Walaupun
pada umumnya masyarakat membagi pekerjaan dalam rumah tangga berdasarkan jenis
kelam1n laki-laki dan perempuan. Akan tetapi antara satu masyarakat dengan
masyarakat lainnya mempunyai implementasi yang berbeda-beda. Dalam masyarakat Bali misalkan, perempuan sering terlibat
aktif mengerjakan pekerjaan yang oleh masyarakat Jawa dianggap sebagai
pekerjaan laki-laki. Dalam masyarakat jawapun, terdapat perbedaan antara masyarakat petani pedesaan
dengan masyarakat priyayi.[1]
Secara
umum, dalam masyarakat Indonesia, ada tugas-tugas tertentu yang dibakukan
kepada Istri maupun suami. Tugas ibu rumah tangga yang dibakukan terdiri dari lima komponen aktifitas:[2]
Pertama, melayani
suami yang perinciannya terdiri dari: menyiapkan suami siap pakai, dari celana
dalam, kaos dalam, kaos kaki, baju, celana, sepatu yang telah disemir, sapu
tangan dan aksesoris lainnya. Kewajiban suami yang tak kalah pentingnya adalah melayaninya berhubungan badan dimana pun dan kapan pun suami menginginkannya.
Kedua, mengasuh dan mendidik anak yang secara rinci tugasnya adalah:
memandikan, menyuapi, mengajaknya bermain, menidurkan dan menyusui. Bila
anaknya sudah sampai usia sekolah, maka tugas ibu rumah tangga bertambah dengan
mengantar dan menjemputnya ke dan dari sekolah, menemani belajar dan
mengerjakan pekerjaan rumah (PR), mengambil rapor atau apapun yang berhubungan
dengan sekolah.
Ketiga,
membersihkan dan merapikan semua perlengkapan rumah tangga, menyapu, mengepel,
mencuci alat dapur, mencuci baju sekaligus menyeterikanya.
Keempat,
menyediakan makanan siap santap. Rincian dari tugas ini meliputi: mengatur menu, berbelanja, memasak
dan menghidangkannya di tempat makan.
Kelima,
merawat kesehatan (lahir dan batin) seluruh anggota keluarga yang sakit,
memijat bila diperlukan, dan menghibur mereka dari kecemasan yang mereka alami.
Istri adalah penghibur suaminya dikala penat dan lelah bekerja. Ibu adalah
penghibur anak-anaknya yang punya problema kehidupan. Terutama bagi ibu yang
mempunyai anak remaja, peran ini akan sangat disorot masyarakat.
Pekerjaan
yang sudah dipersepsikan oleh masyarakat sebagai pekerjaan seorang istri
tersebut berdampak pada pandangan negatif masyarakat terhadap seorang istri
apabila salah satu dari pekerjaan tersebut tidak beres. Misalnya, apabila
suaminya tampak kurang bersemangat, dengan baju yang kelihatannya tidak
disetrika, maka masyarakat akan menganggapnya sebagai keteledoran istri dalam
menunaikan pekerjaanya.
Pada
sisi yang lain, seorang suami juga dipersepsikan oleh masyarakat untuk
mengemban tugas sebagai: (1) Pemimpin dan kepala rumah tangga, (2) Pengambil
keputusan utama dalam rumah tangga, (3) Pencari nafkah utama, (4) Penyambung
lidah kepentingan rumah tangga dengan pihak luar, (5) Pendidik dan penyantun dalam
rumah tangga.[3]
Pembagian
kerja yang sudah dikontruk oleh masyarakat tersebut, menurut Istiadah, jelas
sekali memposisikan laki-laki lebih dominan dalam keluarga. Ia bukan saja
pencari nafkah utama, tapi juga sebagai pemimpin dengan segala tugas dan
kewenangannya yang sekaligus juga mendapat hak-hak yang sitimewa dan penghargaan
yang lebih dari masyarakat. Sementara perempuan hanyalah pendamping suami yang tugasnya hanya ditempatkan sekedar
mengelola harta dan anak-anak suaminya, yang berarti keberadaan perempuan
bukanlah primer, tapi sekunder dan komplementer.[4]
No comments:
Post a Comment