Mereka bertanya apa
perbedaan para Habib dibandingkan ulama Najed, ulama panutan mereka yakni
Muhammad bin Abdul Wahhab.
Orang-orang yang
mendalami ilmu agama di wilayah kerajaan dinasti Saudi pada umumnya akan
terpengaruhi pemahaman ulama Najed yakni Muhammad bin Abdul Wahhab sebagaimana
informasi dari situs resmi mereka seperti pada http:// www.saudiembassy.net/about/ country-information/Islam/ saudi_arabia_Islam_heartlan d.aspx
Dimana terlihat jelas kebanggaan mereka sebagai ulama Najed.
Berikut kutipannya,
“In the 18th century, a religious scholar of the central
Najd, Muhammad bin Abdul Wahhab, joined forces with Muhammad bin Saud, the
ruler of the town of Diriyah, to bring the Najd and the rest of Arabia back to
the original and undefiled form of Islam”.
Ulama Najed mengingatkan kita kepada penduduk Najed yang
mempunyai keunikan tersendiri karena mereka disebutkan dalam beberapa hadits
untuk kita ambil hikmah atau pelajaran sebagaimana yang telah disampaikan dalam
tulisan pada http:// mutiarazuhud.wordpress.com/ 2013/08/29/mengenal-najed
Pada awalnya sanad guru (sanad ilmu) Muhammad bin Abdul
Wahhab terjaga dengan bertalaqqi (mengaji) pada ulama yang mengikuti Imam Mazhab
yang empat namun pada akhirnya Muhammad bin Abdul Wahhab mengikuti pola
pemahaman Ibnu Taimiyyah yakni memahami Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan
mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya
sendiri sebagaimana informasi dari kalangan mereka sendiri yang menyebut
Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai imam seperti pada http:// rizqicahya.wordpress.com/ tag/ imam-muhammad-bin-abdul-wah hab-bag-ke-1/
***** awal kutipan *****
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yangpintar
yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri)
sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana
bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat
dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
***** akhir kutipan *****
Begitupula dari biografi Ibnu Taimiyyah pun kita mengetahui
bahwa beliau termasuk orang-orang yang memahami Al Qur’an dan as Sunnah
bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal
pikiran sendiri seperti contoh informasi dari http:// zakiaassyifa.wordpress.com/ 2011/05/10/ biografi-tokoh-islam/
***** awal kutipan ******
Ibn Taimiyyah juga seorang otodidak yang serius. Bahkan
keluasan wawasan dan ketajaman analisisnya lebih terbentuk oleh berbagai
literatur yang dia baca dan dia teliti sendiri.
***** akhir kutipan ******
Contoh yang lain seperti Al Albani , ahli hadits dalam arti
ahli membaca hadits bukan ahli hadits dalam arti menerima hadits dari ahli
hadits sebelumnya.
Al Albani sangat terkenal sebagai ulama yang banyak
menghabiskan waktunya untuk membaca hadits di balik perpustakaan sebagaimana
contoh informasi padahttp://id.wikipedia.org/ wiki/ Muhammad_Nashiruddin_Al-Alb ani
**** awal kutipan *****
Semakin terpikatnya Syaikh al-Albani terhadap hadits Nabi,
itulah kata yang tepat baginya. Bahkan hingga toko reparasi jamnya pun memiliki
dua fungsi, sebagai tempat mencari nafkah dan tempat belajar, dikarenakan
bagian belakang toko itu sudah diubahnya sedemikian rupa menjadi perpustakaan
pribadi. Bahkan waktunya mencari nafkah pun tak ada apa-apanya bila
dibandingkan dengan waktunya untuk belajar, yang pada saat-saat tertentu hingga
(total) 18 jam dalam sehari untuk belajar, di luar waktu-waktu salat dan
aktivitas lainnya (Asy Syariah Vol. VII/No. 77/1432/2011 hal. 12, Qomar Suaidi,
Lc)
Syaikh al-Albani pun secara rutin mengunjungi perpustakaan
azh-Zhahiriyyah di Damaskus untuk membaca buku-buku yang tak biasanya
didapatinya di toko buku. Dan perpustakaan pun menjadi laboratorium umum
baginya, waktu 6-8 jam bisa habis di perpustakaan itu, hanya keluar di
waktu-waktu salat, bahkan untuk makan pun sudah disiapkannya dari rumah berupa
makanan-makanan ringan untuk dinikmatinya selama di perpustakaan
***** akhir kutipan *****
Sedangkan para Habib atau para ulama dari kalangan ahlul
bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mendapatkan ilmu
agama dari dua jalur yakni,
1. Melalui nasab (silsilah / keturunan). Pengajaran agama
baik disampaikan melalui lisan maupun praktek yang diterima dari orang tua
mereka secara turun temurun tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam.
2. Melalui sanad ilmu atau sanad guru. Pengajaran agama
dengan bertalaqqi (mengaji) dengan para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam
Mazhab yang empat yakni para ulama yang sholeh memiliki ilmu riwayah dan
dirayah dari Imam Mazhab yang empat atau para ulama yang sholeh yang memiliki
ketersambungan sanad ilmu (sanad guru) dengan Imam Mazhab yang empat.
Sehingga para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait,
keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam lebih terjaga
kemutawatiran sanad, kemurnian agama dan akidahnya.
Ilmu agama adalah ilmu yang diwariskan dari ulama-ulama
terdahulu yang tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya
“Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar)
dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku
dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka” (HR
Bukhari).
Hadits tersebut bukanlah menyuruh kita menyampaikan apa yang
kita baca dan pahami sendiri dari kitab atau buku.
Hakikat makna hadits tersebut adalah kita hanya boleh
menyampaikan satu ayat yang diperoleh dan didengar dari para ulama yang sholeh
dan disampaikan secara turun temurun yang bersumber dari lisannya Sayyidina
Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karenanya ulama
dikatakan sebagai pewaris Nabi.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Ulama
adalah pewaris para nabi” (HR At-Tirmidzi).
Ulama pewaris Nabi artinya menerima dari ulama-ulama yang
sholeh sebelumnya yang tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam.
Pada hakikatnya Al Qur’an dan Hadits disampaikan tidak dalam
bentuk tulisan namun disampaikan melalui lisan ke lisan para ulama yang sholeh
dengan imla atau secara hafalan.
Dalam khazanah Islam, metode hafalan merupakan bagian
integral dalam proses menuntut ilmu. Ia sudah dikenal dan dipraktekkan sejak
zaman baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Setiap menerima wahyu,
beliau langsung menyampaikan dan memerintahkan para sahabat untuk
menghafalkannya. Sebelum memerintahkan untuk dihafal, terlebih dahulu beliau
menafsirkan dan menjelaskan kandungan dari setiap ayat yang baru diwahyukan.
Jika kita telusuri lebih jauh, perintah baginda Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam untuk menghafalkan Al-Qur’an bukan hanya karena
kemuliaan, keagungan dan kedalaman kandungannya, tapi juga untuk menjaga
otentisitas Al-Qur’an itu sendiri. Makanya hingga kini, walaupun sudah berusia
sekitar 1400 tahun lebih, Al-Qur’an tetap terjaga orisinalitasnya. Kaitan
antara hafalan dan otentisitas Al-Qur’an ini tampak dari kenyataan bahwa pada
prinsipnya, Al-Qur’an bukanlah “tulisan” (rasm), tetapi “bacaan” (qira’ah).
Artinya, ia adalah ucapan dan sebutan. Proses turun-(pewahyuan)-nya maupun
penyampaian, pengajaran dan periwayatan-(transmisi)-ny a, semuanya
dilakukan secara lisan dan hafalan, bukan tulisan. Karena itu, dari dahulu yang
dimaksud dengan “membaca” Al-Qur’an adalah membaca dari ingatan (qara’a ‘an
zhahri qalbin).
Dengan demikian, sumber semua tulisan itu sendiri adalah
hafalan, atau apa yang sebelumnya telah tertera dalam ingatan sang qari’.
Sedangkan fungsi tulisan atau bentuk kitab sebagai penunjang semata. Oleh
karenanya dikatakan sami’na wa ato’na (kami dengar dan kami taat) bukan kami
baca dan kami taat.
Cara menelusuri kebenaran adalah melalui para ulama yang
sholeh yang memiliki sanad ilmu (sanad guru) tersambung kepada lisannya
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena kebenaran dari Allah ta’ala dan
disampaikan oleh RasulNya.
Pada asalnya, istilah sanad atau isnad hanya digunakan dalam
bidang ilmu hadits (Mustolah Hadits) yang merujuk kepada hubungan antara perawi
dengan perawi sebelumnya pada setiap tingkatan yang berakhir kepada Rasulullah
-Shollallahu ‘alaihi wasallam- pada matan haditsnya.
Namun, jika kita merujuk kepada lafadz Sanad itu sendiri dari
segi bahasa, maka penggunaannya sangat luas. Dalam Lisan Al-Arab misalnya
disebutkan: “Isnad dari sudut bahasa terambil dari fi’il “asnada” (yaitu
menyandarkan) seperti dalam perkataan mereka: Saya sandarkan perkataan ini
kepada si fulan. Artinya, menyandarkan sandaran, yang mana ia diangkatkan
kepada yang berkata. Maka menyandarkan perkataan berarti mengangkatkan
perkataan (mengembalikan perkataan kepada orang yang berkata dengan perkataan
tersebut)“.
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama,
kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau
dengan apa saja yang diinginkannya (dengan akal pikirannya sendiri).”
(Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32)
Tanda atau ciri seorang ulama tidak terputus sanad guru
(sanad ilmu) adalah pemahaman atau pendapat ulama tersebut tidak menyelisihi
pendapat gurunya dan guru-gurunya terdahulu hingga tersambung kepada Rasulullah
serta berakhlak baik.
Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaikan
bahwa “maksud dari pengijazahan sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan
sekadar untuk meriwayatkan tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu
mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga
meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya dan
begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, keterjagaan al-Qur’an itu
benar-benar sempurna baik secara lafazh, makna dan pengamalan“
Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa
sanad”.
Imam Malik ~rahimahullah berkata: “Janganlah engkau membawa
ilmu (yang kau pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat)
pendidikannya (sanad ilmu) dan dari orang yang mendustakan perkataan manusia
(ulama) meskipun dia tidak mendustakan perkataan (hadits) Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam”
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu
tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir
QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan
agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal.
203
Jadi fitnah tanduk syaitan adalah fitnah dari orang-orang
yang menjadikan gurunya syaitan karena memahami Al Qur’an dan Hadits
bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal
pikirannya sendiri sebagimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhud.wordpress.com/ 2013/10/07/ fitnah-tanduk-syaitan/
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa
menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka
sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Apakah orang yang
otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ?
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang
hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama
dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada
distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya
shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang semacam ini sebagai
orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif,
yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak
mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan
demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari
kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja
maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi
kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya,
tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya
sendiri menurut akal pikirannya sendiri.
Sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhud.wordpress.com/2013/ 10/07/ masalah-karena-salahpaham/
tentang permasalahan yang dapat timbul karena salah dalam memahami Al Qur’an
dan As Sunnah, salah satunya adalah dapat menimbulkan perselisihan dan bahkan
kebencian sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhud.wordpress.com/ 2013/08/19/ menimbulkan-kebencian/
Contoh perselisihan dan bahkan kebencian karena masing-masing
merasa pasti benar adalah apa yang mereka pertontonkan pada
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga telah
memperingatkan kita bahwa perselisihan timbul dari ulama bangsa Arab sendiri.
Maksudnya perselisihan timbul dari orang-orang yang berkemampuan bahasa Arab
yang berupaya mengambil hukum-hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah dari sudut
arti bahasa saja.
Saya (Khudzaifah Ibnul Yaman) bertanya ‘Ya Rasulullah, tolong
beritahukanlah kami tentang ciri-ciri mereka!
Nabi menjawab; Mereka adalah seperti kulit kita
ini, juga berbicara dengan bahasa kita.
Saya bertanya ‘Lantas apa yang anda perintahkan kepada kami
ketika kami menemui hari-hari seperti itu?
Nabi menjawab; Hendaklah kamu selalu bersama jamaah muslimin
dan imam mereka!
Aku bertanya; kalau tidak ada jamaah muslimin dan imam
bagaimana?
Nabi menjawab; hendaklah kau jauhi seluruh firqah
(kelompok-kelompok/ sekte) itu, sekalipun kau gigit akar-akar pohon hingga
kematian merenggutmu kamu harus tetap seperti itu. (HR Bukhari)
Berkata Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari
XIII/36:“Yakni dari kaum kita, berbahasa seperti kita dan beragama dengan agama
kita. Ini mengisyaratkan bahwa mereka adalah bangsa Arab”.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Akan datang
pada akhir zaman, orang-orang muda dan berpikiran sempit. Mereka senantiasa
berkata baik. Mereka keluar dari agama Islam, sebagaimana anak panah lepas dari
busurnya. Mereka mengajak manusia untuk kembali kepada Al-Quran, padahal mereka
sama sekali tidak mengamalkannya. Mereka membaca Al-Quran, namun tidak melebihi
kerongkongan mereka. Mereka berasal dari bangsa kita (Arab). Mereka berbicara
dengan bahasa kita (bahasa Arab). Kalian akan merasa shalat kalian tidak ada
apa-apanya dibandingkan shalat mereka, dan puasa kalian tidak ada apa-apanya
dibandingkan puasa mereka.”
Perselisihan timbul pada umumnya disebabkan karena
sembarangan dalam beristinbat yakni menetapkan sesuatu boleh atau tidak boleh
dilakukan atau sesuatu jika ditinggalkan berdosa atau sesuatu jika dikerjakan
berdosa bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi)
dengan akal pikiran sendiri.
Orang-orang yang mendalami Al Qur’an dan As Sunnah
bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal
pikiran mereka sendiri, pada umumnya memahaminya dari sudut arti bahasa (lughot)
dan istilah (terminologi) saja atau dikatakan mereka bermazhab dzahiriyyah
yakni mereka berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) selalu berpegang
pada nash secara dzahir (makna dzahir) sebagaimana yang telah disampaikan dalam
tulisan pada http:// mutiarazuhud.wordpress.com/ 2013/07/24/arti-bahasa-saja
Hal yang perlu diketahui bahwa seseorang ketika menyatakan
pendapat dengan berdalilkan Kitabullah, sabda Rasulullah atau perkataan para
ulama terdahulu maka hal itu termasuk berijtihad.
Ketika seseorang menyampaikan dan menjelaskan Kitabullah,
sabda Rasulullah maupun perkataan para ulama terdahulu maka hal itu termasuk
berijtihad.
Ketika seseorang menetapkan sesuatu boleh atau tidak boleh
dilakukan atau sesuatu jika ditinggalkan berdosa atau sesuatu jika dikerjakan
berdosa berdasarkan Kitabullah, sabda Rasulullah dan didukung dengan perkataan
para ulama terdahulu maka hal itu termasuk beristinbat atau menggali hukum.
Fatwa adalah berijtihad dan beristinbat. Jika seseorang
berfatwa tanpa ilmu maka akan sesat dan menyesatkan.
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwaisnberkata,
telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari
Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus
mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan
para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat
pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa
tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98).
Asy Syaikh Al Imam Abu Abdullah Muhammad Ibnu
Hazm~rahimahullah mengatakan,
***** awal kutipan *****
“rukun atau pilar penyangga yang paling besar di dalam
bab“ijtihad” adalah mengetahui naql. Termasuk di antara faedah ilmu naql ini
adalah mengetahui nasikh dan mansukh. Karena untuk memahami pengertian
khitab-khitab atau perintah-perintah itu amatlah mudah, yaitu hanya dengan
melalui makna lahiriah (makna tersurat / makna dzahir) dari berita-berita yang
ada. Demikianpula untuk menanggung bebannya tidaklah begitu sulit
pelaksanananya.
Hanya saja yang menjadi kesulitan itu adalah mengetahui
bagaimana caranya mengambil kesimpulan hukum-hukum dari makna yang tersirat
dibalik nas-nas yang ada. Termasuk di antara penyelidikan yang menyangkut
nas-nas tersebut adalah mengetahui kedua perkara tersebut, yaitu makna lahiriah
(makna dzahir) dan makna yang tersirat, serta pengertian-pengertian lain yang
terkandung didalamnya.
Sehubungan dengan hal yang telah disebutkan di atas, ada
sebuah atsar yang bersumber dari Abu Abdur Rahman. ia telah menceritakan bahwa
sahabat Ali ra, berjumpa dengan seorang qadi atau hakim, lalu Ali ra bertanya
kepadanya “Apakah kamu mengetahui masalah nasikh dan masukh?” Si Qadi tadi
menjawab: “Tidak”. Maka Ali ra menegaskan “Kamu adalah orang yang celaka dan
mencelakakan”
***** akhir kutipan *****
Contohnya kepada orang Arab yang berprofesi sebagai pedagang
yang tentunya berbahasa Arab atau paham bahasa Arab karena mengerti bahasa Arab
atau dapat memahami berdasarkan arti bahasa, lalu kita serahkan kitab Al Qur’an
dan kitab Hadits lengkap berikut penilaian ke-shahih-annya dari para ahli hadits.
Tentunya pedagang Arab tersebut tidak akan berani
berpendapat, berfatwa atau menyampaikan seputar aqidah (i’tiqod) berdasarkan
mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya
sendiri dengan kemampuan memahami berdasarkan arti bahasa saja.
Dalam memahami Al Qur’an dan Hadits untuk keperluan
beristinbat atau menggali hukum atau menetapkan sesuatu boleh atau tidak boleh
dilakukan atau sesuatu jika ditinggalkan berdosa atau sesuatu jika dikerjakan
berdosa berdasarkan Al Qur’an dan Hadits tidak cukup bermodalkan arti bahasa
(lughot) dan istilah (terminologi) saja.
Diperlukan ilmu untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah
seperti ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah
(ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu fiqih maupun ushul fiqih dan lain lain.
Kalau tidak menguasai ilmu untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah maka akan
sesat dan menyesatkan.
Syeikh Al Islam Izzuddin bin Abdissalam dalam kitab beliau
Qawaid Al Ahkam (2/337-339) sebagaimana diuraikan dalam tulisan pada http:// syeikhnawawial-bantani.blog spot.com/2011/12/ pembagian-bidah-menurut-ima m-izzuddin.html menyatakan bahwa
menguasai ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah
(ma’ani, bayan dan badi’) adalah termasuk bid’ah hasanah dan hukumnya wajib.
Bid’ah tersebut hukumnya wajib, karena memelihara syari’at juga hukumnya wajib.
Tidak mudah memelihara syari’at terkecuali harus mengetahui tata bahasa Arab.
Sebagaimana kaidah ushul fiqih: “Maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa
wajibun”. Artinya: “Sesuatu yang tidak sempurna kecuali dengannya, maka
hukumnya wajib”.
Sebagaimana yanng telah kami sampaikan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhud.wordpress.com/ 2013/10/21/ demi-ukhuwah-islamiyah/ bahwa kaum muslim
dalam menjalankan kehidupan diperbolehkan berkelompok atau mengikuti jama’ah
minal muslimin seperti mengikuti organisasi kemasyarakatan (ormas) namun ketika
sebuah kelompok kaum muslim menetapkan untuk mengikuti pemahaman seseorang atau
pemahaman sebuah majlis dari kelompok tersebut terhadap Al Qur’an dan As Sunnah
dan tidak berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak atau ahli istidlal maka
berubahlah menjadi sebuah sekte atau firqoh.
Sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah
memperingatkan kita bahwa jika kita menemukan perselisihan karena perbedaan
pendapat maka ikutilah mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) dan hindarilah
semua sekte atau firqoh yang menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum
muslim.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku diatas kesesatan. Dan tangan Allah
bersama jama’ah. Barangsiapa yang menyelewengkan (menyempal), maka ia
menyeleweng (menyempal) ke neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168).
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37
menukil perkataan Imam Thabari rahimahullah yang menyatakan: “Berkata kaum
(yakni para ulama), bahwa jama’ah adalah as-sawadul a’zham (mayoritas kaum
muslim)“
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya
umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian
melihat terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (mayoritas kaum
muslim).” (HR.Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu
Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits
Shohih).
Pada masa sekarang mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham)
adalah bagi siapa saja yang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
dengan mengikuti para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Sebagaimanapula yang telah disampaikan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhud.wordpress.com/ 2013/07/18/ islam-adalah-satu/ bahwa Islam adalah
satu pada masa sekarang adalah Islam sebagaimana yang telah disampaikan dan
dijelaskan oleh para penunjuk yakni para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam
Mazhab yang empat.
Allah Azza wa Jalla telah berfirman bahwa solusi jika kita
berselisih karena berlainan pendapat tentang sesuatu maka ikuti dan taatilah
ulil amri setempat yakni para fuqaha yang faqih dalam memahami Al Qur’an dan As
Sunnah.
Firman Allah ta’ala yang artinya “Hai orang-orang yang
beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya” (QS An Nisaa [4]:59)
Siapakah ulil amri
yang harus ditaati oleh kaum muslim ?
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah sosok ulama dan
umara sekaligus. Begitu juga para khulafaur Rasyidin seperti Sayyidina Abu
Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Ustman dan Sayyidina Ali radhiyallahuanhum,
begitu juga beberapa khalifah dari bani Umayah dan bani Abbas.
Namun dalam perkembangan sejarah Islam selanjutnya, sangat
jarang kita dapatkan seorang pemimpin negara yang benar-benar paham terhadap
Islam. Dari sini, mulailah terpisah antara ulama dan umara.
Ibnu Abbas ra sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Thobari
dalam tafsirnya telah menyampaikan bahwa ulil amri yang ditaati adalah para
pakar fiqih atau para ulama yang menguasai hukum-hukum Allah.
Syarat-syarat atau kompentensi sehingga termasuk ulama yang
menguasai fiqih (hukum-hukum dalam Islam) adalah sebagaimana yang disampaikan
oleh KH. Muhammad Nuh Addawami sebagai berikut,
*****awal kutipan *****
a. Mengetahui dan menguasai bahasa arab sedalam-dalamnya,
karena al-quran dan as-sunnah diturunkan Allah dan disampaikan Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang
bermutu tinggi, pengertiannya luas dan dalam, mengandung hukum yang harus
diterima. Yang perlu diketahui dan dikuasainya bukan hanya arti bahasa tetapi
juga ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa arab itu seumpama nahwu, sharaf,
balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).
b. Mengetahui dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau
tidak, bagaimana mungkin menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan
as-Sunnah padahal tidak menguasai sifat lafad-lafad dalam al-Quran dan
as-Sunnah itu yang beraneka ragam yang masing-masing mempengaruhi hukum-hukum
yang terkandung di dalamnya seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada
lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang
khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah
selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain sebagainya.
c. Mengetahui dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil naqli
terutama dalam masalah-masalah yaqiniyah qath’iyah.
d. Mengetahui yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui
asbab an-nuzul dan asbab al-wurud, mengetahui yang mutawatir dan yang ahad,
baik dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah. Mengetahui yang sahih dan yang
lainnya dan mengetahui para rawi as-Sunnah.
e. Mengetahui ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubungan dengan
tata cara menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah.
Bagi yang tidak memiliki kemampuan, syarat dan sarana untuk
menggali hukum-hukum dari al-Quran dan as-Sunnah dalam masalah-masalah
ijtihadiyah padahal dia ingin menerima risalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam secara utuh dan kaffah, maka tidak ada jalan lain kecuali taqlid
kepada mujtahid yang dapat dipertanggungjawabkan kemampuannya.
Diantara para mujtahid yang madzhabnya mudawwan adalah empat
imam mujtahid, yaitu:
- Imam Abu Hanifah
Nu’man bin Tsabit;
– Imam Malik bin
Anas;
– Imam Muhammad bin
Idris Asy-Syafi’i ; dan
– Imam Ahmad bin
Hanbal.
Mengharamkan taqlid dan mewajibkan ijtihad atau ittiba’ dalam
arti mengikuti pendapat orang disertai mengetahui dalil-dalilnya terhadap orang
awam (yang bukan ahli istidlal) adalah fatwa sesat dan menyesatkan yang akan
merusak sendi-sendi kehidupan di dunia ini.
Memajukan dalil fatwa terhadap orang awam sama saja dengan
tidak memajukannya. (lihat Hasyiyah ad-Dimyathi ‘ala syarh al- Waraqat hal 23
pada baris ke-12).
Apabila si awam menerima fatwa orang yang mengemukakan
dalilnya maka dia sama saja dengan si awam yang menerima fatwa orang yang tidak
disertai dalil yang dikemukakan. Dalam artian mereka sama-sama muqallid,
sama-sama taqlid dan memerima pendapat orang tanpa mengetahui dalilnya.
Yang disebut muttabi’ “bukan muqallid” dalam istilah
ushuliyyin adalah seorang ahli istidlal (mujtahid) yang menerima pendapat orang
lain karena dia selaku ahli istidlal dengan segala kemampuannya mengetahui
dalil pendapat orang itu.
Adapun orang yang menerima pendapat orang lain tentang suatu
fatwa dengan mendengar atau membaca dalil pendapat tersebut padahal sang
penerima itu bukan atau belum termasuk ahli istidlal maka dia tidak termasuk
muttabi’ yang telah terbebas dari ikatan taqlid.
Pendek kata arti ittiba’ yang sebenarnya dalam istilah
ushuliyyin adalah ijtihad seorang mujtahid mengikuti ijtihad mujtahid yang
lain.
***** akhir kutipan *****
Oleh karenanya setelah masa kehidupan Imam Madzhab yang
empat, para mufti yakni orang yang faqih untuk membuat fatwa selalu merujuk
kepada salah satu dari Imam Madzhab yang empat.
Allah ta’ala berfirman yang artinya “Orang-orang yang
terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan
Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada
mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga
yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di
dalamnya. Itulah kemenangan yang besar“. (QS at Taubah [9]:100)
Dari firmanNya tersebut dapat kita ketahui bahwa orang-orang
yang diridhoi oleh Allah Azza wa Jalla adalah orang-orang yang mengikuti
Salafush Sholeh. Sedangkan orang-orang yang mengikuti Salafush Sholeh yang
paling awal dan utama adalah Imam Mazhab yang empat.
Memang ada mazhab yang lain selain dari Imam Mazhab yang
empat namun pada kenyataannya ulama yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari
Imam Mazhab yang lain sudah sukar ditemukan pada masa kini.
Tentulah kita mengikuti atau taqlid kepada Imam Mazhab yang
empat dengan merujuk kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Imam Mazhab yang empat
patut untuk diikuti oleh kaum muslim karena jumhur ulama telah sepakat dari
dahulu sampai sekarang sebagai para ulama yang berkompetensi sebagai Imam
Mujtahid Mutlak, pemimpin atau imam ijtihad dan istinbat kaum muslim.
Kelebihan lainnya, Imam Mazhab yang empat adalah masih
bertemu dengan Salafush Sholeh.
Contohnya Imam Syafi”i ~rahimahullah adalah imam mazhab yang
cukup luas wawasannya karena bertemu atau bertalaqqi (mengaji) langsung kepada
Salafush Sholeh dari berbagai tempat, mulai dari tempat tinggal awalnya di
Makkah, kemudian pindah ke Madinah, pindah ke Yaman, pindah ke Iraq, pindah ke
Persia, kembali lagi ke Makkah, dari sini pindah lagi ke Madinah dan akhirnya
ke Mesir. Perlu dimaklumi bahwa perpindahan beliau itu bukanlah untuk berniaga,
bukan untuk turis, tetapi untuk mencari ilmu, mencari hadits-hadits, untuk
pengetahuan agama. Jadi tidak heran kalau Imam Syafi’i ~rahimahullah lebih
banyak mendapatkan hadits dari lisannya Salafush Sholeh, melebihi dari yang
didapat oleh Imam Hanafi ~rahimahullah dan Imam Maliki ~rahimahullah.
Imam Mazhab yang empat adalah para ulama yang sholeh dari
kalangan “orang-orang yang membawa hadits” yakni membawanya dari Salafush
Sholeh yang meriwayatkan dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam.
Jadi kalau kita ingin ittiba li Rasulullah (mengikuti
Rasulullah) atau mengikuti Salafush Sholeh maka kita menemui dan bertalaqqi
(mengaji) dengan para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa
hadits”.
Para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang
membawa hadits” adalah para ulama yang sholeh yang mengikuti salah satu dari
Imam Mazhab yang empat.
Para ulama yang sholeh yang mengikuti dari Imam Mazhab yang
empat adalah para ulama yang sholeh yang memiliki ketersambungan sanad ilmu
(sanad guru) dengan Imam Mazhab yang empat atau para ulama yang sholeh yang
memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang empat.
Jadi bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat adalah sebuah
kebutuhan bagi kaum muslim yang tidak lagi bertemu dengan Rasulullah maupun
Salafush Sholeh.
Orang-orang yang meninggalkan Imam Mazhab yang empat memang
sering mengungkapan pendapat seperti “kita harus mengikuti hadits shahih. Bukan
mengikuti ulama. Al-Imam Al-Syafi’i sendiri berkata, “Idza shahha al-hadits
fahuwa mazhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah mazhabku)”.
Banyak kalangan yang tidak memahami dengan benar perkataan
Beliau. Sehingga, jika yang bersangkutan menemukan sebuah hadits shahih yang
menurut pemahaman mereka bertentangan dengan pendapat mazhab Syafi’i maka yang
bersangkutan langsung menyatakan bahwa pendapat mazhab itu tidak benar, karena
Imam Syafi’i sendiri mengatakan bahwa hadits shahih adalah mazhab beliau. Atau
ketika seseorang menemukan sebuah hadits yang shahih, yang bersangkutan
langsung mengklaim, bahwa ini adalah mazhab Syafi’i.
Imam Al-Nawawi sepakat dengan gurunya ini dan berkata,
“(Ucapan Al-Syafi’i) ini hanya untuk orang yang telah mencapai derajat mujtahid
madzhab. Syaratnya: ia harus yakin bahwa Al-Syafi’i belum mengetahui hadits itu
atau tidak mengetahui (status) kesahihannya. Dan hal ini hanya bisa dilakukan
setelah mengkaji semua buku Al-Syafi’i dan buku murid-muridnya. Ini syarat yang
sangat berat, dan sedikit sekali orang yang mampu memenuhinya. Mereka
mensyaratkan hal ini karena Al-Syafi’i sering kali meninggalkan sebuah hadits
yang ia jumpai akibat cacat yang ada di dalamnya, atau mansukh, atau
ditakhshish, atau ditakwil, atau sebab-sebab lainnya.”
Al-Nawawi juga mengingatkan ucapan Ibn Khuzaimah, “Aku tidak
menemukan sebuah hadits yang sahih namun tidak disebutkan Al-Syafii dalam
kitab-kitabnya.” Ia berkata, “Kebesaran Ibn Khuzaimah dan keimamannya dalam
hadits dan fiqh, serta penguasaanya akan ucapan-ucapan Al-Syafii, sangat
terkenal.” ["Majmu' Syarh Al-Muhadzab" 1/105]
Kajian qoul Imam Syafi’i yang lebih lengkap, silahkan membaca
tulisan, contohnya pada http:// generasisalaf.wordpress.com /2013/06/15/ memahami-qoul-imam-syafii-h adis-sahih-adalah-mazhabku -bag-2/
Perlu kita ingat bahwa hadits yang telah terbukukan dalam
kitab-kitab hadits jumlahnya jauh di bawah jumlah hadits yang dikumpulkan dan
dihafal oleh Al-Hafidz (minimal 100.000 hadits) dan jauh lebih kecil dari
jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah (minimal 300.000
hadits). Sedangkan jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Imam Mazhab
yang empat, jumlahnya lebih besar dari jumlah hadits yang dikumpulkan dan
dihafal oleh Al-Hujjah.
Asy-Syeikh Abu Amru mengatakan: ”Barang siapa menemui dari
Syafi’i sebuah hadits yang bertentangan dengan mazhab beliau, jika engkau sudah
mencapai derajat mujtahid mutlak, dalam bab, atau maslah itu, maka silahkan
mengamalkan hal itu“
Penjelasan tentang derajat mujtahid mutlak dan tingkatan
mufti dalam madzhab As Syafi’i, silahkan baca tulisan pada http://almanar.wordpress.com/2010/09/21/tingkatan-mufti-madzhab-as-syafi’i/
Kesimpulannya ketaatan umat Islam kepada ulil amri setempat
yakni para fuqaha (mufti) yang dipimpin oleh mufti agung lebih didahulukan dari
pada ketaatan kepada pemimpin ormas maupun penguasa negeri dalam rangka
menyunjung persatuan dan kesatuan kaum muslim sesuai semangat piagam Madinah
yang memuat keharusan mentaati Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam yang
ketika itu sebagai ulil amri dalam jama’atul muslimin.
***** awal kutipan *****
Pasal 1
Sesungguhnya mereka satu bangsa negara (ummat), bebas dari
(pengaruh dan kekuasaan) manusia.
Pasal 17
Perdamaian dari orang-orang beriman adalah satu
Tidak diperkenankan segolongan orang-orang yang beriman
membuat perjanjian tanpa ikut sertanya segolongan lainnya di dalam suatu
peperangan di jalan Tuhan, kecuali atas dasar persamaan dan adil di antara
mereka.
Pasal 36 ayat 1
Tidak seorang pun diperbolehkan bertindak keluar, tanpa
ijinnya Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
***** akhir kutipan *****
Kita dapat mengambil pelajaran dari kerajaan Islam Brunei
Darussalam berideologi Melayu Islam Beraja (MIB) dengan penerapan nilai-nilai
ajaran Agama Islam dirujuk kepada golongan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang
dipelopori oleh Imam Al Asyari dan mengikut Mazhab Imam Syafei. Sultan Brunei
disamping sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan merangkap sebagai
perdana menteri dan menteri pertahanan dengan dibantu oleh dewan penasihat
kesultanan dan beberapa menteri, juga bertindak sebagai pemimpin tertinggi
Agama Islam dimana dalam menentukan keputusan atas sesuatu masalah dibantu oleh
Mufti Kerajaan.
Negara kitapun ketika awal berdirinya memiliki lembaga tinggi
negara yang bernama “Dewan Pertimbangan Agung” yang berunsurkan ulama yang
sholeh yang dapat memberikan pertimbangan dan usulan kepada pemerintah dalam
menyelenggarakan pemerintahan agar tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As
Sunnah.
Lembaga negara yang berunsurkan kata “agung” seperti Mahkamah
Agung, Jaksa Agung pada hakikatnya adalah wakil-wakil Tuhan dalam menegakkan
keadilan di muka bumi agar sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Salah satu contoh ulama yang menjadi anggota “Dewan
Pertimbangan Agung” adalah Syaikh Muhammad Jamil Jambek ulama pelopor pembaruan
Islam dari Sumatera Barat awal abad ke-20 yang pernah berguru dengan Syeikh
Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang merupakan ulama besar Indonesia yang pernah
menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab
Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Namun dalam perjalanannya Dewan Pertimbangan Agung perannya
dalam roda pemerintahan di negara kita “dikecilkan”. Bahkan pada zaman era
Surharto, singkatan DPA mempunyai arti sebagai “Dewan Pensiun Agung” karena
keanggotaanya terdiri dari pensiunan-pensiunan pejabat. Sehingga pada era
Reformasi , Dewan Pertimbangan Agung dibubarkan dengan alasan sebagai lembaga
yang tidak effisien.
Jadi cara mengawal syariat Islam dalam sistem pemerintahan di
negara kita dengan cara mengembalikan wewenang para ahli fiqih untuk menasehati
dan membimbing penguasa negeri sehingga dalam menjalankan roda pemerintahan
tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah sehingga tidak ada keraguan
lagi bagi kaum muslim untuk mentaati penguasa negeri.
Berikut adalah nasehat para ulama tentang ajaran Wahabi yang
mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah,
Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, ulama besar Indonesia yang
pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti
Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 menjelaskan dalam
kitab-kitab beliau seperti ‘al-Khiththah al-Mardhiyah fi Raddi fi Syubhati man
qala Bid’ah at-Talaffuzh bian-Niyah’, ‘Nur al-Syam’at fi Ahkamal-Jum’ah’ bahwa
pemahaman Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qoyyim Al Jauziah menyelisihi pemahaman Imam
Mazhab yang empat.
Beliau (Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitamy) berkata ” Maka
berhati-hatilahkamu, jangan kamu dengarkan apa yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah
dan muridnya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah dan selain keduanya dari orang-orang
yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah telah
menyesatkannya dari ilmu serta menutup telinga dan hatinya dan menjdaikan penghalang
atas pandangannya. Maka siapakah yang mampu memberi petunjuk atas orang yang
telahAllah jauhkan?”. (Al-Fatawa Al-Haditsiyyah : 203)
Para ulama ahlus sunnah terdahulu juga telah membantah
pendapat atau pemahaman Ibnu Taimiyyah yang telah banyak menyelisihi pendapat
para ulama terdahulu yang mengikuti Imam Mazhab yang empat sebagaimana
contohnya termuat pada http:// mutiarazuhud.files.wordpres s.com/2010/02/ ahlussunnahbantahtaimiyah.p df atau pada http:// mutiarazuhud.wordpress.com/ 2013/01/07/ kontrofersi-paham-taimiyah/
Sebagaimana tulisan pada http:// mutiarazuhud.wordpress.com/ 2012/04/22/ kabar-waktu-lampau/ bahwa di dalam
kitab “Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah” karya Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari
(pendiri pondok pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur dan pendiri organisasi
Nahdhatul Ulama) halaman 9-10 menasehatkan untuk tidak mengikuti pemahaman
Muhammad bin Abdul Wahhab , Ibnu Taimiyah, dan kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan
Ibnu Abdil Hadi.
Ustadz Ahmad Sarwat,Lc,.MA dalam tulisan pada http://www.rumahfiqih.com/ x.php?id=1357669611&title=a dakah-mazhab-salaf.htm mengatakan,
***** awal kutipan ****
Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan Ibnu Hazm, kalau dilihat
angka tahun lahirnya, mereka juga bukan orang salaf, karena mereka hidup jauh
ratusan tahun setelah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam wafat. Apalagi
Syeikh Bin Baz, Utsaimin dan Al-Albani, mereka bahkan lebih bukan salaf lagi,
tetapi malahan orang-orang khalaf yang hidup sezaman dengan kita.
Sayangnya, Ibnu Taymiyah, Ibnul Qayyim, apalagi Bin Baz,
Utsaimin termasuk Al-Albani, tak satu pun dari mereka yang punya manhaj, kalau
yang kita maksud dengan manhaj itu adalah arti sistem dan metodologi istimbath
hukum yang baku. Bahasa mudahnya, mereka tidak pernah menciptakan ilmu ushul
fiqih. Jadi mereka cuma bikin fatwa, tetapi tidak ada kaidah, manhaj atau
polanya.
Kalau kita ibaratkan komputer, mereka memang banyak menulis
file word, tetapi mereka tidak menciptakan sistem operasi. Mereka punya banyak
fatwa, mungkin ribuan, tetapi semua itu levelnya cuma fatwa, bukan manhaj
apalagi mazhab.
Bukan Salaf Tetapi
Dzahihiri
Sebenarnya kalau kita perhatikan metodologi istimbath mereka
yang mengaku-ngaku sebagai salaf, sebenarnya metode mereka itu tidak mengacu
kepada masa salaf. Kalau dipikir-pikir, metode istimbah yang mereka pakai itu
lebih cenderung kepada mazhab Dzhahiriyah. Karena kebanyakan mereka berfatwa
hanya dengan menggunakan nash secara Dzhahirnya saja.
Mereka tidak menggunakan metode istimbath hukum yang justru
sudah baku, seperti qiyas, mashlahah mursalah, istihsan, istishhab, mafhum dan
manthuq. Bahkan dalam banyak kasus, mereka tidak pandai tidak mengerti adanya
nash yang sudah dinasakh atau sudah dihapus dengan adanya nash yang lebih baru
turunnya.
Mereka juga kurang pandai dalam mengambil metode penggabungan
dua dalil atau lebih (thariqatul-jam’i) bila ada dalil-dalil yang sama
shahihnya, tetapi secara dzhahir nampak agak bertentangan. Lalu mereka
semata-mata cuma pakai pertimbangan mana yang derajat keshahihannya menurut
mereka lebih tinggi. Kemudian nash yang sebenarnya shahih, tapi menurut mereka
kalah shahih pun dibuang.
Padahal setelah dipelajari lebih dalam, klaim atas keshahihan
hadits itu keliru dan kesalahannya sangat fatal. Cuma apa boleh buat, karena
fatwanya sudah terlanjur keluar, ngotot bahwa hadits itu tidak shahih. Maka
digunakanlah metode menshahihan hadits yang aneh bin ajaib alias keluar dari
pakem para ahli hadits sendiri.
Dari metode kritik haditsnya saja sudah bermasalah, apalagi
dalam mengistimbath hukumnya. Semua terjadi karena belum apa-apa sudah keluar
dari pakem yang sudah ada. Seharusnya, yang namanya ulama itu, belajar dulu
yang banyak tentang metode kritik hadits, setelah itu belajar ilmu ushul agar
mengeti dan tahu bagaimana cara melakukan istimbath hukum. Lah ini belum punya
ilmu yang mumpuni, lalu kok tiba-tiba bilang semua orang salah, yang benar cuma
saya seorang.
***** akhir kutipan *****
Begitupula wasiat ulama dari Malaysia, Syaikh Abdullah
Fahimsebagaimana contohnya yang termuat pada http:// hanifsalleh.blogspot.com/ 2009/11/ wasiat-syeikh-abdullah-fahi m.html
***** awal kutipan *****
Supaya jangan berpecah belah oleh bangsa Melayu sendiri. Sekarang
sudah ada timbul di Malaya mazhab Khawarij yakni mazhab yang keluardari mazhab
4 mazhab Ahlis Sunnah wal Jama`ah. Maksud mereka itu hendakmengelirukan faham
awam yang sebati dan hendak merobohkan pakatan bangsa Melayuyang jati. Dan
menyalahkan kebanyakan bangsa Melayu.
Hukum-hukum mereka itu diambil daripada kitab
Hadyur-Rasulyang mukhtasar daripada kitab Hadyul-’Ibad dikarang akan dia oleh
Ibnul Qayyimal-Khariji, maka Ibnul Qayyim dan segala kitabnya ditolak oleh
ulama AhlisSunnah wal Jama`ah.
***** akhir kutipan *****
Kabar yang lain
dari Malaysia tentang pemahaman Wahhabi
Taklimat tentang Fahaman Wahhabiy anjuran Jabatan Mufti
Negeri Sembilan disampaikan oleh Ustaz Abdullah Jalil dari USIM
http://www.youtube.com/ watch?v=d3ep3LODV5E
http://www.youtube.com/ watch?v=zkA1gxH87_k
http://www.youtube.com/ watch?v=JKJ24FDd3B8
Taklimat Khas Fahaman Wahhabiy Dan Ancamannya Terhadap Aqidah Umat Islam anjuran Jabatan Mufti Negeri Sembilan disampaikan oleh Ustaz Zamihan al-Ghari
http://www.youtube.com/
http://www.youtube.com/
http://www.youtube.com/
Taklimat Khas Fahaman Wahhabiy Dan Ancamannya Terhadap Aqidah Umat Islam anjuran Jabatan Mufti Negeri Sembilan disampaikan oleh Ustaz Zamihan al-Ghari
http://www.youtube.com/ watch?v=lolOeJ8CXSc
http://www.youtube.com/ watch?v=lP7dqXHT01g
http://www.youtube.com/ watch?v=Zep7-4-asVo
http://www.youtube.com/ watch?v=IltK_VKhwtY
http://www.youtube.com/ watch?v=elalhSVpY3o
http://www.youtube.com/
http://www.youtube.com/
http://www.youtube.com/
http://www.youtube.com/
Ucapan pengangguhan oleh SS Dato’ Haji Mohd Yusof Bin Hj
Ahmad, Mufti Negeri Sembilan dalam Taklimat Khas Fahaman Wahhabiy
http://www.youtube.com/ watch?v=ZCh2nVfgRt4
http://www.youtube.com/ watch?v=2JT28bp_Ep4
Bedah buku terbaru tulisan Ustaz Zamihan al-Ghari bertajuk “Penyelewengan Fahaman Tajsim Wahhabiy” membongkar segala permasalahan Aqidah Tajsim Wahhabiy.
http://www.youtube.com/
http://www.youtube.com/
Bedah buku terbaru tulisan Ustaz Zamihan al-Ghari bertajuk “Penyelewengan Fahaman Tajsim Wahhabiy” membongkar segala permasalahan Aqidah Tajsim Wahhabiy.
oleh: Zon Jonggol selengkapnya disini
No comments:
Post a Comment