Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan
para Nabi dan wali telah ditetapkan oleh al-Kitab, al-Sunnah dan Ijma’. Allah
ta’ala berfirman dalam al-Qur’an,
وَ
مَا اَرْسَلْنَاكَ اِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ
Artinya : “Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melain-kan
untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.”
Al-Allamah Sayyid Mahmud al-Alusy al-Baghdadi
rahmatullah ‘alaih dalam Ruh al-Ma’ani berkata, “Dan adanya
beliau SAW sebagai rahmat bagi seluruh alam adalah dengan menghitung beliau
sebagai jembatan anugerah ilahi kepada semua makhluk sesuai dengan
kabilah-kabilahnya. Dikarenakan nur beliau adalah makhluk pertama yang
diciptakan. Dalam sebuah hadits,
اَوَّلُ
مَا خَلَقَ اللهُ تعالى نُورُ نَبِيِّكَ يَا جَابِرُ وَ جَاءَ اللهُ المُعْطِي وَ
اَنَا الْقَاسِمُ
Artinya : “Perkara pertama yang diciptakan Allah ta’ala
adalah nur Nabimu, hei Jabir. Allah adalah Dzat yang memberi dan aku adalah
yang membagi.”
Kemudian al-Allamah berkata dan yang
dia pilih, “Sesungguhnya beliau SAW diutus sebagai rahmat bagi semua makhluk
diseluruh alam, malaikat, manusia dan jin. Dan tidak ada bedanya antara yang
beriman dan yang kafir dari manusia dan jin. Rahmat tersebut berbeda-beda.
Allah ta’ala berfirman,
وَ
لاَ تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلْ فِي سَبِيْلِ اللهِ اَمْواَتٌ بَلْ اَحْيَاءٌ وَ
لَكِنْ لاَ تَشْعُرُونَ
Artinya : “Dan janganlah kamu mengtakan terhadap
orang-orang yang gugur dijalan Allah, (bahwa mereka itu) mati, bahkan
(sebenarnya) mereka itu hidup tetapi kamu tidak menyadarinya.”
وَ
لاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ قُتِلُوا فِي سَبِيْلِ اللهِ اَمْوَاتاً بَلْ
اَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ فَرِحِيْنَ بِماَ آتَيْهُمُ اللهُ مِنْ
فَضْلِهِ وَ يَسْتَبْشِرُونَ بِالَّذِيْنَ لَمْ يَلْحَقُوا بِهِمْ مِنْ خَلْفِهِمْ
اَلاَّ خَوفٌ عَلَيْهِمْ وَ لاَ هُمْ يَحْزَنُونَ
Artinya : “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang
gugur dijalan Allah itu mati, bahkan mereka hidup disisi Tuhannya dengan men-dapat
rejeki. Mereka bergembira disebabkan karunia Allah yang diberikan kepada mereka
dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih ditinggal dibelakang
yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak pula mereka bersedih hati.”
Al-Bukhari dan al-Baihaqi telah meriwayatkan
dari Aisyah, dia berkata, “Disaat Nabi SAW sakit yang beliau meninggal pada
sakit itu, beliau bersabda,
لَمْ
اَزَلْ اَجِدُ اَلَمَ الطَّعَامِ الَّذِي اَكَلْتُ بِخَيْبَرَ فَهَذاَ اَوَانُ
اِنْقَطَعَ اَبْهَرِيْ مِنْ ذَلِكَ السُّمِّ
Artinya : “Tidak henti-hentinya aku merasakan sakitnya
makanan yang telah aku makan dihari Khaibar, maka sekarang adalah masanya
aortaku ter-putus dari racun itu.” Seperti yang telah dijelaskan dalam Anba’ al-Adzkiya’.
Dalam al-Zarqani (karangan
Muhammad bin Abdul Baqi al-Zarqani al-Maliki) dijelaskan, telah tetap bahwa
Nabi SAW meninggal dalam keadaan syahid karena memakannya beliau dihari Khaibar
pada kambing yang dibubuhi dengan racun yang mematikan, hingga karenanya Bisyr
bin al-Barra’ bin Ma’rur meninggal, dan masih tetap hidupnya beliau adalah
sebagai suatu mu’jizat, sehingga sebab racun itu beliau terkadang merasakan
sakitnya hingga beliau SAW meninggal.
Ahmad, Abu Ya’la, al-Thabrani, al-Hakim
dalam al-Mustadrak dan al-Baihaqi
dalam Dalail al-Nubuwwah telah meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, dia
berkata, “Seandainya aku bersumpah sembilan kali bahwa Rasulullah telah
terbunuh, maka itu lebih aku sukai dibandingkan aku bersumpah sekali bahwa
beliau tidak terbunuh. Demikian itu karena Allah telah menjadikan beliau
sebagai Nabi dan menjadikan beliau sebagai orang syahid.” Seperti yang telah
dijelaskan dalam al-Anba’ al-Adzkiya’.
Al-Tirmidzi, al-Hakim, Ibnu
Mardaweh, Ibnu Nashr dan al-Baihaqi dalam al-Dalail telah meriwayatkan
dari Ibnu Abbas ra, sesungguhnya sebagian sahabat mendiri-kan tendanya di atas
sebuah makam yang dia tidak tahu kalau itu adalah makam, dan ternyata itu
adalah sebuah makam seseorang yang sedang membaca surat al-Mulk hingga selesai.
Lalu dia menceritakan kejadian itu kepada Rasulullah SAW, kemudian beliau
bersabda,
هِيَ
الْمَانِعَةُ هِيَ الْمُنْجِيَّةُ تُنْجِيْهِ مِنْ عَذَابِ النَّارِ
Artinya : “Dia (surat al-Mulk) adalah ayat yang mencegah.
Dia adalah penyelamat yang menyelamatkan orang itu dari adzab neraka.”
Apakah masih ada orang yang ragu mengenai
masih hidupnya orang yang membaca al-Qur’an yang menyembah kepada Allah ta’ala
dengan suara keras, karena derajat untuk memperdengarkan orang, sedangkan
diantara dia terdapat penghalang yang sangat besar, yaitu tanah dan bebatuan?
Dalam Wafa’ al-Wafa’ karangan
al-Allamah al-Samhudi
dijelaskan, “Tidak diragukan akan masih hidupnya beliau setelah beliau
meninggal, begitu juga para Nabi yang lain masih hidup didalam kubunya dengan
hidup yang lebih sempurna dari hidupnya para syuhada’ yang telah diberitakan
oleh Allah ta’ala dalam kitab-Nya, dan Nabi kita SAW adalah penghulunya para
syuhada’ dan amal mereka berada didalam timbangan beliau. Beliau SAW telah
bersabda,
عِلْمِي بَعْدَ
وَفَاتِي كَعِلْمِي فِي حَيَاتِي
Artinya : “Tahuku setelah aku meninggal adalah seperti
tahuku disaat aku masih hidup.”
Dalam Tafsir al-Mudzhiri
dijelaskan, namun kehidupan para Nabi lebih kuat dari mereka (: para syuhada’)
dan lebih terlihat pengaruhnya diluar, sampai tidak diperbolehkan untuk
menikahi istri-istri Nabi SAW setelah beliau meninggal, berbeda dengan para
syuhada’. Dan al-Shiddiqiin lebih tinggi derajatnya dari para syuhada’ dan
orang-orang sholeh, artinya para wali, disamakan dengan mereka seperti yang
telah ditunjukan oleh urutan ayat,
مِنَ
النَّبِيِّيْنَ وَ الصَّدَّيْقِيْنَ وَ الشُّهَدَاءِ وَ الصَّلِحِيْنَ
Artinya : “… yaitu para nabi, para shiddiqiin,
orang-orang yang mati syahid dan orang-orang sholeh.”
Rasulullah SAW bersabda,
اَلْأَنْبِيَاءُ
اَحْيَاءٌ فِي قُبُورِهِمْ يُصَلُّونَ
Artinya : “Para nabi masih hidup didalam kuburnya. Mereka
shalat..”
Dari Abu Darda’, Rasulullah SAW
bersabda,
اَكْثِرُوا
الصَّلاَةَ عَلَيَّ يَومَ الْجُمْعَةِ فَإِنَّهُ يَومٌ مَشْهُودٌ تَشْهَدُهُ
الْمَلاَئِكَةُ وَ اِنْ اَحَداً لَنْ يُصَلِّيَ عَلَيَّ اِلاَّ عُرِضَتْ عَلَيَّ
صَلاَتُهُ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْهاَ
Artinya : “Perbanyaklah kalian bersholawat kepadaku
dihari jum’at, karena hari itu adalah hari yang disaksikan oleh para malaikat.
Dan tidaklah seseorang membacakan sholawat kepadaku kecuali akan dilaporkan
sholawatnya kepadaku hingga dia selesai darinya.”
Abu Darda’ berkata, “Aku bertanya,
meskipun setelah engkau meninggal?” beliau menjawab,
وَ بَعْدَ
الْمَوتِ اِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَى الْأَرْضِ اَنْ تَأْكُلَ اَجْسَادَ
اللأأَنْبِيَاءِ فَنَبِيُّ اللهِ حَيٌّ يُرْزَقُ
Artinya : “Dan setelah aku meninggal, karena Allah telah
mengharamkan bumi dari memakan jasad para Nabi, maka Nabi Allah masih hidup dan
diberi rejeki.” (HR. Ibnu Maajah).
Sa’id bin Musayyab ra berkata, “Aku
telah melihat diriku sendiri dimalam-malam yang panas dan tidaklah ada
seseorang dimasjid Rasulullah melainkan aku, dan tidaklah datang waktu shalat
kecuali aku mendengar adzan dari dalam makam.” Seperti yang telah dijelaskan
dalam Dalail al-Nubuwwah karangan al-Allamah Abu Na’im.
Dalam al-Zarqani ‘Ala al-Mawahib
dan al-Fatawa al-Ramliyyah dijelaskan, para Nabi, syuhada’ dan ulama’
tidak akan hancur jasadnya. Para Nabi dan syuhada’ makan didalam kuburnya,
minum, shalat, puasa dan haji.”
Syah Waliyullah dalam Fuyudl al-Haramain
berkata, “Sesungguhnya para nabi tidaklah meninggal. Mereka shalat dan berhaji
didalam kuburnya. Dan sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang masih hidup.”
Dalam Tafsir al-Mudzhiri
dijelaskan sesungguhnya Allah ta’ala memberikan kepara ruh mereka (para Nabi)
kekuatan jasad, sehingga mereka bisa pergi dari bumi, langit dan surga sesuka
hati mereka. Dan mereka menolong para kekasih mereka serta menghancurkan
musuh-musuh mereka. Insya Allah.
Dalam al-Hawi Lil Fatawa
menuqil dari Ustadz Abu Manshur Abdul Qahir bin Thahir al-Baghdadi al-Faqih al-Ushuli,
gurunya mazhab Syafi’i, dia berkata, “Al-Muhaqqiqin dari ashab kita
berkata, “Sesungguhnya Nabi kita SAW masih hidup setelah kematiannya. Beliau
akan menjadi bahagia dengan ketaatan umatnya dan sedih dengan kemaksiatan
mereka. Dan sholawatnya orang yang bersholawat dari umatnya akan bisa sampai
kepada beliau.”
Dalam Ruh al-Ma’ani
diterangkan, Imamul Auliya’ Juned al-Baghdadi berkata, “Orang yang hidupnya
dengan dirinya sendiri maka matinya adalah dengan perginya ruh dia dan orang
yang hidupnya dengan Tuhannya maka dia akan berpindah dari kehidupan copian
kekehidupan asli, yaitu kehidupan yang hakiki. Ketika orang yang dibunuh dengan
pedang syariat masih hidup dan diberi rejeki lalu bagaimana dengan orang yang
dibunuh dengan pedang shiddiq dan haqiqah.”
Dalam al-Mirqah diterangkan,
tidak ada bedanya bagi mereka didua keadaan itu. Oleh karenanya, dikatakan:
“Para wali Allah tidaklah meninggal tetapi mereka berpindah dari satu tempat
ketempat lainnya.”
Dalam Irsyad al-Sary Syarah
Shahih al-Bukhari dijelaskan, sebagian orang dari kelompok Mu’tazilah dan
Rawafidl ada yang mengingkari siksa kubur dengan ber-hujjah bahwa mayit adalah jamad
(: benda tak bernyawa) tidak ada kehidupan padanya dan tidak bisa merasa.
Al-Allamah al-Taftazani dalam Syarah
al-Maqashid berkata, “Oleh karenanya, (para wali punya karomah dan
tasharruf serta ruh mereka masih tetap ada meskipun mereka sudah meninggal), maka
menziarahi makam orang baik dan beristighatsah dengan orang terpilih adalah
bisa berguna.”
Imam Abu Umar bin Abdul Barr dalam
kitab al-Istidzkar wal
Tamhid menuturkan, dari Abdullah bin Abbas, dia berkata, “Rasulullah SAW
bersabda,
مَا
مِنْ اَحَدٍ يَمُرُّ بِقَبْرِ اَخِيْهِ الْمُؤْمِنِ كَانَ يَعْرِفُهُ فِي
الدُّنْياَ فَيُسَلِّمُ عَلَيْهِ وَ رَدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمَ
Artinya : “Tidaklah dari seseorang yang melewati makam
saudaranya yang mukmin yang dia mengenalnya di dunia kemudian dia bersalam
kepadanya, maka saudaranya itu akan menjawab salamnya.”
Imam al-Suyuthi telah menyebutkan
dalam Syarah al-Shudur, al-Fadlil al-Zarqani dalam Syarah al-Mawahib, Syeikh al-Muhaqqiq
dalam Jami’ al-Barakaat,
Jadzb al-Qulub Ibnu Abu Dunia, al-Baihaqi, al-Shabuni, Ibnu ‘Asakir,
Khathib al-Baghdadi dan para muhaddits lainnya dari Abu Hurairah, Rasulullah
SAW bersabda,
اِذاَ
مَرَّ رَجُلٌ بِقَبْرٍ يَعْرِفُهُ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ وَ عَرَفَهُ وَ اِذاَ مَرَّ
بِقَبْرٍ لاَ يَعْرِفُهُ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ وَ رَدَّ عَلضيْهِ السَّلاَمَ
Artinya : “Ketika seseorang melewati sebuah makam yang
dia kenal lalu dia bersalam kepadanya, maka dia (penghuni makam) akan mengenali
dia. Dan ketika orang itu melewati makam yang tidak dia kenal lalu dia bersalam
kepadanya maka dia (penghuni makam) akan menjawab salamnya.”
Imam al-Thabrani dengan sanadnya
yang shahih berkata, “Dari Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah SAW bersabda,
يَسْمَعُونَ
كَماَ تَسْمَعُونَ وَ لَكِنْ لاَ يُجِيْبُونَ
Artinya : “Mereka (: orang-orang yang beliau seru) bisa
mendengar seperti halnya kalian, namun mereka tidak bisa menjawab.”
Dalam Syarah Al Shudur
dijelaskan, Imam al-Yafi’i rahmatullah ‘alaih berkata, “Sudah masyhur
bahwa sebagian orang sholeh telah mendengar al-Faqih al-Kabir al-Wali al-Syahid
Ahmad bin Musa bin ‘Ujail membaca surat al-Nur didalam makamnya.”
No comments:
Post a Comment