Ketahuilah,
bertawassul (: membuat wasilah atau perantara) dengan para nabi dan wali adalah
diper-bolehkan, karena orang yang bertawasul dengan para Nabi dan wali tidaklah
berkeyakinan dan tidaklah tergerak dalam hatinya bahwa para Nabi dan wali bisa
memenuhi hajat dia. Namun, dia bertawassul dengan mereka kepada Allah supaya
Dia memenuhi hajatnya. Sesungguhnya yang diyakini, diamalkan dan diucapkan oleh
semua orang yang bertawassul adalah terpenuhinya suatu hajat berada ditangan
Allah Tuhan semesta alam, tidaklah dia meminta kepada selain Allah untuk memenuhinya
dan selain Allah tidak akan bisa memenuhinya. Sehingga tidaklah ada bagi
makhluk yang wujud untuk memenuhi suatu hajat, dalam arti menciptakan dan
mewujudkannya secara sendiri. Itulah yang ada pada orang-orang Islam,
kecil-besar, lelaki-perempuan, putih-hitam dan timur-baratnya. Tidak ada dalam
keyakinan mereka bahwa selain Allah ta’ala punya bagian untuk mewujudkan dan
menciptakan.
Syeikh Mustafa Abu al-Sayf al-Hamami,
salah satu ulama’ al-Azhar dan khatib masjid al-Zainabi, telah menjelaskan
dalam Ghauts al-‘Ibad, (“Dengan demikian, termasuk kelucuan adalah ada
orang berkata bahwa bertawassul diperbolehkan ketika dengan orang-orang yang
masih hidup dan tidak diperbolehkan ketika dengan orang yang sudah meninggal.
Sesungguhnya dari perkataan itu bisa tercium bahwa orang yang masih hidup,
karena hidupnya itu, bisa berbuat, sehingga mungkin bagi dia untuk memenuhi
hajat, dan orang yang sudah meninggal, karena meninggalnya itu, tidak bisa
berbuat apa-apa sehingga dia tidak bisa memenuhi hajat. Keyakinan yang seperti
itu bukanlah termasuk keyakinan orang Islam, yang kecil maupun yang besar.”)
Bertawassul kepada Allah ta’ala
dalam suatu hajat adalah dengan berkahnya para Nabi dan wali, dan dengan
kehormatan, kemuliaan dan kedekatan mereka kepada Allah disaat mereka masih
hidup dan setelah meninggal. Karena orang-orang yang sembrono di zaman kita
sekarang ini telah mengingkarinya, maka aku akan menyebutkan kadar yang harus
diketahui supaya menjadi penglihatan bagi orang-orang yang ingin melihat dan
menjadi pengingat bagi orang yang ingin mengingat. Dan Allah adalah dzat yang
menunjukkan pada jalan yang lurus.
Ketahuilah, sesungguhnya penetapan
masalah ini membutuhkan pengidentifikasian kata wasilah dan berkah,
karena perputaran masalah ini, baik penafian maupun pentetapan, berkisar pada
kedua kata itu.
Wasilah bermakna sesuatu yang digunakan
untuk mendekat, seperti yang telah dijelaskan dalam tafsir Ruh al-Ma’ani
(: karangan Mahmud al-Alusi), begitu juga dalam Taaj al-Lughat. Wasilah
dengan arti perantara memiliki banyak syahid dalam kitab fan, seperti
dalam al-Talwih, karena amal adalah suatu wasilah atau perantara untuk
mendapatkan hajat dan menaikkan derajat.
Berkah artinya adalah ziyadah
atau tambahan. Kemudian Ustadz Hamdalah, salah seorang ulama’ Sarhad,
menjelaskan dalam al-Bashair Li Munkiri al-Tawassul bi Ahli al-Maqabir,
diantara ayat yang telah datang yang menjelaskan berkah dengan makna banyaknya
kebaikan adalah,
حم
وَ الْكِتَابِ الْمُبِيْنِ اِنَّا اَنْزَلْناَهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ اِنَّا
كُناَّ مُنْذِرِيْنَ
Artinya : “Haa miim, demi kitab (al-Qur’an) yang menjelaskan.
Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan
sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (Qs. Al Dukhan, 1-3)
Dalam tafsir al-Madarik (:
karangan Abdullah al-Nasafi)
dijelaskan bahwa berkah bermakna banyaknya kemanfaatan dan kebaikan. Sehingga
dari situ bisa diketahui bahwa berkah dengan makna itu bisa diguna-kan untuk
mensifati malam, seperti dalam firman-Nya,
وَ
اَنْزَلْناَ مِنَ السَّماَءِ مَاءً
Artinya : “Dan Kami telah menurunkan air dari langit.”
Sehingga dapat pula diketahui bahwa
berkah digunakan untuk mensifati pepohonan, seperti dalam firman-Nya,
... مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ
Artinya : “… dari pohon yang banyak berkahnya.” (Qs. al-Nur,
35)
Dan bisa diketahui bahwa berkah bisa
digunakan untuk mensifati jurang, seperti dalam firman-Nya,
...
اِنَّكَ بِالْوَادِ الْمُقّدَّسِ
Artinya : “… sesungguhnya kamu berada dilembah yang
suci.” (Qs Thaha, 12)
Al-Suyuthi dalam tafsirnya berkata,
“Jurang yang suci atau diberkahi.” Begitu juga firman-Nya yang men-ceritakan
dari Isa as,
وَ
جَعَلَنِي مُبَارَكاً اَيْنَ مَا كُنْتُ
Artinya : “Dan Dia telah menjadikan aku seorang yang
diberkahi dimana pun aku berada.” (Qs Maryam, 31)
Jadi, bisa diketahui bahwa berkah
bisa untuk mensifati dzat yang mulia. Seandainya al-Qur’an dan hadits diteliti
dengan mendalam, maka akan ditemukan kata berkah yang digunakan untuk mensifati
makanan, harta dan anak, seperti dalam do’a yang telah ma’tsur dari Nabi
saw,
اَللهُمَّ
بَارِكْ فِي مَالِهِ وَ اَولاَدِهِ وَ عُمْرِهِ
Artinya : “Ya Allah, berkahilah harta, anak dan umur
dia.”
Dan seperti dalam do’a,
اَللهُمَّ
بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ
Artinya : “Ya Allah, berkahilah Muhammad.”
Silahkan kalian teliti dalam al-Qur’an
dan kitab-kitab hadits, terlebih dalam kitab yang menjelaskan makanan.
Apa yang telah aku jelaskan telah
mencukupi bagi orang yang punya hati yang selalu condong pada kebenaran. Memang
benar, diantara berkahnya khaliq dan makhluk ada perbedaan, karena
berkahnya khaliq adalah dzati sedangkan berkahnya makhluk adalah musta’ar
(: pinjaman). Dan banyak sekali
perbedaan antara sesuatu yang berhubungan dengan dzat dan sesuatu yang
berhubungan dengan ‘aradl (: bukan dzat), begitu juga semua sifat,
karena bersekutu dalam sifat pada perkara yang berada diantara Dzat yang wajib
wujudnya (: Khaliq) dan perkara yang mungkin wujudnya (: Makhluk) adalah
ismi atau penamaan saja bukan haqiqi, seperti yang telah
dijelaskan dalam kitab-kitab Kalam ketika membahas sifat. Oleh
karenanya, Abdullah al-Nasafi dalam al-Madarik menafsiri kata
(Tabaaraka) dengan “Maha Agung dari sifatnya para makhluk.”
Al-hasil, kata berkah mempunyai
makna yang sangat banyak dan yang diinginkan disetiap tempat adalah apa yang
mencocokinya. Oleh karena itu, Syeikh Abdul Haq al-Dahlawi dalam Asy’at al-Lama’at
berkata dalam maknanya sabda Nabi SAW,
اِنَّكُمْ
تُرْزَقُونَ بِضُعَفَائِكُمْ وَ فُقَرَاءِكُمْ
Artinya : “Sesungguhnya kalian diberi rejeki sebab
orang-orang lemah dan fakir kalian.”
“Arti dari hadits itu adalah kalian
diberi rejeki dengan berkah orang-orang fakir.”
Diantara ayat yang menjelaskan
tentang tawassul adalah seperti firman-Nya,
فَتَلَقَّى
آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ اِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ
الرَّحِيْمُ
Artinya : “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari
Tuhannya, maka Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah maha menerima tobat
lagi maha penyayang.”
Imam Abu al-Laits berkata dalam
tafsiran ayat itu, “Kalimat tersebut adalah,
اَللهُمَّ
بِحَقِّ مُحَمَّدٍ اِلاَّ مَا غَفَرْتَ لِي
Artinya : “Ya Allah, dengan haknya Muhammad supaya Kau
ampuni aku.”
Al-Suyuthi dalam kitab al-Durr al-Mantsur
fi Tafsir al-Qur’an bil Ma’tsur berkata, “Ibnu al-Mundzir telah
mengeluarkan dari Muhammad bin Ali bin al-Husein bin Ali, dia berkata, “Ketika
Adam melakukan suatu kesalahan, maka dia menjadi sangat susah dan meyesal. Lalu
Jibril datang kepadanya dan berkata, “Hei Adam! maukah kamu aku ajari sebuah
do’a?” diantara do’a itu adalah,
اَللهُمَّ
اَسْئَلُكَ بِجَاهِ مُحُمَّدٍ عَبْدِكَ وَ كَرَامَةً عَلَيْكَ اَنْ تَغْفِرَ لِي
خَطِيْئَتِي
Artinya : “Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu
dengan kedudukan Muhammad, hamba-Mu, dan kemuliaan-Mu supaya Kau ampuni
kesalahanku.”
Al-Suyuthi juga berkata dalam
tafsirnya, “Al-Dailami telah mengeluarkan dalam Musnad al-Firdaus dari
Ali, dia berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah SAW tentang firman-Nya,
فَتَلَقَّى
آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ اِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ
الرَّحِيْمُ
Artinya : “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari
Tuhannya, maka Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah maha menerima tobat
lagi maha penyayang.”
Beliau menjawab, “Kalimat itu adalah
do’a,
اَللهُمَّ
اَسْئَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ
Artinya : “Ya Allah, aku meminta kepada-Mu dengan haknya
Muhammad.”
Kemudian al-Suyuthi berkata, “Ibnu al-Najjar
telah mengeluarkan hadits dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Aku bertanya kepada
Rasulullah SAW tentang (“Kalimat-kalimat yang diperoleh oleh Adam dari
Tuhannya lalu tobatnya diterima).” Beliau SAW menjawab, (“Dia meminta,
“dengan haknya Muhammad, Ali, Fatimah, Hasan dan Husein, kecuali Engkau akan
menerima tobatku,” lalu tobat dia diterima.”)
Imam al-Baihaqi berkata, “Dari Umar
bin Khattab ra, sesungguhnya Adam ketika melakukan kesalahan, maka dia berdo’a,
“Ya Tuhan, aku meminta kepada-Mu dengan haknya Muhammad semoga Kau mengampuni
aku.” Lalu Allah berfirman, “Hei Adam! Bagaimana bisa kamu mengenal Muhammad,
padahal Aku belum menciptakan dia?” Adam menjawab, “Ya Tuhan, ketika Kau
mencipta-kan aku dengan ‘tangan’-Mu dan Kau hembuskan ruh-Mu kepadaku, maka aku
mengangkat kepalaku dan aku melihat ditiang-tiang arasy tertulis lailaaha
illallah muhammadur rasulullah, lalu aku menjadi tahu bahwa Kau tidak akan
menyandarkan kepada nama-Mu melainkan makhluk yang paling Kau cintai.” Allah
berfirman, (“Hei Adam, ketika kamu meminta dengan haknya dia, maka Aku akan
mengampuni kamu. Jika bukan karena Muhammad, maka Aku tidak akan menciptakan
kamu.”)
Dan dalam Qasidah al-Nu’man,
(“Kau adalah orang yang Adam telah bertawassul dengan kau dari kesalahan. Lalu
dia bisa selamat, padahal dia adalah ayahmu”). Seperti itulah penjelasan dalam Ma’arij
al-Nubuwwah karangan Mollah Miskin Muhammad Mu’in.
Firman Allah ta’ala,
وَ
لَماَّ جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِنْ عِنْدِ اللهِ مُصَدِّقٌ لِماَ مَعَهُمْ وَ كَانُوا مِنْ
قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِيْنَ كَفَرُوا فَلَماَّ جَاءَهُمْ مَا
عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ اللهِ عَلَى الْكَافِرِيْنَ
Artinya : “Dan setelah datang kepada mereka al-Qur’an
dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka
biasa memohon (kedatangan nabi) untuk mendapatkan kemenangan atas orang-orang
kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka
lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu.”
Dalam Tafsir al-Baidlawi
karangan al-Qadli Abdullah bin Umar diterangkan, mereka meminta pertolongan
dari orang-orang musyrik dan berdo’a, (“Ya Allah, tolonglah kami dengan
haknya Nabi akhir zaman yang telah disifati dalam Taurat.”). Lalu mereka
bisa mengalah-kan orang-orang musyrik dan memberi tahu bahwa akan ada Nabi yang
akan diutus kepada mereka (: orang-orang musyrik) dan saatnya sudah dekat.
Dalam Tafsir al-Khazin
karangan ‘Alauddin al-Baghdadi
dijelaskan, artinya mereka meminta tolong dengan beliau (: Nabi akhir zaman)
atas orang-orang musyrik Arab, yaitu ketika suatu perkara membuat mereka susah
atau musuh menakuti mereka, maka mereka akan berdo’a, “Ya Allah, tolonglah kami
dengan haknya Nabi saw yang akan diutus diakhir zaman yang kami telah menemukan
sifat-sifatnya didalam Taurat.” Lalu mereka mendapatkan pertolongan.
Dalam al-Kabir dijelaskan,
bahwa sebab turunnya ayat itu ada beberapa wajah, Pertama, orang-orang
yahudi sebelum terutusnya Muhammad dan turunnya al-Qur’an, mereka meminta pertolongan
dan kemenangan dengan beliau. Mereka berdoa’a, “Ya Allah, menangkanlah kami dan
tolonglah kami dengan haknya Nabi yang ummi.”
Dalam al-Jalalain
diterangkan, mereka meminta pertolongan atas orang-orang kafir dan berdo’a, “Ya
Allah, tolonglah kami atas mereka dengan haknya Nabi yang akan ditutus diakhir
zaman.”
Dalam al-Jamal dijelaskan,
artinya mereka meminta tolong dengan beliau atas orang-orang kafir, yaitu
orang-orang musyrik Arab. Seperti itulah dijelaskan dalam al-Madarik, Ruh al-Bayan
dan kitab-kitab tafsir lainnya.
Telah mengeluarkan hadits Ibnu
Hamid, Ibnu Jarir dan Abu Na’im dari Qatadah, dia berkata, “Orang-orang Yahudi
meminta kemenangan dengan haknya Muhammad SAW atas orang-orang kafir Arab.”
Al-Hakim dan al-Baihaqi dalam al-Dalail
telah mengeluarkan hadits dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Orang-orang yahudi Khaibar
berperang melawan kabilah Ghatfan. Lalu mereka meminta perlindungan dengan do’a
ini, (“Ya Allah, kami meminta kepada-Mu dengan haknya Nabi yang ummi
yang telah Kau janjikan akan Kau keluarkan diakhir zaman kepada kami, semoga
Kau menolong kami atas mereka.”). Dan ketika mereka bertemu dalam pertempuran,
maka kabilah Ghatfan akan kalah dan lari tunggang langgang.”
Firman Allah ta’ala,
وَ
لَو اَنَّهُمْ اِذْ ظَلَمُوا اَنْفُسَهُمْ جآؤُكَ فَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ
لَوَجَدُوا اللهَ تَواَّباً رَحِيْماً
Artinya : “Sesungguhnya jikalau mereka ketika meng-aniaya
dirinya datang kepadamu, lalu meminta ampun kepada Allah dan rasul-pun memohon
ampun untuk mereka, tentulah mereka men-dapati Allah maha penerima tobat lagi
maha penyayang.”
Dalam Sunan al-Huda fi Mutaba’ah al-Mushtafa
dijelaskan, setelah wafatnya Nabi SAW, datang seorang lelaki ke makam beliau.
Dia menabur-naburkan debu kekepalanya, membaca ayat di atas dan berkata, “Ya
Rasulullah, sesungguhnya aku telah mendzalimi diriku dengan pendzaliman yang
sangat besar. Dan aku datang kepadamu supaya Allah memberi ampun dan mengampuni
dosa-dosaku.” Lalu dia mendengar suara dari balik makam yang mulia, “Allah
telah mengampuni kamu.” Seperti dijelaskan dalam al-Madarik al-Tanzil
dan Nidzam al-Maqsud ‘An Jami’ al-Khairat.
Lalu dalam Sunan al-Huda
diterangkan bahwa seorang arabi (: orang pedalaman) mendatangi makam Nabi yang
diberkahi lalu dia melantunkan syair,
يَا خَيْرَ مَنْ دُفِنَتْ
بِالْقَاعِ اَعْظَمُهُ * فَطَابَ مِنْ طِيْبِهِنَّ الْقَاعُ وَ الأَكَمُ
نَفْسِي الفِـدَاُء
لِقَبْرٍ اَنْتَ
سَاكِنهُ * فِيْهِ
الْعَفَاُف وَ فِيْهِ الجُوْدُ وَ الْكَرَمُ
Artinya : Wahai manusia mulia yang tulang-tulangnya
disemayamkan ditempat ini, maka menjadi mulialah tempat dan debu ini karena
kemuliaannya. Diriku adalah sebagai tebusannya makam yang kau tempati. Didalamnya
terdapat keterjagaan, kedermawanan dan kemuliaan.
Kemudian ada suara berkata, “Aku
telah mengampuni kamu sebab bait-bait itu.” Aku mengharap kepada Allah ta’ala,
dan semoga tidak menjadi aneh jika Dia mengampuni orang yang mengucapkan dan
menulis bait itu. Insya Allah.
Begitu juga dalam Tafsir Ibnu
Katsir terdapat pembahasan tentang ayat itu dan dalam Ma’arij al-Nubuwwah.
Firman Allah ta’ala,
يَآ
اَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَ ابْتَغُوا اِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ
وَ جَاهِدُوا فِي سَبِيْلِ اللهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya : “Hei orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan
berjihadlah pada jalan-Nya supaya kamu mendapatkan keberuntungan.”
Dalam al-Jalalain dijelaskan,
“Wasilah adalah sesuatu yang bisa mendekatkan diri kalian kepada Dia, yaitu
berupa ketaatan. Begitu juga dalam al-Khathib dan lainnya.
Dalam al-Kabir dijelaskan,
wasilah berwazan fa’iilah yaitu orang yang dijadikan perantara kepada
Dia, ketika mendekatkan diri kepada-Nya.
Jadi, wasilah adalah sesuatu yang
digunakan sebagai perantara kepada maqsud (yang dituju), seperti yang
dijelaskan dalam Ruh al-Bayan.
Firman Allah ta’ala,
وَ
اِذاَ قَالُوا اللهُمَّ اِنْ كَانَ هَذاَ هُوَ الْحَقُّ مِنْ عِنْدِكَ فَأَمْطِرْ
عَلَيْناَ حِجاَرَةً مِنَ السَّماَءِ اَوِ ائْتِناَ بِعَذَابٍ اَلِيْمٍ وَ مَا
كَانَ اللهُ لِيُعَذَّبَهُمْ وَ اَنْتَ فِيْهِمْ وَ مَا كَانَ اللهُ مُعَذِّبَهُمْ
وَ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ وَمَا لَهُمْ اَلاَّ يُعَذِّبَهُمُ اللهُ
Artinya : “Dan (ingatlah), ketika mereka (orang-orang
musyrik) berkata, “Ya Allah, jika betul (al-Qur’an) ini adalah yang benar
dari sisi-Mu, maka hujanilah kami dengan batu dari langit atau datangkanlah
kepada kami adzab yang pedih.” Dan Allah sekali-kali tidak akan mengadzab
mereka sedangkan kamu berada diantara mereka. Dan tidaklah pula Allah akan mengadzab
mereka, sedang mereka meminta ampun. Kenapa Allah tidak mengadzab mereka.”
Dalam al-Jalalain dijelaskan,
karena adzab ketika turun, maka akan merata dan umat tidak akan di adzab
kecuali setelah Nabi dan orang-orang mukmin keluar.
Kemudian setelah ayat, (وَ
مَا كَانَ اللهُ مُعَذِّبَهُمْ وَ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ), pengarang al-Jalalain
berkata, “Yaitu mereka berdo’a dalam tawafnya, “Ampunan-Mu.” Ada yang
mengatakan mereka adalah orang-orang mukmin yang lemah seperti firman-Nya,
لَو
تَزَيَّلُوا لَعَذَّبْناَ الَّذِيْنَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذاَباً اَلِيْماً
Artinya : “Sekiranya mereka tidak bercampur baur,
tentulah Kami akan mengadzab orang-orang kafir diantara mereka dengan adzab
yang pedih.” (Qs. Al Fath, 25)
Allah tidak akan mengadzab mereka
sebab orang-orang mukmin dan para Nabi. Itu adalah bertawasul dengan dzat yang
mulia, mereka adalah orang-orang yang mencegah diadzabnya orang-orang kafir di
dunia.
Firman Allah ta’ala,
لاَ
يَمْلِكُونَ الشَّفَاعَةَ اِلاَّ مَنِ اتَّخَذَ عِنْدَ الرَّحْمنِ عَهْداً
Artinya : “Mereka tidak berhak mendapat syafaat kecuali
orang-orang yang telah mengadakan perjanjian disisi Tuhan yang maha pemurah.”
Al-Baghawi berkata, “Perjanjian itu
adalah ucapan, lailaaha illallah muhammadur rasulullah.” Dikatakan,
arti ayat diatas adalah orang-orang yang memberikan syafaat tidak akan bisa
memberikan syafaatnya, kecuali orang-orang yang telah membuat perjanjian dengan
Allah, artinya orang-orang mukmin.
Firman Allah ta’ala,
وَ
لَو لاَ رِجاَلٌ مُؤْمِنُونَ وَ نِسَاءٌ مُؤْمِنَاتٌ لَمْ تَعْلَمُوهُمْ اَنْ
تَطَئُوهُمْ فَتُصِيْبَكُمْ مِنْهُمْ مَعَرَّةٌ بِغَيْرِ عِلْمٍ لِيُدْخِلَ اللهُ
فِي رَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ لَوْ تَزَيَّلُوا لَعَذَّبْناَ الَّذِيْنَ كَفَرُوا
مِنْهُمْ عَذَاباً اَلِيْماً
Artinya : “Dan kalau tidaklah karena laki-laki mukmin dan
perempuan-perempuan yang mukmin yang tiada kamu ketahui, bahwa kamu akan
membunuh mereka yang menyebabkan kamu ditimpa kesusahan tanpa sepengetahuanmu.
(tentulah Allah tidak akan menahan tanganmu) dari membinasakan mereka. Supaya
Allah memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya kedalam rahmat-Nya. Sekiranya
mereka tidak bercampur baur tentulah Kami akan mengadzab orang-orang kafir
diantara mereka dengan adzab yang hina-dina.” (Qs. Al Fath, 25)
وَ لَولاَ دَفْعُ
اللهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِمَتْ صَوَامِعُ وَ بِيَعٌ وَ صَلَوَاتٌ
Artinya : “Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan)
sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan
biara-biara nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang nasrani dan
masjid-masjid.”
Fahruddin al-Razi dalam tafsirnya
berkata, “Abu al-Jauza’ telah
meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Allah telah menghilangkan (: adzab)
sebab orang yang berbuat baik dari orang yang berbuat buruk, sebab orang yang
shalat dari orang yang tidak shalat, sebab orang yang bersedekah dari orang
yang tidak bersedekah, dan sebab orang yang berhaji dari orang yang tidak
berhaji.”
Dan dari Ibnu Abbas ra dari Nabi
Saw, beliau bersabda,
اِنَّ اللهَ يَدْفَعُ بِالْمُسْلِمِ
الصَّالِحِ عَنْ مِائَةٍ مِنْ اَهْلِ بَيْتِهِ وَ مِنْ جِيْرَانِهِ
Artinya : “Sesungguhnya Allah akan menghilangkan (: adzab) sebab orang muslim yang sholeh
dari seratus keluarga dan tetangganya.”
Kemudian beliau membaca ayat di atas.”
Diantara hadits yang datang yang secara
jelas menerangkan tawassul adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad
dalam al-Musnad dan al-Hakim dalam Mustadrak ‘Ala al-Shahihain,
yaitu suatu hari Marwan datang lalu dia menemukan seseorang menaruh mukanya
diatas makam Nabi SAW. Dia berkata, “Apakah kamu tahu yang telah kamu lakukan?”
Lalu orang itu menoleh kepada dia dan ternyata dia adalah Abu Ayub al-Anshari.
Kemudian Abu Ayub berkata, “Aku datang kepada Rasulullah SAW dan aku tidak
mendatangi hujrah (makam). Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda,
لاَ
تَبْكُو عَلَى الدِّيْنِ اِذاَ وَلاَّهُ اَهْلُهُ وَ لكِنْ اَبْكُو عَلَى
الدِّيْنِ اِذاَ وَلاَّهُ غَيْرُ اَهْلِهِ
Artinya : “Janganlah kalian tangisi agama ketika agama
itu dikuasai oleh orang yang ahli, namun aku menangisi agama ketika dikuasai
oleh orang yang tidak ahlinya.”
Dalam al-Musnad karangan Imam
Ahmad dari seorang perempuan dari Bani Ghifar yang bernama Umayyah binti Abu al-Shalt,
sesungguhnya Nabi SAW telah memberi dia kalung dari harta fai’-nya perang Khaibar
dan dengan tangan beliau sendiri kalung itu dipakaikan dilehernya. Dia berkata,
“Demi Allah, selamanya kalung ini tidak akan berpisah dariku.” Ketika dia akan
meninggal, dia berwasiat supaya kalung itu dikubur bersamanya.
Qadli ‘Iyadl dalam al-Syifa’
telah meriwayatkan bahwa dipeci Khalid bin Walid terdapat beberapa helai rambut
Nabi SAW. Disebagian peperangannya peci itu terjatuh dan karenanya dia menjadi
sangat sedih yang para sahabat Nabi mengingkari perbuatan dia itu karena banyak
yang terbunuh untuk peci itu. Khalid berkata, “Tidaklah aku melakukannya sebab
peci, tetapi karena rambut Nabi SAW yang berada didalamnya supaya aku tidak
kehilangan berkahnya dan supaya tidak jatuh ketangan orang-orang musyrik.”
Dari Abu al-jauza’, dia berkata,
“Penduduk Madinah telah terkena paceklik yang sangat parah. Mereka lalu
mengadukannya kepada Aisyah. Dia berkata, “Pergilah kalian kemakam Nabi SAW dan
buatlah dia sebagai perantara ke langit sehingga tidak ada atap yang menghalangi
antara beliau dan langit.” Mereka lalu melakukannya kemudian hujan lebat turun
hingga anggur menjadi tumbuh dan unta menjadi gemuk dan berlemak banyak. Lalu
tahun itu dinamakan dengan tahun Fatq.
Hadits di atas telah diriwayatkan
oleh al-Darami dan Misykah al-Mashahib.
Rasulullah SAW bersabda,
اَلْأَبْدَالُ
يَكُونُونَ بِالشَّامِ وَ هُمْ اَرْبَعُونَ رَجُلاً يُسْقَى بِهِمُ الْغَيْثُ وَ
يَنْتَصِرُ بِهِمْ عَلَى الْأَعْدَاءِ وَ يَنْصَرِفُ عضنْ اَهْلِ الشَّامِ بِهِمُ
الْعَذَابُ
Artinya : “Para wali abdal akan berada di Syam. Mereka
adalah empat puluh lelaki. Sebab mereka hujan diturunkan, mendapat pertolongan
dari musuh dan adzab dijauhkan dari penduduk Syam.” (Misykah al-Mashahib).
Dari Anas, sesungguhnya Umar bin
Khattab ketika kaum terkena paceklik, maka dia meminta hujan dengan al-Abbas radliyallahu
‘anhu lalu dia berdo’a, “Ya Allah, sesungguhnya kami telah berwasilah
kepada-Mu dengan Nabi kami lalu Kamu menurunkan hujan kepada kami. Dan sekarang
kami berwasilah kepada-Mu dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan kepada
kami.” Lalu hujan turun kepada mereka. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Al
Bukhari.
Nabi SAW bersabda,
مَنْ
زَارَ قَبْرِي وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِي
Artinya : “Barang siapa menziarahi kuburku, maka wajib
baginya syafaatku.”
Dalam suatu riwayat,
حَلَّتْ
لَهُ شَفَاعَتِي
Artinya : “Halal baginya syafaatku.”
Hadits di atas diriwayatkan oleh
Daruquthni dan banyak imam hadits. Imam Subuki telah panjang lebar dalam kitab
yang bernama Syifa’ al-Siqam dalam menjelaskan ziarah makam Nabi SAW
dalam menjelaskan hadits di atas dan para imam telah men-shahihkannya,
kemudian dia menyebutkan riwayat-riwayat tentang hadits ziarah semuanya yang
menguatkan hadits diatas. Diantaranya adalah riwayat,
مَنْ زَارَنِي بَعْدَ مَوْتِي
فَكَأَنَّماَ وَارَنِي فِي حَيَاتِي
Artinya : “Barang siapa menziarahi aku setelah
kematianku, maka seakan-akan dia menziarahi aku disaat aku masih hidup.”
Seperti dalam Sunan al-Huda fi Mutaba’at al-Musthafa.
Dalam satu riwayat,
مَنْ
جَاءَنِي زَائِراً لاَ تُهِمُّهُ حَاجَةٌ اِلاَّ زِيَارَتِي كَانَ حَقاًّ عَلَيَّ
اَنْ اَكُونَ لَهُ شَفِيْعاً يَومَ الْقِيَامَةِ
Artinya : “Barang siapa mendatangi aku sebagai orang yang
berziarah yang tidak ada hajat lain selain menziarahi aku, maka hak atasku
supaya aku menjadi orang yang mensyafaati dia besok di hari kiamat.”
Dalam satu riwayat,
مَنْ
جَاءَنِي زَائِراً كَانَ لَهُ حَقاًّ عَلَى اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ اَنْ اَكُونَ
لَهُ شَفِيْعاً يَومَ الْقِيَامَةِ
Artinya : “Barang siapa mendatangi aku sebagai orang yang
berziarah, maka hak baginya atas Allah ‘azza wa jalla untuk menjadikan aku
sebagai orang yang mensyafaati dia besok dihari kiamat.”
Al-Hafidz Abu Na’im telah
meriwayatkan dalam Amal al-Yaum wal Lailah dari haditsnya Abu
Sa’id dengan lafal, Rasulullah SAW ketika selesai dari shalatnya, maka beliau
berdo’a,
اَللهُمَّ
اِنِّي اَسْئَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِيْنَ
Artinya : “Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu
dengan haknya orang-orang yang meminta.”
Diantara hadits yang telah datang
dan menerangkan secara jelas tentang tawassul adalah hadits yang diriwayatkan
oleh al-Tirmidzi, al-Nasa’i, al-Baihaqi dan al-Thabrani dengan sanad yang
shahih dari Utsman bin Hanif, yaitu seorang sahabat yang sudah masyhur radliyallhu
‘anhum, sesungguhnya seseorang yang sakit mata mendatangi Nabi SAW dan
berkata, “Berdo’alah kepada Allah supaya Dia menyembuhkan saya.” Nabi SAW
bersabda, (“Jika kamu ingin, maka aku akan mendo’akan kamu dan jika kamu ingin,
maka kamu bersabarlah, dan itu akan lebih baik untukmu.”). Perawi berkata,
“Lalu Nabi SAW memanggil dia dan menyuruh dia untuk berwudlu. Kemudian dia
berwudlu dan berdo’a dengan,
اَللهُمَّ
اِنِّي اَسْئَلُكَ وَ اَتَوَجَّهُ اِلَيْكَ بِنِبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ
الرَّجْمَةِ يَا مُحَمَّدُ اِنِّي اَتَوَجَّهُ بِكَ اِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي
لِتَقْضِيَ اللهُمَّ شَفِّعْهُ فِيَّ
Artinya : “Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu
dan menghadap kepada-Mu dengan Nabi-Mu, Muhammad nabi rahmat. Wahai Muhammad,
sesungguhnya aku menghadap kepada Tuhanmu dengan kamu dalam hajatku supaya Dia
memenuhinya. Ya Allah, syafaatilah dia karenaku.”
Lalu orang itu kembali dan dia sudah
bisa melihat.” Dalam satu riwayat, Ibnu Hanif berkata, “Demi Allah, tidaklah
kami berpisah hingga orang itu datang lagi kepada kami dan seakan-akan tidak
ada padanya penyakit sama sekali.”
Dalam hadits di atas terdapat tawassul
dan nida’ (: seruan) juga.
Dan hadits di atas juga dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Tarikh-nya,
Ibnu Maajah, al-Hakim dalam al-Mustadrak dengan sanad yang shahih
dan al-Suyuthi menyebutkan hadits
tersebut dalam al-Jami’ al-Kabir dan al-Shaghir. Dan tidak boleh
bagi orang yang mengingkari tawassul untuk berkata, “Kejadian itu hanya terjadi
dimasa Nabi SAW masih hidup,” karena perkataan dia itu tidak bisa diterima,
karena do’a itu juga digunakan oleh para sahabat dan tabiin setelah beliau
meninggal untuk memenuhi hajat mereka.
Al-Thabrani dan al-Baihaqi telah
meriwayatkan bahwa seorang lelaki telah berkali-kali datang kepada Utsman bin
Affan ra, dizaman kekhalifahan dia, dalam suatu hajat namun Utsman tidak pernah
mau berpaling dan melihat hajatnya. Orang itu lalu mengadu kepada Utsman bin Hanif, perawi hadits di atas, kemudian Utsman bin Hanif berkata, “Pergilah
ketempat wudlu dan berwudlulah kemudian pergilah ke masjid dan shalatlah lalu
berdo’alah, (“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu dan menghadap
kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad Nabi rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku
menghadap dengan kamu kepada Tuhanku supaya dia memenuhi hajatku.”),
kemudian kamu sebutkan hajatmu.”
Orang itu lalu pergi dan melakukan
apa yang dikatakan Utsman bin Hanif. Kemudian dia mendatangi pintunya Utsman
bin Affan lalu datang kepadanya penjaga pintu, memegang tangannya dan
memasukkan dia kepada Utsman ra serta mendudukkan dia bersama Utsman. Utsman ra
berkata, “Sebutkan hajatmu.” Dia lalu menyebutkan hajatnya dan Utsman pun
memenuhinya. Kemudian orang itu keluar dan bertemu dengan Utsman bin Hanif alu dia berkata, “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Tidak pernah dia
melihat hajatku hingga kamu berkata kepada dia tentang aku.” Ibnu Hanif erkata, “Demi Allah, aku tidak berkata kepada dia, namun aku menyaksikan
Rasulullah SAW telah didatangi orang yang buta matanya dan dia mengadukan
kepada beliau saw tentang hilangnya penglihatan dia… dan hadits seterusnya.”
Itu adalah tawassul dan nida’ setelah beliau meninggal.
Dan Adam as telah bertawassul dengan
beliau SAW, sebelum beliau wujud, ketika dia memakan buah yang dilarang oleh
Allah ta’ala. Begitu juga al-Hafidz al-Dzahabi berkata, “Tetaplah
kalian kepada kalimat itu, karena itu adalah kalimat petunjuk dan nur.”
Telah diriwayatkan dari Umar bin
Khattab ra, dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, (“Ketika Adam melakukan
kesalahan, maka dia berkata, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan haknya
Muhammad.”) dan hadits seterusnya. Hadits itu juga diriwayatkan oleh al-Hakim
dan al-Thabrani telah menshahihkannya dan dia menambahi, “Dia adalah Nabi
terakhir dari keturunanmu.”
kedawan, mocone suwi, hehehhehe (Pencerahan)
ReplyDelete