Kemanakah Raden Said sesudah diusir dari Kadipaten Tuban ?
Ternyata ia mengembara tanpa tujuan pasti. Pada akhirnya dia menetap di hutan
Jatiwangi. Selama bertahun-tahun dia menjadi perampok budiman. Mengapa disebut
perampok budiman ?
Karena hasil rampokannya itu tak pernah dimakannya. Seperti dulu,
selalu diberikan kepada fakir miskin. Yang dirampoknya hanya para hartawan atau
orang kaya yang kikir, tidak menyantuni rakyat jelata, dan tidak mau mem-bayar
zakat. Di hutan Jatiwangi dia membuang nama aslinya. Orang menyebutnya sebagai
Brandal Lokajaya.
Pada suatu hari, ada seorang berjubah putih lewat di hutan
Jatiwangi. Dari jauh Brandal Lokajaya sudah mengincarnya. Orang itu membawa
sebatang tongkat yang gagangnya berkilauan.
“Pasti gagang tongkat itu terbuat dari emas,” bisik Brandal
Lokajaya dalam hati. Terus diawasinya orang tua berjubah putih itu.
Setelah
dekat dia hadang langkahnya sembari berkata, “Orang tua, apa kau pakai tongkat?
Tampaknya kau tidak buta, sepasang matamu masih awas dan kau juga masih
kelihatan tegar, kuat berjalan tanpa tongkat!”
Lelaki berjubah putih itu tersenyum, wajahnya ramah, dengan suara
lembut dia berkata, “Anak muda ………. Perjalanan hidup manusia itu tidak menentu,
kadang berada di tempat terang, kadang berada di tempat gelap, dengan tongkat
ini aku tidak akan tersesat bila berjalan dalam kegelapan.”
“Tapi
.......... saat ini hari masih siang, tanpa tongkat saya kira kau tidak akan
tersesat berjalan di hutan ini.” Sahut Raden Said. Kembali lelaki berjubah
putih itu tersenyum arif, “anak muda ………. Perjalanan hidup manusia itu tidak
menentu, kadang berada di tempat terang, kadang berada di tempat gelap, dengan
tongkat ini aku tidak akan tersesat bila berjalan dalam kegelapan.”
“Tetapi .......... saat ini hari masih siang, tanpa tongkat saya
kira kau tidak akan tersesat berjalan di hutan ini.” Sahut Radeb Said.
Kembali
lelaki berjubah putih itu tersenyum arif, “Anak muda tongkat adalah pegangan,
orang hidup haruslah mempunyai pegangan supaya tidak tersesat dalam menempuh
perjalanan hidupnya.”
Agaknya
jawaban yang mengandung filosofi itu tak menggugah hati Raden Said. Dia mendengar
dan mengakui kebenarannya tapi perhatiannya terlanjur tertumpah kepada gagang
tongkat lelaki berjubah putih itu. Tanpa banyak bicara lagi direbutnya tongkat
itu dari tangan lelaki berjubah putih. Karena tongkat itu dicabut dengan paksa
maka orang berjubah putih itu jatuh ter-sungkur.
Dengan susah payah orang itu bangun, sepasang matanya mengeluarkan
air walau tak ada suara tangis dari mulutnya. Raden Said pada saat itu sedang
mengamat-amati gagang tongkat yang dipegangnya. Ternyata tongkat itu bukan
terbuat dari emas, hanya gagangnya saja terbuat dari kuningan sehingga
berkilauan tertimpa cahaya matahari, seperti emas. Raden Said heran melihat
orang itu menangis.
Segera diulurkannya kembali tongkat itu, “Jangan menangis,
ini tongkatmu kukembalikan.”
“Bukan tongkat ini yang kutangisi,” Ujar lelaki itu sembari memperlihatkan beberapa batang rumput di telapak tangannya. “Lihatlah !
Aku telah berbuat dosa, berbuat kesia-siaan. Rumput ini tercabut ketika aku aku
jatuh tersungkur tadi.”
“Hanya beberapa lembar rumput. Kau merasa berdosa?” Tanya Raden
Said heran.
“Ya, memang berdosa ! Karena kau mencabut-nya tanpa suatu
keperluan. Andaikata guna makanan ternak itu tidak mengapa. Tapi untuk suatu
kesia-siaan benar-benar suatu dosa !” Jawab
lelaki itu.
Hati Raden Said agak tergetar atas jawaban yang mengandung nilai
iman itu.
“Anak muda sesungguhnya apa yang kau cari di hutan ini ?”
“Saya mengintai harta ?”
“Untuk apa ?”
“Saya berikan kepada fakir miskin dan penduduk yang menderita.”
“Hemm, sungguh mulia hatimu, sayang ...... caramu mendapatkannya
yang keliru.”
“Orang tua .......... apa maksudmu ?”
“Boleh aku bertanya anak muda ?”
“Silahkan .......... “
“Jika kau mencuci pakaianmu yang kotor dengan air kencing, apakah
tindakanmu itu benar?”
“Sungguh perbuatan bodoh,” sahut Raden Said. “Hanya manambah kotor
dan bau pakaian itu saja.”
Lelaki itu tersenyum, “Demikian pula amal yang kau lakukan. Kau
bersedekah dengan barang yang di dapat secara haram, merampok atau mencuri, itu
sama halnya mencuci pakaian dengan air kencing.”
Raden Said tercekat.
Lelaki itu melanjutkan ucapannya, “Allah itu adalah zat yang baik,
hanya menerima amal dari barang yang baik atau halal.”
Raden Said makin
tercengang mendengar keterangan itu. Rasa malu mulai menghujam tubuh hatinya.
Betapa keliru perbuatannya selama ini. Di pandangnya sekali lagi wajah lelaki
berjubah putih itu. Agung dan berwibawa namun mencerminkan pribadi yang welas
asih. Dia mulai suka dan tertarik pada lelaki berjubah putih itu.
“Banyak hal yang terkait dalam usaha mengentas kemiskinan dan
penderitaan rakyat pada saat ini. Kau tidak bisa merubahnya hanya dengan
memberi para penduduk miskin bantuan makan dan uang. Kau harus memperingatkan
para penguasa yang zalim agar mau merubah caranya memerintah yang
sewenang-wenang, kau juga harus dapat membimbing rakyat agar dapat meningkatkan
taraf kehidupannya !”
Raden Said semakin terpana, ucapan seperti itulah yang
didambakannya selama ini.
“Kalau kau tak mau kerja keras, dan hanya ingin beramal dengan
cara yang mudah maka ambillah itu. Itu barang halal. Ambillah sesukamu!”
Berkata demikian lelaki itu menunjuk pada sebatang pohon aren.
Seketika pohon itu berubah menjadi emas seluruhnya. Sepasang mata Raden Said
terbelalak. Dia adalah seorang pemuda sakti, banyak ragam pengalaman yang telah
dikecapnya. Berbagai ilmu yang aneh-aneh telah dipelajarinya.
Dia mengira orang
itu mempergunakan ilmu sihir, kalau benar orang itu mengeluarkan ilmu sihir ia
pasti dapat mengatasinya. Tapi, setelah ia mengerahkan ilmunya, pohon aren itu tetap berubah
menjadi emas. Berarti orang itu tidak mempergunakan sihir.
Raden Said terpukau di tempatnya berdiri. Dia mencoba memanjat
pohon aren itu. Benar-benar berubah menjadi emas seluruhnya. Ia ingin mengambil
buah aren yang telah berubah menjadi emas berkilauan itu. Mendadak buah aren
itu rontok, berjatuhan mengenai kepala Raden Said. Pemuda itu terjerembab ke
tanah. Roboh dan pingsan.
Ketika ia sadar, buah aren yang rontok itu telah berubah lagi
menjadi hijau seperti aren-aren lainnya. Raden Said bangkit berdiri, mencari
orang berjubah putih tadi. Tapi yang dicarinya sudah tak ada di tempat.
“Pasti dia seorang sakti yang berilmu tinggi. Menilik caranya
berpakaian tentulah dari golongan para ulama atau mungkin salah seorang dari
Waliullah, aku harus menyusulnya, aku akan berguru kepadanya,” demikian pikir
Raden Said.
Raden Said mengejar orang itu. Segenap kemampuan dikerahkannya untuk berlari cepat, akhirnya dia dapat melihat bayangan
orang itu dari kejauhan. Seperti santai saja orang itu melangkah-kan kakinya,
tapi Raden Said tak pernah bisa menyusulnya. Jatuh bangun, terseok-seok dan
berlari lagi, demikianlah, setelah tenaganya terkuras habis dia baru sampai di
belakang lelaki berjubah putih itu.
Lelaki berjubah putih itu berhenti, bukan karena kehadiran Raden
Said melainkan di depan-nya terbentang sungai yang cukup lebar. Tak ada
jembatan, dan sungai itu tampaknya dalam, dengan apa dia harus menyeberang.
“Tunggu .......... “ Ucap Raden Said ketika melihat orang tua itu
hendak melangkahkan kakinya lagi.
“Sudilah Tuan menerima saya sebagai murid ...... “ Pintanya.
“Menjadi muridku ?” Tanya orang itu sembari menoleh. “Mau belajar
apa ?”
“Apa saja, asal Tuan menerima saya sebagai murid …… “
“Berat, berat sekali anak muda, bersediakah kau menerima
syarat-syaratnya ?”
“Saya bersedia …… “
Lelaki itu kemudian menancapkan tongkatnya di tepi sungai. Raden
Said diperintahkan menungguinya. Tak boleh beranjak dari tempat itu sebelum
lelaki itu kembali menemuinya.
Raden Said bersedia menerima syarat ujian itu.
Selanjutnya lelaki itu menyeberangi sungai. Sepasang mata Raden
Said terbelalak heran, lelaki itu berjalan di atas air bagaikan berjalan
didaratan saja. Kakinya tidak basah terkena air.
Setelah lelaki itu hilang dari pandangan Raden Said, pemuda itu
duduk bersila, dia berdo’a kepada Tuhan supaya ditidurkan seperti para pemuda
di goa Kahfi ratusan tahun silam. Do’anya dikabulkan. Raden Said tertidur dalam
samadinya selama tiga tahun. Akar dan rerumputan telah membalut dan hampir
menutupi sebagian besar anggota tubuhnya.
Setelah tiga tahun lelaki berjubah putih itu datang menemui Raden
Said. Tapi Raden Said tak bisa dibangunkan. Barulah setelah mengumandangkan
adzan, pemuda itu membuka sepasang matanya. Tubuh Raden Said dibersihkan,
diberi pakaian baru yang bersih. Kemudian dibawa ke Tuban. Mengapa ke Tuban ?
Karena lelaki berjubah putih itu adalah Sunan Bonang. Raden Said kemudian
diberi pelajaran agama sesuai dengan tingkatnya, yaitu tingkat para Waliullah.
Di kemudian hari Raden Said terkenal sebagai Sunan Kalijaga. Kalijaga
artinya orang yang menjaga sungai.
Raden Said kemudian disuruh menunggui tongkat atau agama di tepi
sungai. Itu artinya Raden Said diperintah untuk terjun ke dalam kancah
masyarakat Jawa yang banyak mempunyai aliran kepercayaan dan masih berpegang
pada agama lama yaitu Hindu dan Budha.
Sunan Bonang mampu berjalan di atas air sungai tanpa ambles ke
dalam sungai. Bahkan sedikitpun ia tidak terkena percikan air sungai. Itu
artinya Sunan Bonang dapat bergaul dengan dengan masyarakat yang berbeda agama
tanpa kehilangan identitas agama yang dianut oleh Sunan Bonang sendiri yaitu
Islam.
Raden Said sewaktu bertapa ditepi tubuhnya tidak sampai hanyut ke
aliran sungai, hanya daun, akar dan rerumputan yang menutupi sebagian besar
anggota tubuhnya. Itu artinya Raden Said bergaul dengan masyarakat Jawa, adat
istiadat masyarakat di pakai sebagai alat dakwah, dan diarahkan kepada ajaran
Islam yang bersih, namun usaha itu tampaknya sedikit mengotori tubuh Raden Said
dan setelah tiga tahun Sunan Bonang membersihkannya dengan ajaran-ajaran Islam
tingkat tinggi sehingga Raden Said masuk kegolongan para Wali. Dan pengetahuan
agamanya benar-benar telah cukup untuk diper-gunakan menyebarkan agama Islam.
Demikian sehingga tafsiran dari kisah legenda pertemuan Raden Said
dengan Sunan Bonang.
No comments:
Post a Comment