Keluarga
adalah sebuah institusi terkecil dalam masyarakat yang berfungsi sebagai wahana
untuk mewujudkan kehidupan yang tentram, aman, damai, dan sejahtera dalam
suasana cinta dan kasih sayang diantara anggota-anggontanya.[1]
Hal
tersebut bisa terwujud apabila pola relasi yang dibangun dalam sebuah keluarga
berlandaskan prinsip mu’asyarah bi al-ma’ruf. Dalam Surah an-Nisa’ ayat
19 ditegaskan:
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal
bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka
karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan
kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. dan
bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin
kamu tidak menyukai
sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
(QS. An-Nisa’: 19)
Ayat
ini memberikan pengertian bahwa Allah menghendaki dalam sebuah perkawinan harus
dibangun relasi suami istri dalam pola interaksi yang positif, harmonis, dan
dengan hati yang damai, yang ditandai pula oleh keseimbangan kewajiban dan hak
keduanya. Keluarga sakinah mawaddah wa rahmah akan terwujud jika
keseimbangan hak dan kewajiban menjadi landasan etis yang mengatur relasi suami
istri dalam pergaulan sehari-hari.[2]
Secara
teoritis, sebuah rumah tangga dianggap harmonis apabila bisa menerapkan dan
mewujudkan prinsip-prinsip berikut dalam kehidupan sehari-hari:[3]
1. Prinsip musyawarah dan demokrasi
Hubungan suami istri pada hakikatnya adanya
hubungan timbal balik yang bermuara pada apa yang disebut oleh Al-Quran sebagai
sakinah, ketenangan dan keharmonisan suami istri. Hal yang demikian bisa
terealisasi apabila segala aspek kehidupan rumah tangga diputuskan dan diselesaikan berdasarkan hasil musyawarah antara suami dan istri
maupun anak.
Hal
yang demikian bisa tercapai apabila masing-masing suami maupun istri bisa
bersikap demokratis, yaitu saling terbuka untuk menerima pandangan dan pendapat
dari pasangannya masing-masing.[4]
Prinsip musyawarah dan
demokrasi ini sejalan
dengan apa yang difirmankan Allah:
“Maka disebabkan rahmat
dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkan-lah ampun
bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (Qs. Ali Imran:
159)
Penerapan
prinsip musyawarah dan demokrasi ini bisa diwujudkan dalam bentuk: (1)
memutuskan masalah-masalah yang berhubungan dengan reproduksi, jumlah, dan
pendidikan anak dan keturunan; (2) menentukan tempat tinggal; (3) memutuskan
masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan rumah tangga; dan (4) pembagian
tugas rumah tangga ataupun yang lain-lainnya.
2. Prinsip menghindari kekerasan
Konflik dalam rumah tangga merupakan satu hal
yang lumrah dalam menjadi pernikahan. Hal tersebut bisa terjadi mungkin karena
adanya perbedaan persepsi atau hal-hal lain yang tidak berkenan di hati pasangannya. Namun demikian, suami istri
yang baik adalah jika kedua-duanya sama-sama berusaha untuk menjaga
keharmonisan rumah tangga, tidak menjadi pelaku kekerasan dan tidak pula
menjadi korban kekerasan.[5]
Kekerasan dalam rumah tangga bisa berbentuk
fisik, seksual, maupun psikis. Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor
23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pasal 1 Ayat 1
yang menyatakan: Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga.[6]
Dalam hal kekerasan fisik, masing-masing
suami ataupun istri tidak boleh ada yang merasa berhak memukul atau melakukan
tindak kekerasan terhadap pasangannya dalam bentuk apapun dan dengan dalih
apapun. Dalam beberapa ajaran keagamaan, memang ada legalitas yang diberikan
kepada suami untuk melakukan kekerasan dalam konteks nusyuz.
“….wanita-wanita yang
kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di
tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi lagi Maha besar.” (Qs. An-Nisa’: 34)
Namun
demikian, ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam memahami ayat tersebut:
Pertama,
adalah bahwa ada tahapan-tahapan dan kondisi
yang kemudian melahirkan legalitas kekerasan (wadribuhunna). Tahapan-tahapan
tersebut berbanding lurus dengan kondisinya. Maksudnya adalah dalam kondisi istri
melakukan nusyuz, maka tahapan pertama yang harus dilakukan adalah menasehati, dalam konteks mewujudkan keluarga
yang harmonis, maka itu bisa diwujudkan dalam bentuk musyawarah, mendiskusikan
persoalan yang dihadapi istri kenapa
kemudian berlaku nusyuz.
Jika
dengan jalan menasehati dan musyawarah ini persoalannya bisa diselesaikan, maka
tahapan-tahapan selanjutnya tidak berlaku lagi dan begitu pula sebaliknya.
Ketika istri sadar dengan kesalahannya ketika didiamkan (wahjuruhunna), maka
tahapan selanjutnya tidak boleh dilakukan (fain atha’nakum falaa tabghuu
‘alaihinna sabiilan).
Kedua,
jenis pemukulan yang dilegalkan dalam ayat tersebut adalah pukulan yang tidak
untuk menyiksa dan menyakiti (dharban ghaira mubarrihin), tidak boleh
sampai mematahkan tulang (walaa yaksiru laha adzman), ataupun melukai (walaa
yajrahu biha jurhan).[7]
Jadi, yang dikedepankan adalah upaya mendidik dan bukan menyakiti, yang diutamakan
adalah tujuan dan bukannya cara. Oleh karena itulah walaupun para memukul itu
diperbolehkan, tetapi para ulama sepakat bahwa tidak memukul itu lebih baik.[8]
Sebab Rasulullah SAW bersabda:
“Orang-orang baik diantara
kamu tidak akan memukul.” (HR. Baihaqi
dari Ummi Kultsum)[9]
3. Prinsip hubungan yang sejajar
Prinsip
ketiga dalam membangun rumah tangga yang harmonis adalah bahwa suami dan istri
merupakan pasangan yang mempunyai hubungan bermintra dan sejajar.[10]
Sebagaimana diisyaratkan Allah dalam Al-Qur'an:
“….mereka adalah
pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka..” (Qs. Al-Baqarah:
187)
Suami dan istri berperan dalam saling melengkapi
dan menutupi kekurangan masing-masing. Oleh karena itu, sebagaimana pesan ayat
tersebut, suami merupakan pakaian bagi istri dan sebaliknya istri merupakan
pakaian bagi suami. rumah tangga yang harmonis apabila salah satu pihak terlalu
dominan yang akan menyebabkan psikis pasangan masing-masing tertekan.
4. Prinsip keadilan
Prinsip keempat dalam membangun rumah tangga
yang harmonis adalah prinsip keadilan. Yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya
(proporsional). Dalam
prakteknya, apabila salah satu pasangan, baik suami maupun istri memiliki kesempatan
untuk mengembangkan diri atau berkontribusi bagi masyarakat, maka harus
didukung tanpa memandang dan membedakan berdasarkan jenis kelamin.[11]
Kesempatan
yang dimaksud, bisa dalam bentuk akses pendidikan maupun politik. Sehingga
apabila misalkan istri mendapatkan akses tersebut, pihak suami bisa memberikan
kesempatan dan tidak boleh merasa dirinya lebih berhak dari istrinya. Dalam
konteks seperti inilah prinsip keadilan bisa diaplikasikan.
Dalam Al-Qur’an, banyak ayat yang menekankan
pentingnya berbuat adil. Walaupun tidak secara spesifik berbicara tentang
keluarga, akan tetapi dengan berpedoman dengan kaidah: al-‘Ibrah bi ‘umum
al-lafdz la bi khushus al-Sabab, maka prinsip keadilan harus ditegakkan
dalam segala hal:
“Sesungguhnya Allah menyuruh
kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran
yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi
Maha melihat.” (Qs. An-Nisa’: 58)
Dalam
kaitannya dengan relasi suami istri dalam keluarga, maka setiap anggota keluarga, baik istri maupun suami harus diberikan akses untuk mengembangkan diri sesuai dengan kapabilitas masing-masing.
Sehingga ketika hal tersebut bisa diwujudkan, maka salah satu indikator untuk
membangun rumah tangga yang harmonis sudah terpenuhi.
[1] Husein Muhammad.
Fikih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Jender. Yogyakarta: LkiS.
121
[2] Mufidah, 2008.
Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender. Malang: UIN-Malang Press. 178.
[3] Keempat prinsip
tersebut diadaptasikan dari prinsip keluarga sakinahnya Khoiruddin Nasution, dan
sekaligus dijadikan indikator rumah tangga harmonis dalam penelitian ini.
[4] Lihat: Nasution, Khoiruddin.
2002. Membentuk Keluarga Bahagia. Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga
bekerjasama dengan McGill-ICIHEP.. 32-33.
[5] Mufidah, Op. Cit.
188.
[6] Pemerintah Republik
Indonesia. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga
[7] Untuk jenis pukulan
yang diperbolehkan lihat: Jalaluddin al-Suyuthi. 2003. Al-Durrul Mantsur Fi
al-Tafsir bi al-Ma’tsur. Juz 4. Kairo: Markaz Li al-Buhuts wa al-Dirasat
al-‘Arabiyyah wa al-Islamiyyah. 400.
[8] Ali Ash-Shabuni.
Tafsir Ayat Al-Ahkam, diterjemahkan oleh Mu’ammal Hamidy dan Imron A. Mannan.
Surabaya: PT. Bina Ilmu. 348.
[9] Al-Hafidz Abi Bakr
Ahmad bin Al-Husain bin Ali Al-Baihaqi. 1996. Al-Sunan Al-Kubra. Juz 11.
Beirut: Dar Al-Fikr. 157.
[10] Nasution, Loc.cit.
39
[11] Ibid. 42.
No comments:
Post a Comment