MAKNA KEHIDUPAN ALAM BARZAH



Disini akan dijelaskan tentang makna kehidupan itu. Kehidupan itu adalah kehidupan barzah dan kehidupan itu tidaklah sama dengan kehidupan kita sekarang ini, tetapi merupakan kehidupan yang khusus yang pantas untuk mereka –orang-orang yang sudah mati- dan untuk alam dimana mereka berada. Namun harus aku jelaskan kepada kalian kalau kehidupan itu bukanlah seperti kehidupan kita sekarang ini, karena kehidupan kita sekarang ini adalah kehidupan yang pendek, hina, sempit dan lemah.

Manusia di dunia ini berada diantara ibadah, ‘adah, ketaatan, kemaksiatan dan kewajiban-kewajiban yang berbeda-beda untuk dirinya sendiri, keluarga dan untuk Tuhannya. Suatu saat dia dalam keadaan suci, suatu saat tidak, suatu saat dia berada didalam masjid dan suatu saat dia berada ditanah lapang, dan dia tidak tahu dengan apa hidupnya akan ditutup? Terkadang diantara dia dan surga hanya berjarak satu jengkal kemudian kejadian itu dibalik seratus delapan puluh derajat diakhir hayatnya sehingga dia menjadi salah satu penghuni neraka, dan begitu juga sebaliknya.

Adapun di alam barzah, jika dia termasuk orang yang beriman, maka dia bisa melewati jembatan cobaan yang tidak akan bisa untuk melewatinya kecuali orang-orang yang beruntung. Kemudian terkadang taklif terputus darinya sehingga dia menjadi ruh yang bersinar, suci dan mengembara di alam malakut Allah (: alam keghaiban) dan kerajaan-Nya subhanahu wa ta’ala, yaitu alam yang tidak ada kesusahan, kesengsaraan dan mara bahaya, karena disitu tidak ada harta, kebun, emas, perak, hasut, perbuatan jahat dan dendam. Dan jika manusia itu tidak beriman maka kejadiannya akan menjadi sebaliknya.

Boleh jadi ada orang yang bertanya bagaimana kehidupan itu? Kita tidak dapat menjelaskannya. Memang ada saja orang yang berusaha mengilmiahkan kehidupan disana, tetapi agaknya hal tersebut lebih banyak merupakan kemungkinan, walaupun ada sekian riwayat yang dijadikannya pegangan.

Mustafa al-Kik, misalnya, berpendapat bahwa manusia memiliki “jasad ganda”: pertama, jasad duniawi, dan kedua jasad barzahi. Dia dalam kitab Baina ‘Alamain setelah mengutip banyak pendapat ulama’ tentang hal di atas, berusaha untuk menjelaskan hal tersebut dengan teori frekuensi dan gelombang suara. Contoh konkretnya yang dia kemukakan adalah radio yang dapat menangkap sekian banyak suara yang berbeda-beda melalui gelombang yang berbeda-beda. Walaupun ia saling masuk-memasukki, namun ia tidak menyatu dan tetap berbeda. Ini pula yang menjadikan kita tidak dapat melihat sesuatu yang sebenarnya “ada” namun kita tidak melihatnya akibat perbedaan frekuensi dan gelombang-gelombang itu. Apa yang dikemukakan ini –menurutnya- sejalan dengan informasi al-Qur’an, antara lain yang berbicara tentang keadaan seseorang yang sedang sekarat:

فَلَو لاَ إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ وَ أَنْتُمْ حِيْنَئِذٍ تَنْظُرُونَ وَ نَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْكُمْ وَ لَكِنْ لاَ تُبْصِرُونَ
“Maka mengapa ketika nyawa telah sampai ke kerongkongan, padahal kamu ketika itu melihat (yang sekarat), sedangkan (malaikat) Kami lebih dekat kepadanya darimu, tetapi kamu tidak melihat.” (QS. Al Waqi’ah: 83-85)

Atau firman-Nya:

فَلاَ أُقْسِمُ بِماَ تُبْصِرُونَ وَ ماَ لاَ تُبْصِرُونَ
“Aku (Allah) tidak bersumpah dengan apa yang kamu lihat dan yang kamu tidak lihat.” (QS. Al Haqqah: 38-39)


“Kedua ayat di atas telah mengemukakan teori gelombang dan getaran yang sangat jelas dan gamblang. Keduanya telah membagi materi menjadi dua macam, yang sejalan dengan tingkat bumi sehingga dapat dilihat oleh mata, dan yang tidak sejalan karena tingginya gelombangnya, sehingga tersembunyi dari pandangan dan tidak terlihat oleh mata. Dengan demikian, kedua ayat di atas menunjukkan ke alam materi yang terasa oleh kita semua, dan alam lain yang tinggi yang tersembunyi dari mata kita. Teori ini juga menafsirkan kepada kita jawaban Nabi saw ketika kaum muslim mempertanyakan pembicaraan beliau dengan ahli al-Qalib (: tokoh-tokoh kaum musyrik yang mati dalam peperangan Badar) sebagaimana yang telah dikemukakan di atas.” Seperti itulah perkataan Mustafa al-Kik dalam kitabnya Baina ‘Alamain hal. 51.  

No comments:

Post a Comment