Imam Abu Hanifah rahimahullah telah berkata, (“Ketika shahih
suatu hadits, maka itu adalah mazhabku.”). Al Allamah Syeikh Ibnu Abidin
telah menyebutkan perkataan itu dalam Hasyiyahnya yang bernama (Radd Al
Mukhtar) dan dalam risalahnya yang bernama (Rasm Al Mufti).
Dan juga telah dinuqil dari (Syarah Al Hidayah), karangan al
Allamah Ibnu al Syahnah, perkataan, (“Ketika shahih suatu hadits dan
hadits itu berlawanan dengan mazhab, maka yang diamalkan adalah hadits itu, dan
itu adalah mazhab dia (: Abu Hanifah). Dan orang yang bertaklid kepada dia
tidaklah keluar dari adanya dia bermazhab Hanafi sebab mengamalkannya dia pada
hadits itu. Telah shahih dari Abu Hanifah bahwa dia berkata, (“Ketika shahih
suatu hadits maka itu adalah mazhabku.”).
Imam Ibnu Abdul Barr telah menceritakan perkataan itu dari Abu Hanifah
dan para imam lainnya.
Aku berkata, “Kita tidak menentang keshahihan perkataan itu dari Al Imam
(: Abu Hanifah), tetapi perkataan itu tidaklah secara mutlak, karena tidak
semua orang mampu berijtihad dan beristinbath. Jadi, yang diinginkan dengan
perkataan itu adalah orang yang sudah mencapai pada tingkatan itu (: ijtihad)
dan sudah menemukan tempat itu. Adapun orang-orang kecil yang saling menjaga,
maka mengikutinya mereka kepada imamnya adalah lebih terpuji akibatnya dan
lebih selamat. Dan jika mereka melewati batasnya, karena tertipu oleh hawa
nafsunya, maka mereka akan hancur dan menghancurkan. Dan itu termasuk dalam
amanatnya dalil naqli yang bersifat ilmu atas orang yang menyebarkan kalimat
itu dan menisbatkannya kepada (Rasm Al Mufti) dan (Radd Al Mukhtar)
karangan Ibnu Abidin. Wajib atas orang yang menyebarkan kalimat itu untuk
menyebutkan penjelasan terhadap kalimat itu supaya orang biasa yang melihatnya
tidak jatuh kedalam kebingungan, sehingga nantinya dia akan melakukan dosa
dalam agamanya, karena orang itu (: penyebar kalimat itu) tidak menetapkan
untuk orang yang melihat perkataan itu perasaan tentram terhadap mazhab
imamnya.
Sebaiknya kalian ambil penjelasan yang telah ditulis oleh Ibnu Abidin.
Dia telah berkata dalam (Rasm Al Mufti):
“Aku berkata, “Sudah tidak samar lagi bahwa itu (: berijtihad untuk
mengetahui hukum juz’iyyah) adalah bagi orang yang sudah ahli
mengangan-angan nash dan mengetahui muhkam-nya dari mansukh-nya.
Ketika pengikut mazhab melihat dalam suatu dalil dan dia mengamalkannya, maka
kalian menisbatkan dalil itu kepada mazhab, karena dalil itu keluar dengan
mendapatkan ijin dari pemilik mazhab. Karena sudah tidak diragukan lagi bahwa
seandainya dia (: pemilik Mazhab) mengetahui kedlaifan dalilnya, maka dia akan
mencabut dalilnya dan akan mengikuti dalil yang lebih kuat.
Oleh karenanya, Al Muhaqqiq Ibnu Al Hammam telah menolak perkataan para
syeikh ketika mereka berfatwa dengan perkataan Al Imamain –Abu Yusuf dan
Muhammad- bahwa seseorang tidak diperbolehkan berpindah dari perkataan Al Imam
kecuali karena kedlaifan dalilnya.”
(Aku juga berkata), “Sebaiknya penolakan Ibnu Al Hammam perlu diqayyidi,
ketika sesuatu itu mencocoki pada salah satu qaul dalam mazhab, karena pemilik
mazhab tidak akan memberikan ijin untuk berijtihad pada sesuatu yang keluar
dari mazhab secara keseluruhan, yaitu dari perkara yang telah disepakati oleh
para imam kita, karena ijtihad mereka lebih kuat dari ijtihad orang itu. Jadi,
dzahirnya bahwa mereka (para imam) telah melihat dalil yang lebih rajih
atau unggul dari apa yang telah dia lihat, hingga dia tidak mengetahuinya. Oleh
karenanya, Al Allamah Qasim berkata dalam haknya guru dia, yaitu Syeikh Al
Kamal bin Al Hammam, “Pembahasan guru kita yang bertentangan dengan mazhab
tidak boleh diamalkan.”
Al Allamah Qasim berkata dalam kitab tashihnya ‘Ala Al Qadury,
“Imam Al Allamah Al Hasan bin Mansur bin Mahmud Al Awzajandi yang terkenal
dengan Qadlikhan telah berkata dalam kitab fatwanya Rasm Al Mufti Fi Zamanina,
“Diantara ashab kita ada yang ketika dia dimintai fatwa tentang suatu masalah,
jika masalah itu telah diriwayatkan dari ashab kita –mazhab Hanafi- dalam
riwayat-riwayat yang dzahir tanpa ada khilaf diantara mereka, maka dia akan condong
kepada mereka, berfatwa dengan qaul mereka dan dia tidak akan sampai pada
ijtihad mereka dan dia tidak usah melihat pada perkataan orang yang
bertentangan dengan mereka dan hujjah orang itu juga tidak bisa diterima,
karena mereka telah mengetahui dalil-dalil dan telah memisahkan antara yang
shahih dan tsabat dengan lawannya…” dan seterusnya. Kemudian Al Allamah Qasim
menuqil semisal perkataan itu dari Syarah Burhan Al A’immah’Ala Adab Al Qadla’
karangan Al Khassaf.
(Aku berkata), “Namun terkadang mereka (para ashab) berpindah dari apa
yang telah disepakati oleh para imam kita karena ada dlarurat dan semisalnya,
seperti yang telah lalu, yaitu meminta bayaran karena telah mengajarkan Al
Qur’an dan ketaatan-ketaatan lainnya, yang jika meninggalkan meminta bayaran
karenanya, maka agama akan menjadi tersia-siakan, seperti yang telah aku
jelaskan diatas. Sehingga jika ada dlarurat, maka diperbolehkan memberikan
fatwa yang berbeda dengan qaulnya para ashab, seperti yang baru saja telah aku
jelaskan dari Al Hawy Al Qudsy, dan nanti juga diakhir syarah
ketika membahas masalah ‘urf akan dijelaskan.
(Al hasil), bahwa sesuatu yang para ashab telah bertentangan
dengan para imamnya, maka sesuatu itu tidak keluar dari mazhabnya imam, ketika
para syeikh yang mu’tabar telah merajihkannya. Begitu juga apa yang
telah dibangun oleh para syeikh atas kebiasaan atau ‘urf yang baru, karena
berubahnya zaman atau karena dlarurat dan semisalnya, juga tidak
mengeluarkannya dari mazhabnya imam. Karena apa yang telah mereka rajah-kan,
sebab keunggulan dalilnya menurut mereka, adalah diberi ijin oleh imamnya.
Begitu juga apa yang mereka bangun berdasarkan perubahan zaman dan dlarurat
dengan i’tibar seandainya imam masih hidup, maka pasti dia akan berkata
seperti apa yang telah mereka katakan. Sesungguhnya apa yang mereka bangun
adalah berdasarkan kaidah-kaidah dia (: imam) juga, sehingga apa yang mereka
bangun adalah sesuai dengan mazhabnya imam.” (Demikian maksud dari kalamnya Al
Allamah Ibnu Abidin rahimahullah ta’ala).
Keterangan yang telah aku nuqil disini dari Ibnu Abidin dari karangannya
(Rasm Al Mufti) adalah lebih luas dari keterangan yang dia sebutkan
dalam (Radd Al Mukhtar) yang juga karangan dia seputar pembahasan ini.
Dengan demikian menjadi jelas apa yang diinginkan dari perkataan Imam Abu
Hanifah rahimahullah dan menjadi batal apa yang telah dicari-cari oleh
para pembuat fitnah agama. Alhamdu lillahi ta’ala.
No comments:
Post a Comment