MUNADA

Munada adalah isim yang jatuh setelah huruf nida’, seperti (ياَ عَبْدَ اللهِ).[1]

Huruf Nida’

Huruf nida’ ada tujuh, yaitu (ياَ), (أ), (أَيْ), (آ), (هَياَ), (أَياَ) dan (وَا).[2]

(أَيْ) dan (أَ) digunakan untuk menyeru sesuatu yang dekat. (أَياَ), (هَياَ) dan (آ) untuk menyeru sesuatu yang jauh. (ياَ) untuk semua munada, baik dekat, jauh atau sedang. (وَا) untuk ratapan, yaitu digunakan untuk meratapi sesuatu yang dianggap sakit, seperti (وَا كَبِدِي!) “aduh liverku.”

(ياَ) ditentukan dalam menyeru nama Allah ta’ala, sehingga nama Allah tidak boleh diseru dengan yang lainnya, dan dalam istighatsah (permintaan tolong), sehingga tidak diperbolehkan meminta tolong dengan selain (ياَ).

(ياَ) dan (وَا) ditentukan untuk nudbah (ratapan), sehingga selain keduanya tidak bisa digunakan untuk nudbah, namun (وَا) dalam nudbah lebih banyak digunakan dibandingkan (ياَ), karena (ياَ) digunakan untuk nudbah ketika diamankan dari keserupaan dengan nida’ yang hakiki, seperti syair,

حُمِّلْتَ اَمْراً فَاصْطَبَرْتَ لَهُ * وَ قُمْتَ فِيْهِ بِأَمْرِ اللهِ ياَ عُمَراَ !
Pembagian Munada

Munada terbagi menjadi lima, yaitu munada mufrad ma’rifat, munada nakirah maqshudah, munada nakirah ghairu maqshudah, munada mudlaf dan munada syibih mudlaf.[3]

Munada mufrad alam atau mufrad ma’rifat adalah munada yang tidak berupa mudlaf atau syibeh mudlaf, baik munada itu berupa tatsniyyah atau jama’, seperti (ياَ زَيْدُ), (ياَ زَيْدَانِ), dan (ياَ زَيْدُونَ).

Munada nakirah maqshudah adalah semua isim nakirah yang jatuh setelah huruf nida’ dan dimaksudkan untuk memu’ayyankannya (untuk sesuatu yang tertentu), seperti (ياَ رَجُلُ) “Wahai anak muda (yang ada dihadapan mutakallim).”

Munada nakirah ghairu maqsudah adalah semua isim nakirah yang jatuh setelah huruf nida’ yang dimaksudkan tidak untuk sesuatu yang tertentu, seperti orang buta yang mengucapkan (ياَ رَجُلاً خُذْ بِيَدِي) “Wahai anak muda! Peganglah tanganku.”

Munada mudlaf adalah munada yang berupa susunan mudlaf-mudlaf ilaih, seperti (ياَ غُلاَمَ زَيْدٍ) “Hei pembantunya Zaid.”

Munada syibih mudlaf adalah munada yang berupa lafal yang membutuhkan pada lafal yang lainnya untuk kesempurnaan maknanya, seperti (ياَ طاِلِعاً جَبَلاً) “Hei pendaki gunung.”

Hukum Munada

Hukum dari munada adalah dibaca nashab, adakalanya secara lafdzi atau mahalli.

Dan amil yang menashabkannya adakalanya berupa fi’il yang dibuang dengan penakdiran (اَدْعُو) yang sebagai penggantinya adalah huruf nida’, dan adakalanya huruf nida’ itu sendiri karena mengandung makna (اَدْعُو). Menurut pendapat yang pertama, maka munada itu menjadi maf’ul bih bagi fi’il yang dibuang, dan menurut pendapat yang kedua, maka munada dinashabkan oleh (ياَ).[4]

Munada dibaca nashab secara lafdzi (dengan arti munada sebagai isim mu’rab yang dibaca nashab seperti dibaca nashabnya isim yang mu’rab), ketika munada berupa nakirah ghairu maqshudah, mudlaf atau munada syibeh mudlaf, seperti (ياَ غَافِلاً تَنَبَّهْ), (ياَ عَبْدَ اللهِ) dan (ياَ حَسَناً خُلُقُهُ).

Dan munada dibaca nashab secara mahalli (dengan arti munada itu mabni tapi bermahall nashab), ketika munada berupa mufrad ma’rifat atau nakirah maqshudah, seperti (ياَ زُهَيْرُ) dan (ياَ رَجُلُ). Dan kemabnian munada itu sesuai dengan rafa’nya, yaitu dengan dlammah tanpa ditanwin atau alif atau waw, seperti (ياَ عَلِيُّ), (ياَ مُوسَى), (ياَ رَجُلُ), (ياَ فَتَى), (ياَ رَجُلاَنِ) dan (ياَ مُجْتَهِدُونَ).

Munada yang Mabni

Ketika munada, yang seharusnya dimabnikan, sudah mabni sebelum dijadikan munada, maka dia ditetapkan pada harakat bina’nya, sehingga diucapkan kalau dia dimabnikan dlamm yang dikira-kirakan yang mencegah dari memperlihatkannya adalah harakat mabninya yang asli,[5] seperti (ياَ سِيْبَوَيْهِ), (ياَ حَذَامِ), (ياَ خَباَثِ), (ياَ هَذَا) dan (ياَ هَؤُلاَءِ). Dan pengaruh dari dlammahnya mabni yang dikira-kirakan itu dapat terlihat pada lafal yang mengikuti munada, seperti (ياَ سِيْبَوَيْهِ الْفاَضِلُ).

Ketika munada berupa mufrad alam yang disifati dengan (ابْنٌ) dan tidak ada pemisah diantara keduanya, dan (ابْنٌ) diidlafahkan kepada alam, maka diperbolehkan dalam munada dua wajah, yaitu mendlammahnya untuk dimabnikan dan dibaca nashab, seperti (ياَ خَلِيْلُ بْنَ اَحْمَدَ) dan (ياَ خَلِيْلَ بْنَ اَحْمَدَ), dan membaca fathah adalah yang lebih baik. Adapun pendlammahannya adalah sesuai dengan kaidah, karena dia berupa munada mufrad ma’rifat. Sedangkan membacanya nashab adalah dengan I’tibar kalau (ابْنٌ) adalah zaidah, sehingga (خَلِيْلَ) menjadi mudlaf dan (اَحْمَدَ) menjadi mudlaf ilaih. Pensifatan dengan (ابْنَةٌ) adalah sama dengan (ابْنٌ).[6]

Adapun pensifatan dengan (بِنْتٌ), maka tidak bisa merubah kemabnian mufrad alam, sehingga tidak diperbolehkan ketika bersamanya kecuali dimabnikan dlamm, seperti (ياَ هِنْدُ بِنْتَ خاَلِدٍ).

Diwajibkan mendlammah munada pada semisal (ياَ رَجُلُ ابْنَ خاَلِدٍ) dan (ياَ خاَلِدُ ابْنَ اَخِيْناَ), karena tidak adanya sifat alam pada munada dalam contoh pertama, dan adanya sifat alam pada lafal yang diidlafahkan kepada (ابْنٌ) dalam contoh kedua, karena ketika kita membuang (ابْنٌ), maka akan kita ucapkan (ياَ رَجُلَ خَالِدٍ) dan (ياَ خاَلِدَ اَخِيْناَ), yang pada pengidlafahan itu tidak ada maknanya.

Begitu juga diwajibkan untuk mendlammah pada semisal (ياَ عَلِيُّ الْفَاضِلُ ابْنَ سَعِيْدٍ), karena wujudnya pemisah, karena tidak diperbolehkan memisah diantara mudlaf dan mudlaf ilaih.

Ketika munada mudlaf diulang-ulang, maka kita diperbolehkan untuk membaca kedua isim secara bersamaan, seperti (يَا سَعْدَ سَعْدَ الْأَوْسِ) atau memabnikan dlamm isim pertama, seperti (يَا سَعْدُ سَعْدَ الْأَوْسِ). Adapun isim yang kedua, selamanya harus dibaca nashab.[7]

Munada yang seharusnya dimabnikan dlamm, ketika syair terpaksa untuk mentanwinnya, maka diperbolehkan untuk mentanwinnya dengan didlammah atau dinashab. Pada keadaan yang pertama dia mabni dan pada keadaan kedua dia dii’rabi nashab seperti alam yang diidlafahkan. Yang pertama seperti syair,

سَلاَمُ اللهِ ياَ مَكَرٌ عَلَيْهاَ * وَ لَيْسَ عَلَيْكَ ياَ مَطَرُ السَّلاَمُ

Dan yang kedua seperti syair,

ضَرَبَتْ صَدْرَهاَ اِلَيَّ وَ قَالَتْ: * ياَ عَدِياًّ لَقَدْ وَقَتْكَ الْأَوَاقِي

Diantara ulama’ ada yang memilih dimabnikan, ada yang memilih nashab dan ada yang memilih mabni ketika bersama alam, dan nashab ketika bersama isim jinis. 

Faidah:

Ketika (ابْنُ) atau (ابْنَةٌ) berada diantara dua alam, pada selain nida, dan keduanya diinginkan untuk mensifati alam, maka jalannya adalah tidak mentanwin alam yang ada sebelum keduanya ketika rafa’, nashab atau jer, karena untuk meringankan, dan hamzahnya (ابْنُ) dibuang[8], sehingga diucapkan (قَالَ عَلِيُّ بْنُ اَبِي طاَلِبٍ), (اُحِبُّ عَلِيَّ بْنَ اَبِي طاَلِبٍ) dan (رَضِيَ اللهُ عَنْ عَلِيِّ بْنِ اَبِي طاَلِبٍ). Dan juga diucapkan (هِنْدُ ابْنَةُ خاَلِدٍ), (رَأَيْتُ هِنْدَ ابْنَةَ خاَلِدٍ) dan (مَرَرْتُ بِهِنْدِ ابْنَةِ خاَلِدٍ).

Adapun jika keduanya tidak untuk mensifati alam, tetapi untuk mengabarkan alam, maka alam wajib ditanwin dan hamzahnya (ابْنُ) ditetapkan, sehingga kita ucapkan (خاَلِدُ ابْنُ سَعِيْدٍ), (إِنَّ خاَلِداً ابْنُ سَعِيْدٍ) dan (ظَنَنْتُ خاَلِداً ابْنَ سَعِيْدٍ).

Jika keduanya jatuh diantara alam dan selain alam, maka jalannya adalah mentanwin alam sebelumnya secara mutlak, meskipun keduanya menjadi sifat bagi alam atau khabarnya, seperti (هَذَا خاَلِدٌ ابْنُ اَخِيْناَ) dan (خاَلِدٌ ابْنُ اَخِيْناَ).

Menyeru Dlamir

Menyeru dlamir adalah syadz dan langka terjadinya dalam kalam, dan Ibnu ‘Ushfur meringkasnya hanya dalam syair, sedangkan Abu Hayyan memilih kalau dlamir sama sekali tidak boleh diseru. Khilaf itu terjadi pada dlamir khithab, sedangkan menyeru dlamir takallum dan ghaib, maka para ulama’ telah sepakat akan ketidak-bolehannya,[9] sehingga tidak boleh diucapkan (ياَ أَناَ), (ياَ إِياَّيَ), (ياَ هُوَ) dan (ياَ إِياَّهُ).

Ketika kita menyeru dlamir, maka kita diperbolehkan untuk memilih untuk mendatangkannya dengan dlamir rafa’ atau dlamir nashab, sehingga kita ucapkan (ياَ اَنْتَ) dan (ياَ إِياَّكَ). Pada kedua kedua keadaan itu, dlamir hukumnya mabni dlamm yang dikira-kirakan dan bermahall nashab. Semisal dlamir adalah (ياَ هَذَا), (ياَ هَذِهِ) dan (ياَ سِيْبَوَيْهِ), karena dia adalah mufrad ma’rifat.

Menyeru Lafal yang ada (ال)

Ketika ingin membuat munada lafal yang ada (ال), maka sebelum lafal itu didatangkan lafal (أَيُّهاَ), untuk mudzakar, atau (أَيَّتُهاَ), untuk mu’annats, dan keduanya ditetapkan dengan menggunakan satu lafal ketika bersama tatsniyyah atau jama’ dan dengang menjaga mudzakar dan mu’annatsnya atau didatangkan dengan isim isyarah,[10] seperti (ياَ أَيُّهاَ الإِنْساَنُ ماَ غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيْمِ؟), (ياَ أَيَّتُهاَ النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي اِلَى رَبِّكِ راَضِيَةً مَرْضِيَّةً) dan (ياَ هَذَا الرَّجُلُ وَ ياَ هَذِهِ الْمَرْأَةُ).

Kecuali jika munadanya berupa lafal Jalalah, maka (ال) masih ditetapkan dan hamzahnya wajib dijadikan hamzah qatha’ seperti (ياَ أَللهُ). Namun, kebanyakan ketika bersama lafal jalalah, huruf nida’ dibuang dan sebagai penggantinya adalah mim yang ditasydidi dengan difathah untuk menunjukkan pada pengagungan, seperti (اَللَّهُمَّ ارْحَمْناَ). Dan tidak diperbolehkan untuk mensifati lafal (اَللَّهُمَّ), baik lafal atau mahallnya, menurut qaul shahih, karena itu belum pernah didengar dari orang Arab.[11] Adapun lafal (قُلِ اللَّهُمَّ فاَطِرَ السَّمَوَاتِ وَ الْأَرْضِ), maka itu adalah menggunakan nida’ yang lain, artinya (قُلِ اللَّهُمَّ ياَ فاَطِرَ السَّمَوَاتِ وَ الْأَرْضِ).

Ketika kita menyeru isim alam yang bebarengan dengan (ال) secara asal kejadian, maka kita wajib membuang (ال), sehingga kita ucapkan pada (العَبَّاسُ), (الفَضْلُ) dan (السَّمَوأَلُ) dengan (ياَ عَباَّسُ), (ياَ فَضْلُ) dan (ياَ سَمَوْأَلُ).

Faidah:

Lafal (اَللَّهُمَّ) digunakan pada tiga keadaan, yaitu:[12]

a.  Murni untuk nida’, seperti (اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي).
b. Diucapkan oleh orang yang menjawab karena untuk lebih memantapkan pendengar, seperti kita ditanya (أَخاَلِدٌ فَعَلَ هَذَا؟) “apakah Khalid melakukan ini?” lalu kita jawab (اَللَّهُمَّ نَعَمْ) “Allahumma, iya.
c.  Digunakan untuk menunjukkan pada langkanya terjadinya lafal yang disebutkan bersamanya, seperti perkataan kita kepada orang yang bakhil (إِنَّ الأُمَّةَ تُعظِمُكَ اللهُمَّ إِنْ بَذَلْتَ شَطْراً مِنْ ماَلِكَ فِي سَبِيْلِهِ) “umat akan memuliakan kamu, allahumma, jika kamu menyerahkan sebagian dari hartamu untuk mereka.

Lafal Yang Mengikuti Munada

Jika munadanya mabni, maka lafal yang mengikutinya ada empat macam, yaitu:[13]

a. Lafal yang wajib dibaca rafa’ karena mengikuti pada lafalnya munada, yaitu lafal yang mengikuti (أَيُّ), (أَيَّةُ) dan isim isyarah, seperti (ياَ أَيُّهاَ الرَّجُلُ), (ياَ اَيَّتُهاَ الْمَرْأَةُ) dan (ياَ هَذَا الرَّجُلُ وَ ياّ هَذِهِ الْمَرْأَةُ).

b. Lafal yang wajib didlammah karena mabni, sebagai badal dan lafal yang di’athafkan yang dikosongkan dari (ال) yang keduanya tidak diidlafahkan, seperti (ياَ سَعِيْدُ خَلِيْلُ) dan (ياَ سَعِيْدُ وَ خَلِيْلُ).

c.  Lafal yang wajib dibaca nashab karena mengikuti pada mahallnya munada, yaitu semua tabi’ yang diidlafahkan yang dikosongkan dari (ال), seperti (ياَ عَلِيُّ اَباَ الْحَسَنِ), (ياَ عَلِيُّ وَ اَباَ سَعِيْدٍ), (ياَ خَلِيْلُ صَاحِبَ خاَلِدٍ), (ياَ تَلاَمِيْذُ كُلَّهُمْ اَو كُلَّكُمْ) dan (ياَ رَجُلُ اَباَ خَلِيْلٍ).

d. Lafal yang diperbolehkan dua wajah, yaitu dibaca rafa’ sebagai mu’rab karena mengikuti pada lafalnya munada dan dibaca nashab karena mengikuti mahallnya munada, yaitu ada dua bentuk:

1)  Na’at yang diidlafahkan yang bebarengan dengan (ال), demikian itu terjadi pada sifat musytaq yang diidlafahkan kepada ma’mulnya, seperti (ياَ خاَلِدُ الْحَسَنُ الْخُلُقِ أَو الْحَسَنَ الْخُلُقِ) dan (ياَ خَلِيْلُ الْخَادِمُ الأُمَّةِ أَو الْخاَدِمَ الأُمَّةِ).

2)   Na’at atau taukid atau ‘athaf bayan atau lafal yang di’athafkan yang dikosongkan dari (ال) yang semuanya berupa mufrad, artinya tidak berupa mudlaf atau syibeh mudlaf, seperti (ياَ عَلِيُّ الْكَرِيْمُ أَو الْكَرِيْمَ), (ياَ خاَلِدُ خاَلِدٌ اَو خاَلِداً), (ياَ رَجُلُ خَلِيْلٌ أَو خَلِيْلاً) dan (ياَ عَلِيُّ وَ الضَّيْفُ أُو وَ الضَّيْفَ).

Ketika munadanya berupa mu’rab nashab, maka lafal yang mengikutinya selamanya dibaca mu’rab nashab, seperti (ياَ اَباَ الْحَسَنِ صَاحِبَناَ), (ياَ ذَا الْفَضْلِ وَ ذَا الْعِلْمِ) dan (ياَ اَباَ خاَلِدٍ وَ الضَّيْفَ), kecuali jika tabi’ itu berupa badal atau di’athafkan yang dikosongkan dari (ال) yang keduanya tidak diidlafahkan, maka keduanya dimabnikan, seperti (ياَ اَباَ الْحَسَنِ عَلِيُّ) dan (ياَ عَبْدَ اللهِ وَ خاَلِدُ).

Membuang Huruf Nida’

Diperbolehkan membuang huruf nida’ dengan banyak terjadinya, ketika huruf itu berupa (ياَ) bukan yang lainnya, seperti (رَبِّ اَرِنِي أَنْظُرْ اِلَيْكَ).

Tidak diperbolehkan membuang huruf nida’ pada munada mandub, munada mustaghats, munada muta’ajjab minhu dan munada ba’id, karena maksud dari munada tersebut adalah memanjangkan suara dan membuang huruf nid’a menafikan maksud itu.[14]

Qalil hukumnya membuang huruf nida’dari isim isyarah, seperti dalam syair,

إِذَا هَمَلَتْ عَيْنِي لَهاَ قَالَ صَاحِبِي * بِمِثْلِكَ هَذَا لَوْعَةٌ وَ غَرَامُ ؟!

Dan dari isim nakirah maqshudah, seperti dalam syair,

جاَرِيَ لاَ تَسْتَنْكِرِي عَذِيْرِي * سَيْرِي وَ إِشْفاَقِي عَلَى بَعِيْرِي

Dan qalil hukumnya membuang huruf nida’ dari isim nakirah ghairu maqshudah dan dari munada syibeh mudlaf.

Membuang Munada

Terkadang munada dibuang setelah (ياَ),[15] seperti (يَا لَيْتَنِي كُنْتُ مَعَهُمْ فَأَفُوزُ فَوْزاً عَظِيْماً) yang penakdirannya sesuai dengan maqam, sehingga penakdirannya dalam ayat itu adalah (يَا قَومُ).

Sebenarnya (ياَ) asalnya adalah huruf nida’, sehingga jika munada tidak ada setelahnya, maka dia akan diberlakukan sebagai huruf yang dimaksud untuk mengingatkan orang yang men-dengar pada apa yang ada setelah (ياَ). Dan dikatakan, “Jika setelahnya berupa fi’il amar, maka (ياَ) adalah huruf nida’ dan munadanya dibuang, seperti (أَلاَ ياَ اسْجُدُوا) dengan penakdiran (أَلاَ ياَ قَومُ). Dan jika tidak berupa fi’il amar, maka dia adalah huruf tanbih, seperti (ياَ لَيْتَ قَومِي يَعْلَمُونَ).

Munada Diidlafahkan Kepada Ya’ Mutakallim

Munada yang diidlafahkan kepada ya’ mutakallim, ada tiga bentuk, yaitu isim yang shahih akhir, isim yang mu’tal akhir dan sifat (yaitu isim fa’il, isim maf’ul dan mubalaghah isim fa’il).[16]

Jika yang diidlafahkan kepada ya’ adalah isim shahih, selain (أَبٌ) dan (أُمٌّ), maka yang banyak terjadinya adalah membuang ya’ mutakallim dan cukup dengan kasrahnya huruf sebelum ya’ mutakallim, seperti (ياَ عِباَدِ فَاتَّقُونِ). Dan diperbolehkan menetapkan ya’ mutakallim dengan disukun atau difathah, seperti (ياَ عِباَدِيْ لاَ خَوفٌ عَلَيْكُمْ) dan (ياَ عِباَدِيَ الَّذِيْنَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ). Dan juga diperbolehkan untuk mengganti kasrah menjadi fathah dan ya’ menjadi alif, seperti (ياَ حَسْرَتاَ عَلَى ماَ فَرَّطْتُ فِي جَنِبِ اللهِ).

Jika yang diidlafahkan kepada ya’ mutakallim adalah isim yang mu’tal akhir, msks diwajibkan untuk menetapkan ya’ dengan difathah bukan yang lainnya, seperti (ياَ فَتاَيَ وَ ياَ حاَمِيَ).

Jika yang diidlafahkan kepada ya’ mutakallim adalah sifat yang shahih akhirnya, maka diwajibkan untuk menetapkan ya’ dengan disukun atau difathah, seperti (ياَ مُكْرِمِيْ) dan (ياَ مُكْرِمِيَ).

Jika yang diidlafahkan kepada ya’ mutakallim adalah (أَبٌ) dan (أُمٌّ), maka diperbolehkan padanya apa yang telah diperbolehkan pada munada isim shahih akhir, sehingga kita ucapkan (ياَ اَبِ وَ ياَ أُمِّ), (ياَ أَبِيْ وَ ياَ أُمِّيْ), (ياَ أَبِيَ وَ ياَ اُمِّيَ) dan (ياَ أَباَ وَ ياَ أُماَّ).

Dan juga diperbolehkan untuk membuang ya’ mutakallim dan sebagai gantinya adalah ta’ ta’nits yang dikasrah atau difathah, seperti (ياَ أَبَتِ وَ ياَ أُمَّتِ) dan (ياَ أَبَتَ وَ ياَ أُمَّتَ). Dan juga diperbolehkan untuk mengganti ta’ tersebut dengan ha’ (هـ) ketika waqaf, seperti (ياَ أَبَهْ وَ ياَ أُمَّهْ).

Ketika munada diidlafahkan kepada munada yang diidlafahkan kepada ya’ mutakallim, maka ya’ harus ditetapkan, seperti (ياَ ابْنَ أَخِيْ) dan (باَ ابْنَ خاَلِي), kecuali (ابْنَ أُمّ) atau (ابْنَ عَمّ), maka diperbolehkan untuk menetapkan ya’, namun yang banyak terjadinya adalah membuangnya dan menggantikannya dengan kasrah atau fathah, seperti (قَالَ ياَ ابْنَ أُمِّ إِنَّ الْقَومَ اسْتَضْعَفُونِي) dan (قَالَ يَا ابْنَ أُمَّ لاَ تَأْخُذْ بِلِحْيَتِي وَ لاَ بِرَأْسِي). Kasrah adalah dengan niat ya’ yang dibuang, dan fathah adalah dengan niat alif yang dibuang yang asalnya adalah ya’ mutakallim.

Munada Mustaghats

 Istighatsah adalah menyeru orang yang bisa menolong dari menolak bencana,[17] seperti (ياَ لَلْأَقْوِياَءِ لِلضُّعَفَاءِ) “Hei orang-orang yang kuat! Tolonglah orang-orang yang lemah.” Yang dimintai tolong dinamakan mustaghats dan yang meminta tolong atau yang mendapatkan pertolongan dinamakan mustaghats lah.

Huruf nida’ yang digunakan untuk istighatsah hanyalah (ياَ) dan tidak diperbolehkan untuk membuangnya dan tidak boleh juga membuang mustaghats. Adapun mustaghats lah, maka boleh dibuang, seperti (ياَ لَلَّهِ).

Mustaghtas mempunyai tiga keadaan, yaitu:[18]

a.   Dijerkan dengan lam zaidah yang wajib difathah, seperti syair,

تَكَنَّفَنِيْ الْوُشَاةُ فَأَزْعَجُوْنِي * فَياَ لَلنَّاسِ لِلْواَشِي الْمَطاَعِ!

Dan lam itu tidak boleh dikasrah kecuali ketika mustaghats diulang-ulang yang tidak bebarengan dengan (ال), seperti syair,

يَبْكِيْكَ ناَءٍ بَعِيْدُ الدَّارِ مُغْتَرِبٌ * ياَ لَلْكُهُولِ وَ لِلشَّبَّانِ لِلْعَجَبِ!

b.  Diakhiri dengan alif zaidah untuk menguatkan istighatsah, seperti syair,

يَا يَزِيْداَ لأمِلٍ نَيْلَ عِزِّ * وَ غِنىً بَعْدَ فاَقَةٍ وَ هَوَانٍ!

c.   Ditetapkan pada keadaannya semula, seperti syair,

أَلاَ ياَ قَوْمُ لِلْعَجَبِ الْعَجِيْبِ! * وَ لِلْغَفَلاَتِ تَعْرِضُ لِلْأَدِيْبِ!

Adapun mustaghats lah, maka disebutkan dalam kalam dan selamanya wajib dijerkan dengan lam yang dikasrah, seperti (ياَ لَقَومِي لِلْعِلْمِ!).

Munada Muta’ajjab Minhu

Munada muta’ajjab minhu adalah seperti munada mustaghats dalam hukumnya,[19] sehingga kita ucapkan dalam kekaguman kita pada banyaknya air, (ياَ لَلْماَءِ), (ياَ ماَءَا) dan (ياَ ماَءُ!).

Munada Mandub

Nudbah adalah menyeru perkara yang dirasa sakit atau diadukan rasa sakitnya,[20] seperti (وَا كَبِدَاهْ!) “aduh liverku!”

Munada’ mandub hanya menggunakan perabot nida’ yang berupa (وَا), namun terkadang menggunakan (ياَ) ketika tidak ada kesamaran dengan nida’ yang hakiki.

Dalam munada mandub tidak diperbolehkan membuang munada dan tidak boleh juga membuang huruf nida’nya.

Munada mandub mempunyai tiga wajah, yaitu:[21]

a.  Diakhiri dengan alif zaidah untuk menguatkan pada rasa sakit, seperti (وَا كَبِداَ!).
b.  Diakhiri dengan alif zaidah dan ha’ saktu, seperti (وَا حُسَيْناَهْ).

Kebanyakan penambahan ha’ terjadi dalam waqaf, dan ketika diwashalkan maka ha’ itu dibuang, kecuali ketika dlarurat, seperti (وَا حَرَّ قَلْباَهُ مِمَّنْ قَلْبُهُ شَبِمُ). Ketika itu maka kita diperbolehkan untuk mendlammah ha’ itu karena disamakan dengan ha’ dlamir, atau mengkasrahnya berdasarkan kaidah asal dalam bertemunya dua huruf mati. Namun, al-Farra’ telah memperbolehkan untuk menetapkannya dalam keadaan washal dengan didlammah atau difathah pada saat selain dlarurat.

c.   Ditetapkan pada keadaanya semula, seperti (وَا حُسَيْنُ!).

Munada mandub harus berupa isim ma’rifat yang tidak samar. Sehingga tidak diperbolehkan membuat munada mandub dari isim nakirah, sehingga tidak boleh diucapkan (وَا رَجُلُ), atau dari isim ma’rifat yang mubham atau samar, seperti isim maushul dan isim isyarah, sehingga tidak boleh diucapkan (وَا مَنْ ذَهَبَ شَهِيْدَ الْوَفاَءِ), kecuali isim yang mubham itu berupa isim maushul yang sudah masyhur disifati, seperti (وَا مَنْ حَفَرَ بِئْرَ زَمْزَمَ).

Munada Murakkham

Tarhim adalah membuang huruf akhirnya munada karena untuk memperingan, seperti (ياَ فَاطِمَ) yang asalnya adalah (ياَ فاَطِمَةُ). Munada yang huruf akhirnya dibuang dinamakan Murakkham

Yang boleh diitarhim hanyalah dua perkara, yaitu:[22]

a.  Isim yang diakhiri dengan ta’ ta’nits, baik berupa isim alam atau selain alam, seperti (ياَ عاَئِشَ), (ياَ ثِقَ) dan (ياَ عاَلِمَ) dari tarhimannya (عاَئِشَةُ), (ثِقَةُ) dan (عاَلِمَةُ).

b.  Alam untuk mudzakar atau mu’annats dengan syarat harus tidak murakkab dan hurufnya lebih dari tiga, seperti (ياَ سُعاَ) dan (ياَ جَعْفُ) dalam tarhimannya (سُعاَدُ) dan (جَعْفَرٌ).

Dalam tarhim adakalanya huruf yang dibuang hanya satu, dan itu adalah yang paling banyak terjadinya, atau dua huruf, seperti (ياَ عُثْمَ) dan (ياَ مَنْصُ) dalam tarhimannya (عُثْماَنُ) dan (مَنْصُوْرُ).

Dalam munada murakkham ada dua lughat:[23]

a.  Huruf akhirnya ditetapkan pada keadaannya semula sebelum ditarhim, yaitu didlammah atau difathah atau dikasrah, seperti (ياَ مَنْصُ), (ياَ جَعْفَ) dan (ياَ حاَرِ), yang itu adalah lughat yang lebih masyhur. Atau yang dinamakan dengan lughat man yantadzir.
b.  Huruf akhirnya diharakati dengan harakatnya huruf yang dibuang, seperti (ياَ جَعْفُ) dan (ياَ حاَرُ). Atau disebut dengan lughat man la yantadzir.





[1] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 147
[2] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 148
[3] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 148
[4] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 149
[5] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 149
[6] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 150
[7] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 150
[8] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 152
[9] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 153
[10] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 153
[11] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 154
[12] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 154
[13] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 154-155
[14] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 156
[15] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 158
[16] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 159-160
[17] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 160
[18] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 161-162
[19] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 163
[20] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 163
[21] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 163
[22] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 164
[23] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 165

5 comments: