Bagi
Nurcholish Majid, kekuatan supra alami (khoriq al-‘adat) yang sesungguhnya bersifat nisbi belaka,
karena sesungguhnya kekuatan itu pada hakikatnya
masih alami, kecuali bahwa jalan untuk mengetahui dan menggunakannya
rumit.
Walaupun
begitu, ia tetap terbuka bagi siapa saja untuk memperolehnya, asal bersedia
menempuh jalan yang telah ditentukan. Dengan kata lain, ada jenis-jenis kemampuan
“supra alami” yang dapat dipelajari, di ulang, dan dibuktikan secara lazim perkara ilmiah, meskipun
metodelogi dan prosesnya berbeda.
Kekuatan
supra alami yang benar-benar diluar kapasitas manusia untuk
mencapainya yaitu mukjizat pada para nabi dan karamah para wali. Hakikatnya sebagi kekuatan supra alami
karena ia muncul tidak dari gejala alami yang dikenal, yang bersifat lahiriyah,
malainkan dari sumber-sumber kemampuan yang bersifat ruhani. Oleh karena itu, tidak
bersifat ilmiah lahiriyah, tidak dapat ditiru, dan tidak dapat diulang (dengan sengaja).
Mukjizat para nabi dan karamah para wali bersifat unik.[1]
Dalam
dunia nyata, para sufi atau lebih tepat mereka yang dianggap mempunyai kedudukan
sebagai wali, memiliki mukjizat-mukjizat atau anugrah khusus dari Tuhan
(karamat) yang merupakan tanda dari kewalian mereka. Teori-teori khusus disusun
untuk membedakan secara cermat antara mukjizat-mukjizat tersebut dengan
mukjizat para nabi agar keduanya tidak dianggap sebagai saingan terhadap satu sama
lain.[2]
Sebenarnya,
para nabi harus menunjukkan mukjizat-mukjizatnya, untuk mendapat pengakuan dari
rakyat jelata. Mukjizat yang seperti ini biasanya bersifat fisik seperti yang dilakukan
nabi Musa, Isa, Muhammad SAW dan nabi-nabi lainnya. Kemampuan untuk menunjukkan
mukjizat membuat rakyat yang buta huruf percaya bahwa pengetahuan dan kekuatan nabi-nabi ini berasal dari sumber di luar realitas fisik. Orang ini mengharapkan nabi
dapat mengubah batu menjadi emas sebalum ia mempercayai kenabiannya.
Sebaliknya, orang yang sadar menerima nabi-nabi itu bukan dikarenakan
mukjizat-mukjizat mereka, tetapi karena inti pesan mereka.[3]
Kata
karamah yang mempunyai kata dasar karuma, secara etimologis dapat berarti dalam
kemulyaan, diberi kemudahan, terjaga dan bersih dari maksiat. Jika dikaitkan
dalam persoalan kewalian, karamah berarti sesuatu yang luar biasa atau keluar dari
hukum kausalitas, yang berasal dari seeorang, tanpa dibarengi dengan dakwah
kenabian. Atau ada yang mendefinisikannya dengan sesuatu yang keluar dari adat kebiasaan, yang berasal dari
seorang hamba yang taat (shalih), selalu mengikuti syari’at
Nabi, dan diiringi dengan keyakinan (‘aqidah
) yang benar dan amal yang shalih.[4]
Kalangan
sufi bersepakat menetapkan tentang adanya keramat para wali. Mereka
mengkategorikan keramat para wali ini termasuk mukjizat. Para sufi menganggap
cerita-cerita ajaib yang dialami oleh seorang sufi haruslah dianggap sebagai
cerita-cerita yang benar.[5]
Alasan para sufi ini, karena al-Qur’an mengilustrasikan mengenai adanya “makhluk
yang diberi ilmu dari kitab Allah SWT” sehingga mampu memindahkan singasana
dari suatu tempat ketempat yang lain.
Dalam
al-Qur’an disebutkan, “Berkatalah seseorang yang mempunyai ilmu dari al-Kitab: Aku akan membawa singasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip…”[6]
Juga kisah Maryam (ibu Nabi Isa as) ketika ditanya oleh Zakaria: “Hai Maryam,
darimana kamu memperoleh makanan ini? Maryam menjawab: makanan ini dari sisi Allah…”[7]
Menurut
Fazlurahman, pada abad ke-5/11 M, kepercayaan kepada keramat para wali telah
tersebar luas. Ortodoksi (ulama’) dengan hati-hati juga menerimanya. Seabad kemudian ibnu Sina terpaksa harus
menciptakan doktrin yang rasional untuk mengakomodasi paling tidak keramat yang
dapat diterangkan oleh psikologi ilmiah. Dalam pengaruh sugesti, al-Ghazali sendiri menyusun sebuah teori yang
terperinci untuk membuktikan adanya ‘alam al-mitsal sebagai suatu
penengah antara alam spiritual dan alam materi.[8]
Sedangkan
Woodward, peneliti Islam di Jawa, mengartikan keramat adalah suatu ajektif yang
mencirikan pencapaian religious para wali. Kramatan biasanya adalah
suatu makam suci atau tempat keramat lainnya dimana wali bisa menjadi tempat memohon dengan khusyuk. Kekeramatan dalam bahasa arab berarti:
“keajaiban-keajaiban yang dimiliki oleh para wali untuk kebaikan orang maupun
bukti kewalian yang mereka miliki”.[9]
Pengertian
keramat -bagi Woordward- secara superficial berkaitan dengan kesaktian. Kramat bisa diperoleh melalui pembersihan jiwa dan pengembangan hubungan yang akrab dengan
Allah SWT. Keramat merupakan salah satu diantara jalan pendahuluan menuju ke
kesatuan mistik.
Kebanyakan
kesaktian wali berasal dari kemampuan mereka untuk memohon pengampunan atas nama
Allah SWT bagi orang yang tingkat pecapaian spiritualnya rendah. Keramat dan kesaktian bisa digunakan untuk banyak tujuan yang kurang lebih sama, tetapi kesakten selalu berbahaya dan sebagian besar bersifat jahat, sementara keramat suci tidak mendua.
Keduanya juga dikembangkan dengan cara yang berbeda-beda. Keramat diolah
melalui ibadah, seperti zuhud dan meditasi yang berfokus pada Allah SWT.
Ia
meliputi praktik-praktik keras dikenal sebagai tarekat, diantaranya adalah puasa, berdiri sepanjang malam
di sungai, makan hanya nasi putih atau tumbuh-tumbuhan liar,
tidak tidur semalam suntuk di sebuah tempat
kramatan, dan lain-lain. Berbagai praktik yang seperti ini juga bisa disebut
tapa.[10]
Senada
dengan Word, Suliman al-Kumayi mengatakan bahwa dalam konteks Islam lokal,
definisi keramat mungkin berbeda dengan teks sufi stadar. Ia mengutip penelitiannya
Alfani Daud terhadap orang-orang Banjar yang
menunjukkan bahwa mereka mengkeramatkan kuburan tokoh ulama’, tokoh raja-raja banjar, tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan, dan tokoh cikal
bakal desa. Ada pula kuburan orang yang semasa hidupnya kelakuannya
aneh, bahkan sebagian orang memandang gila, sesudah meninggal kuburannya
dikeramatkan.
Dan
untuk menentukan kekeramatan ini, orang-orang Banjar mempunyai dua cara. Pertama,
secara diam-diam meletakkan langit-langit kain kuning di atas kuburan tersebut,
dan setelah beberapa waktu pasti akan diikuti oleh pemasangan langit-langit
atau kelambu kuning berikutnya. Cara kedua
ialah meletakkan anai-anai yang ada ratunya di atas kuburan tersebut, sehingga
setelah beberapa waktu tumbuh busut anai-anai di atas kuburan tersebut. Apabila
tumbuh busut dapat dipastikan akan ada orang yang meletakkan langit-langit atau
kelambu kuning di atasnya.[11]
Sementara
itu –masih menurut Sulaiman-, Muslim Kotawaringin barat mempunyai cara sendiri untuk
menentukan apakah seseorang yang dimakamkan di suatu tempat itu urung keramat (orang
keramat) atau tidak. Ada tiga kriteria yang mereka pakai untuk hal ini. Kriteria
pertama, keramat memang sudah ada sejak makam ditemukan dan yang dimakamkan memang dikenal kesalehannya selama hidupnya dan menunjukkan
kesaktian-kesaktiannya semasa hidup dan
matinya.
Kriteria
ini biasanya terdapat dalam cerita-cerita lisan yang mereka lihat pada jarak dua
nisan kubur. Jarak dua nisan kubur tersebut panjangnya tidak normal atau melebihi
nisan-nisan orang biasa, maka mereka menganggapnya sebagai makam keramat. Cerita
ini terlihat di makam kiai Gede yang jarak antara nisan satu dengan yang
lainnya 7 hasta, jarak yang dianggap tidak wajar dan berbeda dengan makam-makam
disekitarnya. Karenanya mereka mengganggap makam tersebut sebagai bukti kekeramatan
kiai Gede.
Kriteria
kedua, kesaktian-kesaktian yang diperlihatkan semasa hidupnya, tempat-tempat
peninggalannya seperti masjid dan kuburannya tidak tergeng air ketika banjir serta
kalau berhajat kepadanya terkabul.
Penentuan
ketiga melalui alamat yang diterima oleh seseorang. Misalnya kasus makam kramat
di samuda yang sekarang ramai di kunjungi orang. Menurut penuturan masyarakat setempat,
makam ini ditemukan oleh seorang penebang kayu garubuya
(kayu ramin), pohonnya besar-besar. Di tengah-tengah melakukan penebangan kayu, ia menemukan sebuah pekuburan terbuat dari
kayu bulat. Penebang kayu kaget, “Apa ini kuburan atau hanya kayu biasa?”. Ia pulang ke rumah dan malam harinya ia bermimpi ditemui oleh seseorang yang memberitahunya bahwa kuburan
itu adalah kuburan kramat yang sudah lama
berada disana, dan ia meminta supaya merawat kubururan tersebut dengan baik. Niscaya dibuatkan yang baru dan
diberi kubah sehingga banyak diziarahi.[12]
Salah
satu ciri aneh penghormatan terhadap para wali Jawa kedang-kadang ditemukannya
tempat keramat baru. Ada prinsip sufisme yang telah diterima luas bahwa tidak
semua wali sadar akan status khusus mereka. Karena itu, tidak aneh banyak yang tidak
mendapat penghormtan selama mereka masih
hidup. Pada waktu ruh wali yang meninggal itu akan mengirim pesan kepada
seseorang, biasanya melalui mimpi atau trance meditasi bahwa kuburannya adalah
tempat yang suci dan karena itu harus dihormati.[13]
Di
kalangan pesantren, penghormatan terhadap wali memiliki banyak bentuk, di mana salah
satunya adalah pembacaan riwayat hidup wali
atau yang lebih popular disebut manaqib. Pembacaan ini akan terasa lebih intens jika dihubungkan dengan aspek praktikal tasawuf tarekat.
Dalam
tarekat Naqsabandiyah misalnya, untuk menyudahi serangkaian amalan-khataman, satu amalan terpenting dalah membaca manaqib syeh Abdul Qadir al-Jilani
yang dilakukan oleh para khalifah dan dipimpinan
oleh seorang guru. Manaqib-an ini dilakukan sebagi salah satu ritual yang tidak
boleh ditinggalkan.[14]
Fazlurrahman
mendiskripsikan kepercayaan kepada karamah para wali, dalam kenyataannya adalah
bagian dari suatu konsep yang lebih luas tentang kekuasaan para wali yang
disampaikan melalui penganut-penganut sufi. Kekuasaan ini memancar dari sang pemimpin
spiritual dan mempengaruhi nasib baik spiritual maupun material dari
pengikutnya.
Kekuasaan
barakah atau fayd, atau ‘karunia’. Kepercayaan yang tersebar luas
tentang barakah ini menjurus kepada penghormatan, pemujaan makam para
wali, dan peninggalan-peninggalan lain yang berasal dari mereka.[15]
Pendapat
Fazlurrahman itu, bisa dipahami jika seseorang meyakini bahwa karamahnya para
wali tidak hanya pada waktu masih hidup, tetapi juga setelah meninggal, sebagaimana diyakini oleh mayoritas ulama’ ahl as-sunnah. Begitu pula dikatakan asy-Sya’rani yang diberitahu oleh guru-gurunya, bahwa Allah SWT menempatkan malaikat di
kuburannya untuk menyampaikan permohonan do’a
peziarah, dan kadang wali itu keluar untuk memenuhi kebutuhan peziarah pada Allah SWT.[16]
Inilah yang disebut tawassul, sebagai perantara kepada Allah SWT.
[1] Nurchalish Majid, Masyarakat
Religius, Jakarta: Paramadina, 2000, hlm 171
[2] Fazlurrahman, Islam, Bandung:
Penerbit Pustaka, 1984, hlm 196
[3] Ali Syariati, Membangun Masa depan
Islam, trj. Rahmani Astuti, Bandung, Mizan, 1989, hlm 104
[4] In’amuzzahidin, Dari Waliyullah
menjadi Wali Gila, antara tasawuf dan psikologi, Semarang: Syifa Press, 2007hlm
57
[5] Sulaiman al Kumayi, Kewalian dalam
perspektif Islam Lokal, Studi kasus Kotawaringin
barat, dalam jurnal teologia, semarang:
fak. Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang,
Volume 21 Nomor 1 Januari 2010hlm 190
[6] QS an- Naml :40
[7] Qs Ali Imran:37
[8] Fazlurrahman, Islam, hlm 221-222
[9] MR Woodward, Islam Jawa, Kesalehan
Normatif versus Kebatinan, Yogyakarta: LKiS,
2006 hlm 258
[10] ibid, hlm 289
[11] Sulaiman al Kumayi, Kewalian dalam
perspektif Islam Lokal, hlm 191
[12] Ibid, hlm 192
[13] MR Woodward, Islam Jawa , hlm 261
[14] Ahmad Gunaryo, Pesantren dan
Tasawuf, dalam Tasawuf dan Krisis, Pengantar; M
Amin Syukur dan
Abdul Muhayya, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001hlm 165
[15] Fazlurrahman, Islam, hlm 222
[16] Syaikh Ibrahim al Baijuri, Hasyiah
ala Jauhari at Tauhid, Semarang: Toha Putra,tt, hlm 90
No comments:
Post a Comment