PENDAPAT ULAMA’ TENTANG AURAT



Secara normatif aturan hukum baku berkenaan dengan perintah berpakaian dan menutup aurat beserta batasan-batasannya diungkapkan secara eskplisit dalam al-Qur’an. Beberapa ayat yang terkait dengan hal tersebut memberikan rambu-rambu bagi para wanita mukallaf untuk memenuhi batasan yang diberikan oleh kitab yang diturunkan pada Nabi akhir zaman.[1]

Menurut syariat Islam menutup aurat hukumnya wajib bagi setiap orang mukmin baik laki-laki maupun perempuan terutama yang telah dewasa dan dilarang memperhatikannya kepada orang lain dengan sengaja tanpa ada alasan yang dibenarkan syariat, demikian juga syariat Islam pada dasarnya memerintahkan kepada setiap mukmin, khususnya yang sudah memiliki nafsu birahi untuk tidak melihat dan tidak memperlihatkan auratnya kepada orang lain terutama yang berlainan jenis.[2]

Adapun melihat aurat orang lain atau memperlihatkan aurat kepada orang lain yang dibenarkan syariat seperti sesama mahram dan terutama suami atau istri, hukumnya boleh sebagaimana terdapat dalam surah al-Nur ayat 30-31.

Demikian pula orang muslim boleh melihat aurat orang lain atau memperlihatkan auratnya kepada orang lain (walaupun bukan mahram) jika ada alasan yang dibenarkan syariat seperti ketika berobat atau mengobati penyakit yang pengobatannya memerlukan melihat atau memperlihatkan aurat karena darurat.

Para ahli hukum Islam berbeda pendapat dalam menentukan batas-batas aurat itu sendiri, baik aurat  laki-laki maupun perempuan. Menurut kebanyakan ulama’ batas aurat orang laki-laki ialah anggota-anggota tubuh yang terletak antara pusat dan lutut, terutama alat kelam1n dan dubur di samping juga paha.

Sedangkan menurut sebagian ulama’ yang lain, aurat orang laki-laki hanyalah alat v1tal dan dubur, sedangkan paha tidak termasuk ke dalam kategori aurat yang wajib ditutup.

Jumhur ulama’ berpendapat bahwa aurat laki-laki yang tidak boleh diperlihatkan kepada orang lain terutama kepada kaum wanita, ialah anggota-anggota badan yang berkisar antara pusat dan lutut.

Sementara sebagian kecil ulama’ yang pendapatnya dianggap lemah oleh kebanyakan ulama’, menyatakan bahwa aurat laki-laki di hadapan kaum wanita yang bukan mahramnya adalah seluruh anggota badannya.

Adapun aurat kaum wanita, menurut kebanyakan ulama’ ialah seluruh anggota tubuhnya selain muka dan kedua telapak tangan, kedua telapak kaki menurut sebagian ulama’ seperti Imam Abu Hanifah juga merupakan aurat.

Di samping itu ada sebagian ulama’, di antaranya Imam Ahmad bin Hanbal yang memandang seluruh anggota badan wanita (termasuk muka dan kedua telapak tangan) adalah aurat.

Para ulama’ membedakan antara aurat kaum wanita di hadapan kaum pria dengan aurat kaum wanita di hadapan sesama wanita. Aurat wanita sebagaimana tersebut di atas, sesuai dengan perbedaan pendapat para ulama’ tidak diperbolehkan diperlihatkan kepada kaum laki-laki selain suami dan mahramnya atau orang lain yang oleh syariat dibolehkan melihatnya.

Adapun aurat wanita terhadap sesama wanita yang tidak boleh dilihat atau diperlihatkan ialah sama dengan aurat laki-laki yakni anggota-anggota tubuh yang berkisar antara pusat dan lutut.

Masalah aurat sangat erat dengan soal pakaian, karena aurat wajib ditutup dan alat penutupnya adalah pakaian. Pakaian setiap muslim adalah harus menutup batas-batas aurat seperti yang dikemukakan di atas. Namun karena para ulama’ berbeda pendapat mengenai batas-batas aurat terutama aurat bagi wanita, maka perbedaan pendapat-pun muncul pula dalam masalah pakaian kaum wanita. Sebagian mengharuskan menutup seluruh anggota badan selain mata, sedangkan sebagian yang lain menambahkan selain muka, yaitu kedua telapak tangan dan kaki.

Forum Pengkajian Islam IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 24 Maret dan 28 April 1988 membahas soal aurat dan jilbab secara ilmiah dan mendasar, antara lain menyimpulkan dan menetapkan bahwa pakaian wanita yang memperlihatkan leher ke atas (kepala), dengan (tangan) dari siku ke ujung jari dan kaki di bawah lutut, dipandang tidak bertentangan dan sesuai dengan nilai-nilai Islam.[3]

Sebelum Islam datang masyarakat pada masa itu (Jahiliyah) memandang jelek dan rendah kepada para wanita. Mereka memperturutkan hawa nafsu mereka melalui mata dan angan-angan dalam hati, sedangkan hal itu bertentangan dengan ajaran Islam, maka al-Qur’an menetapkan batas baginya dan mengharamkan apa-apa yang bertentangan dengan agama, etika, dan kemanusiaan. Islam kemudian memperbolehkan wanita, untuk membuka wajah dan dua telapak tangan dalam situasi tertentu. Ini menggambarkan akan pentingnya kedua anggota tubuh  wanita dalam berinteraksi dengan orang lain.

Surah al-Nur ayat 30 memerintahkan kepada kaum mukmin untuk menundukkan pandangannya dari perkara yang diharamkan dan menjaga kemaluannya. Karena hal tersebut dapat menyebabkan perantara penyakit hati dan menyebabkan seseorang terjerumus dalam perbuatan tercela. Dan menundukkan pandangan merupakan sebab keselamatan dari hal tersebut.

Ayat tersebut juga mengandung perintah wajib untuk ditaati berupa larangan melihat wanita asing atau pria asing, merupakan suatu larangan mutlak yang diharamkan, tanpa adanya suatu keperluan yang dibenarkan oleh syara'.

Pandangan yang bisa memunculkan rangsangan pria, sehingga menimbulkan sikap mengabaikan nilai moral dan penyimpangan perilaku individu dalam masyarakat. Sehingga Allah memerintahkan pada kaum wanita menggunakan hijab untuk menjaga terlepasnya kobaran nafsu s3ksual, sehingga pria dan wanita yang dekat dan yang jauh tidak akan saling menarik karena secara fitrah wanita dan pria selalu tarik menarik dan ini merupakan sunnah kehidupan atau hukum alam.

Karena itu Allah melarang apabila dua orang yang berlainan jenis menyepi karena sudah pasti syaitan akan menjadi yang ketiga diantara mereka dan mengganggunya, lalu mereka berbuat tidak senonoh sebagaimana firman Allah dalam surah Yusuf ayat 53 yang berisi bahwa “sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh pada kejahatan kecuali nafsu yang telah diberkahi oleh Allah”.

Untuk menghindari dari hal-hal yang tidak diinginkan dan menjaga kesucian, maka seorang wanita diwajibkan untuk berhijab dan anggota badan yang boleh diperlihatkan adalah wajah dan kedua telapak tangan.

Penggunaan hijab antara pria dan wanita mengandung hikmah bahwa sebenarnya Allah bermaksud menata hubungan interpersonal dalam masyarakat dan menjaga kesucian pria dan wanita agar dapat mencapai kesempurnaannya demi terwujudnya masyarakat yang sehat dan dibangun atas akhlak mulia serta nilai-nilai moralitas yang tinggi.[4]

Islam membuat perbedaan-perbedaan yang jelas antara jalan raya dan rumah tangga, antara orang perseorangan dan masyarakat, antara dunia laki-laki dan dunia perempuan. Hijab diperlukan dalam rangka melindungi wanita dari pandangan laki-laki yang tak berhak memandangnya, sebagaimana di dalam alam ruhani, hijab juga diperlukan untuk menyembunyikan hakikat dari pandangan orang-orang yang tak layak memandangnya. Hukum aurat dan hijab ialah untuk memelihara hurmah (kehormatan) atau kesucian dan kemuliaan wanita dan bukannya untuk menghina dan menyiksa mereka.[5]

Banyak musuh Islam mengatakan bahwa hijab Islam bertentangan dengan martabat wanita. Umat Islam menerima hak atas martabat wanita, walaupun orang yang menentang hijab mengatakan bahwa hijab memenjarakan wanita dan dengan hijab kaum pria agar bisa mengeksploitasi wanita, maka laki-laki menawan wanita dan memenjarakannya di sudut rumahnya.[6] Inilah yang akhirnya mengapa aurat, terutama wanita harus dijaga dan ditutup. 

Seperti dapat dilihat dalam contoh, jika seorang pria meninggalkan rumahnya dengan telanjang, maka ia akan dicerca, dipersalahkan dan barangkali polisi akan menangkapnya, bahkan jika seorang pria meninggalkan rumahnya dengan mengenakan piyama saja atau hanya dengan menggunakan celana dalam saja, maka  setiap orang akan menghentikannya, karena hal ini bertentangan dengan martabat sosial. Hukum atau adat-istiadat menetapkan bahwa bila seorang meninggalkan rumahnya, maka ia harus berpakaian lengkap. Apakah bertentangan dengan martabat manusia bila diperintahkan agar ia berpakaian lengkap bila meninggalkan rumah?

Sebaliknya, jika seorang wanita meninggalkan rumahnya dengan tertutup justru akan menghindarkan adanya gangguan dari laki-laki yang tidak bermoral dan tidak mempunyai  sopan santun. Jika seorang wanita meninggalkan rumahnya dengan tertutup, hal ini bukan hanya tidak mengurangi martabatnya sebagai manusia, akan tetapi justru menambahnya.

Ambil contoh seorang wanita yang meninggalkan rumahnya dengan hanya muka dan kedua telapak tangannya yang terlihat dan dari perilaku serta pakaian yang dikenakannya tidak akan mudah menimbulkan dan menyebabkan orang lain ter4ngsang atau tertarik kepadanya. Artinya ia tidak akan mengundang perhatian pria kepada dirinya. Ia tidak mengenakan pakaian-pakaian yang mencolok atau berjalan dengan suatu cara yang menarik perhatian orang kepada dirinya atau ia tidak berbicara dengan suatu cara yang menarik perhatian.[7]

Menutup aurat pada hakekatnya adalah mengangkat martabat wanita secara umum. Fenomena buka-bukaan adalah termasuk trend zaman sekarang. Fenomena tersebut cepat atau lambat akan masuk ke daftar berbagai macam penyakit yang merambah pada diri manusia. Bangsa Barat yang merupakan pelopornya juga menjelekkan hakekat dari fenomena penyakit ini. Inilah mengapa sampai sekarang pembahasan aurat masih sangat dominan, terutama di kalangan seniman, artis dan orang berusaha memamerkan keindahan tubuhnya.

Menurut Stone bahwa penampilan adalah fase transaksi sosial yang menegaskan identitas para partisipan.[8] Penampilan itu sebagaimana adanya bisa dibedakan dengan wacana yang terkonseptualisasikan sebagai teks transaksi, yakni yang diperbincangkan oleh kelompok-kelompok itu.
Penampilan dan wacana adalah dua dimensi berbeda dari transaksi sosial. Yang disebut lebih dulu tampaknya bersifat lebih mendasar. Ia memungkinkan, menopang, menetapkan batas-batas dan menyediakan ruang bagi perwujudan kemungkinan-kemungkinan wacana dengan jalan memastikan kemungkinan-kemungkinan bagi diskusi yang bermakna. 

Aurat dengan segala penutupnya, yaitu dengan mengenakan busana muslimah, wanita yang memakainya akan segera dipersepsi dalam kategori Muslimah. Boleh jadi berbagai konotasi dikaitkan dengan kategori ini, bergantung pada pengalaman dan latar belakang psikososial pelaku persepsi busana fundamentalis, wanita shaleh, isteri yang baik dan sebagainya.

Apapun konotasinya, inti persepsinya tidak mungkin lepas dari kategori Muslimah. Dari persepsi itu, orang kemudian mengatur perilakunya dengan pemakai busana Muslimah. Ia tidak akan melakukan s3xual harassment, ia tidak akan berani berbuat tak senonoh, paling-paling gangguan kecil seperti ucapan asssalamu ’alaikum yang dilontarkan secara bercanda.

Busana muslimah yang mempunyai fungsi menutup aurat juga berfungsi sebagai penegak identitas. Dengan busana itu, seorang Muslimah mengidentifikasikan diri dengan ajaran-ajaran Islam, karena identifikasi ini, maka sangat mungkin ia akan terdorong untuk berperilaku sesuai dengan ajaran Islam. Dalam hubungan interpersonal, busana Muslimah akan menyebabkan orang lain mempersepsikan pemakainya sebagai wanita Muslimah dan akan memperlakukannya seperti itu pula.

Inilah mungkin maksud pesan dari al-Qur’an, busana Muslimah dipakai “supaya dikenal” dan “sehingga mereka tidak diganggu”.[9] Artinya dengan menutup aurat kehormatan dan identitas diri akan terjaga, sehingga orang yang melihatnya akan mempersepsikan bahwa ia adalah wanita  Muslimah yang harus dijaga dan tidak boleh diganggu.

Diantara para ulama’ yang masih memperdebatkan masalah tentang aurat yang harus ditutupi oleh kaum wanita ketika mereka bertemu dan berinteraksi dengan kaum pria yaitu :

1. Pendapat Al-Ahnaf (pengikut Hanafi) berpendapat bahwa wanita boleh membuka muka dan kedua telapak tangan namun pria tetap haram melihat kepadanya dengan pandangan sy4hwat.

2.  Dalam madzhab Maliki terdapat tiga pendapat  

a. Mengatakan wajib menutup muka dan kedua telapak tangan.

b. Tidak wajib menutup muka dan kedua telapak tangan tetapi pria wajib menundukan pandanganya. 

c. Perbedaan cantik dan tidak cantiknya seorang wanita, jika ia cantik maka ia wajib menutup muka dan kedua telapak tangan sedangkan wanita yang tidak cantik tidak wajib menutupnya atau disunahkan.

3. Jumhur (golongan terbesar): Madzhab Syafi’i mengatakan tidak wajib menutup wajah dan kedua telapak tangan sekalipun mereka berfatwa untuk menutupinya

4.  Madzhab Hambali : mengatakan wajib menutup keduaanya

5. Jumhur Fuqaha (golongan terbesar ahli-ahli fiqh) berpendapat bahwa muka dan dua telapak tangan bukan aurat karena itu tidak wajib menutupnya tetapi wajib ditutup jika dirasa tidak aman.[10]

Sebab perbedaan pendapat itu bersumber dari perbedaan dalam menafsirkan al-Qur’an Surat an-Nûr ayat 31.



[1] Muhammad Jawad Mughniyah,  Fiqih Lima Mazhab, terj. Masykur A. B. Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, Lentera, Jakarta, 2001, hlm. 80
[2] Baca Q.S: al-Nur: 30-31
[3] Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, op.cit., hlm. 135-136
[4] Abdur-Rasul Abdul Hasan al-Ghaffar, Wanita Islam dan Gaya Hidup Modern, terj. Bahruddin Fanani, Pustaka Hidayah, Bandung, 1989,  hlm. 55
[5] Muhammad Ibnu Muhammad ‘Ali, op. cit., hlm. 42
[6] Murtadha Muthahhari, Hijab Gaya Hidup Wanita Islam, Mizan, Bandung, 1990, hlm. 77-78
[7] Ibid., 79-80
[8] Stone, dalam Jalaludddin Rakhmat, Islam Alternatif, Mizan, Bandung, 1998, hlm. 142-143
[9] Baca Q.S: al-Ahzab: 59
[10] Haya binti Mubarok Al-Barik, Ensiklopedi Wanita Muslimah, terj. Amir Hamzah Fachrudin,  Darul Falah, Jakarta, 1422H, hlm. 149

No comments:

Post a Comment