1. Hak dan Kewajiban Suami dan Isteri dalam
Konstruk Ulama Fiqh
Diferensiasi
peran dalam rumah tangga berhubungan erat dengan hak dan kewajiban suami maupun
isteri dalam keluarga. Hak-hak yang dimiliki oleh suami maupun isteri adalah seimbang
dengan kewajiban yang dibebankan kepada mereka. Dasar dari hak
dan kewajiban masing-masing suami maupun isteri ini adalah firman Allah:
و لهن مثل الذي عليهن
بالمعروف
“…..dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf…”.
(QS. Al-Baqarah: 228)
Maksud
dari ayat tersebut adalah bahwa hak-hak yang dimiliki oleh seorang
isteri adalah seimbang
dengan kewajiban isteri
tersebut terhadap suaminya.
Menurut
Wahbah Zuhaili, dasar dari pembagian hak dan kewajiban suami maupun isteri ini
adalah adat (‘urf) dan nature (fitrah), dan asasnya adalah: setiap hak
melahirkan kewajiban.[1]
Oleh karena itulah, disini akan dikemukakan hak-hak masing-masing suami maupun isteri, tanpa harus mengemukakan kewajiban masing-masing, karena hak yang diterima satu pihak adalah merupakan
kewajiban bagi pihak yang lain. Namun demikian, untuk lebih fokus dengan topik
penelitian ini hak-hak dan kewajiban ini difokuskan kepada tiga hal, yaitu
nafkah bagi isteri, hak ketaatan isteri terhadap suami, dan interaksi yang baik
antara keduanya.
a. Hak-hak isteri
Isteri
memiliki hak-hak yang berkenaan dengan harta benda, yaitu mahar dan nafkah dan
hak-hak yang tidak berkenaan dengan harta benda, yaitu interaksi yang baik dan
adil. Diantara kesekian hak tersebut, persoalan nafkah dan interaksi yang baik
adalah hak yang berkaitan erat dengan topik penelitian ini.
Nafkah
merupakan hak yang harus diterima seorang isteri, dan sebaliknya pemberian hak ini
merupakan suami terhadap isteri. Hal ini berdasarkan firman Allah:
“…dan kewajiban ayah
memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf..”.[2]
Selain
nafkah, seorang suami berkewajiban untuk berinteraksi dengan isterinya dengan baik, sebagaimana dikemukakan dalam Al-Qur’an:
“…dan pergaulilah
mereka (isteri) dengan baik (ma’ruf)…”.[3]
b. Hak-hak suami
Seorang
suami memiliki hak-hak yang merupakan kewajiban bagi isterinya. Dalam konteks
ini yang akan dikemukakan adalah kewajiban isteri untuk taat kepada suami.
Dasar dari kewajiban seorang isteri ini terkait dengan peran kepemimpinan dalam
keluarga yang diberikan kepada suami berdasarkan Firman Allah:
الرجال قوامون على
النساء بما فضل الله بعضهم على بعض و بما انفقوا من أموالهم فالصلحت قنتت حفظت
للغيب بما حفظ الله و التي تخافون نشوزهن فعظوهن و اهجروهن في المضاجع و اضربوهن
فإن أطعنكم فلا تبغوا عليهن سبيلا ان الله كان عليا كبيرا
“laki-laki adalah pemimpin
bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh,
ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada,
oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah
Maha Tinggi lagi Maha Besar." (QS. An-Nisa’: 34)
Menurut
Wahbah Zuhaili hak kepemimpinan keluarga yang diberikan kepada suami ini adalah
karena seorang suami memiliki kecerdasan (rajahatul ‘aql), fisik yang
kuat, serta kewajiban memberikan mahar dan nafkah terhadap isterinya. Sehingga
dalam implementasinya seorang suami adalah kepala rumah tangga dan isteri
adalah ibu rumah tangga.[4]
Hal
yang sama dikemukakan oleh Hamka, menurutnya ayat tersebut bukanlah perintah,
sehingga laki-laki wajib memimpin perempuan, dan kalau tidak dipimpin berdosa.
Akan tetapai ayat tersebut bersifat pengkhabaran, yakni menyatakan hal yang
sewajarnya, dan tidak mungkin tidak begitu.
Argumen
yang dikemukakan oleh Hamka adalah lanjutan ayat tersebut yang menyatakan bahwa
laki-laki dilebihkan Tuhan daripada perempuan. Laki-laki kuat tubuhnya, tegap badannya
sedang perempuan lemah.[5]
Ada
beberapa riwayat yang secara eksplisit memposisikan suami sebagai pemimpin
keluarga, diantaranya adalah sabda Rasulullah saw:
و الرجال راع على
أهله و وهو مسؤول عن رعيته (رواه البخاري)
“Dan suami adalah pemimpin keluarganya, dan dia bertanggung jawab
atas apa yang menjadi tanggung jawabnya. (HR. Bukhari)[6]
Argumen yang dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili maupun Hamka memberikan legitimasi terhadap teori nature, yang menyatakan ada
perbedaan alami antara laki-laki dan perempuan sehingga ada sex division.
2. Hak dan kewajiban suami dan isteri dalam UU
Perkawinan 1974 dan KHI
Dalam
UU Perkawinan 1974 dan KHI, Hak dan kewajiban suami dan isteri yang dibebankan
kepada masing-masing suami maupun istri tidak berbeda jauh dengan konstruk
ulama fiqh. Hal yang demikian, bisa dipahami karena proses pembuatannya
mengakomodir praktek-praktek dalam masyarakat, dan melibatkan ulama dan berbagai kitab rujukan fiqh khususnya dalam proses pembuatan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
a. Kewajiban suami terhadap isteri
1) Dalam UUP
Kewajiban
yang dibebankan oleh Undang-undang ini terhadap suami adalah kewajiban
memberikan nafkah. Sehingga dalam sebuah keluarga, suamilah yang harus mencari nafkah.
Pasal 34 UUP 1974 menyatakan: Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan
segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
2) Dalam KHI
Kewajiban
suami terhadap istrinya menurut KHI adalah membimbing,[7]
melindungi,[8]
memberikan pendidikan agama dan memberi kesempatan belajar kepada isterinya.[9]
Begitu juga dengan kewajiban memberikan nafkah. Ayat 4 pasal 80 KHI menyatakan: Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung :
a.
nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;
b.
biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak;
c.
biaya pendidikan bagi anak.
b. Kewajiban isteri terhadap suami
1) Dalam UUP 1974
Konsekuensi
dari penempatan istri sebagai ibu rumah tangga adalah bahwa istri harus lebih
banyak beraktifitas dalam ruang domestik keluarga. Sehingga persoalan yang
berkenaan dengan persoalan domestik keluarga adalah merupakan kewajiban seorang
istri. Ayat 2 pasal 34 UUP 1974 menyatakan: Isteri wajib mengatur urusan rumah
tangga sebaik-baiknya.[10]
2) Dalam KHI
Pengaruh konstruk ulama fiqh terhadap materi
KHI sangat dominan, sehingga bisa disimpulkan bahwa KHI merupakan kodifikasi
ulang materi fiqh dalam berbagai kitab, utamanya kitab-kitab fiqh mazhab
syafii. Berkaitan dengan kewajiban istri terhadap suaminya, ayat 1
dan 2 pasal 83 KHI menyatakan bahwa: (1) Kewajiban utama
bagi seoarang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam yang
dibenarkan oleh hukum Islam. (2) Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan
rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.[11]
Jadi,
konstruk hukum yang dibangun dalam UUP dan KHI menempatkan suami sebagai kepala
rumah tangga-pencari nafkah. Sedangkan isteri adalah ibu rumah tangga yang
tugas utamanya berada dalam wilayah domestik keluarga.
[1] Wahbah Zuhaili.
2006. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu. Juz 9. Beirut: Dar Al-Fikr
[2] QS. Al-Baqarah:
228.
[3] QS. An-Nisa’: 19.
[4] Wahbah Zuhaili.
Loc.cit. 6853.
[5] Lihat: Hamka. 1983.
Kedudukan Perempuan Dalam Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas. 69.
[6] Al-Hafidz Ahmad bin
Ali bin Hajar Al-Asqalani. 1996. Fath Al-Bari Bi Syarhi Shahih Al-Bukhari. Juz
11. Beirut: Dar Al-Fikr. 3.
[7] Ayat 1 pasal 80 KHI.
Secara lengkap pasal tersebut
menyatakan: (1) Suami
adalah pembimbing, terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetap
mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh sumai
isteri bersama.
[8] Ayat 2 pasal 80
KHI. Secara lengkap pasal tersebut menyatakan: (2) Suami wajib melidungi isterinya
dan memberikan segala sesuatu keperluan
hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
[9] Ayat 3 pasal 80
KHI. Secara lengkap pasal tersebut menyatakan: (3) Suami wajib memberikan pendidikan
agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan
bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
[10] Ayat 2 pasal 34 UUP
1974
[11] Ayat 1 dan 2 pasal
83 KHI.
No comments:
Post a Comment