PENGERTIAN AURAT


Aurat secara bahasa berasal dari kata (عَارَ), dari kata tersebut muncul derivasi kata bentukan baru dan makna baru pula. Bentuk ‘awira (menjadikan buta sebelah mata), ‘awwara (menyimpangkan, membelokkan dan memalingkan), a’wara (tampak lahir atau auratnya), al-‘awaar (cela atau aib), al-‘wwar (yang lemah, penakut), al-‘aura’ (kata-kata dan perbuatan buruk, keji dan kotor), sedangkan al-‘aurat adalah segala perkara yang dirasa malu.[1]

Pendapat senada juga dinyatakan bahwa aurat adalah sesuatu yang terbuka, tidak tertutup, kemaluan, telanjang, aib dan cacat.[2] Artinya aurat dipahami sebagai sesuatu yang oleh seseorang ditutupi karena merasa malu atau rendah diri jika sesuatu itu kelihatan atau diketahui orang lain. 

Pengertian terakhir ini sering dijadikan sebagai pengertian literer dari aurat, sehingga aurat dapat dipahami sebagai sesuatu yang dapat menjadikan malu, aib atau cacat bagi seseorang baik dari perkataan atau perbuatannya.

Terbukanya aurat dapat juga membuat orang jauh martabatnya dimata masyarakat umum. Seseorang sudah selayaknya menutupi auratnya, karena jika sudah terbuka cacat, aib maupun kekurangannya di depan umum, maka hakekatnya orang tersebut sudah tidak mempunyai harga diri dan dipandang sebelah oleh masyarakat.

Berdasarkan pada makna kata aurat adalah yang berarti segala sesuatu yang dapat menjadikan seseorang malu atau mendapatkan aib (cacat), entah perkataan, sikap ataupun tindakan, aurat sebagai bentuk dari suatu kekurangan maka sudah seharusnya ditutupi dan tidak untuk dibuka atau dipertontonkan di muka umum.

Islam mengajarkan bahwa pakaian adalah penutup aurat, bukan sekedar perhiasan. Islam mewajibkan setiap wanita dan pria untuk menutupi anggota tubuhnya yang menarik perhatian lawan jenisnya. Bert3lanjang adalah suatu perbuatan yang tidak beradab dan tidak senonoh. Langkah pertama yang diambil Islam dalam usaha mengokohkan bangunan masyarakatnya, adalah melarang bert3lanjang dan menentukan aurat laki-laki dan perempuan. Inilah mengapa fiqh mengartikan bahwa aurat adalah bagian tubuh seseorang yang wajib ditutup atau dilindungi dari pandangan.[3]

Bertrand Russell menyatakan bahwa menutup aurat adalah sesuatu yang tabu. Dia bertanya:

Karena para bapak dan ibu harus menutup auratnya di hadapan anak-anaknya, bukankah ini yang menyebabkan rasa ingin tahu si anak timbul? Kalaulah orang tua itu tidak berusaha menutupi auratnya, tentunya rasa ingin tahu tersebut tidak akan timbul. Orang tua harus menunjukkan auratnya di hadapan anak-anaknya agar mereka tahu segala sesuatunya dari mula pertama. Paling tidak seminggu sekali, para orang tua pergi ke tempat-tempat umum, misalnya pemandian atau sahara dan menunjukkan auratnya di hadapan anak-anaknya.”[4]

Islam dengan ajarannya memberikan batasan aurat laki-laki dan perempuan, sebagaimana yang disampaikan Muhammad Ibnu Muhammad Ali bahwa:[5]

1.  Aurat laki-laki

a. Aurat laki-laki sewaktu shalat, juga ketika di antara laki-laki dan perempuan yang mahramnya, ialah bagian tubuh antara pusar dan lutut. Pusar dan lutut bukanlah aurat, tetapi dianjurkan supaya ditutup juga karena sepadan dengan aurat. Ini berdasarkan kaidah kaidah ushul fiqh: Ma la yatimmu al-wajib illa bihi  fahuwa wajib (Apa yang tidak sempurna yang wajib melainkan dengannya, maka ia adalah wajib).

b. Aurat laki-laki pada perempuan yang ajnabiyah, yakni yang bukan mahramnya ialah sekalian badannya.

c. Aurat laki-laki sewaktu khalwah, yakni ketika bersunyi-sunyi seorang diri, ialah dua kemaluannya.

2.  Aurat wanita sahaya

Aurat wanita sahaya atau hamba wanita ialah bagian antara pusar dan lutut. 

3.  Aurat wanita merdeka

a.  Aurat wanita yang merdeka di dalam shalat ialah bagian yang lain dari wajah dan dua telapak tangannya yang dhahir dan batin hingga pergelangan tangannya, wajah dan dua telapak tangannya, luar dalam, hingga pergelangan tangannya, bukanlah aurat dalam shalat dan selebihnya adalah aurat yang harus tertutup.

b.  Aurat wanita yang merdeka di luar shalat.

1) Di hadapan laki-laki yang ajnabi atau yang bukan mahramnya, auratnya adalah seluruh badan. Artinya termasuk wajah dan rambut serta kedua telapak tangannya, lahir-batin dan termasuk kedua telapak kakinya, lahir-batin, sehingga seluruh badannya wajib ditutup atau dilndungi dari pandangan laki-laki yang ajnabi, wajah dan kedua telapak tangannya tidak harus di buka ketika untuk menjadi saksi sejenisnya, kecuali karena darurat.

2) Di hadapan perempuan kafir, auratnya ialah anggota badan selain anggota badan yang lahir ketika ia bekerja di rumah. Bagian yang lahir ketika ia aktif di rumah ialah kepala, muka, leher, dua telapak tangan sampai kedua sikunya dan dua telapak kakinya. Demikian juga auratnya ketika di hadapan perempuan yang tidak jelas pribadi atau wataknya atau perempuan yang rusak akhlaknya.

3) Di dalam khalwah, di hadapan muslimah, dan pada laki-laki yang menjadi mahramnya, auratnya ialah anggota badan antara pusar dan lutut, seperti aurat laki-laki dalam shalat.

Aurat walau bagaimana-pun, untuk menjaga adab dan untuk memelihara timbulnya fitnah, maka yang perlu ditutup tak hanya yang antara pusar dan kedua lutut. Menutup aurat karena fitnah, yaitu yang memungkinkan tergiurnya nafsu adalah suatu kewajiban. Hal inilah yang menjadi perhatian Islam sebagai agama yang berusaha mengangkat martabat manusia di hadapan manusia lainnya dengan mempertinggi akhlak dan menutup aurat adalah salah satunya.




[1] A.W. Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Pustaka Progresif, Surabaya, 1997,  hlm. 984-985
[2] Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia,  Djambatan, Jakarta, 1992, hlm. 135
[3] Muhammad Ibnu Muhammad Ali, Hijab Risalah Tentang Aurat,  Pustaka Sufi, Yogyakarta, 2002, hlm. 3
[4] Bertrand Russell, dalam Husein Shahab, Jilbab Menurut al-Qur’an dan al-Sunnah, Mizan, Bandung, 2002, hlm. 36-37
[5] Muhammad Ibnu Muhammad Ali, op.cit., hlm. 4-6

No comments:

Post a Comment