Pengertian
Poliandri
Poliandri
secara etomoligis berasal dari bahasa Yunani yaitu polus: banyak; Aner
negatif andros: laki-laki. Secara terminologis, poliandri diartikan
dengan perempuan yang mempunyai suami lebih dari satu. Dalam kehidupan
masyarakat poligini lebih umum dikenal dari pada poliandri.[1]
Menurut Ali
Husein Hakim dalam bukunya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan poliandri,
yaitu ketika seorang perempuan dalam waktu yang sama mempunyai lebih dari
seorang suami.[2]
Poliandri Menurut Hukum Islam
Perkawinan
poliandri dalam Al-Qur’an secara tegas dilarang berdasarkan surat An-Nisa’ ayat
24:
“Dan di haramkan juga kamu mengawini) wanita
yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki Allah telah menetapkan
hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain
yang demikian yaitu mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk
berzina. Maka istri-istri yang telah kamu campuri di antara mereka, berikanlah kepada
mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai
suatu kewajiban, dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang telah
saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah maha
mengetahui lagi maha bijaksana.”[3]
Kata
Ihshan atau yang seakar kata dengan itu, pengertian dalam Al- Qur’an tidak
lebih dari empat arti, yaitu:
a. Al- Tazawwuj : kawin
b. Al- Islam: kepatuhan[4]
c. Al- ‘Iffah: wanita yang menjaga kehormatan.[5]
d. Al- Huriyah: wanita yang merdeka.[6]
Adapun
yang maksud dalam ayat di atas adalah wanita-wanita yang memiliki suami
(bersuami).[7]Menurut
ayat di atas yaitu bahwa diantara perempuan-perempuan yang haram dinikahi
secara temporer dan juga haram untuk dipinang,[8]
yaitu istri-istri orang lain atau perempuan-perempuan yang bersuami, perempuan-perempuan
ini termasuk golongan perempuan yang haram dinikahi karena mereka berada
dibawah tanggung jawab dan perlindungan orang lain.
Oleh
karena itu, diharamkanlah mereka nikah dengan selain suami mereka dan tidak
halal untuk dinikahi orang lain.[9]
Kecuali budak yang tertawan dari medan perang dalam mempertahankan agama,
sedang suami mereka dalam keadaan kafir dan tinggal di negaranya (lawan). Dengan
kata lain, meskipun mereka bersuami, mereka tetap halal bagi kaum muslimin untuk
mengawini budak tersebut bila mereka menghendaki.[10]
Diperbolehkannya
mengawini budak tawanan perang tersebut disebabkan jika budak perempuan itu
telah masuk Islam, namun suaminya masih kafir. Sebab keislamannya yang
memisahkan budak tersebut dengan suaminya yang masih musyrik.[11]
Tetapi,
bila perangnya itu bukan mempertahankan agama, tetapi masalah dunia, menurut
Al-Maraghi, tidak dibenarkan menawan perempuan-perempuannya sebagai tawanan dan
dijadikan budak/selir. Bahkan, Hanafiyah berpendapat bila mereka tersebut
tertawan dengan suaminya tidak dibolehkan kepada yang lainnya. Sebab, penyebab
kebolehan tersebut mesti berpisahnya suami istri tawanan itu, dalam arti yang
satu di negara Islam dan yang satu di negara non Islam.[12]
Hikmah
pelarangan terhadap perkawinan poliandri ialah untuk menjaga kemurnian
keturunan, jangan sampai bercampur aduk, dan kepastian hukum seorang anak. Karena
anak sejak dilahirkan bahkan dalam keadaan-keadaan tertentu walaupun masih
dalam kandungan, telah berkedudukan sebagai pembawa hak, sehingga perlu
mendapat perlindungan dan kepastian hukum.
Menurut
hukum waris Islam, seorang anak yang masih dalam kandungan yang kemudian lahir
dalam keadaan hidup berhak mendapat bagian penuh, apabila ayahnya meninggal
dunia biarpun dia masih dalam kandungan.[13]
Dengan
demikian, dari segi hukum waris Islam, kepastian hak waris seorang anak,
ditentukan oleh kapastian hubungan darah/hubungan hukum antara anak dengan
ayahnya. Dalam perkawinan poliandri, hubungan hukum antara anak dan ayahnya mengalami
kekaburan, tidak ada kepastian, disebabkan karena terdapat beberapa orang
laki-laki yang secara brsamaan menjadi suami si ibu yang melahirkan anak
tersebut.
Dalam konteks
tujuan perkawinan khususnya dalam agama Islam, disebutkan bahwa tujuan dari
perkawinan adalah untuk melanjutkan keturuan, menjaga diri dari perbuatan yang
dilarang, menimbulkan rasa cinta antara suami dan istri, menimbulkan rasa kasih
sayang antara orang tua dan anaknya, untuk menghormati sunnah rasul, serta untuk
membersihkan keturunan.
Poliandri dalam Sistem Hukum Perkawinan di
Indonesia
UU No. 1
tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat 1 disebutkan bahwa, perkawinan
dianggap sah apabila dilaksanakan sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.[14]
Dengan demikian, dalam konteks Hukum Perdata, perkawinan pluralisme hukum.
Dalam rangka untuk menfasilitasi pluralisme hukum perkawinan ini.
Bagi
masyarakat yang beragama Islam, perkawinan dilaksanakan oleh institusi KUA,
sedangkan bagi agama non Islam, dilaksanakan oleh institusi Kantor Catatan
Sipil. Kendatipun demikian, asas yang paling dominan dalam perkawinan yang
diatur dalam UU No. 1 tahun 1974 adalah monogami yang terbuka, dalam artian masih
dimungkinkan terjadinya perkawinan poligami dengan persyaratan yang limitatif.
Dalam
Pasal 1 UU No 1974,[15]
prinsip monogami ini, menjadi asas yang fundamental dalam pembentukan keluarga
yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha Esa, sehingga berbagai
bentuk perkawinan yang bertentangang dengan prinsip monogami, sepanjang tidak
ditentukan sebaliknya dalam hukum positif, adalah melanggar dan pelakunya dapat
dikenai sanksi hukum berdasarkan ketentun yang berlaku.
No comments:
Post a Comment