Ketahuilah, sesungguhnya
beristighatsah atau me-minta tolong dengan orang-orang yang dicintai Allah,
seperti para Nabi, wali dan orang-orang sholeh, adalah diperbolehkan, baik
disaat mereka masih hidup atau sudah meninggal. Al-Allamah Ibnu Hajar dalam al-Jauhar al-Mundzim berkata, “Tidak
ada bedanya antara bertawassul dengan menggunakan lafal tawassul atau tasyaffu’
atau istighatsah atau tawajjuh, karena tawajjuh dari kata jaah
yang berarti tinggi kedudukannya. Terkadang bertawassul adalah dengan orang
yang mempunyai kedudukan kepada orang yang memiliki kedudukan lebih tinggi.
Istighatsah artinya adalah meminta
pertolongan. Orang yang beristighatsah meminta kepada mustaghats bih
atau yang dimintai tolong untuk memberikan pertolongan kepada dia dari yang
lainnya. Jika mustaghats bih derajatnya lebih tinggi dari orang yang
beristighatsah, maka dinamakan tawajjuh. Dan beristighatsah dengan Nabi
Saw dan dengan yang lainnya tidaklah ada makna dalam hati orang-orang Islam
kecuali meminta pertolongan yang hakiki adalah dari Allah ta’ala dan yang
majazi adalah dengan tasabbubul ‘ady atau sebagai sebab-perantara
dari selain Dia. Tidak seorang pun orang Islam punya niat pada selain itu.
Jadi, orang yang tidak menjadi lapang hatinya untuk itu, maka tangisilah
dirinya sendiri. Nas’alullahal ‘aafiyyah.
Mustaghats bih sebenarnya adalah Allah ta’ala,
sedangkan Nabi SAW hanyalah sebagai perantara antara Dia dan orang yang meminta
tolong (: mustaghits). Jadi, Dia adalah Dzat yang dimintai tolong yang
hakiki dan pertolongan dari Dia adalah dengan menciptakan dan mewujudkan,
sedangkan Nabi SAW adalah orang yang dimintai tolong yang majazi dan
pertolongan dari beliau adalah dengan kasbu dan tasabbubul ‘ady
dengan memandang tawajjuh dan tasyaffu’ beliau disisi Allah, karena tingginya tempat beliau
dan kedudukan beliau. Jadi, beliau sesuai dengan batas fiman-Nya,
وَ
مَا رضمَيْتَ اِذْ رَمَيْتَ وَ لَكِنَّ اللهَ رَمَى
Artinya : “Dan bukan kamu yang melempar disaat kamu
melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.”
Artinya, tidaklah kamu menciptakan
dan mewujud-kan melempar, namun hanyalah sebagai sebab tetapi Allah-lah yang
menciptakan dan mewujudkan melempar. Begitu juga firman-Nya,
فَلَمْ
تَقْتُلُزهُمْ وَ لَكِنَّ اللهَ قَتَلَهُمْ
Artinya : “Maka tidaklah kalian membunuh mereka tetapi
Allah-lah yang membunuh mereka.”
Dan sabda beliau,
مَا
اَناَ حَمَلْتُكُمْ وَ لَكِنَّ اللهَ حَمَلَكُمْ
Artinya : “Dan tidaklah aku memboncengkan kamu, tetapi
Allah-lah yang memboncengkan kamu.”
Syeikh Abdul Haq rahmatullah
‘alaih berkata dalam Isy’ah al-Lama’at, “Orang yang dimintai tolong
disaat dia masih hidup, maka dia bisa dimintai tolong disaat dia sudah
meninggal.” Al-Syafi’i rahmatullah ‘alaih berkata, “Makam Musa al-Kadzim
adalah sebagai penangkal yang mujarrab.”
1.
Pendapat Mazhab Hanafi
Dalam kitab al-Bariqah (:
karangan Muhammad bin Mustafa al-Khadimi) syarah kitab Thariqah al-Muhammadiyyah
dijelaskan, diperbolehkan ber-tawasul dan beristighatsah dengan para Nabi dan
orang-orang sholeh setelah kematian mereka, karena mu’jizat dan karomah tidak
akan terputus sebab meninggal.
Dalam Quthb al-Irsyad
diterangkan, Sayyidi Ahmad bin Zaruq –orang yang mensyarahi al-Hikam dan
salah seorang pembesar fuqaha’ dan ulama’ sufi dari daerah Maghrib- berkata,
“Suatu hari Syeikh Abu al-Abbas al-Hadlrami
berkata, “Apakah pertolongan orang yang masih hidup lebih kuat ataukah
pertolongan orang yang sudah meninggal?” Aku menjawab, “Mereka berkata kalau
pertolongan orang yang masih hidup lebih kuat, namun aku berkata bahwa
pertoloongan orang yang sudah meninggal lebih kuat.” Dia berkata, “Karena dia (: orang yang sudah meninggal) berada dalam
tikar kebenaran.”
Sayyid Jamal al-Makki al-Hanafi
berkata dalam al-Fatawa,
“Aku ditanya tentang orang yang berkata disaat kesusahan, “Ya Rasulullah,” atau
“Ya Ali,” atau “Ya Syeikh Abdul Qadir,” misalnya, apakah perkataan seperti itu
diperbolehkan oleh syara’ ataukah tidak?” lalu aku menjawab, “Memang benar
beristighatsah dengan para wali, menyeru mereka dan bertawasul dengan mereka
adalah suatu perkara yang disyara’kan dan disukai yang tidak akan
mengingkarinya kecuali orang yang sombong atau keras kepala, dan dia telah
dihalangi dari berkahnya para wali yang mulia.”
Al-Allamah al-Ramli al-Hanafi dalam al-Fatawi al-Khairiyyah berkata, “Ucapan
mereka, “Ya Syeikh Abdul Qadir,” adalah nida’ atau seruan, lalu apa yang
meng-haruskan keharamannya.”
Syeikh Abdul Haq berkata,
“Sesungguhnya aku telah memperpanjang kalam dalam pembahasan ini untuk
menundukkan orang yang ingkar, karena telah terjadi dizaman kita sekelompok
kecil orang yang mengingkari pertolongan dari para wali dan mereka mengatakan
apa yang telah mereka katakan, dan tidak ada pada mereka dari semua itu ilmu
melainkan mereka adalah orang-orang yang berdusta. Al-Imam Abu Hanifah rahmatullah
‘alaih telah berkata ketika mendatangi makam Nabi SAW yang mulia,
Wahai
makhluk yang paling mulianya manusia dan jin, wahai gudangnya para makhluk //
berbaik hatilah kepadaku dengan kebaikanmu dan ridloilah aku dengan keridloanmu
// aku adalah orang yang mengharap kebaikan hatimu // tidaklah ada bagi Abu
Hanifah pada manusia selain kamu.
Dan juga telah datang bentuk nida’
atau seruan dalam tasyahhud yang dibaca oleh orang-orang disetiap shalat, yaitu
ketika membaca,
اَلسَّلاَمُ
عَلَيْكَ اَيُّهَا النَّبِيُّ وَ رَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكاَتُهُ
Artinya : “Salam semoga terhaturkan kepadamu, wahai Nabi,
rahmat Allah dan berkah-Nya.”
Dan telah shahih dari Bilal bin al-Harits
ra, sesungguhnya dia telah menyembelih seekor kambing ditahun paceklik yang
bernama tahun Ramadah, lalu dia menemukan ternyata domba itu kurus. Kemudian
dia berkata, “Aduh Muhammad, aduh Muhammad.”
2.
Pendapat Mazhab Syafi’i
Syeikhul Islam al-Syihab al-Ramli al-Anshari al-Syafi’i ditanya tentang perkara
yang telah terjadi dari orang awam, yaitu perkataan mereka ketika mengalami
kesulitan, “Wahai Syeikh Fulan,” dan semisalnya, yaitu beristighatsah dengan
para Nabi, Rasul dan orang-orang sholeh. Kemudian dia menjawab, “Beristighatsah
dengan para Nabi, Rasul dan auliya’ yang sholeh adalah diperbolehkan setelah
mereka meninggal…”
Dalam al-Thabrani
diterangkan, sesungguhnya Nabi SAW bersabda,
اِذاَ
اَضَلَّ اَحَدُكُمْ شَيْئاً اَو اَرَادَ عَوْناً وَ هُوَ بِأَرْضٍ لَيْسَ فِيْهاَ
اَنِيْسٌ فَلْيَقُلْ يَا عِبَادَ اللهِ اَعِيْنُونِي وَ فِي رِوَايَةٍ
اَغِيْثُونِي فَإِنَّ لِلهِ عِباَداً لاَ تَرَوْنَهُمْ
Artinya : “Ketika salah seorang dari kalian kehilangan
sesuatu atau menginginkan bantuan, sedangkan dia berada ditempat yang tidak
berpenghuni, maka berkatalah, “Wahai para hamba Allah, bantulah aku,” –dalam
satu riwayat, “tolonglah aku.”- karena Allah memiliki hamba yang tidak kalian
lihat.”
Al-Allamah Ibnu Hajar dalam Hasyiyah
‘Ala Idlah al-Manasik berkata, “Perkataan itu adalah mujarrab seperti
yang telah dikatakan oleh perawi hadits itu.”
Syeikhul Islam Taqiyyuddin al-Subuki
dalam kitab Syifa’ al-Siqam berkata, “Dan diperbolehkan bertawasul
dengan semua hamba Allah yang sholeh, dan perkataan yang mengatakan hanya
terkhusus pada Nabi SAW adalah perkataan yang tidak berdalil.”
Al-Allamah Ibnu Hajar berkata,
“Tidaklah meng-ingkari karomah setelah meninggal kecuali orang yang fasid
atau rusak keyakinannya.”
Al-Allamah Ibnu Hajar dalam kitab
yang bernama al-Shawa’iq al-Muhriqah
berkata, “Sesungguhnya Imam Syafi’i rahmatullah ‘alaih berkata,
Keluarga Nabi adalah perantaraku // mereka kepada Dia
adalah wasilahku // aku mengharap dengan mereka besok aku diberi // buku amalku
dengan tangan kananku.
Al-‘Arif Billah Syeikh Husein al-Dajjani,
seorang mufti mazhab Syafi’i, berkata,
Wahai
tuan yang paling baik yang mau mengampuni orang yang salah // dan menjadi baik
sebab kebaikannya, orang arab yang bodoh-bodoh // tidaklah bagi hamba tempat
berlindung selain tuan // dan tidaklah bagi dia selain kamu harapan.
3.
Pendapat Mazhab Maliki
Al-Allamah Abu Abdillah Muhammad bin
Musa al-Maliki dalam kitab Mishbah al-Dzalam fil Mustaghitsiin bi Khairil
Anam berkata, “Sesungguhnya masing-masing dari istighatsah, tawassul dan
tawajjuh terjadi disemua keadaan sebelum terciptanya beliau SAW, setelah
terciptanya beliau, dimasa beliau masih hidup dan setelah beliau meninggal,
dimasa barzah dan dipadang kiamat.”
Ibnu Abu Jamrah rahmatullah
‘alaih berkata, “Ketika aku masuk masjid Madinah maka tidaklah aku duduk
kecuali duduk dalam shalat, dann tidak hentinya aku diam disitu hingga kelompok
kafilah pergi. Tidaklah aku pergi ke Baqi’ atau lainnya dan tidaklah aku
melihat pada selain beliau SAW. Telah tergerak dalam hatiku untuk pergi ke
Baqi’ lalu aku berkata, “Kemana aku akan pergi, sedangkan disini adalah pintu
Allah yang terbuka untuk orang-orang yang meminta, mencari, terpaksa, fakir dan
miskin, dan disana tidak ada orang yang dituju seperti beliau.”
Diantara dalil yang menjelaskan
kebolehan ber-tawassul dan beristighatsah adalah apa yang telah dijelaskan oleh
Ahmad al-Shawi dalam surat al-Kahfi, sebagian ulama’ berkata, “Ajarilah
anak-anak kalian dengan nama-nama penghuni goa (: ashabul kahfi), karena
seandainya nama-nama itu ditulis dipintu rumah kalian, maka rumah kalian tidak
akan terbakar, bila ditulis pada harta, maka harta itu tidak akan dicuri dan
bila ditulis pada kendaraan, maka kendaraan itu tidak akan tenggelam
(kecelakaan).”
4.
Pendapat Mazhab Hanbali
Abdul Hayy bin ‘Imad al-Dimasyqi
dalam kitab Syadzarat Dzahab berkata, “Sesungguhnya pada para penghuni
kubur terdapat karomah setelah mereka meninggal yang telah disetujui oleh para
pembesar ulama’ muhadditsiin dan tidaklah mengingkarinya kecuali orang-orang
rendahan dan orang-orang yang bodoh.”
Al-Sawy al-Hanbali dalam kitab al-Mustau’ib
berkata, “Kemudian orang itu mendatangi tembok makam (Nabi SAW), berdiri
diarahnya dan menjadikan makam beliau dihadapannya sedangkan kiblat
dibelakangnya serta mimbar diarah kirinya. Dia mengucapkan salam dan berdo’a
yang diantaranya adalah,
اَللهُمَّ
اِنَّكَ قُلْتَ فِي كِتَابِكَ الْعَزِيْزِ بِنَبِيِّكَ عليه الصلاة والسلام ( ...
وَ لَوْ اَنَّهُمْ اِذْ ظَلَمُوا اَنْفُسَهُمْ ...) وَ اِنِّي اَتَيْتُ نَبِيَّكَ
مَسْتَغْفِراً فَأَسْئَلُكَ اَنْ تُوجِبَ لِي مَغْفِرَةً كَماَ اَوْجَبْتَهاَ
لِمَنْ اَتَاهُ فِي حَيَاتِهِ (اللهُمَّ اِنِّي اَتَوَجَّهُ اِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ
صلى الله عليه و سلم)
Artinya : “Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah ber-sabda
dalam kitab-Mu yang mulia dengan nabi-Mu SAW, (… dan seandainya mereka ketika
mendzalimi dirinya …) dan aku mendatangi nabi-Mu dengan meminta ampun, maka aku
meminta kepada-Mu untuk mewajibkan ampunan untukku seperti Engkau telah
mewajibkannya bagi orang yang telah men-datangi dia disaat dia masih hidup. (Ya
Allah, sesungguhnya ku menhadap kepada-Mu dengan nabi-Mu SAW).”
Syeikh Abdul Qadir al-Jaily berkata,
“Sesungguhnya para wali quthub mempunyai enam belas alam pengetahuan, dunia dan
akhirat adalah salah satu alam dari alam-alam itu. Dan tidaklah mengetahuinya
kecuali orang yang mempunyai sifat ke-quthub-an.” Seperti itu juga Imam Al
Sya’rani berkata dalam kitab al-Yawaqit wal Jawahir. Dan imam Ahmad
dalam al-Musnad berkata tentang seorang perempuan dari bani Ghifar yang
bernama Umayyah dan seterusnya.
Syeikh Abdul Qadir al-Jaily rahmatullah
‘alaih berkata dalam Sirr al-Asrar fiima Yahtaju ilaih al-Abrar,
“Orang-orang mukmin tidaklah meninggal, namun mereka berpindah dari tempat
fana’ ketempat kekekalan, seperti sabda beliau,
اَلْاَنْبِيَاءُ
وَ الْاَولِيَاءُ يُصَلُّونَ فِي قُبُورِهِمْ كَمَا يُصَلُّونَ فِي بُيُوتِهِمْ
Artinya : “Para nabi dan wali akan shalat didalam kubur-nya
seperti mereka shalat didalam rumahnya.”
No comments:
Post a Comment