Sementara ada orang memandang wasithah/tawassul dan tabarruk
hal yang dilarang dan dikategorikan sebagai syirik. Kebanyakan mereka yang
melarang minta pertolongan kepada makhluk itu atau bertawassul berdalil kepada
firman Allah dan hadits Rasulullah saw. (kita bicarakan tersendiri) -yang
menurut faham mereka- sebagai larangan bertawassul atau bertabarruk.
Dengan pengertian seperti itu mereka melarang semua
macam permintaan yang ditujukan pada selain Allah swt. Padahal yang dimaksud
oleh firman Allah swt. dan hadits-hadits tersebut bukan seperti yang mereka
tafsirkan. Rasulullah saw. mengingatkan kita agar jangan lengah, bahwa segala
sebab-musabab yang mendatangkan kebaikan berasal dari Allah swt. Jadi bila
hendak minta tolong pada manusia, anda harus tetap yakin bahwa bisa atau tidak,
mau atau tidak mau, sepenuhnya tergantung pada kehendak dan izin Allah swt.
Jangan sekali-kali anda lupa kepada ‘Sebab Pertama’ yang berkenan menolong anda
serta yang mengatur semua hubungan dalam kehidup an ini adalah Allah swt.
Jika Islam melarang seorang muslim minta tolong kepada
sesamanya, atau minta tolong pada Rasulullah saw., tentu beliau saw. melarang
kaum muslimin minta tolong kepadanya, dan beliau tidak akan pernah mau dimintai
tolong supaya berdo’a, agar Allah swt. menurunkan hujan di musim kemarau dan
berdo’a untuk lainnya. Terbukti bahwa beliau tidak pernah menolak permintaan
mereka ini. Hadits-hadits yang golongan pengingkar buat sebagai dalil tersebut,
tidak bermakna kecuali memantapkan akidah/keyakinan kaum muslimin, yaitu akidah
tauhid, bahwa penolong yang sebenarnya adalah Allah swt., sedangkan manusia
hanyalah sebagai washithah/perantara.
Kalau permintaan tolong pada selain Allah swt. dilarang, maka akan bertentangan dengan ayat Al-Qur’an
dan hadits-hadits Rasulullah saw. yang membolehkan tawassul dan minta tolong
dengan sesama manusia. Jadi minta pertolongan pada makhluk atau tawassul
tersebut mustahab/boleh selama orang tersebut tidak mempunyai keyakinan/akidah
bahwa Nabi, para waliyullah dan sebagainya tersebut dapat memberi syafa’at
tanpa seizin Allah swt. Kaum muslimin juga yakin bahwa orang yang mohon
syafa’at ini adalah sebagai upaya/iktisab sedangkan yang dimintai
syafa’at adalah ‘wasithah’ tidak lebih dari itu.
Hakekat ‘Tawassul’ merupakan hal yang telah menjadikan
kejelasan dalam Islam. Al-Qur’an sebagai sumber utama agama Islam dalam sebuah
ayatnya menyatakan:
‘Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (wasilah)
yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu
mendapat keberuntungan.’ (QS Al-Maidah: 35).
Dalam ayat tersebut Allah swt. menjelaskan bahwa
ketakwaan dan jihad merupakan sarana legal untuk menyampaikan manusia kepada
Allah swt. Yang menjadi pertanyaan adalah; Adakah sarana-sarana lain yang sah
menurut syariat Islam yang mampu menghantarkan manusia menuju Allah swt.
ataukah dalam penentuan sarana-sarana tadi telah sepenuhnya diserah kan kepada
manusia?
Untuk menjawab secara ringkas maka dapat kita katakan
bahwa: Jelas sekali bahwa penentuan sarana pendekatan diri kepada Allah swt.
tidak terdapat campur tangan manusia sehingga dengan ijtihad pribadinya dapat
menentukan sarana-sarana apapun untuk mendekat- kan diri kepada Allah swt.
Hanya sarana-sarana yang telah ditentukan oleh syariat Islam –yang bersumber
dari al-Qur’an dan as-Sunnah as-Sohihah Rasulullah saw.– saja yang dapat
menjadi penghantar manusia menuju Allah swt.
Sehingga dari sini dapat kita simpulkan bahwa, semua
sarana yang tidak mendapat legalitas syariat –baik dengan dalil umum maupun
khusus– maka tergolong bid’ah dan kesesatan yang nyata. Dalam kesempatan kali
ini, kita akan memasuki kajian legalitas ‘Tawassul/Istighatsah’ sesuai dengan
ajaran syariat Islam, baik dari apa yang telah dijelaskan oleh al-Qur’an,
Sunnah Rasulullah saw. maupun prilaku para Salaf Sholeh dan Ulama Salaf
Ahlusunnah wal Jama’ah.
Sehingga kita tidak terjerumus dalam penentuan obyek
tawassul/ Istighatsah secara ‘liar’ sehingga menyebabkan kita terjerumus ke
dalam jurang bid’ah sesat, seperti yang dapat sebagian amalan yang kita temukan
dalam masyarakat kejawen di Indonesia.
Ataupun terjerumus ke dalam jurang
kejumudan dalam menentukan obyek Tawassul/ Istighatsah, sebagaimana yang dilakukan
oleh kelompok sekte Wahabisme, imbas dari kerancuan metodologi memahami tekts.
Baik kelompok ‘Kejawen’ maupun ‘Wahabi’ keduanya telah terjerumus ke dalam
jurang ekstrimitas (ekstrim kiri dan ekstrim kanan) yang mengakibatkan
kerancuan dalam bersikap berkaitan dengan konsep Tawassul/Istighatsah dan
Tabarruk. Tentu kedua bentuk ekstrimitas itu tidak sesuai dengan apa yang di
inginkan oleh Islam.
Jika kita melihat beberapa kamus bahasa Arab yang
sering dijadikan rujukan dalam menentukan asal dan makna kata maka akan kita
dapati bahwa, kata “Tawassul” mempunyai arti dari ‘darajah’ (kedudukan), atau
‘Qurbah’ (kedekatan), atau ‘washilah’
(penyampai/ penghubung). Sehingga sewaktu di katakan bahwa ‘wasala fulan
ilallah wasilatan idza ‘amala ‘amalan taqarraba bihi ilaihi’ berarti ‘seseorang
telah menjadikan sarana penghubung kepada Allah melalui suatu pebuatan sewaktu
melakukan pebuatan yang dapat men- dekatkan diri kepada-Nya’. (Lihat: Kitab
Lisan al-‘Arab karya Ibn Mandzur jilid 11 asal kata wa-sa-la).
Begitu juga berkaitan dengan asal kata ‘ghatsa’ yang
berarti ‘menolong’ yang dengan memakai bentuk (wazan) ‘istaf’ala’ yang kemudian
menjadi ‘istigha- tsah’ yang berarti ‘mencari/meminta pertolongan’.
Pengertian-pengertian semacam ini pun akan kita dapati dalam berbagai
kamus-kamus bahasa Arab terkemuka lainnya.
Berkaitan dengan konsep Tawassul dan Istighatsah ini,
terdapat perbedaan pendapat di kalangan beberapa kelompok. Letak perbedaannya
dalam masalah penentuan obyek-obyek tawassul dan istighatsah yang disahkan oleh
syariat Islam. Dikarenakan terjadi perbedaan pendapat dalam penentu an obyek
maka terjadi perbedaan juga dalam menghukuminya. Dari perbeda an hukum tadilah
akhirnya muncul ‘penyesatan’ dari kelompok yang belum dewasa dalam menerima
perbedaan, merasa benar sendiri, tidak mau menerima pendapat kelompok lain,
bahkan menganggap kelompok lain tadi telah berbuat yang dilarang oleh Islam,
bid’ah sesat atau syirik. Di sini, kita akan mengklasifikasikan
pendapat-pendapat tersebut menjadi tiga bagian:
Pertama:
Pendapat Sekte Wahabisme
Dalam hal ini, kita akan menukilkan pendapat Muhammad
bin Abdul Wahhab an-Najdi (pelopor dan pendiri sekte Wahabisme) yang dalam
kitab “Kasyfus Syubuhaat” menyatakan:
“Jika ada sebagian orang musyrik (muslim
non-Wahabi .red) mengatakan kepadamu; ‘Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah
itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih
hati’ (QS Yunus: 62), atau mengatakan bahwa syafa’at adalah benar, atau
mengatakan bahwa para nabi memiliki kedudukan di sisi Allah, atau mengungkapkan
perkataan Nabi untuk berargumen menetapkan kebatil annya (seperti Syafa’at,
Tawassul/Istighatsah, Tabarruk…dst. red) sedang kalian tidak memahaminya (tidak
bisa menjawabnya) maka katakanlah: ‘Sesungguhnya Allah dalam al-Qur’an
menjelaskan bahwa orang-orang yang menyimpang adalah orang yang meninggalkan
ayat-ayat yang jelas (muhkam) dan mengikuti yang samar (mutasyabih).” (Kitab
Kasyfus Syubuhaat halaman 60).
Disini jelas sekali bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab
menyatakan ‘sesat’ (bahkan menuduh musyrik) orang-orang yang meyakini adanya
syafa’at, kedudukan tinggi para nabi disisi Allah swt. sehingga dimintai
istighatsah/ tawassul…dst.nya. Bahkan disini, Muhammad bin Abdul Wahhab
mengajar-kan kepada para pengikutnya ‘cara melarikan diri’ dari diskusi tentang
doktrin an sektenya dengan kelompok lain dengan cara melarikannya kepada
pembagian tasyabbuh (yang samar) dan muhkam (yang jelas) ayat-ayat al-Qur’an.
Termasuk cara mengajak para pengkritisi ajaran Wahabisme untuk bertobat tanpa
terbukti kesalahannya. Ternyata, akhirnya cara-cara licik ini pun yang sering
dipakai banyak para pengikut sekte Wahabi ketika terdesak dalam berargumentasi
ketika membela keyakinan wahabismenya, bahkan menjadi kebiasaan buruk mayoritas
para pengikut sekte tersebut.
Contoh lain: Nashiruddin al-Albani -yang konon- adalah
seorang ahli hadits dari kalangan Wahabi pun pernah menyatakan dalam salah satu
karyanya yang berjudul “at-Tawassul; Ahkaamuhu wa Anwa’uhu” (Tawassul;
hukum-hukum dan jenis-jenisnya) begitu juga dalam mukaddimahnya atas kitab
“Syarh at-Thawiyah” (Lihat: di halaman 60 dari kitab Syarh Thahawiyah) dia
menyatakan bahwa;
“Sesungguhnya masalah tawassul bukanlah tergolong masalah
akidah”.
Dan contoh lainnya adalah apa yang dinyatakan oleh Abdullah
bin Baz seorang mufti Wahabi:
“Barangsiapa yang meminta (istighatsah/tawassul)
kepada Nabi dan meminta syafa’at darinya maka ia telah merusak keislamannya.”
(Lihat: Kitab Al-‘Aqidah as-Shohihah wa Nawaqidh al-Islam).
Kedua:
Pendapat Ahlusunnah wal Jama’ah (bahkan Islam secara keseluruhan)
Terlampau banyak contoh fatwa ulama Ahlusunnah dalam
menjelaskan legalitas Tawassul/Istighatsah dan Tabarruk ini. Insya-Allah dalam
buku ini kita jelaskan mengenai ungkapan-ungkapan mereka. Kita akan memberikan
contoh beberapa tokoh dari mereka saja:
Imam Ibn Idris as-Syafi’i sendiri pernah menyatakan:
“Sesungguhnya
aku telah bertabarruk dari Abu Hanifah (pendiri madzhab Hanafi .red) dan mendatangi
kuburannya setiap hari. Jika aku memiliki hajat maka aku melakukan shalat dua
rakaat dan lantas mendatangi kuburannya dan meminta kepada Allah untuk
mengabulkan do’aku di sisi (kuburan)-nya. Maka tidak lama kemudian akan
dikabulkan” (Lihat: Kitab Tarikh Baghdad jilid 1 halaman 123 dalam bab
mengenai kuburan-kuburan yang berada di Baghdad)
As-Samhudi yang bermadzhab Syafi’i menyatakan;
“Terkadang
orang bertawassul kepadanya (Nabi saw.red) dengan meminta pertolongan berkait
an suatu perkara. Hal itu memberikan arti bahwa Rasulullah saw. memiliki
kemampuan untuk memenuhi permintaan dan memberikan syafa’atnya kepada Tuhannya.
Maka hal itu kembali kepada permohonan do’anya, walaupun terdapat perbedaan
dari segi pengibaratannya. Kadangkala seseorang meminta; ‘aku memohon
kepadamu (wahai Rasulullah .red) untuk dapat menemanimu di sorga…’, tiada yang
dikehendakinya melainkan bahwa Nabi saw. menjadi sebab dan pemberi syafa’at”
(Lihat: Kitab Wafa’ al-Wafa’ bi Akhbar Daarul Mustafa karya as-Samhudi Jilid 2
halaman 1374)
As-Syaukani az-Zaidi pernah menyatakan akan legalitas
tawassul dalam kitab karyanya yang berjudul “Tuhfatudz Dzakiriin” dengan
mengatakan:
“Dan
bertawassul kepada Allah swt. melalui para nabi dan manusia sholeh”.
(Lihat: Kitab Tuhfatudz Dzakiriin halaman 37)
Abu Ali al-Khalal salah seorang tokoh madzhab Hanbali
pernah menyatakan:
“Tiada
perkara yang membuatku gunda kecuali aku pergi ke kuburan Musa bin Ja’far
(keturunan Rasulullah saw. yang kelima pen.) dan aku bertawasul kepadanya
melainkan Allah akan memudahkannya bagiku sebagaimana yang kukehendaki.”
(Lihat: Kitab Tarikh Baghdad jilid 1 halaman 120 dalam bab kuburan-kuburan yang
berada di Baghdad).
Ketiga:
Pendapat Ibnu Taimiyah al-Harrani
Jika kita telaah beberapa karya Ibnu Taimiyah maka akan
kita dapati bahwa ia telah mengalami kebingungan dalam menentukan masalah ini.
Kita akan dapati bahwa terkadang ia mengingkarinya, terkadang membolehkannya,
dan terkadang menjawabnya dengan membagi-baginya.
Untuk lebih jelasnya, mari
kita lihat apa yang telah ditulisnya dalam salah satu kitab yang berjudul
“At-Tawassul wal Wasilah” dimana ia membagi Tawassul menjadi tiga kategori:
Petama: Tawassul dengan ketaatan Nabi dan
keimanan kepadanya. Ini tergolong asal muassal Iman dan Islam. barangsiapa
yang mengingkarinya berarti telah mengingkarinya (kufur) terhadap hal yang umum
dan yang khusus.
Kedua: Tawassul dengan do’a dan syafa’at
Nabi -dalam arti bahwa Nabi secara langsung dapat memberi syafa’at dan
mendengar do’a- semasa hidupnya dan sehingga di akhirat kelak mereka akan
bertawassul kepadanya untuk mendapat syafa’atnya. Barangsiapa yang mengingkari
hal tersebut maka dia tergolong kafir murtad dan harus dimintai tobatnya. Jika
tidak tobat maka ia harus dibunuh karena kemurtadannya.
Sedangkan yang ketiga ialah: Tawassul untuk mendapat
syafa’atnya pasca kematiannya. Sungguh ini merupakan bid’ah yang dibuat-buat.
(Lihat; Kitab At-Tawassul wal Wasilah karya Ibnu Taimiyah halaman 13/20/50).
Jadi jelaslah bahwa Ibnu Taimiyah pun tergolong orang
yang tidak mengingkari legalitas/kebolehan tawassul, walaupun dalam beberapa
hal ia nampak rancu dalam menentukan sikapnya. Dari penjelasan di atas tadi
membuktikan bahwa, pengkategorian bid’ah dalam tawassul versi Ibnu Taimiyah
terletak pada hidup dan matinya obyek yang ditawassuli. Benarkah demikian? Kita
akan buktikan -nanti- bahwa pernyataan Ibnu Taimiyah itu telah terbantah dengan
dalil-dalil dalam ajaran Islam itu sendiri.
Yang perlu djelaskan dari ungkapan di atas berkaitan
dengan pendapat kedua yaitu Islam secara keseluruhan melegalkan konsep dan
praktek Tawassul/ Istighatsah kepada Nabi saw. dan orang-orang sholeh. Jadi
dalam masalah ini –terkhusus masalah Tawassul/Istighatsah, Tabarruk juga
masalah-masalah lain yang dinyatakan syirik dan bid’ah oleh sekte Wahabi–
ternyata kelompok Salafi (baca:Wahabi) sendirian, selain karena mereka juga
tidak memiliki dalil yang kuat baik bersandarkan dari al-Qur’an, sunnah Rasulullah
maupun perilaku Salaf Sholeh. Dengan kata yang lebih singkat dan mengena;
‘Dalam masalah ini Wahabisme akan berhadapan dengan Islam’.
Dalam arti garis besar makna Tawassul/Wasithah ialah
perantara, misalnya kita berdo’a pada Allah swt. dengan menyertakan nama
Muhammad Rasul- Allah saw. atau nama pribadi seseorang ahli taqwa dalam do’a
kita tersebut atau berdo’a pada Allah swt. dengan menyebut-nyebut amal kebaikan
yang telah kita jalankan. Dengan demikian lebih besar harapan do’a kita akan di
kabulkan oleh Allah swt. Ingat, bahwa kita dalam tawassul ini berdo’a pada
Allah swt. jadi bukan berdo’a pada makhluk untuk menyekutukan Allah swt.!
Juga termasuk makna wasithah/tawassul ialah minta
pertolongan pada makhluk, tidak langsung kepada Allah swt., begitupun juga
minta syafa’at kepada Nabi saw., para sahabat atau kepada para waliyullah/ahli
taqwa yang masih hidup atau telah wafat.
No comments:
Post a Comment