Ketahuilah, sesungguhnya
menggugurkan shalat adalah diperbolehkan seperti yang telah dijelaskan oleh
para fuqaha’ kita. Allah ta’ala berfirman,
وَ
عَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍ
Artinya : “Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya
(jika mereka tidak puasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang
miskin.” (QS. al-Baqarah, 184)
Fidyah shalat telah tetap dengan
petunjuk nash, karena shalat itu lebih penting dari puasa, dan fidyahnya
tiap-tiap shalat adalah seperti fidyahnya puasa. Shalat witir adalah shalat
tersendiri. Jadi, shalat sehari semalam ada enam. Ketika enam dikalikan dengan
harinya tahun syamsiyyah (365 hari), maka hasilnya adalah 2190 shalat.
Fidyahnya satu shalat adalah sebesar zakat fitrah, yaitu satu sha’ kurma atau
syair dan setengah sha’ dari hinthah.
Seandainya apa yang telah
diwasiatkan dari kewajiban mayit tidak mencukupi, maka perkara itu diserahkan
kepada orang fakir sehingga perkara itu bisa menggugurkan dari mayit dengan
kadar pemberian itu. Lalu si fakir menyerahkannya kepada wali dan wali itu
menerimanya kemudian menyerahkannya kembali kepada fakir sehingga perkara itu
menggugurkan shalatnya mayit dengan kadarnya. Lalu fakir menyerahkannya
kembali kepada wali dan wali menerimanya kemudian menyerahkannya kepada fakir
lagi dan seperti itu seterusnya hingga semua kewajiban mayit yang menjadi
tanggungannya menjadi habis, yaitu dari puasa dan shalat.
Syeikhul Masyayih Abu Mas’ud al-Sayyid
Mahmud Syah berkata dalam Wajiz al-Shirath, “Masing-masing dari wali dan
fakir berkata kepada yang lainnya, “Aku hibbahkan harta ini untuk menggugurkan
apa yang menjadi tanggungan mayit ini, yaitu dari shalat, puasa dan lainnya.”
Al-Allamah al-Syami berkata dalam Hasyiyah
al-Durr al-Mukhtar dalam bab
zakat fitrah, (“Ketahuilah, sesungguhnya para ulama’ mazhab Hanafi berkata,
bahwa satu sha’ adalah tempat yang bisa menampung delapan ratl dari kacang adas
dan kacang masy, dan tidak bisa menampung delapan ratl (: kati) dari hinthah,
karena hinthah lebih berat dari keduanya. Satu ratl adalah separuh mann,
dan satu mann bila ditakar kedalam dirham adalah dua ratus enam puluh dirham,
dan kedalam itsar adalah empat puluh. Satu itsar diubah kedalam ukuran dirham
adalah enam setengah, dan dengan ukuran mitsqal adalah empat setengah. Mud dan
Mann adalah sama, masing-masing adalah seperempat sha’ kati, seratus tiga puluh
dirham syara’. Satu sha’ adalah seribu empat puluh dirham syara’ dan satu
dirham syara’ adalah empat belas qirath dan satu qirath adalah lima biji
syair”).
Dalam al-Anwar li A’mal al-Abrar,
fiqih mazhab Syafi’i, pengarang berkata, (“Satu sha’ dengan timbangan adalah
enam ratus sembilan puluh empat dirham, dan zakat fitrah dari semua makanan
pokok adalah satu sha’ dan kadar fidyah adalah satu mudd”).
[Al-Faqir Husein Hilmi bin Said al-Astanbuli
telah mencoba dan melihat bahwa lima biji syair adalah dua puluh empat centi
gram. Satu dirham syar’i menurut mazhab Hanafi adalah tiga gram dan tiga puluh
enam centi gram. Setengah sha’ adalah 1750 gram. Jadi, fidyahnya shalat setahun
menurut mazhab Hanafi adalah 3833 kilo gram hinthah].
Dalam bab Qadla’ al-Fawait
dijelaskan, “Seandainya ada orang mati dan dia punya tanggungan shalat dan
puasa, dan dia berwasiat untuk menebusnya, maka walinya membeli hinthah itu
atau harganya yang berupa emas yang sudah dicetak atau perhiasan dari sepertiga
hartanya mayit. Lalu umur mayit dihitung setelah menggugurkan 12 tahun untuk
laki-laki dan 9 tahun untuk perempuan, karena perempuan lebih sedikit masa
balighnya atau lebih cepat. Kemudian wali menyerahkan-nya kepada orang fakir
lalu dia meminta supaya barang itu dihadiahkan kepadanya (: wali) dan fakir
menyerahkannya kepada wali supaya penghibahan itu menjadi sempurna. Lalu wali
menyerahkannya lagi kepada fakir itu atau kepada fakir yang lain, sehingga
disetiap sekali pemberian kepada fakir akan menjadi kafarat setahun. Dalam
kafarat sumpah harus diserahkan kepada sepuluh orang miskin dan tidak sah
memberikannya kepada seorang lebih dari satu sha’ atau harganya (dari emas)
dalam sehari. Berbeda dengan fidyahnya shalat dan puasa, karena diperbolehkan
memberikan fidyahnya shalat dan puasa kepada satu orang saja. Kemudian
sebaiknya setelah sempurna pengguguran itu supaya wali bersedekah kepada para
fakir dengan sesuatu dari harta itu.
Wajib atas wali untuk melakukannya
dengan sesuatu dari sepertiga harta mayit, jika dia berwasiat, dan jika dia
tidak berwasiat maka tidak wajib atas wali. Seandainya mayit tidak meninggalkan
harta atau harta yang diwasiatkan tidak mencukupi atau tidak berwasiat sama
sekali dan ahli waris ingin bertabarru’, maka sudah bisa mencukupi, dia
menghutang emas dan melakukan perputaran seperti di atas, tapi itu tidaklah
wajib atas ahli waris. Seandainya selain ahli waris bertabarru’, maka juga bisa
mencukupi. (Imdad).
Ahmad bin Muhammad Isma’il al-Thahthawi
berkata dalam Syarah al-Durr al-Mukhtar, “Apa yang telah
dilakukan dizaman sekarang ini, yaitu dari memutarkan kafarat diantara
orang-orang yang hadir dan masing-masing berkata kepada yang lainnya, “Aku
hibbahkan dirham atau mitsqal ini untuk menggugurkan tanggungan Fulan dari
shalat dan puasa,” dan yang lainnya menerimanya adalah shahih.”
Al-Faqih Imamul Huda Abu al-Laits al-Samarqandi
berkata, “Telah bercerita kepadaku Al Abbas bin Sufyan dari Ibnu ‘Aliyyah dari
Ibnu ‘Aun dari Muhammad dari Abdullah, dia berkata, “Umar berkata: “Wahai
orang-orang mukmin, jadikanlah al-Qur’an sebagai wasilah untuk keselamatan
orang-orang yang sudah meninggal, maka berkumpullah dan berdo’alah, Ya Allah,
ampunilah mayit ini dengan kemuliaan al-Qur’an.”
Dan dari Ibnu Umar ra dari Nabi SAW,
beliau bersabda,
مَنْ مَاتَ وَ
عَلَيْهِ صِيَامُ شَهْرِ رِمَضَانَ فَلْيُطْعِمْ مَكَانَ كُلِّ يَومٍ مِسْكِيْناً
Artinya : “Barang siapa meninggal dan dia punya
tanggungan puasa bulan ramadlan, maka berilah makan sebagai ganti setiap satu
hari (yang dia tinggalkan) satu orang miskin.”
Dari Ibnu Abbas ra, sesungguhnya
Rasulullah SAW bersabda,
لاَ يَصُومُ
اَحَدٌ عَنْ اَحَدٍ وَ لاَ يُصَلِّي عَنْ اَحَدٍ وَ لَكِنْ يُطْعِمُ عَنْهُ
Artinya : “Seorang tidak boleh berpuasa sebagai ganti
orang lain dan tidak boleh shalat sebagai ganti orang lain, tetapi dia memberi
makan sebagai gantinya.” (HR. al-Nasa’i, al-‘Aini, Majmu’ah Rasail al-Syami, Majma’
al-Anhar Shaum hal 242, al-Sunan al-Kubro, Jawahir al-Niqa’ juz 4, al-Zaila’i
hal 492 dan al-Dirayah hal 177).
Syair,
“Seandainya
kamu tidak tahu, maka itu adalah suatu musibah // dan seandainya kamu sudah
tahu maka musibahnya akan semakin besar.”
Jika shalat yang menjadi tanggungan
mayit terlalu banyak dan hinthah yang dimilki sedikit, maka wali memberikan
tiga sha’ sebagai ganti dari shalat sehari semalam beserta witir kepada orang
fakir lalu fakir itu menyerahkannya kepada ahli waris kemudian ahli waris
memberikannya kepada fakir lalu fakir memberikannya kepada ahli waris, itu
dilakukan berkali-kali hingga shalat dan semisalnya terpenuhi semua.” (Kabair
Fawait hal 583 dan Jauhar al-Nafis).
Seandainya harta ahli waris tidak
mencukupi, maka dia meminta hibbah dari orang lain atau meminta pinjaman untuk
dia serahkan kepada orang fakir lalu dia meminta dihibbahkannya harta itu dari
fakir dan seperti itu seterusnya hingga menjadi sempurna apa yang dia maksud. (Majma’
Rasail al-Syami, Minnah al-Jalil juz 1 hal 312).
Seandainya wali bertabarru’ (: beramal
karena Allah dengan inisiatif sendiri) dengannya maka diperbolehkan. (al-Fatawi
al-Hujjah karangan Qadlikhan, al-Dlidyah, Kubairi, al-Maraqi,
al-Thahthawi, al-Lubab, al-Jauharah Shaum hal 436, al-Fatih
Shaum hal 78 dan ‘Aini al-Hidayah Shaum). [Dalam Risalah (Naf’ul
al-Anam fi Isqath al-Shalat wal Shiyam) pengarang berkata, “Al-Bajuri (: Ibrahim al-Bajuri, salah
satu guru al-Azhar) berkata, “Barang siapa meninggal dan dia punya tanggungan
shalat atau i’tikaf, maka orang lain tidak diperbolehkan untuk melakukannya
sebagai ganti dari dia bahkan tidak ada fidyah baginya menurut qaul mu’tamad
bagi kita, dan dia yang mengatakan dia (mayit) di fidyahi untuk setiap
shalatnya satu mud dan tidak apa-apa bertaklid dengan pendapat itu. Seandainya
dia bertaklid kepada mazhab Hanafi dalam masalah pengguguran shalat yang telah
masyhur maka akan lebih baik.”]
No comments:
Post a Comment