ZIARAH KUBUR DALAM ISLAM



Pernyataan  C  Snouck  Hurgronje  dan  R.J  Wilkinson  yang  di  amini oleh Ignaz Goldziher membuat penulis geram. Mereka mengatakan, pemujaan Islam terhadap para wali itu membuka keleluasaan yang luas bagi manifestasi-manifestasi popular dari pengaruh Hindu terhadap sacara  Islam.  Kedalam kultus inilah  unsur-unsur India setiap hari menyatakan dirinya.

Terutama di dalam paham syi’ah di India, unsur-unsur itu telahmelahirkan beberapa fenomena yang istimewa. Dewa-dewa India berubah menjadi wali-wali Muslim, dan tempat-tempat suci India dengan  sendirinya  ditafsirkan  baru  dengan  semangat  Muslim.

Dari seluruh wilayah yang ditaklukkan Islam, tidak ada yang memberikan contoh-contoh yang begitu mencolok tentang dilestarikannya unsur-unsur paganisme, seperti halnya India dan Nusantara.[1] 

Melihat kesalahan persepsi di atas, penulis hanya akan memulai menggambarkan secara umum tradisi ziarah bukan datang dari Hindu atau bahkan ziarah ke makam wali disamakan dengan pemujaan dengan para Dewa di India.

Ziarah ke makam-makam para wali merupakan praktik yang sudah umum di seluruh dunia muslim. Diantara para wali yang paling umum diharap berkahnya adalah para wali pendiri ordo Sufi, para syuhada, dan raja-raja yang shalih.[2] 

Sebelum Islam datang, kuburan atau makam dijadikan tempat berpesta, berzina, memainkan alat musik  atau  permainan  lainnya  di  areal makam, sebagaimana pada hari besar. Rasulullah SAW memberikan peringatan terhadap perlakukan umat Islam supaya tidak mengikuti jejak umat terdahulu. Sebagaimana hadith yang datang dari Abu Hurairah berikut ini:

عن ابي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم لا تتخذوا قبري عيدا و لا تجعلوا بيوتكم قبورا و حيثما كنتم فصلوا علي فإن صلاتكم تبلغني[3]

Ada banyak pendapat mengenai maksud dari hadits tersebut, al Hafidz Zaki ad Din al-Mundziri dan Taqiuddin as-Subki, mengatakan bahwa pengertian hadits itu  untuk memperbanyak  ziarah ke  makam  Nabi  saw,  tidak  hanya  satu  tahun  dua kali  seperti  di  hari  raya.  Namun ada juga yang memahami bahwa maknanya adalah mencegah  berbuat tidak terpuji ketika ziarah seperti  bermain musik dan bermain sebagaimana ketika hari raya. Sebaiknya ziarah memberi salam, berdo’a di hadapan Nabi, mengharap barokahnya dan do’a dari jawaban salamnya, serta menjaga tata krama sebagaimana bertemu dengan Nabi SAW.[4] 

Landasan Normatif Ziarah Kubur

Kata ziyarah secara harfiyah berarti kunjungan. Apabila yang  dimaksud sebagai kunjungan ke sebuah makam seorang suci (wali), kata itu menjadi berarti seluru rangkaian perbuatan ritual yang telah ditentukan.[5] 

Sudah berlangsung berabad-abad, bahkan sejak Nabi Muhammad SAW bersabda, “Saya pernah melarang kalian ziarah kubur.” Hadist ini tidak jelas motif pelarangannya. Akan tetapi, larangan itu disebabkan kekhawatiran akan terjadi perbuatan syirik (menyekutukan Allah SWT) dan pemujaan terhadap kuburan atau pemujaan pada orang-orang mati, karena seorang yang ditimpa  musibah kematian salah seorang anggota keluarga terdekatnya, bisa  jadi  ia  akan mempertaruhkan “cinta kepada yang mati” dan “iman kepada Allah SWT” yang letak keduanya sangat tipis untuk bisa dibedakan dalam batin  seseorang  yang  ketika  itu  baru  memeluk  Islam.

Rasulullah SAW sangat menguatirkan sesuatu yang baru ditanamkan ke dalam jiwa para pengikutnya, ialah akidah Islam. Akan tetapi setelah keimanan para sahabat dirasakan oleh Nabi SAW begitu kuat dan  tidak  akan  goyah  sebab kematian, maka Nabi SAW pun menyatakan: “maka, sekarang lakukanlah ziarah kubur, karena ziarah kubur itu dapat mengingatkan pada akhirat.” Redaksi hadist selengkapnya sebagai berikut:

عن سليمان بن بريدة عن ابيه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم قد كنت نهيتكم عن زيارة القبور فقد أذن لمحمد في زيارة قبر أمه فزورها فإنها تذكرالآخرة (رواه الترمذي)

Diriwayatkan dari Sulaiman bin Baridah dari Bapaknya. Rasulullah berkata: “Dulu aku mencegah kalian berziarah kubur. Selanjutnya Muhammad diberi izin untuk menziarahi ibunya. Maka berziarahlah kalian, karena disitu kalian akan ingat akhirat.”[6]

Rasulullah SAW sendiri sering melakukan ziarah kubur, utamanya di malam hari. Beliau sering mendatangi pekuburan Baqi‘ al-Gharqad dan disaksikan oleh ‘Aishah RA sebagaimana diriwayatkan dalam hadist ini:

عن عائشة أنها قالت كان رسول الله صلى الله عليه و سلم كلما كان ليلتها من رسول الله صلى الله عليه و سلم يخرج من آخر الليل الى البقيع فيقول السلام عليكم دار قوم مؤمنين و أتاكم ما توعدون غدا مؤجلون و إنا إن شاء الله بكم لاحقون اللهم اغفر لأهل بقيع الغرقد (رواه مسلم)

Diriwayatan dari ‘Aisyah, Dia berkata bahwa Rasulullah terkadang pada akhir dari malam hari keluar untuk pergi ke Baqi’. Beliau berkata “Semoga keselamatan tercurah pada kalian, wahai penghuni rumah kaum mukmin. Kami dan kalian akan bertemu esok hari (hari Kiamat), dan sebagian dari kita akan mengharapkan syafaat dari sebagian yang lain. Insya Allah, kami akan menyusul kalian. Ya Allah, ampunilah penghuni Baqi’ Al-Gharqad.”[7]  

Masih banyak lagi hadits-hadits yang menjelaskan disyari’atkannya ziarah kubur. Namun ada juga yang mengatakan bahwa hadits-hadits tentang ziarah sebagian besar adalah hadits  da’if

Sayyid Muhammad bin Alwi al Maliki al Hasani membantah tuduhan itu dengan mengatakan banwa para hafidz hadits dan para  Imam Hadits yang terpercaya, begitu pula Imam empat (Imam  Syafi’i, Abu Hanifah, Malik dan Hambal) menyebut di dalam kitab-kitab mereka bahwa ziarah Nabi Muhammad SAW termasuk syari’at. Hadits yang menunjukkan itu termasuk golongan hadits hasan, namun ada yang mengganggap sohih seperti Ibn Sakan, as-Subki, dan as- Suyûti.[8]

Kalangan fuqaha’ mazhab Hanafi, Syafi‘i, Maliki dan Hambali berpendapat bahwa hukum ziarah ke makam Rasululullah SAW adalah sunnah. Sayyid Abu Bakr bin Muhammad  Shata  al-Dimyati (w.  1302 H.), yang dikenal dengan panggilan al-Bakri, dalam kitabnya I‘anah al-Tâlibin menyatakan:

Disunahkan Berziarah dimakam Nabi SAW karena itu termasuk mendekatkan diri pada Allah yang paling agung, baik bagi leki-laki atau perempuan. Sebagian Ulama’ seperti Ibnu Rif’ah  dan al-Qomuli, juga mengatakan hal itu. Begitu pula berziarah ke makam nabi-nabi, para ulama’ dan para wali. Karena berziarah kemakam mereka tidak sama dengan jika berziarah ke makam kerabat. Berziarah makam mereka bertujuan untuk mengagungkannya. Sehingga diharapkan mendapat perkara ukhrowi (akhirat).”[9]

Hal yang senada juga dikatakan oleh Iman Nawawi dalam al- Majmu’ syarh al-Muhadzab, kitab al-Idhah fil Manasik, Imam Al-Mahalli  dalam Syarah al Minhaj, Imam Zakaria al-Anshori dalam Fath al-Wahâb ‘ala Manhaj at-Thulâb, Ar-Romli dalam Nihâyah al-Mutaj fi Syarh al-Minhaj, Khatib As- Syarbini dalam Mughni al-Muhtaj  fi  Syarh  al-Minhaj,  Ibnu  Hajar al-Haitami dalam Tuhfah al-Minhaj syarah al-Manhaj,[10] dan seluruh ulama sepakat (ijma’) bahwa ziarah ke makam  nabi (khususnya), orang-orang saleh, para syahid, ulama, para wali  dan kerabat hukumnya sunnah.[11]  

Kemapanan disyari’atkannya ziarah ini berlangsung kurang lebih sudah  14 abad sejak Rasulullah, yang kemudian para ulama’ ijma’ mengenai hal tersebut. Sehingga pada awal abad empat belas di Syiria (Syam) muncul kaum fanatik yang tidak banyak jumlahnya, tampillah Taqi ad-Din ibn Tamiyyah[12] sebagai juru bicara yang lantang dalam khotbah-khotbahnya dan tulisan-tulisannya menempatkan negara Islam yang berkuasa sibuk memilah-milah antara sunah dan bid’ah. 

Dia menentang segala macam “pembaharuan”, yang telah mengubah konsep asli Islam baik dalam doktrin maupun praktik.  Dengan semangat yang sama ditentangnya pengaruh-pengaruh filasafat yang telah berhasil menyusupi Islam (termasuk dalil kalam Asy’ariah). Juga ditentangnya kultus terhadap Nabi dan  wali-wali.  Ia mencela sebagai bertentangan dengan iman. Berziarah ke makam Nabi yang diberi nilai keagamaan yang tinggi dan dipandang sebagai pelengkap ibadah haji ke makah, dengan keras ditentangnya.[13] 

Akan tetapi Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasani menukil kitab Ibnu Taimiyah yang berjudul Iqtidho  as-Sirot  al-Mustaqim yang menunjukkan bahwa sebenarnya ia bukan penentang  ziarah  secara  mutlak  dan  mengakui keramat-keramat waliyullah : 

Kejadian yang di luar kebiasaan yang terjadi di kuburan para nabi dan  orang-orang shalih seperti turunnya cahaya dan malaikat di kuburan  tersebut, setan dan binatang menjauhi tempat itu, api terhalang untuk membakar kuburan dan orang yang berada di dekatnya, sebagian dari para nabi dan orang-orang shalih memberi syafaat kepada orang-orang mati yang menjadi tetangga mereka, kesunnahan mengubur jenazah di dekat kuburan mereka, memperoleh kedamaian dan ketenteraman saat berada di dekatnya, dan turunnya adzab atas orang yang menghina kuburan tersebut, maka hal-hal ini adalah  benar  adanya  dan  tidak  termasuk  dalam  topik bahasan tentang  diharamkannya menjadikan kuburan sebagai masjid. Apa yang  terjadi  pada kuburan  para nabi dan  orang-orang shalih dari kemuliaan  dan  rahmat Allah SWT dan apa yang diperoleh di sisi Allah SWT dari kehormatan dan kemuliaan itu berada di atas anggapan banyak orang.[14]

  Tuntutan Ibn Taimiyah tidak berhasil. Karena tokoh alim ulama dengan gelar Hujjah al-Islam, Abu Hamid Muhammad al-Ghazali telah berhasil menemukan formula untuk menyelaraskan antara ritualisme, rasionalisme, dogmatism, dan mistikisme. 

Sistem al-Ghazali ini telah menjadi khazanah umum bagi Islam Suni sebelumnya. Karena kontroversinya itu, kemudian Ibnu Taimiyah di seret ke depan mahkamah alim Ulama’ yang satu ke yang lain dan meninggal di penjara tahun 1328. Pada zaman berikutnya tema literature agama yang menonjol ialah mempertanyakan apakah Ibnu Taimiyah seorang bid’ah  atauklah  seorang fanatikus sunah yang tegar.[15]

Selama empat abad pengaruh Ibn Taimiyah terpendam namun tetap terasa. Karta-karyanya dibaca dan diteliti; banyak kalangan Islam karya-karyanya itu menjadi kekuatan diam-diam, yang setiap saat akan melontarkan ledakan permusuhan terhadap bid’ah. Pada abad ke delapan belas, muncul Muhammad ibn Abd al-Wahab (1787 M) yang diilhami oleh studi yang mendalam terhadap tulisan-tulisan Ibn Taimiyah meneruskan perjuangannya kembali.[16] 

Sebenarnya Ibn Abd al-Wahhab juga tidak senantiasa mengharamkan ziarah kubur, mengkafirkan orang yang bertawasul dengan orang-orang yang sholih, dan mengkafirkan Ibn Arobi. Ia  mengingkari hal itu dalam ar-Risalah al-Ula, yang dinukil oleh Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasani :

Sulaiman bin Suhaim memfitnah Ibnu Abdul Wahab dengan mengatakan bahwa dia menganggap sesat semua kitab madzhab empat, bahwa manusia semenjak 600 tahun yang silam tidak menganut agama yang benar, mengklaim mampu berijtihad dan lepas dari taqlid.

Perbedaan para ulama adalah malapetaka dan Ibnu Abdul Wahab mengkafirkan  orang  yang  melakukan tawassul dengan orang-orang  shalih, dan saya mengkafirkan Imam Al-Bushoiri karena ucapannya: Wahai Makhluk paling mulia.

Ibnu Abdul Wahab difitnah lagi ingin meruntuhkan kubah Rasululllah SAW dan jika mampu mengambil talang Ka’bah yang terbuat dari emas selanjutnya akan menggantinya dengan talang kayu. Mengharamkan ziarah ke makam Nabi SAW, mengingkari ziarah ke makam kedua orang tua  dan  makam orang lain, mengkafirkan orang yang bersumpah dengan selain Allah, mengkafirkan Ibnu Faridl dan  Ibnu  ‘Araby, dan bahwasanya saya membakar kitab Dalailul Khairat dan Raudlul Rayaahin yang kemudian saya namakan Raudlul Syayaathiin. 

Jawaban Ibnu Abdul Wahab atas tuduhan telah mengucapkan perkataan-perkataan di atas adalah:

سبحانك اللهم هذا بهتان عظيم
Maha suci Engkau (ya Tuhan kami), ini adalah Dusta yang besar.”[17]

Tujuan Ziarah

Selanjutnya mengenai tujuan ziarah kubur salah satunya adalah mendo’akan orang yang diziarahi dan minta do’a kepadanya khususnya para nabi, wali-wali, dan orang-orang sholih. Para ulama’ ahl as-Sunnah sepakat tentang bermanfaatnya do’a kepada orang yang sudah meninggal walaupun yang berdo’a adalah orang kafir.[18]

Begitu pula az-Zuhaili menulis dalam kitabnya al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, bahwa para ulama sepakat bermanfaatnya kepada orang yag sudah meninggal, do’a, istighfar seperti “allahummaghfirlahu warhamhu wa ‘afihi wa’fuanhu”,  sodaqah, menjalankan  kewajiban-kewajiban badaniyah dan maliyah yang belum dikerjakan mayit  sebagai  ganti,  seperti  haji.  Karena  ada firman Allah :

و الذين جاؤوا من بعدهم يقولون ربنا اغفر لنا و لإخواننا الذين سبقون بالإيمان و لا تجعل في قلوبنا غلا للذين آمنوا ربنا إنك رؤوف رحيم

dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb Kami, beri ampunlah Kami dan saudara-saudara Kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati Kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb Kami, Sesungguhnya  Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang."[19]

Namun, Para ulama berbeda pendapat tentang sampainya  pahala  ibadah badaniyah al-mahdhoh (yang dilakukan dengan badan sendiri), seperti sholat dan membaca al-Qur’an untuk orang yang tidak  melakukannya.

Ada dua pendapat, pandangan madzhab Hanafi, Hambali, ulama Syafi’iyah yang terakhir, dan Maliki mengatakan bisa sampai pahala bacannya jika ditujukan pada mayit, dan berdoa setelahnya meskipun ghoib (tidak berada dikuburannya). Karena membaca al-Qur’an akan turun rahmat dan barokah, juga dengan berdo’a bisa diharapkan dikabulkan do’anya,[20] apalagi jika berada di makam waliyullah, yang diyakini mereka adalah orang-orang yang dekat dengan Allah SWT dan dilimpahi berkah serta karomah dari Allah SWT.




[1] Ignaz Goldziher, Pengantar Teologi Dan Hukum Islam , Jakarta: INS, 1991, hlm 250
[2] MR Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan, Yogyakarta:  LKiS, 2006, hlm 265
[3] Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, hadist ke 8790, Juz. II, Kairo: Mu’assasah Qurtubah, th,  hlm 367.
[4] Muhammad  bin  Alwi  al-Maliki  al-  Hasani,  az  -Ziarah  an  Nabawiyah;  Baina  Syariyyah wa al Bidah, Birut: Kulliah Ad Dakwah Al Islamiyah, 1420 H, hlm 136-138. Sayyid  Muhammad  mengatakan  bahwa  Hadits  ini  para  ulama’  hadits  berbeda  pendapat tentang riwayat dari Abdullah bin Nafi’ as-Shonigh. Imam Ahmad Bin Hambal dan Abu Hatim ar Rozi  mengatakan  hadits  itu  dho’if,    Yahya  bin  Muin.  Menganggapnya  kuat, sedangkan  pendapat Abu Zar’ah, tidak ada masalah dengannya, begitu pula al Mundzir di dalam muhtasornya. Namun dalam  Mujma’  az  Zawaid,  hadis  yang  sama  diriwayatkan  oleh  Abu  Ya’la,  dan  Abu  Hafs  ibn Ibrahim Al Ja’fari, Ibn Abi Hatim tidak menyebutkan ada Jarh  (kecacatan).
[5] Dr.  F  de  Joung,  Hari-Hari  Ziarah  Kairo,  dalam  Studi  Belanda  Konteporer  Tentang Islam, Dibawah redaksi Herman Leonard Beck dan Niko Keptein, Jakarta: INIS, 1993, hlm 2
[6] Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin Dihak al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi, Juz. IV Beirut: Dar al-Gharb al Islami, 1998, hlm 311
[7] Muslim,  Abu al- Husayni ibn al-Hajjaj al-Qusayri al-Naysaburi. Shahih Muslim. Juz: 1. ,hlm 669
[8] Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasani, az Ziarah an Nabawiyah, hlm 9
[9] Lihat: Sayyid  Abu Bakr Muhammad  Shata al-Dimyati, I‘anah alTalibin ‘ala Hall Alfaz Fath al-Mu‘in , juz 2,  Beirut: Dar Ibnu ‘Ashomah, 2005, hlm 162
[10] Muhammad  bin  Alwi  al  Maliki  al  Hasani,  Syifa’  al  Faur  fi  Ziyarah  Khoir  al  Ibad, hlm, 71-72.
[11] Sayyid Abu Bakr Muhammad Shata al-Dimyati, I‘anah at-Talibin ‘ala Hall Alfaz Fath al-Mu‘in, juz 2, hlm 161
[12] Nama  lengkapnya  Taqiy  ad  Din    al  Abbas  Ahmad  bin  Abd  al  Halim  bin  Abd  as  Salam bin Abdullah ibn Muhammad bin Taimiyyah al Harrani. Ia dilahirkan pada hari senin, 10 rabi’ al awwal 661 H/ 22 Januari 1263 M di Harran, dekat damaskus. Dan wafat di damaskus pada malam Senin 20 Zulkhidjah 728 H/ 26 September 1328 M; Lihat:  Syarodin, Metode Pemahaman Hadits Ibn Taimiyah, Skripsi S 1, Fak Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, 1999, hlm 112
[13] Ignaz Goldziher, Pengantar Teologi Dan Hukum Islam ,  hlm 235
[14] Muhammad bin Alwi al Maliki al Hasani, az- ziarah an- nabawiyah , hlm 84-85
[15] Ignaz Goldziher, Pengantar Teologi Dan Hukum Islam , hlm 235
[16] Ibid,  hlm 236
[17] Muhammad bin Alwi al Maliki al Hasani, Mafahim Yajib Antusohhiha,cet 11, tp, 1425 H, hlm 83-84
[18] Syaikh Ibrahim al- Baijuri, Hasyiah ‘ala Jauhari at- Tauhid , Semarang, tt, hlm 91
[19] Qs Al Hasyr: 10
[20] Wahbah  az  Zuhaili,  al  Fiqh  al  Islam  wa  adilatuhu ,  juz  2,  Bairut:  Dar  Al  fikr,  2008, hlm 483-484

No comments:

Post a Comment