KEHIDUPAN PARA NABI DI ALAM BARZAH



Telah dijelaskan bahwa kehidupan alam barzah adalah kehidupan yang hakiki dan sesungguhnya mayit bisa mendengar, merasa dan mengetahui, baik mayit itu mukmin atau kafir. Hidup, diberi rejeki dan masuknya ruh kedalam surga tidak-lah terkhusus pada orang yang mati syahid saja seperti yang telah ditunjukkan oleh nash-nash yang telah tetap.

Kesemuanya adalah shahih yang didukung oleh para imam dan kebanyakan ahli sunnah. Dari situ maka pembahasan tentang hidupnya para Nabi termasuk dalam pembahasan yang tidak pokok karena pembahasan itu sudah termasuk dalam pembahasan yang sudah jelas seperti matahari yang tidak membutuhkan untuk ditetapkan lagi, namun yang benar adalah kita tetapkan kalau kehidupan mereka, para Nabi, lebih sempurna, lebih mulia dan lebih agung. 

Begitu juga hidupnya manusia dimuka bumi didunia yang memiliki derajat, maqam dan tingkatan yang berbeda-beda. Diantara mereka ada yang mati dalam bentuk orang yang masih hidup, seperti firman Allah, (“Mereka punya hati yang tidak untuk memahami, mereka punya mata yang tidak untuk melihat dan mereka punya telinga yang tidak untuk mendengar. Mereka seperti binatang bahkan mereka lebih sesat. Mereka adalah orang-orang yang lupa.”).

Diantara mereka adalah orang-orang yang seperti difirmankan Allah, (“Ingatlah, sesungguhnya para kekasih Allah tidak me-miliki rasa takut dan tidak memiliki rasa susah.”).

Diantara mereka adalah orang-orang seperti yang difirmankan oleh Allah, (“Sungguh beruntung orang-orang yang beriman.”) sampai firman-Nya (“Mereka adalah orang-orang yang mewarisi.”).

Dan diantara mereka adalah orang-orang seperti yang difirmankan oleh Allah ta’ala,

إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ  كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
“Sesungguhnya mereka (orang-orang yang bertakwa) sebelum itu mereka didunia adalah orang-orang yang berbuat baik. Mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam dan diakhir malam mereka memohon ampun kepada Allah.” (QS. Al Dzariyaat, 15-18)

Seperti itu juga kehidupan alam barzah bertingkat-tingkat (“Dan barang siapa disini (didunia) dia adalah orang yang buta (: dari jalan yang benar), maka dia akan buta dan lebih sesat jalannya.”)

Adapun para Nabi, maka hidupnya mereka, diberi rejekinya mereka, tahunya mereka, mendengar dan merasanya mereka adalah lebih sempurna dan lebih tinggi dari yang lainnya. Dalilnya adalah firman Allah dalam haknya orang syahid,

وَ لاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ قُتِلُوا فِي سَبِيْلِ اللهِ اَمْواَتاً بَلْ اَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
“Dan janganlah kamu sangka orang-orang yang terbunuh untuk menegakkan agama Allah adalah mati tetapi mereka adalah orang-orang yang masih hidup disisi Tuhannya dan diberi rejeki.”

Jika hidup artinya adalah masih tetap-nya ruh sehingga tidak rusak dan tidak hancur, maka tidak ada kelebihan bagi orang syahid yang berhak untuk disebut dan dimasyhurkan, karena ruh semua anak Adam masih tetap ada, tidak akan rusak dan tidak hancur. Pendapat itu adalah yang benar yang diutarakan oleh ulama’ ahli tahqiq seperti yang telah ditahqiqkan oleh Syeikh Ibnu Al Qayyim dalam kitab al-Ruh, maka harus ada nilai lebih yang jelas yang membuat para syuhada’ memiliki nilai lebih dibanding-kan yang lainnya. Dan jika tidak ada, maka penyebutan hidupnya mereka adalah sia-sia tidak ada faidahnya, terlebih lagi Allah melarang untuk kita mengucapkan kalau mereka mati. Allah berfirman,

وَ لاَ تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلْ فِي سَبِيْلِ اللهِ اَمْوَاتٌ بَلْ اَحْيَاءٌ وَ لَكِنْ لاَ تَشْعُرُونَ
“Dan janganlah kalian berkata bagi orang yang dibunuh dijalan Allah adalah mati, tapi mereka adalah orang yang masih hidup tetapi kalian tidak mengetahuinya.”

Dengan demikian kita berkata, “Pasti hidupnya mereka (para syuhada’) lebih sempurna dibandingkan yang lainnya dan lebih mulia.” Pendapat itulah yang dikuatkan oleh dzahirnya nash, sehingga ruh mereka diberi rejeki, dibawa ke sungai-sungai surga dan memakan buahnya, seperti firman Allah,

عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
“Disisi Tuhannya mereka diberi rejeki.”

Kemudian merasanya mereka pada makanan, minuman dan kenikmatan tersebut adalah merasa yang sempurna dan menikmati yang sempurna dan hakiki, seperti yang telah dijelaskan dalam hadits, (“Ketika mereka menemukan enaknya makanan, minuman dan indahnya tempat tidur mereka, maka mereka berkata, “Jikalau saudara-saudaraku mengetahui apa yang telah diperbuat oleh Allah kepada kami.”). Ibnu Katsir berkata, “Hadits diatas diriwayatkan oleh Ahmad.”
         
Ruh-ruh mereka memiliki kemampuan yang besar dibandingkan lainnya dan lebih luas. Ruh mereka mengembara dan beristirahat dimanapun mereka mau di dalam surga, kemudian ruh itu bertempat di lampu-lampu dibawah arasy (seperti keterangan dalam al-Shahih).

Mereka bisa mendengar perkataan dan paham pada pembicaraan. Telah datang dalam al-Shahih, “Sesungguhnya Allah ta’ala berfirman kepada mereka, “Apa yang kalian sukai?” Mereka menjawab, “Ini dan itu.” Pertanyaan diulang dan jawabannya juga diulang, kemudian mereka meminta supaya dikembalikan kedunia untuk berjihad lagi. Kemudian mereka meminta supaya Allah menyampaikan risalah mereka kepada saudara-saudara mereka yang berada di dunia yang risalah tersebut berisi kemuliaan yang diberikan oleh Allah kepada mereka. Lalu Allah berfirman, “Aku akan menyampaikannya dari kalian.”

Ketika kemuliaan itu telah ditetapkan pada haknya syuhada’, maka kemuliaan itu juga ditetapkan pada haknya para Nabi dari dua wajah ;

Pertama, tingkatan yang mulia tersebut diberikan kepada para syuhada’ untuk memuliakan mereka dan tidak ada derajat yang lebih tinggi dibandingkan derajatnya para Nabi. Tidak diragukan lagi kalau keadaan para Nabi adalah paling mulia dan sempurna dibandingkan keadaan semua syuhada’, sehingga mustahil kalau kesempurnaan bisa diperoleh oleh para syuhada’ dan para Nabi tidak mendapatkannya, terlebih kesempurnaan diatas yang mengharuskan bertambahnya kedekatan, kenikmatan dan kenyamanan dengan Dzat yang paling mulia.

Kedua, tingkatan tersebut bisa didapatkan oleh para syuhada’ sebagai upah dari jihad mereka dan menyerahkannya mereka pada diri mereka untuk Allah ta’ala, dan Nabi saw adalah orang yang mengajarkannya, mengajaknya dan menunjukkannya kepada kita dengan ijin Allah ta’ala dan pertolongan-Nya. Nabi saw telah bersabda,

مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ اَجْرُهاَ وَ اَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهاَ اِلَى يَومِ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa melakukan suatu kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang melakukannya sampai hari kiamat.”

Beliau saw bersabda,

مَنْ دَعاَ اِلَى هَدًى كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ اُجُورِ مَنْ يَتْبَعُهُ لاَيَنْقُصُهُ ذَلِكَ مِنْ اُجُورِهِمْ شَيْئاً وَ مَنْ دَعاَ اِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ يَتْبَعُهُ لاَ يَنْقُصُهُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئاً
“Barang siapa mengajak pada petunjuk, maka baginya pahala seperti pahalanya orang yang mengikutinya, sedikitpun pahala tersebut tidak akan dikurangi. Dan barang siapa meng-ajak pada kesesatan, maka atas dia dosa seperti dosanya orang yang mengikutinya, sedikit-pun dari dosa itu tidak akan dikurangi.”

Hadits-hadits shahih yang menjelaskan masalah tersebut sangatlah banyak dan sudah masyhur. Jadi, semua pahala yang diperoleh oleh orang syahid juga di-peroleh oleh Nabi saw, karena dia melakukan seperti yang telah ditunjukkan oleh Nabi saw, dan hidup adalah suatu pahala sehingga Nabi saw juga memperolehnya.

Hidupnya para Nabi di alam barzah yang hakiki terlebih Nabi kita saw adalah lebih mulia dan sempurna dari yang digambarkan oleh orang yang tidak tahu, yaitu yang diinginkan dari kehidupan tersebut adalah mereka hidup seperti kita hidup. Jadi, mereka makan dan minum, sehingga mereka juga butuh makan dan minum, buang air kecil dan air besar, keluar dari kuburnya untuk menghadiri majelis dzikir dan perkumpulan al-Qur’an, untuk berbaur dengan umat dalam kegembiraan, kesusahan, hari raya dan hari-hari besar mereka (: umat) kemudian mereka kembali kekuburnya dibawah bumi didalam lubang yang sempit dan di atas mereka adalah tanah.

Dalam penggambaran tersebut tidak ada sedikit pun bentuk pemuliaan bahkan suatu bentuk penghinaan yang tidak di-ridhoi oleh seseorang bagi hambanya atau pelayannya, terlebih dari Allah ta’ala memberikannya kepada makhluk-Nya yang paling baik dan hamba-Nya yang paling mulia. Sayang sungguh beribu-ribu sayang.

Hidup di alam barzah yang hakiki adalah suatu syu’ur atau perasaan yang sempurna, idrak atau realisasi yang sempurna dan ma’rifat yang benar. Kehidupan tersebut adalah kehidupan yang enak, pantas untuk berdo’a, tasbih, tahlil, tahmid dan shalat.


No comments:

Post a Comment