BATASAN-BATASAN AL-QUR’AN TENTANG AURAT WANITA


Sebelum Islam datang masyarakat memandang jelek dan rendah kepada para wanita. Mereka memperturutkan hawa nafsu mereka melalui mata dan angan-angan dalam hati, sedangkan hal itu bertentangan dengan ajaran Islam. Al-Qur’an menetapkan batasan-batasan dan mengharamkan apa-apa yang bertentangan dengan agama, etika, dan kemanusiaan.

Islam kemudian memperbolehkan wanita, untuk membuka wajah dan dua telapak tangan dalam situasi tertentu. Ini menggambarkan akan pentingnya kedua anggota tubuh wanita dalam berinteraksi dengan orang lain.

Beberapa ayat yang menjelaskan tentang aurat serta perintah untuk menjaga dan menutupnya, sebagaimana firman Allah SWT, yang berbunyi:

Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat”. (Q.S: al-A’raf: 26)

Sabab al-Nuzul ayat ini berkaitan dengan kebiasaan orang-orang Arab Jahiliyah yang berthawaf (mengelilingi ka’bah) dengan bertel4njang. Mereka berkata: “Kami tidak berthawaf dengan pakaian dan kami maksiat kepada Allah”. Akhirnya turunlah ayat tersebut. Maksudnya agar mereka ingat kepada kisah Nabi Adam bahwa sesungguhnya terbuka aurat adalah awal dari kejahatan yang dihembuskan setan kepada manusia, sebagaimana yang telah dialami oleh nenek moyang manusia yang telah diusir dari surga.[1]

Hal tersebut sesuai dengan surat Thaha: 121:

Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di surga), dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia”. (Q.S: Thaha: 121)

Khitab yang digunakan dalam ayat di atas dengan menggunakan kalimat Ya Bani Adam adalah bersifat umum, baik laki-laki maupun perempuan. Ayat ini turun pada periode Makkah, atau disebut dengan ayat dalam kategori Makkiyah. Hal ini memberikan keluasan bagi manusia untuk memakai pakaian yang beraneka ragam jenis dan rupa, sehingga manusia bisa memilih pakaian mana yang cocok dan pakaian mana yang tidak menutupi aurat serta pakaian yang hanya untuk pemenuhan keindahan.

Hasbi al-Shiddiqiy memberikan penafsiran bahwa:

"Wahai anak Adam, ingatlah akan nikmat Allah yang telah dicurahkan atas kamu dan atas ayahmu dahulu dan jauhkanlah dirimu dari maksiat dan durhaka, serta bertakwalah kamu baik dalam keadaan tertutup maupun nyata, karena Allah-lah yang telah menurunkan atas kamu hujan dan awan. Dari padanya ditumbuhkan kapas dan katun dan dijadikan wol dan bulu unta dan lain-lain untuk dijadikan bahan pokok yang diperlukan buat menutup aurat atau pakaian untuk menutup badan dan untuk hiasan."[2]

 Penggunaan kata saut pada ayat di atas adalah sama artinya dengan aurat. Saut wajib ditutup dengan pakaian yang telah Allah sediakan dari kapas atau katun sebagai penutup aurat sekaligus sebagai harta, perhiasan atau alat-alat rumah tangga. Namun pakaian takwa yang berupa tauhid dan menjaga diri dari kemaksiatan adalah lebih baik dari pada pakaian kapas atau katun.[3]

Pakaian takwa bukanlah pakaian lahir tetapi pakaian batin berupa amal shaleh dan iman yang kholish atau murni. Untuk memperjelas batasan-batasan aurat dalam al-Qur’an, surat al-Ahzab: 59 menjelaskan bahwa:

Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang”. (Q.S : Al-Ahzab: 59)

Seruan yang digunakan dalam ayat tersebut pertama kali adalah perintah kepada Nabi Muhammad untuk memerintahkan kepada isteri-isterinya dan isteri-isteri orang yang  beriman agar mengulurkan jilbab pada seluruh tubuh pada waktu keluar rumah. Hal ini dimaksudkan untuk membedakan dirinya dari budak belian.[4]

Ibnu Katsir memberikan penjelasan bahwa perintah menutup aurat, yaitu dengan menjulurkan jilbab ke seluruh tubuh supaya dapat membedakan wanita Muslimah dan wanita Jahiliyah. Menutup aurat bagi mereka adalah untuk meningkatkan kemuliaan mereka sendiri. Ibnu Katsir mengutip pendapat Ibn Abbas bahwa sesungguhnya  Allah memerintahkan istri orang-orang yang beriman ketika keluar rumah untuk buang air besar, hendaklah mereka menutup muka mulai dari atas kepala dengan menggunakan jilbab,[5] sehingga hanya tampak satu matanya saja. Lebih lanjut dikatakan bahwa dengan penggunaan jilbab akan dapat diketahui mana wanita yang merdeka dan mana yang tidak.[6]

 Ayat ini merupakan perintah kepada para wanita untuk menutup auratnya, terkecuali jika bersama suaminya, karena itu semua dapat dilihat dan dinikmati sesuai dengan kehendak suami, jadi aurat bagi wanita terhadap suaminya adalah tidak berlaku.

Maka setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: "Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya setan  itu  adalah  musuh  yang  nyata  bagi  kamu  berdua?" (Q.S : Al-A’raf: 22)

Secara eskplisit ayat ini menjelaskan bahwa pasca Adam beserta isterinya memakan buah dari pohon tersebut, seketika itu tampaklah aurat keduanya dan sebagai penutup kemaluannya digunakanlah dedaunan surga.

Adapun secara implisit ayat tersebut mengisyaratkan bahwa Adam setelah melanggar larangan Allah untuk tidak mendekati dan memakan apa yang ada pada pohon tersebut, ia merasa malu dan hina di hadapan Allah, sehingga ia bertaubat dan meminta ampun kepada Allah.[7]

Al-Qur’an dengan tegas mengatakan bahwa dengan ditutupnya aurat kehormatan seseorang akan terjaga dan mendapatkan kedudukan terhormat, karena dirinya sendiri telah ditata rapi dengan menutup segala yang dapat menjadikan aib atau cacat, baik secara eksplisit (auratnya terbuka dan kelihatan orang banyak) maupun secara implisit (rasa malu yang berlebihan karena akibat keburukan atau aib yang menjadi kekurangannya terbuka dan sudah menjadi rahasia publik).

Akhirnya al-Qur’an lebih lanjut memberikan batasan terhadap pergaulan secara umum, yang dari pergaulan tersebut interaksi sosial antara laki-laki dan perempuan tidak dapat dielakkan. Hal ini memungkinkan antara laki-laki dengan perempuan untuk saling melihat dan bergaul, sehingga tidak menutup kemungkinan aurat dari keduanya (baik laki-laki dan terlebih perempuan) terbuka.

Ayat 30 dari surah al-Nur memberikan tuntunan supaya orang-orang beriman untuk berperilaku atau bertingkah laku sesuai dengan apa yang disampaikan pada surah al-Ahzab ayat 59 dan al-A’raf ayat 22,

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat." (Q.S : Al-Nur: 30)

Ayat tersebut secara jelas memerintahkan kepada orang-orang mukmin untuk menahan pandangan dan menjaga kemaluannya. Al-Razy menyatakan bahwa berawal dari pandangan akan mengarah pada perbuatan z1na, sehingga redaksi yang digunakan al-Qur’an mendahulukan untuk menahan pandangan. Ketika seseorang tidak mampu untuk menahan pandangan yang terjadi adalah penyaluran hasrat s3ksual dan ujung dari s3ks adalah f4rji.[8]

Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (Q.S : Al-Nur : 31)

Inilah keindahan al-Qur’an, sistematika yang sempurna dapat dilihat dari keteraturan dalam menempatkan redaksi, perintah pertama untuk menahan pandangan adalah ditujukan kepada kaum pria, karena kaum pria mempunyai potensi lebih besar menggoda dari pada kaum wanita, akhirnya al-Qur’an mendahulukan perintah untuk menahan pandangan kepada kaum pria.

Setelah kaum pria diperintahkan untuk menahan pandangan, kaum wanita diperintahkan untuk menahan pandangannya, memelihara kemaluannya, dilarang menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya, dilarang menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita, dilarang memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan dan diperintahkan kepada kaum wanita untuk menutupkan kain kudung ke dadanya.

Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Q.S: al-Nur: 60)

Berbeda dengan perintah untuk menutup aurat secara keseluruhan sebagaimana ayat-ayat sebelumnya, ayat 60 dari surat al-Nur memberikan batasan bahwa bagi wanita yang sudah berhenti masa menstruasinya atau menopouse, diperbolehkan untuk menanggalkan sebagian pakaian yang menutup perhiasannya, akan tetapi unsur bertindak sopan di hadapan orang banyak terutama kaum laki-laki adalah menjadi syarat utama.[9]

Hasbi al-Shiddiqiy lebih lanjut memberikan penafsiran diperbolehkan untuk membuka pangkal dada dengan tidak bermaksud menampakkan perhiasan yang biasanya tersembunyi.[10] Akan tetapi dengan adanya redaksi an yasta’fifna khairun lahunna, memberikan pengertian bahwa menjaga dari fitnah adalah lebih aman, yaitu dengan memakai pakaian sopan yang menutup aurat.

Berdasarkan Surah al-Nûr: 30, memerintahkan pada kaum mukmin untuk menundukkan pandanganya dari perkara yang diharamkan dan menjaga kem4luannya. Karena hal tersebut dapat menyebabkan perantara penyakit hati dan menyebabkan seseorang terjerumus dalam perbuatan tercela. Dan menundukkan pandangan merupakan sebab keselamatan dari hal tersebut.

Ayat tersebut juga mengandung perintah wajib untuk ditaati berupa larangan melihat wanita asing atau pria asing, merupakan suatu larangan mutlak yang diharamkan, tanpa adanya suatu keperluan yang dibenarkan oleh syara'. Pandangan yang bisa memunculkan r4ngsangan pria, sehingga menimbulkan mengabaikan nilai moral dan penyimpangan perilaku individu dalam masyarakat.

Sehingga Allah memerintahkan pada kaum wanita menggunakan hijab untuk menjaga terlepasnya kobaran nafsu s3ksual, sehingga pria dan wanita yang dekat dan yang jauh tidak akan saling menarik karena secara fitrah wanita dan pria selalu tarik menarik dan ini merupakan sunnah kehidupan atau hukum alam.

Karena itu Allah melarang apabila dua orang yang berlainan jenis menyepi karena sudah pasti setan akan menjadi yang ketiga di antara mereka dan mengganggunya, lalu mereka berbuat tidak senonoh sebagaimana firman Allah dalam  surah Yusuf ayat 53 yang berisi bahwa sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh pada kejahatan kecuali nafsu yang telah diberkahi oleh Allah.[11] Untuk menghindari dari hal-hal yang tidak diinginkan dan menjaga kesucian, maka seorang wanita diwajibkan untuk berhijab dan anggota badan yang boleh diperlihatkan adalah wajah dan kedua telapak tangan.

Al-Qur’an melarang wanita untuk berhias dan bertingkah laku seperti wanita di zaman Jahiliah, akan tetapi perhiasan dan tingkah laku Jahiliah yang pertama lebih baik karena mereka masih memperhatikan dan mengenal rasa malu dan tertutup bila dibandingkan dengan perhiasan dan tingkah laku (tabarruj) Jahiliah.[12] Modern Jahiliah yaitu Jahiliah abad ke-20.[13]

Penggunaan hijab antara pria dan wanita mengandung hikmah bahwa sebenarnya Allah bermaksud menata hubungan inter-personal dalam masyarakat dan menjaga kesucian pria dan wanita agar dapat mencapai kesempurnaannya demi terwujudnya masyarakat yang sehat dan dibangun atas akhlak mulia serta nilai-nilai moralitas yang tinggi.[14]

Ayat lain yang memerintahkan tentang penggunaan hijab adalah al-Qur’an Surah an-Nûr ayat 30-31. Dari ayat yang tersebut kaum laki-laki diperintahkan untuk menahan diri dari pandangan yang mengarah pada perbuatan mesum, sedangkan kaum wanita tidak hanya diperintahkan untuk menahan pandangan tetapi juga diperintahkan untuk mentaati dan memperhatikan kehidupan sosial. Hal tersebut memperlihatkan bahwa untuk melindungi moralitas kaum wanita tidak hanya cukup dengan menghindari pandangan mata dan menjaga auratnya.

Asbab an-nuzûl dari surah an-Nûr 31 diriwayatkan bahwa Asma’ Binti Mursid pemilik kebun kurma, sering dikunjungi oleh kaum wanita yang bermain-main di kebunnya tanpa berkain panjang sehingga kelihatan gelang-gelang kakinya, demikian juga dada dan sanggul-sanggul mereka kelihatan, melihat kejadian itu Asma’ berkata: “Alangkah buruknya (pemandangan) ini.”

Berkenaan dengan hal tersebut maka turunlah ayat 30 Surat an-Nûr dan Nabi memerintahkan kepada kaum mukminat (wanita Islam) untuk menutup aurat,[15] hal ini berkaitan dengan: Menghindari pandangan atau ghadl al-bashar yang dimaksudkan untuk selalu mewaspadai zina mata.

 Arti ghadl al–bashar adalah tidak memandang untuk mencari kelezatan melainkan yang bersifat pendahuluan dalam pembicaraan saja dan merupakan pandangan yang tidak disengaja, tidak diulangi dan tidak untuk mencari kepuasan.[16]

Allah telah menetapkan bahwa kesempatan pertama melihat dapat dimaafkan sedangkan pandangan yang kedua tidak, seperti pesan yang disampaikan Nabi kepada Ali.

 “Hai Ali janganlah sampai pandangan yang satu mengikuti pandangan yang lainnya, kamu hanya boleh pada pandangan pertama adapun yang  berikutnya  adalah  tidak  boleh”. (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi)[17]

Rasulullah tidak melarang memandang wanita tetapi tujuan yang utama adalah untuk mencegah akibat-akibat negatif yang bisa ditimbulkan, oleh karena itu beliau melarang melihat yang tidak ada manfaat sosial atau hanya didasarkan pada motivasi s3ksual belaka.

Larangan memamerkan perhiasan (auratnya). Larangan ini berlaku bagi para pria dan wanita tetapi ada sedikit perintah tambahan bagi kaum wanita yaitu tidak memamerkan perhiasanya pada pria bukan mahram, kecuali wajah dan kedua telapak tangan, karena pada dasarnya tubuh seorang wanita adalah aurat,[18] yang mana seluruh tubuhnya harus di tutup kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Selain itu, setiap orang dilarang juga untuk saling melihat aurat masing-masing berdasarkan sabda Nabi:

Dari Abu Sa’id Al-Khudry berkata: “Rosulullah bersabda: Janganlah kaum laki-laki melihat aurat laki-laki yaang lain dan perempuan melihat aurat perempuan yang lain dan tidak diperbolehkan dua laki-laki bertelanjang dalam satu kain atau dua perempuan dalam satu kain”. (HR. Muslim)[19]

Aurat laki-laki adalah antara pusar sampai lutut sedangkan bagi perempuan seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan, oleh karena itu seorang wanita harus menutup tubuhnya sesuai dengan al-Qur’an Surat al-Ahzab ayat 59.

Ayat tersebut mengandung maksud mendidik kaum wanita muslimah agar mengenakan busana luar yang modelnya sesuai dengan adat kesopanan masyarakat setempat, sehingga tidak menjadi gunjingan masyarakat. 

Asbab al-nuzûl ayat tersebut menurut Al-Wahidi, berkenaan dengan wanita mukmin yang keluar pada malam hari untuk keperluannya dan pada waktu itu orang–orang munafik mengganggu dan menghalangi mereka.

Berkenaan dengan hal tersebut maka turunlah ayat di atas. Adapun menurut Imam As-Saddi, dikarenakan di Madinah ada rumah-rumah yang penduduknya sangat sempit, ketika malam hari para wanitanya keluar untuk memenuhi keperluannya, demikian juga orang-orang fasik, ketika mereka melihat wanita mengenakan qinâ (tutup kepala) maka mereka berkata,

ini adalah wanita merdeka, akan tetapi jika mereka melihat wanita tanpa qinâ maka mereka mengatakan bahwa wanita itu adalah budak dan mereka mengganggunya.”[20]

Dari keterangan di atas dapat diketahui disyariatkan hijab tidak lebih dari ekspresi rasa malu yang tercermin dari sikap kaum wanita yang menutupi sisi s3nsualitasnya, ketika ia berinteraksi dengan pria bukan mahram, dan untuk menjaga dan mengantisipasi bahaya-bahaya yang akan menyebabkan kemerosotan moral kaum wanita.[21]




[1] Musa’id Ibnu Qasim, Ahkam al-‘Aurat wa al-Nadhar, Maktabah Ma’arif, Riyadl, t.th., hlm. 21
[2] Muhammad Hasbi al-Shiddiqiy, Tafsir al-Nur,  Pustaka Rizki, Semarang, t.th., hlm. 1331-1332
[3] Abu Tahir Ya’kub, Tanwir al-Miqyas min Tafsir Ibn Abbas,  Dar al-Fikr, Beirut, t.th., hlm. 125
[4] Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir, Dar al-Fikr, Beirut, t.th., Juz VII hlm. 107
[5] Jilbab secara bahasa artinya adalah pakaian kurung panjang, jubah. Untuk melihat sintaksi kata jilbab dapat dilihat dalam A.W. Munawir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Pustaka Progresif, Surabaya, 1997, hlm. 199-120. Pengertian ini mengisyaratkan bahwa dengan memakai jilbab aurat dapat tertutup dan menghindari dari fitnah dan tindak eksploitasi s3ksual. Inilah fungsi dan manfaat dari pemakaian jilbab, di satu sisi aman bagi pemakaianya (terhindar dari sengatan matahari dan hawa dingin), demikian juga akan terlihat anggun dan orang yang melihat akan segan.
[6] Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adhim (Holy Qur’an), ed. 6. 50., Sakhr, 1997
[7] Ibid.
[8] Fakhruddin al-Razi, Tafsir al-Kabir, Dar al-Kutub al-Alamiyah, t.th., Jilid XII, hlm. 178
[9] Imam al-Qurthubi,  al-Jami’ li al-Ahkam al-Qur’an(Holy Qur’an), ed. 6. 50., Sakhr, 1997
[10] Hasbi al-Shiddiqiy, op.cit., hlm. 2850
[11] Departemen Agama RI,  Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelelenggara Penterjemah al-Qur’an, Intermesa, Jakarta, 1974, hlm. 357
[12] Tabarruj Jahiliah adalah memakai kerudung di atas kepala, tetapi tidak mengikat dan melingkarkannya di leher sehingga kelihatan kalung, liontin dan leher secara keseluruhan.
[13] Abdur-Rasul Abdul Hasan al-Ghaffar, Wanita Islam dan Gaya Hidup Modern, terj. Bahruddin Fanani, Pustaka Hidayah, Bandung, 1989, hlm. 52
[14] Ibid., hlm. 55
[15] KH.Q. Shaleh, KH.A.A. Dahlan, Asbabul Nuzul, Penerbit Diponegoro, Bandung, 2000, hlm. 383
[16] Husein Shahab, Jilbab Menurut Al-Qur’an dan As-sunah,  Mizan,  Bandung,  1994, hlm. 31
[17] Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, terj. Mu’amal Hamidy, Bina Ilmu, Semarang, 1993, hlm. 208
[18] Abdul Halim Abu Syuqqoh, Kebebasan Wanita,  terj. As’ad Yasin,  Gema Insani Press, Jakarta, 1997, jilid V, hlm. 29
[19] H.A.Raza, H.Rais Lathief, Hadis Shahih Muslim,  Pustaka  al-Husna,  Jakarta,  1978, hlm. 181
[20] Sri Suhandjati Sukri, (ed), Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan Jender, Gama Media, Yogyakarta, 2002, hlm. 142
[21] M. Sa’id Ramadhan Al-Buthi, Perempuan Antara Kezaliman Sistem Barat dan Keadilan Islam, terj. Darsim Ermaya Imam Fajaruddin, Intermedia, Solo, 2002, hlm. 190

No comments:

Post a Comment