ISIM MABNI DAN ISIM MU'RAB

Hukum asal dari kalimah isim adalah mu’rab atau bisa berubah huruf akhirnya.[1] Demikian itu ketika kalimah isim tidak mengalami keserupaan/kesamaan dengan kalimah huruf. Jika ada keserupaan dengan kalimah huruf, baik dalam pembuatannya atau makna atau kebutuhannya terhadap kalimah yang lain atau penggunaannya, maka kalimah isim dihukumi mabni.[2]

Arti dari Mabni adalah lafal yang huruf terakhirnya menetapi satu keadaan, sehingga huruf terakhirya tidak mengalami perubahan meskipun ‘amil yang mendahuluinya berubah.

Keserupaan kalimah isim dengan kalimah huruf (Syibih) terbagi menjadi empat, yaitu :

a.  Syibih Wadl’i, yaitu serupanya kalimah isim dengan kalimah huruf dalam asal pembuatannya, dengan sekiranya kalimah isim tersebut terbuat hanya satu huruf saja atau dua huruf saja, seperti ta’ dlamir pada lafal (ضَرَبْتُ) dan (نَا) pada lafal (كَتَبْناَ).[3]

Karena paling sedikitnya huruf yang menyusun kalimah isim adalah tiga huruf. Dan jika datang kalimah isim yang hurufnya kurang dari tiga huruf, maka dia dihukumi mabni karena menyerupai kalimah huruf dalam asal kejadiannya. Sedangkan semisal (دَمٌ) dan (يَدٌ), maka dihukumi mu’rab, karena asalnya adalah tiga huruf, yaitu (دَمَوٌ) dan (يَدْيٌ).[4]

b.  Syibih Ma’nawi, yaitu dengan sekiranya kalimah isim menyerupai kalimah huruf dalam maknanya.

Syibih ma’nawi terbagi menjadi dua, yaitu menyerupai huruf yang maujud (seperti isim syarat dan isim istifham) dan menyerupai huruf yang tidak maujud yang seharusnya huruf itu ditaruh tetapi nyatanya tidak (seperti isim isyarah), seperti (مَتَى) yang dimabnikan karena serupa dengan kalimah huruf dari segi maknanya yang dilakukan untuk istifham dan syarat, seperti (مَتَى تَقُوْمُ) dan (مَتَى تَقُمْ اقُمْ).[5]

Dan semisal (هُناَ) isim isyarah yang dimabnikan karena serupa dengan maknanya huruf yang tidak maujud yang seharusnya huruf tersebut ditaruh tetapi nyatanya tidak, karena isyarah adalah termasuk dalam makna yang seharusnya didatangkan dengan huruf, namun para ulama’ tidak membuat untuknya huruf yang digunakan untuk isyarah, seperti halnya mereka telah membuat untuk makna tamanni lafal (لَيْتَ), untuk makna tarajji lafal (لَعَلَّ), untuk makna istifham lafal (هَلْ) dan untuk makna syarat lafal (اِنْ).[6]

c. Syibih Iftiqar, yaitu dengan sekiranya Kalimah Isim membutuhkan pada lafal setelahnya dengan membutuh-kan yang terus-menerus untuk menyempurnakan maknanya, seperti isim maushul dan sebagian dzaraf yang harus diidlafahkan kepada jumlah.[7]

Isim maushul dimabnikan karena pada semua keadaannya selalu membutuhkan shillah untuk menyempurnakan maknanya, seperti membutuhkannya Kalimah Huruf pada lafal setelahnya supaya maknanya bisa terlihat, seperti (جَاءَ الَّذِيْ قَامَ اَبُوهُ).[8] Sedangkan sebagian dzaraf yang harus diidlafahkan kepada jumlah, seperti (مُنْذُ) dan (حَيْثُ), dimabnikan adalah karena membutuhkannya dzaraf itu pada jumlah yang diidlafahi seperti membutuhkannya Kalimah Huruf pada lafal setelahnya.[9]

d.      Syibih Isti’mali, yaitu ada dua macam:[10]

1)    Menyerupai Kalimah Huruf yang bisa beramal dalam penggunaannya, seperti isim fi’il yang diberlakukan bisa memberikan pengaruh pada lafal yang lainnya, namun dia tidak bisa dipengaruhi oleh lafal yang lain (: bisa beramal tetapi lafal lain tidak bisa beramal kepadanya), karena isim tersebut bisa beramal seperti beramalnya Kalimah Fi’il.

2)    Menyerupai Kalimah Huruf yang tidak beramal dalam penggunaannya, yaitu dari segi Kalimah Isim itu menyerupai Kalimah Huruf tersebut dalam hal tidak bisa memberikan pengaruh kepada lafal lainnya dan tidak bisa dipengaruhi oleh lafal lainnya, seperti isim suara (atau Isim Shaut), karena dia seperti huruf istifham, huruf tanbih, tahdlidl dan lainnya yang tidak bisa beramal pada lafal lainnya dan lafal lainnya tidak bisa beramal kepadanya.






[1] Syarah Ibnu ‘Aqil, hlm. 7
[2] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 205
[3] Syarah Ibnu ‘Aqil, hlm. 5
[4] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 205
[5] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 206
[6] Syarah Ibnu ‘Aqil, hlm. 6
[7] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 206
[8] Syarah Ibnu ‘Aqil, hlm. 6
[9] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 206
[10] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 206

No comments:

Post a Comment