بِسْمِ
اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
الحَمْدُ للهِ وَ
الصَّلاّةُ وَ السَّلاَمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحُمَّدٍ رَسُولِ اللهِ وَ عَلَى
آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ الْمُهْتَدِينَ بِهَدْيِهِ اَمَّا بَعْدُ
Sebagian orang telah dibuat bahagia ketika mereka membuat kacau mazhab-mazhab
yang telah diikuti yang para pemilik atau para pendiri mazhab itu telah
mencurahkan seluruh kemampuan mereka untuk mengeluarkan hukum dari sumbernya
yang asal dan untuk menetapkan kaidah-kaidah syar’iyyah yang umum, yang
olehnya terbangunlah juz-juz hukum dan cabang-cabang taklif. Oleh karenanya,
nikmat Tuhan atas kita sangatlah agung dengan banyaknya kekayaan ilmiah dan
sempurnanya pengetahuan agama, sehingga menjelaskan pembuatan peraturan Islam
menjadi perkara yang bisa menguatkan bangunan dan naik sampai kemuliaan menjauh
dari kerancauan yang telah menyebar kepada umat. Aku berkata,
مِنَ الَّذِينَ
فَرَقُوا دِيْنَهثمْ وَ كَانُوا شِيَعاً كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
“Diantara orang-orang yang memisah-misah
agama mereka dan mereka adalah berkelompok-kelompok, masing-masing kelompok
bahagia pada apa yang ada pada diri mereka.”
Namun golongan itu bertujuan untuk menggoncangkan kepercayaan terhadap
mazhab dan mengajak untuk melakukan ijtihad baru, meskipun untuk memenuhi
syarat-syaratnya secara mutlak tidak ada tempat untuk zaman sekarang ini. Maka
orang-orang yang pendek akal dan ilmunya akan menyangka kalau mereka sudah ahli
dalam berijtihad dan pembawa benderanya ijtihad, dan boleh bagi mereka untuk
berijtihad, seperti yang telah dilakukan oleh orang-orang awal, guna
memperbaiki perkara-perkara yang ada pada mazhab mereka.
Mereka (: orang-orang yang mengajak untuk berijtihad) adalah orang-orang
yang sembrono dengan prasangkanya pada perkara-perkara itu. Mereka, karena
prasangkanya itu, telah bertujuan untuk menyebarkan kata-kata penyelamat yang
telah diucapkan oleh para imam rahimahumullah, untuk membebaskan
tanggungan mereka, untuk memperingan beban agama dari pundak mereka dan untuk
menjauhkan dosa-dosa perbuatan buruk yang akan terseret setelah mereka. Namun
mereka (: orang yang pendek ilmu dan akalnya) mendatangkan kata-kata itu kepada
orang yang sudah sempurna madarik dan ilmunya, supaya orang-orang itu
memperbaiki penggunaan ilmiah dengannya sehingga dia akan meluruskan
kebengkokan disebagian perkara semampu dia, dengan memperkirakan adanya
kebengkokan itu dan memperkirakan terjadinya kebengkokan itu. Dan itu (:
mendatangkan kalimat) adalah seperti perkataan masing-masing dari mereka
–orang-orang awal rahimahumullah- (“Ketika shahih suatu hadits, maka
itu adalah mazhabku.”), dan semisalnya yang nanti akan kalian lihat
penguasaan dan arah kebaikannya. Insya Allah.
Tetapi sebagian orang yang tidak tahu telah menabuh dan meniup perkataan
itu, dan mereka meneriakkannya ditengah-tengah orang biasa kewajiban untuk
melihat ketetapan para imam dengan mereka memberi contoh dengan kalam yang
kalau dari segi dzatnya kalam adalah benar, namun yang mereka inginkan
dengannya adalah batil.
Perkara yang wajib atas kita untuk mengetahuinya dan beramal dengannya
adalah apa yang telah ditetapkan oleh para fuqaha’ kita rahimahumullah,
yaitu bahwa berijtihad mutlak dalam hukum adalah dilarang setelah berlalunya
empat ratus tahun dari hijrahnya Rasulullah SAW. Dan apa yang telah ditetapkan
itu tidak mencegah anugerah Allah ta’ala, yaitu Dia memberikan kepada
orang-orang akhirnya umat ini seperti apa yang telah Dia berikan kepada
orang-orang terdahulu. Sungguh, tidak ada pencegahan terhadap anugerah Tuhan
kita subahanahu wa ta’ala, tetapi supaya tidak mendakwakan pada ijtihad
orang yang bukan ahlinya, sehingga kita nantinya akan jatuh kedalam kekacauan
agama yang sangat luas seperti kekacauan yang telah menimpa pada umat sebelum
kita.
Oleh karenanya, para ulama’ melihat menutup pintu ijtihad adalah karena
kasihan kepada umat ini dari jatuhnya mereka kedalam kengawuran dan
pencampuran sebab mengikutinya mereka kepada orang-orang yang mengaku
berijtihad, yaitu orang-orang yang tidak punya keahlian seorang mujtahid, tidak
ilmunya, kewira’ian, nur rabbani, pertolongan ilahi dan terbukanya rahmani,
seperti perkara yang Allah telah membukanya atas orang-orang terdahulu kita,
yaitu orang-orang yang bersama perkara itu sangat dekat dengan zaman kenabian.
Agama Islam adalah halus dan segar yang berjalannya zaman tidak akan bisa
mengotori kebersihannya dan tidak akan bisa merusak kesegarannya.
Ingatlah, umumnya orang dan orang-orang bodoh telah mengetahui mujtahid
mutlak. Diantara syarat seorang mujtahid mutlak adalah dia harus mengetahui
bahasa Arab seperti orang Arab mengetahui pada dirinya sendiri sebelum
orang-orang ‘ajam memasukkan bahasanya, supaya dia bisa memahami nash-nash
agama dari al Kitab dan al Sunnah dengan pemahaman yang shahih tidak
dicampuri dengan kotoran. Berdasar syarat itu, maka sebaiknya dia sampai pada kesempurnaan
atau merata dalam memahami aturan-aturan bayanul arab yang nantinya dia
bisa untuk membedakan antara shahih, dzahir, mujmal, haqiqah, majaz, ‘aam,
khosh, muhkam, mutasyaabihaat, mutlak, muqayyad, nash dan seterusnya.
Diantara syarat mujtahid mutlak adalah dia harus mengetahui al Kitab
dengan tahu yang sempurna, karena al Kitab adalah asal pertama untuk membuat
peraturan dan lautan yang bisa mengeluarkan ilmu.
Diantara syaratnya, dia harus mengetahui al Sunnah, yaitu perkataan Nabi
SAW, perbuatan dan ketetapan beliau kepada orang yang sudah berbuat sesuatu
dihadapan beliau. Karena diamnya beliau terhadap orang itu adalah tanda
kebolehan, karena seandainya sesuatu itu adalah haram, maka pasti beliau akan
melarang orang itu dari melakukannya dari segi beliau adalah orang yang terjaga
dari kemaksiatan, dan termasuk dalam kemaksiatan adalah menyembunyikan atau
diam saja terhadap suatu kemaksiatan.
Pengetahuan tentang al Sunnah, yang hukum-hukum syariat berhubungan
dengannya dengan wajah yang umum dan selamat, adalah dengan sekiranya dia bisa
membedakan yang shahih dan yang dlaif, dan itu tidaklah mudah
bagi semua orang.
Diantara syarat mujtahid adalah harus mengerti, dengan mengerti yang
sempurna, pada hukum-hukum yang nasikh dan mansukh, supaya nantinya
dia tidak berpedoman dengan hukum yang mansukh bukan dengan hukum yang nasikh
yang telah tetap pengamalannya. Karena hukum yang nasikh datangnya lebih
akhir dari hukum yang mansukh dan yang dihitung adalah hukum yang
datangnya terakhir, baik berupa Al Sunnah maupun al Kitab.
Diantara syaratnya adalah, mengetahui tempat-tempat terjadinya ijma’,
supaya dia tidak keluar dari ijma’ sehingga nantinya dia tidak menjadi orang
yang mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin. Allah ta’ala
berfirman,
وَ
مَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الهُدَى وَ يَتَّبِعْ
غَيرَ سَبِيلِ المُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ
مَا تَوَلَّى وَ نُصْلِهِ
جَهَنَّمَ وَ سَاءَتْ مَصِيْراً.
“Dan barang siapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya,
dan mengikuti jalan yang bukan jalan-nya orang-orang
mukmin, Kami
biarkan dia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan
Kami masukkan dia kedalam jahannam, dan jahannam adalah
seburuk-buruknya tempat kembali.” (Qs. An Nisa’, 115)
Diantara syaratnya lagi adalah mengetahui kaidah-kaidah ushuliyyah-nya
al Kitab dan al Sunnah yang para ulama’, fuqaha’ dan ushuliyyun telah membuat
aturannya. Seandainya dia tidak mengetahuinya dengan pengetahuan yang sempurna,
maka dia adalah orang yang qashir (: orang yang pendek pengetahuannya
atau belum sampai pada derajat mujtahid) dan tidak pantas bagi dia untuk duduk
ditempatnya ijtihad mutlak dan naik kepuncaknya yang mulia.
Dia, dalam pengetahuaannya itu, harus diketahui dengan mendapatkan ilmu
dari ahlinya, dia disaksikan dengan menyatakan masalah-masalah yang lembut atau
sulit dan tidak dicacat dalam ilmu, amal atau i’tiqad. Bahkan dia harus seorang
yang adil, utama atau mulia, sempurna dan mampu menyelam kedalam ombaknya ilmu
dan dalamnya serta samarnya hujjah. Dan dia memiliki kekuatan mengetahui
illatnya hukum dan mengeluarkannya dengan bagian yang sempurna, supaya dia bisa
mengqiyaskan perkara yang tidak ada nashnya dengan perkara yang sudah ada
nashnya dengan pengqiyasan yang shahih dan tidak merusak.
Umat Islam, dengan banyaknya jumlah mereka, tidak mampu mengeluarkan
darinya kepintaran untuk berijtihad kecuali hitungan yang sedikit, karena
sulitnya menaiki derajat ijtihad dan sampai kepuncaknya. Maka sebaiknya kita
mengetahui batas diri kita sendiri dan berjalan dibelakang para imam, karena
itu lebih menyelamatkan, lebih mengetahui dan lebih kuat.
Tidaklah mengaku berijtihad mutlak di zaman kita sekarang ini kecuali
orang yang kurang akalnya, sedikit ilmunya dan tipis agamanya. Kita telah
melihat sebagian orang yang rusak akalnya, yaitu orang-orang yang beranggapan
bahwa dirinya mampu berijtihad, telah memperlihatkan kepada kita
keanehan-keanehan dalam ber-istinbath (: mengeluarkan atau menggali hukum
dari al Kitab dan al Sunnah) yang tidak berhak untuk diterima dari orang yang
ahli dalam beribadah dan berakal, terlebih dari orang alim yang mengamalkan
ilmunya. Semoga Allah merahmati orang yang tahu pada batas dirinya sendiri
sehingga dia berhenti disitu.
Memang benar, telah muncul kejadian-kejadian baru di zaman kita sekarang
ini yang tidak ditemukan oleh orang-orang terdahulu, sehingga orang-orang
sangat ingin untuk mengetahui hukumnya.
Perkara yang bisa menyelamatkan kita dari kebingungan adalah dengan
melihat furu’-nya fiqih dan kaidah-kaidahnya yang kulliyyah atau
umum, karena itu bisa mencukupi dalam mengetahuinya kita pada hukum-hukum dari
kejadian-kejadian baru. Para pendahulu kita
telah membuat keluasan dalam mengira-ngirakan kejadian yang baru dan
mengeluarkan hukum untuknya. Kemudian mereka menulisnya dengan banyak dan
sangat banyak, sehingga apa yang mereka tulis menjadi seperti lautan yang bisa
mengeluarkan hasil yang orang-orang yang menyelam kedalamnya bisa sampai
ketengahnya, dan darinya mereka bisa mengeluarkan mutiara yang bening dan
pantas untuk dibanggakan.
Bagaimana pun tidak ada yang mencegah dari berijtihad untuk mengetahui
hukum-hukum juz’i yang sendiri dan baru, tetapi tidak bisa
menyempurnakan pada ijtihad kecuali orang-orang yang bisa dihitung untuk saat
ini yang hampir saja negara Islam dan daerahnya keluar dari mereka. Tidaklah
boleh berijtihad bagi semua orang yang melihat dirinya sebagai orang alim atau
orang-orang biasa menganggapnya sebagai orang alim.
Sesungguhnya kita memperbolehkan pada ijtihad karena Islam adalah agama
yang sempurna dalam dzatnya, dan tidaklah perkara-perkara baru yang terjadi
dibawah langit kecuali Islam punya hukum untuknya. Allah ta’ala berfirman,
اَلْيَومَ
اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَ اَتْمَمتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَ رَضِيْتُ
الإسْلاَمَ دِيْناً
“Hari ini Aku telah menyempurnakan untuk
kalian agama kalian, telah aku sempurnakan atas kalian nikmat-Ku dan Aku
meridloi islam sebagai
agama
untuk kalian.”
Peraturan Allah yang sempurna tidak akan diam saja dihadapan
kejadian-kejadian baru dengan memperlihatkan gerakan, dan Allah ta’ala
telah menafikan kekurangan pada peraturannya itu.
Setelah itu, maka kita harus menetapi pada mazhab-mazhab kita pada
selain kejadian-kejadian baru yang
berdiri sendiri dan kita bukanlah seorang mujtahid, sehingga kita memberikan fatwa
dari hadits-hadits yang mulia pada permulannya (artinya langsung berfatwa
dengan menggunakan hadits), karena pandangan para imam lebih jauh dan lebih
mendalam dari pada pandangan kita yang pendek. Para
imam telah memasang untuk kita fiqih dan mengikatnya, sehingga tidaklah wajib
atas kita untuk mengikuti kecuali pada apa yang telah mereka tetapkan, seperti
seandainya mereka berfatwa kepada kita dengannya pada saat mereka masih hidup.
Terlebih dalam hadits Nabi saw ada yang shahih, hasan dan dlaif.
Ada yang
disalin hukumnya dan ada yang maudlu’ buatan orang yang tidak ada
asalnya. Jadi melewati ombaknya ijtihad bisa menjadikan hancurnya orang-orang
yang lemah.
Kemudian, sesungguhnya membuka pintu ijtihad, di zaman sekarang ini, bisa
memperlihatkan pada berbilangnya para mujtahid, yang mengaku-ngaku, dengan
berbilang yang tidak bisa dihitung karena saking banyaknya, karena semua orang
yang merasa tentram dengan hatinya -menurut sangkaan dia saja- bahwa dia mampu
untuk berijtihad, maka dia akan mengajak orang untuk bertaklid dan mengikuti
dia. Dari sinilah terdapat bencana yang sangat besar, musibah yang sangat
agung, bercerai- berainya persatuan, kelompok menjadi pecah dan persatuan akan
menjadi terpecah belah. Semua itu bisa menarik pada musibah dan bencana yang
semua orang berakal sangat ingin untuk menjauhi mengambil dengan sebab apapun
yang bisa menyampaikan kepadanya.
Ya Allah, beri tahu kami pada petunjuk kami. Jagalah kami dari
kejelekan diri kami. Tempatkanlah kami dibatas-batas adab. Palingkanlah kami
dari tipuan dan hilangkanlah dari kami bencana yang tidak ada yang bisa
menghilangkannya kecuali Engkau, ya kariim… amin
No comments:
Post a Comment