Ijtihad secara etimologi adalah, diambil dari akar kata dalam bahasa arab jahada (جَهَدَ) bentuk kata masdarnya ada dua bentuk yang berbeda artinya: Jahdun (جَهْدٌ) dengan arti kesungguhan atau sepenuh hati atau serius, contohnya dapat kita temukan dalam surat al-an’am (6):109,
وَ
أَقْسَمُوا بِاللهِ جَهْدَ أَيْمنِهِمْ لَئِنْ جَائَتْهُمْ ءَايَةٌ لَيُؤْمِنُنَّ
بِهاَ
Mereka bersumpah dengan nama
Allah dengan segala kesungguhan, bahwa sungguh jika datang kepada mereka
sesuatu mujizat, Pastilah mereka beriman
kepada-Nya.
Juhdun
(جُهْدٌ) dengan
arti kesanggupan atau kemampuan yang di dalamnya terkandung arti sulit, berat
dan susah. Contohnya firman Allah dalam surat at-Taubah (9):79,
وَ
الَّذِيْنَ لاَ يَجِدُونَ إِلاَّ جُهْدَهُمْ فَيَسْخَرُونَ مِنْهُمْ سَخِرَ اللهُ
مِنْهُمْ وَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ
Dan orang-orang yang tidak
memperoleh selain sekedar kesanggupannya, maka orang munafik itu menghina
mereka.[1]
Berdasarkan
peninjauan dari sudut etimologi ini selanjutnya Al-Ghazali umpamanya, merumuskan
pengertian ijtihad dalam arti bahasa sebagai pencurahan segala daya usaha dan penumpahan segala kekuatan untuk menghasilkan sesuatu yang
berat atau sulit.
Singkatnya
ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh untuk mendapatkan sesuatu yang berat dan
sulit. Dan dari pengertian semacam ini Muhammad Iqbal, di waktu membicarakan prinsip
gerak dalam struktur islam, mengidentikkan ijtihad dengan mujahadah.[2] Seperti yang terdapat dalam
surat Al-Ankabut ayat 69 yang berbunyi:
وَ
الَّذِيْنَ جهَدُوا فِيْناَ لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَناَ وَ إِنَّ اللهَ لَمَعَ
الْمُحْسِنِيْنَ
Dan orang-orang yang berjihad
untuk (mencari keridhaan) kami, benar-benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan
kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar
beserta orang-orang yang berbuat baik.
Menurut
ahli fiqh, ijtihad berarti mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk menyelidiki dan mengeluarkan (meng-istinbathkan) hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’an
dan al-Hadis dengan syarat-syarat tertentu.
Sedang
menurut para ahli Ushul Fiqh, antara lain Imam al-Syaukani dan Imam al-Zarkasyi,
ijtihad adalah mencurahkan kemampuan untuk mendapat-kan syara’ (hukum Islam) yang
bersifat operasional dengan istimbath
(mengambil kesimpulan hukum).[3]
Upaya tersebut merupakan usaha faqih, ahli fikih
secara maksimal-optimal karenanya terasa
berat dan sulit dalam mengerahkan kemampuan
rasio dalam rangka untuk beristimbath terhadap hukum syara’ berdasarkan dalilnya, ijtihad bukanlah hal
baru pada masa sahabat, ia telah dikenal pada masa Rasul Saw. Pada saat itu
telah banyak sahabat yang telah melakukan ijtihad dalam berbagai masalah yang kemudian hasil ijtihad tersebut
diajukan kepada Nabi Saw agar mendapatkan respon untuk ditetapkan atau
dibatalkan (dilarang).[4]
Sedangkan
pengertian ijtihad secara terminologi banyak
rumusan yang diberikan mengenai definisi ijtihad, tetapi satu sama lainnya tidak mengandung perbedaan yang prinsip, bahkan
kelihatan saling menguatkan dan
menyempurnakan, diantara definisi tersebut adalah:
Imam
Al-Syaukani dalam kitabnya Irsyadul fuhul memberikan definisi:
بذل
الوسع في نيل حكم شرعي عملي بطريق الإستنباط
Mengerahkan kemampuan dalam memperoleh hukum syar’I yang bersifat amali melalui cara istimbath.
Dalam
definisi ini digunakan kata badzlul wush’i untuk menjelaskan bahwa ijtihad
itu adalah usaha besar yang memerlukan pengerahan kemampuan, hal ini berarti usaha itu ditempuh dengan tidak
sepenuh hati dan tidak bersungguh-sungguh, maka tidak dinamakan ijtihad.[5]
Definisi
yang Ijtihad yang dikemukakan al-Syaukani ini kelihatan dekat dengan definisi-definisi
yang dikemukakan oleh ulama para ushul fiqh
pada umumnya, yang pada pokoknya melihat bahwa
ijtihad adalah upaya optimal ahli fikih dalam menemukan hukum syara’ yang bersifat zanni. Diantara definisi yang dikemukakan
oleh para ulama’ ushul fiqh itu ialah yang dikemukakan oleh al-Ghazali dari
kalangan ulama’ syafi’iyah yang mengartikan ijtihad dengan:
“Pengerahan kemampuan
secara maksimal untuk mendapatkan pengetahuan
tentang hukum-hukum syari’at”.
Rumusan yang lebih dekat lagi dikemukakan oleh
al-Amidi, juga dari ulama’ syafi’iyah yang berbunyi:
”Mencurahkan kemampuan dalam
mendapatkan hukum-hukum syara’ yang bersifat zanni sehingga dirinya tidak mampu
lagi mengupayakan yang lebih dari itu.”[6]
Ijtihad
adalah sebuah media yang ditempuh oleh seorang ilmuan untuk “menengok” kehendak
Allah Swt. yang termaktub dalam kitab suci dan dalam tradisi (sunnah) Nabi Saw.
Tidak ada seorang pun yang diberi kewenangan oleh Tuhan dan memiliki “hak prerogratif”
sebagai pelaksana tugas itu secara khusus.
Semua menjadi tugas bersama untuk melakukan,
yang mengharuskan hanyalah rengkuhan ahlak mulia saat berniat, melakukan, dan melaksanakan ijtihad sehingga hasil ijtihad tetap berada dalam bingkai
pertanggung-jawaban vertikal kepada Tuhan sebagai aplikasi dari tugas manusia sebagai Abdullah, hamba Allah dan tanggung-jawab
horizontal sebagai khalifah Allah fi al-ardl,
atau pemakmur bumi Allah.
Apabila
tidak berujung pada penghambaan kepada Allah dan tidak memberikan kontribusi untuk kemakmuran
di muka bumi maka ijtihad seperti ini telah tercabut dari tujuannya dan bertentangan dengan kedudukan manusia.
Dapat
dipahami bahwa ijtihad merupakan proses penggalian hukum Islam yang dilakukan oleh
seorang fakih dengan suatu upaya yang bersifat maksimal yang digali dari
dalil-dalilnya yang terperinci. Istilah ijtihad dalam periode awal dipergunakan
dengan pengertian yang lebih sempit dan lebih spesifik daripada yang kemudian
digunakan pada masa al-Syafi’i dan di masa sesudahnya.
Istilah
tersebut mengandung arti pertimbangan bijaksana yang adil atau pendapat seorang
ahli. Sebagai contoh, ada satu riwayat mengenai Umar bin Khattab bahwa pada suatu
hari pada bulan Ramadlan, ia mengumumkan tibanya saat berbuka ketika matahari
tampaknya telah terbenam.
Setelah beberapa saat, ia diberitahu orang bahwa matahari
terlihat kembali di ufuk Barat (karena sebenarnya belum terbenam). Atas hal ini
dikabarkan ia menyatakan: “Bukan soal yang gawat, kami sudah berijtihad.” (qad
ijtahadna).[7]
[1]
Amir Syarifuddin, Ushul fiqh
II, Cet.4; Jakarta: Kencana
Permada Media Group, 2008. 223
[2]
Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar Ibn
Al-Khattab: Studi perubahan hukum
dalam islam (Jakarta: Cv.Rajawali. 1991), 52
[3]
Azyumardi azra, Ensiklopedi
Islam (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2001), jilid 2, 183
[4]
Muhammad Faruq
al-Nabhany, al-Madkhal li
al-Tasyri’ al-Islami: Nasy`atuh,
Adwaruh al-Tarikhiyah-
Mustaqbalah (Kuwait-Bairut: Wakalah
al-Mathbu’at – Dar al-Qalam, 1981), 109.
[5]
Amir Syarifuddin, Loc.Cit, 76
[6]
Nasrun Rusli. Konsep Ijtihad Al-Syaukani: Relevansinya bagi pembaharuan hukum
di Indonesia. (Ciputat: PT.Logos Wacana Ilmu. 1999), 76
[7]
Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum
tertutup, Terj. Agah Garnadi,
(Bandung: Penerbit Pustaka, 1994), h. 103-104.
No comments:
Post a Comment