muda Raden said seakan meledak-ledak manakala melihat
praktek oknum pejabat Kadipaten Tuban di saat menarik pajak pada penduduk atau
rakyat jelata.
Rakyat yang pada waktu itu sudah sangat menderita dikarenakan
adanya musim kemarau panjang, semakin sengsara, mereka harus mem-bayar pajak
yang kadangkala tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Bahkan jauh dari
kemampuan mereka. Seringkali jatah mereka untuk persediaan menghadapi musim
panen berikutnya sudah disita para penarik pajak. Raden Said yang mengetahui
hal itu pernah mengajukan pertanyaan yang mengganjal di hatinya. Suatu hari dia
menghadap ayahandanya.
“Rama Adipati, rakyat tahun ini sudah semakin sengsara karena
panen banyak yang gagal,” kata Raden Said. “Mengapa pundak mereka masih harus
dibebani dengan pajak yang mencekik leher mereka. Apakah hati nurani Rama tidak
merasa kasihan atas penderitaan mereka?”
Adipati Wilatikta menatap tajam ke arah putranya. Sesaat kemudian
dia menghela nafas panjang dan kemudian mengeluarkan suara, “Said anakku .....
saat ini pemerintah pusat Majapahit sedang membutuhkan dana yang sangat besar
untuk melangsungkan roda pemerintahan. Aku ini hanyalah seorang bawahan sang
Prabu, apa dayaku menolak tugas yang dibebankan kepadaku. Bukan hanya Kadipaten
Tuban yang diwajibkan membayar upeti lebih banyak dari tahun-tahun yang lalu.
Kadipaten lainnya juga mendapat tugas serupa.”
“Tapi …… mengapa harus rakyat yang jadi korban.” Sahut Raden Said.
Tapi Raden Said tak meneruskan ucapannya.
Dilihatnya saat itu wajah ayahnya
berubah menjadi merah padam pertanda hatinya sedang tersinggung atau naik
pitam. Baru kali ini Raden Said membuat ayahnya marah. Hal yang selama hidup tak
pernah dilakukannya.
Raden Said tahu diri. Sambil bersungut-sungut dia merunduk dan
mengundurkan diri dari hadapan ayahnya yang sedang marah.
Ya, Raden Said tak perlu melanjutkan pertanyaan. Sebab dia sudah
dapat menjawabnya sendiri. Majapahit sedang membutuhkan dana besar karena
negeri itu sering menghadapi kekacauan, baik memadamkan pemberontakan maupun
terjadinya perang saudara.
Walau Raden Said putra seorang bangsawan dia lebih menyukai
kehidupan yang bebas, yang tidak terikat oleh adapt istiadat kebangsawanan. Dia
gemar bergaul dengan rakyat jelata atau dengan segala lapisan masyarakat, dari
yang paling bawah hingga yang paling atas. Justru karena pergaulannya yang
supel itulah dia banyak mengetahui seluk beluk kehidupan rakyat Tuban.
Niat
untuk mengurangi penderitaan rakyat sudah disampaikan kepada ayahnya. Tapi
agaknya ayahnya tak bisa berbuat banyak. Dia cukup memahaminya pula posisi ayahnya
sebagai adipati bawahan Majapahit. Tapi niat itu tak pernah padam.
Jika malam-malam sebelumnya dia sering berada di dalam kamarnya
sembari menguman-dangkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, maka sekarang dia keluar
rumah.
Di saat penjaga gudang Kadipaten tertidur lelap, Raden Said
mengambil sebagian hasil bumi yang ditarik dari rakyat untuk disetorkan ke
Majapahit. Bahan makan itu dibagi-bagikan kepada rakyat yang sangat
membutuhkannya.
Tentu saja rakyat yang tak tahu apa-apa itu menjadi kaget
bercampur girang menerima rezeki yang tak diduga-duga. Walau mereka tak pernah
tahu siapa gerangan yang memberikan rezeki itu, sebabnya Raden Said
melakukannya di malam hari secara sembunyi-sembunyi.
Bukan hanya rakyat yang terkejut atas rezeki yang seakan turun
dari langit itu. Penjaga gudang Kadipaten juga merasa kaget, hatinya
kebat-kebit, soalnya makin hari barangbarang yang hendak disetorkan ke pusat
kerajaan Majapahit itu makin berkurang.
Ia ingin mengetahui siapakah pencuri barang hasil bumi di dalam
gudang itu. Suatu malam ia sengaja sengaja mengintip dari kejauhan, dari balik
sebuah rumah, tak jauh dari gudang Kadipaten.
Dugaannya benar, ada seseorang membuka pintu gudang, hampir tak
berkedip penjaga gudang itu memperhatikan, pencuri itu. Dia hampir tak percaya,
pencuri itu adalah Raden Said, putra junjungannya sendiri.
Untuk melaporkannya sendiri kepada Adipati Wilatikta ia tak
berani. Khawatir dianggap membuat fitnah. Maka penjaga gudang itu hanya minta
dua orang saksi dari sang Adipati untuk memergoki pencuri yang mengambil hasil
bumi rakyat yang tersimpan di gudang.
Raden Said tak pernah menyangka bahwa malam itu perbuatannya bakal
ketahuan. Ketika ia hendak keluar dari gudang sambil membawa bahan-bahan
makanan, tiga orang prajurid Kadipaten menangkapnya beserta barang bukti yang
dibawanya. Raden Said dibawa kehadapan ayahnya.
“Sungguh memalukan sekali perbuatanmu itu!” hardik Adipati
Wilatikta. “Kurang apakah aku ini, benarkah aku tak menjamin kehidupanmu di
istana Kadipaten ini ?"
Apakah aku pernah melarangnya untuk makan sekenyang-kenyangnya di
Istana ini? Atau aku tidak pernah memberimu pakaian ? Mengapa kau lakukan
perbuatan tecela itu ?”
Raden Said tidak mengeluarkan suara. "Biarlah," bisik
hatinya. "Biarlah orang tak pernah tahu untuk apa barang-barang yang
tersimpan di gudang Kadipaten itu kuambil. Biarlah ayahku tak pernah tahu
kepada siapa barang-barang itu kuberikan."
Adipati Wilatikta semakin marah
melihat sikap anaknya itu. Raden Said tidak menjawabnya untuk apakah dia
mencuri barang-barang hasil bumi yang hendak disetorkan ke Majapahit itu.
Tapi untuk itu Raden Said harus mendapat hukuman, karena kejahatan
mencuri itu baru pertama kali dilakukannya maka dia hanya mendapat hukuman
cambuk dua ratus kali pada tangannya. Kemudian disekap selama beberapa hari,
tak boleh keluar rumah.
Jerakah Raden Said atas hukuman yang sudah diterimanya ? Sesudah
keluar dari hukuman dia benar-benar keluar dari lingkungan istana. Tak pernah
pulang sehingga membuat cemas ibu dan adiknya. Apa yang dilakukan Raden Said
selanjutnya?
Dia mengenakan topeng khusus, berpakaian serba hitam dan kemudian
merampok harta orang-orang kaya di kabupaten Tuban. Terutama orang kaya yang
pelit dan para pejabat Kadipaten yang curang. Harta hasil rampokan itupun
diberikannya kepada fakir miskin dan orang-orang yang menderita lainnya. Tapi
ketika perbuatannya ini mencapai titik jenuh ada saja orang yang bermaksud
mencelakakannya.
Ada seorang pemimpin perampok sejati yang mengetahui aksi Raden
Said menjarah harta pejabat kaya, kemudian pemimpin rampok itu mengenakan
pakaian serupa dengan pakaian Raden Said, bahkan juga mengenakan topeng seperti
topeng Raden Said juga.
Pada suatu malam, Raden Said yang baru saja menyelesaikan shalat
IsyĆ” mendengar jerit tangis para penduduk desa yang kampungnya sedang dijarah
perampok. Dia segera mendatangi tempat kejadian itu. Begitu mengetahui
kedatangan Raden Said, kawanan perampok itu segera berhamburan melarikan diri.
Tinggal pemimpin mereka yang sedang asyik memperkosa seorang gadis cantik.
Raden Said mendobrak pintu rumah si gadis yang sedang diperkosa. Di dalam
sebuah kamar dia melihat seseorang berpakaian seperti dirinya, juga mengenakan
topeng serupa sedang berusaha mengenakan pakaiannya kembali. Rupanya dia sudah
selesai memperkosa gadis itu.
Raden Said berusaha menangkap perampok itu. Namun pemimpin rampok
itu berhasil melarikan diri. Mendadak terdengar suara kentongan di pukul
bertalu-talu, penduduk dari kampung lain berdatangan ke tempat itu. Pada saat
itulah si gadis yang baru diperkosa perampok tadi meng-hamburkan diri dan
menangkap erat-erat tangan Raden Said. Raden Said pun jadi panik dan
kebingungan. Para pemuda dari kampung lain
menerobos masuk dengan senjata terhunus. Raden Said ditangkap dan dibawa ke
rumah kepala desa.
Kepala desa yang merasa penasaran mencoba membuka topeng di wajah
Raden Said. Begitu mengetahui siapa orang dibalik topeng itu sang kepala desa
jadi terbungkam. Sama sekali tak disangkanya bahwa perampok itu adalah putra
junjungannya sendiri yaitu Raden Said.
Gegerlah masyarakat pada saat itu. Raden
Said dianggap perampok dan pemerkosa. Si gadis yang diperkosa adalah bukti kuat
dan saksi hidup atas kejadian itu. Sang kepala desa masih berusaha menutup aib
junjungannya. Diam-diam ia membawa Raden Said ke istana Kadipaten Tuban tanpa
diketahui orang banyak. Tentu saja sang Adipati menjadi murka. Sang Adipati
yang selama ini selalu merasa sayang dan selalu membela anaknya kali ini juga
naik pitam. Raden Said diusir dari wilayah Kadipaten Tuban.
“Pergi dari Kadipaten Tuban ini ! kau telah mencoreng nama baik
keluargamu sendiri ! pergi ! jangan kembali sebelum kau dapat menggetarkan
dinding-dinding istana Kadipaten Tuban ini dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang
sering kau baca di malam hari !”
Sang
Adipati Wilatikta juga sangat terpukul atas kejadian itu. Raden Said yang
diharapkan dapat menggantikan kedudukannya selaku Adipati Tuban ternyata telah
menutup kemungkinan ke arah itu. Sirna sudah segala harapan sang adipati. Hanya
ada satu orang yang tak dapat mempercayai perbuatan Raden Said, yaitu Dewi
Rasawulan, adik Raden said. Raden Said itu berjiwa bersih luhur dan sangat
tidak mungkin melakukan perbuatan keji. Hati siapa yang takkan hancur mengalami
peristiwa seperti ini.
No comments:
Post a Comment