1. Abu Darda’ dalam sebuah riwayat
menyebutkan:
“Suatu
saat, Bilal (al-Habsyi) bermimpi bertemu dengan Rasulullah. Beliau bersabda
kepada Bilal: ‘Wahai Bilal, ada apa gerangan dengan ketidak perhatianmu
(jafa’)? Apakah belum datang saatnya engkau menziarahiku?’ Selepas itu, dengan
perasaan sedih, Bilal segera terbangun dari tidurnya dan bergegas mengendarai
tunggangannya menuju ke Madinah. Lalu Bilal mendatangi kubur Nabi sambil
menangis lantas meletakkan wajahnya di atas pusara Rasul. Selang beberapa lama,
Hasan dan Husein (cucu Rasulullah) datang. Kemudian Bilal mendekap dan mencium
keduanya”. (Tarikh Damsyiq jilid 7 Halaman: 137, Usud al-Ghabah
karya Ibnu Hajar jilid: 1 Halaman: 208, Tahdzibul Kamal jilid: 4
Halaman: 289, dan Siar A’lam an-Nubala’ karya Adz-Dzahabi Jilid: 1
Halaman 358)
Bilal menganggap ungkapan Rasulullah saw. dalam
mimpinya sebagai teguran dari beliau saw., padahal secara dhohir beliau saw.
telah wafat. Jika tidak demikian, mengapa sahabat Bilal datang jauh-jauh dari
Syam menuju Madinah untuk menziarahi Rasulullah saw.? Kalau Rasulullah
benar-benar telah wafat -sebagaimana anggapan madzhab Wahabi bahwa yang telah
wafat itu sudah tiada- maka Bilal tidak perlu menghiraukan teguran Rasulullah
itu.
Apa yang dilakukan sahabat Bilal juga bisa dijadikan
dalil atas ketidakbenaran paham Wahabisme –pemahaman Ibnu Taimiyah dan Muhamad
bin Abdul Wahhab– tentang pelarangan bepergian untuk ziarah kubur sebagaimana
yang mereka pahami tentang hadits Syaddur Rihal.
Apakah Bilal khusus datang jauh-jauh dari Syam hanya
sekedar berziarah dan memeluk pusara Rasulullah saw. tanpa mengatakan apapun
(tawassul) kepada penghuni kubur tersebut? Sekarang mari kita lihat riwayat
lain yang berkenaan dengan diperbolehkannya tawassul secara langsung kepada
yang telah meninggal:
“Masyarakat
telah tertimpa bencana kekeringan di zaman kekhalifahan Umar bin Khattab. Bilal
bin Harits –salah seorang sahabat Nabi– datang ke pusara Rasul dan mengatakan:
‘Wahai Rasulullah, mintakanlah hujan untuk umatmu karena mereka telah (banyak)
yang binasa’. Rasul saw. menemuinya di dalam mimpi dan memberitahukannya bahwa
mereka akan diberi hujan (oleh Allah)”. (Fathul Bari jilid 2 halaman
398, atau as-Sunan al-Kubra jilid 3 halaman 351)
Hadits-hadits di atas mencakup sebagai dalil tentang
kebolehan tabarruk dan tawassul kepada orang yang dhahirnya telah wafat, hal itu
telah dicontohkan oleh tokoh Salaf Saleh.
Apakah golongan pengingkar lupa siapa Bilal al-Habsyi?
Apakah Bilal bukan sahabat mulia Rasulullah saw. yang tergolong Salaf Sholeh
yang harus diikuti? Apakah mungkin Bilal lupa atau tidak tahu bahwa menangis di
atas pusara, apalagi sambil meletakkan muka diatasnya tergolong syirik atau
bid’ah (versi Wahabisme)? Entah siapa yang harus diikuti, fatwa Muhammad bin
Abdul Wahhab (pendiri Wahabisme) seorang khalaf (lawan Salaf) yang melarang
perbuatan itu, ataukah kita harus mencontoh apa yang dilakukan Bilal dan Abu
Ayyub al-Anshari yang keduanya tergolong sahabat mulia Rasulullah?
2. Berkata al-Hafidz Abu Abdillah
Muhammad bin Musa an-Nukmani dalam karyanya yang berjudul ‘Mishbah adz-Dzolam’;
Sesungguhnya al-Hafidz Abu Said as-Sam’ani menyebutkan satu riwayat yang pernah
kami nukil darinya yang bermula dari Khalifah Ali bin Abi Thalib yang pernah
mengisahkan:
“Telah
datang kepada kami seorang badui setelah tiga hari kita mengebumikan
Rasulullah. Kemudian ia menjatuhkan dirinya ke pusara Rasulullah saw. dan
membalurkan tanah (kuburan) di atas kepalanya seraya berkata: ‘Wahai
Rasulullah, engkau telah menyeru dan kami telah mendengar seruanmu. Engkau
telah mengingat Allah dan kami telah mengingatmu. Dan telah turun ayat; ‘Sesungguhnya
Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun
kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka
mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang’ (QS an-Nisa: 64) dan
aku telah mendzalimi diriku sendiri. Dan aku mendatangimu agar engkau
memintakan ampun untukku. Kemudian terdengar seruan dari dalam kubur:
‘Sesungguhnya Dia (Allah) telah mengampunimu’”. (Kitab “Wafa’ al-Wafa’”
karya as-Samhudi 2/1361)
Dari riwayat di atas menjelaskan bahwa; bertawassul
kepada Rasulullah pasca wafat beliau adalah hal yang legal dan tidak tergolong
syirik atau bid’ah. Bagaimana tidak? Sewaktu prilaku dan ungkapan
tawassul/istigho- tsah itu disampaikan oleh si Badui di pusara Rasul –dengan
memeluk dan melumuri kepalanya dengan tanah pusara– yang ditujukan kepada Rasulullah
yang sudah dikebumikan, hal itu berlangsung di hadapan Amirul mukminin Ali bin
Abi Thalib. Dan khalifah Ali sama sekali tidak menegurnya, padahal beliau
adalah salah satu sahabat terkemuka Rasulullah yang memiliki keilmuan yang
sangat tinggi dimana Rasulullah pernah bersabda berkaitan dengan Ali bin Abi
Thalib kw. sebagai berikut: ‘Ali bersama kebenaran dan kebenaran bersama Ali’.
(Kitab “Tarikh Baghdad” karya Khatib al-Baghdadi 14/321, dan dengan kandungan
yang sama bisa dilihat dalam kitab “Shohih at-Turmudzi” 2/298).
Dalam Kitab “Mustadrak as-Shohihain” karya
al-Hakim an-Naisaburi 3/124 dijelaskan,
‘Ali
bersama al-Qur’an dan al-Qur’an bersama Ali, keduanya tidak akan pernah
terpisah hingga hari kebangkitan’.
Dalam Kitab “Mustadrak as-Shohihain” 3/126,
‘Aku
(Rasulullah saw.) adalah kota ilmu dan Ali adalah pintu gerbangnya. Barangsiapa
menghendaki (masuk) kota maka hendaknya melalui pintu gerbangnya’.
Dalam Kitab "Mustadrak as-Shohihain” 3/122,
‘Engkau
(Ali) adalah penjelas kepada umatku tentang apa-apa yang mereka selisihkan
setelah (kematian)-ku’.
Dan masih banyak lagi riwayat mengenai Khalifah Ali
kw.ini.
Jika tawassul/istighotsah terhadap orang yang telah
wafat adalah syirik, bid’ah, tidak legal/dibolehkan (ghair syar’i),
–sebagaimana yang diisukan oleh kelompok golongan pengingkar– tidak mungkin
Imam Ali bin Abi Thalib kw. yang menjadi saksi perbuatan si Badui muslim akan
berdiam diri yakni tidak melarangnya. Jika hal itu tidak legal/dibolehkan (ghair
syar’i) maka ada dua kemungkinan:
a. Imam Ali adalah sahabat yang
tidak tahu apa-apa (bodoh) tentang hukum Islam, terkhusus masalah larangan
bertawassul kepada orang yang telah wafat.
Dimana dari ungkapan pada poin ini juga meniscayakan
bahwa, Rasulullah saw. telah berbohong kepada kita (umatnya), bahwa ternyata
Imam Ali bukan pemilik keutamaan-keutamaan seperti hadits-hadits di atas.
Bagaimana mungkin orang yang tidak memiliki kemuliaan semacam itu lantas
direkomendasikan oleh Rasulullah saw. yang dijuluki al-Amin (dipercaya) itu?
b. Hadits-hadits pujian Rasulullah
terhadap pribadi khalifah Ali itu benar. Dan diamnya Imam Ali atas perbuatan si
Badui tadi membuktikan bahwa bertawassul/istighotsah terhadap orang yang
dhahirnya telah wafat itu adalah legal menurut syari’at Islam.
Karena telah dipahami bahwa khalifah Ali kw. sebagai
pintu gerbang ilmu Rasulullah saw., yang selalu bersama kebenaran, selalu
bersama al-Qur’an dan yang diberi mandat Rasulullah saw. untuk menjelaskan
hal-hal yang terjadi perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin, setelah
wafat Rasulullah saw..
Tentu, bagi seorang Ahlusunnah wal Jama’ah
sejati, pasti ia akan memilih kemungkinan yang kedua ini. Karena kemungkinan
yang pertama itu sangat berat resikonya di dunia mau pun di akhirat, terkhusus
bagi pengaku Ahlus sunnah wal Jama’ah. Kecuali jika kita melakukan kesalahan
sebagaimana apa yang sering dilakukan oleh kebanyakan ulama Wahabi, mudah memvonis
sebuah hadits yang tidak sesuai dengan doktrin akidahnya dengan vonis hadits
lemah (dho’if), tanpa melakukan pengecekan secara detail terlebih dahulu.
3. Syeikh Abu Manshur As-Shabbagh
dalam kitabnya Al-Hikayatul Masyhurah mengemukakan kisah peristiwa yang
diceriterakan oleh Al-‘Utbah sebagai berikut:
“Pada
suatu hari ketika aku (Al-‘Utbah) sedang duduk bersimpuh dekat makam Rasulullah
saw., tiba-tiba datanglah seorang Arab Badui. Didepan makam beliau itu ia
berkata:
‘As-Salamu’alaika
ya Rasulullah. Aku mengetahui bahwa Allah telah berfirman: Sesungguhnya jika
mereka ketika berbuat dhalim terhadap diri mereka sendiri segera datang
kepadamu (hai Muhammad), kemudian mohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun me
mohonkan ampun bagi mereka, tentulah mereka akan mendapati Allah Maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang (An-Nisa: 64).
Sekarang
aku datang kepadamu ya Rasulullah untuk mohon ampunan kepada Allah atas segala
dosaku, dengan syafa’atmu, ya Rasulullah..’. Setelah mengucapkan kata-kata itu
ia lalu pergi. Beberapa saat kemudian aku (Al-‘Utbah) terkantuk. Dalam keadaan
setengah tidur itu aku bermimpi melihat Rasulullah saw. berkata kepadaku : ‘Hai
‘Utbah, susullah segera orang Badui itu dan beritahukan kepadanya bahwa Allah
telah mengampuni dosa-dosanya’
”.
Peristiwa di atas ini dikemukakan juga oleh Imam Nawawi
dalam kitabnya Al-Idhah bab 4 hal. 498. Dikemukakan juga oleh Ibnu
Katsir dalam Tafsir-nya mengenai ayat An-Nisa : 64. Para ulama pakar lainnya
yang mengetengahkan peristiwa Al-‘Utbah ini ialah: Syeikh Abu Muhammad Ibnu
Qaddamah dalam kitabnya Al-Mughny jilid 3/556 ; Syeikh Abul Faraj Ibnu
Qaddamah dalam kitabnya Asy-Syarhul-Kabir jilid 3/495 ; Syeikh Manshur bin
Yunus Al-Bahuty dalam kitabnya Kisyaful-Qina (kitab ini sangat terkenal
dikalangan madzhab Hanbali) jilid 5/30 dan Imam Al-Qurthubi (Tafsir
Al-Qurthubi jilid 5/265) yang mengemukakan peristiwa semakna tapi
kalimatnya agak berbeda.
Hadits-hadits di atas, jelas lelaki itu tawassul kepada
Rasulullah saw agar beliau saw. berdo’a kepada Allah swt. untuk orang itu.
Kalau ini bukan di katakan sebagai dalil tawassul, mengapa orang tersebut tidak
langsung berdo’a kepada Allah swt. tanpa mohon kepada beliau saw. untuk
mendo’akannya ?
4. Ad-Darami meriwayatkan:
“Penghuni
Madinah mengalami paceklik yang sangat parah. Mereka mengadu kepada Aisyah ra
(ummul Mukminin). Aisyah mengatakan: ‘Lihatlah pusara Nabi ! Jadikanlah ia
(pusara) sebagai penghubung menuju langit sehingga tidak ada lagi penghalang
dengan langit’. Dia (perawi) mengatakan: Kemudian mereka (penduduk Madinah)
melakukannya, kemudian turunlah hujan yang banyak hingga tumbuhlah rerumputan
dan gemuklah onta-onta dipenuhi dengan lemak. Maka saat itu disebut dengan
tahun ‘al-fatq’ (sejahtera)”. (Lihat: Kitab “Sunan ad-Darami” 1/56)
5. Hadits serupa di atas yang
diriwayatkan secara berangkai dari Abu Nu’man dari Sa’id bin Zaid, dari ‘Amr
bin Malik Al-Bakri dan dari Abul Jauza bin ‘Abdullah yang mengatakan sebagai
berikut:
“Ketika
kota Madinah dilanda musim gersang hebat, banyak kaum muslimin mengeluh kepada
isteri Rasulullah saw. ‘Aisyah ra. Kepada mereka ‘Aisyah berkata: ‘Datang-lah
kemakam Nabi saw. dan bukalah atapnya agar antara makam beliau dan langit tidak
terhalang apapun juga’. Setelah mengerjakan saran ‘Aisyah ra.itu turunlah hujan
hingga rerumputan pun tumbuh dan unta-unta menjadi gemuk”. (ini menggambarkan
betapa banyaknya hujan yang turun hingga kota Madinah menjadi subur kembali).
(Kitab Sunan Ad-Daramy jilid 1/43)
6. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah dengan sanad yang shohih dari Abu Salih as-Saman dari Malik ad-Dar
–seorang bendahara Umar–. yang berkata:
“Masyarakat
mengalami paceklik pada zaman (kekhalifahan) Umar. Lantas seseorang datang
kemakam Nabi saw. seraya berkata: ‘Ya Rasulullah mohonkan (kepada Allah swt)
hujan untuk umatmu, karena mereka hendak binasa’. Kemudian didalam tidur
bermimpi datanglah seseorang dan berkata kepadanya: ‘Datangilah Umar’! Saif
juga meriwayatkan hal tersebut dalam kitab al-Futuh; Sesungguhnya lelaki yang
bermimpi tadi adalah Bilal bin al-Harits al-Muzni, salah seorang sahabat. (Lihat:
Kitab Fathul Bari 2/577)
7. Hadits lainnya yang semakna
dengan hadits terakhir diatas ini tentang tawassul pada Rasulullah saw. dimuka
makam beliau yaitu yang diketengahkan oleh Al-Hafidz Abu Bakar Al-Baihaqy.
Hadits itu diriwayatkan secara berangkai oleh para perawi: Abu Nashar, Ibnu
Qatadah dan Abubakar Al-Farisy dari Abu ‘Umar bin Mathar, dari Ibrahim bin ‘Ali
Adz-Dzihly, dari Yahya bin Yahya dari Abu Mu’awiyah, dari A’masy bin Abu Shalih
dan dari Malik bin Anas yang mengatakan sebagai berikut:
“Pada
zaman Khalifah Umar Ibnul Khattab ra. terjadi musim kemarau amat gersang.
Seorang datang kemakam Rasulullah saw. kemudian berkata: ‘Ya Rasulullah,
mohonkanlah hujan kepada Allah bagi umat anda. Mereka banyak yang telah
binasa’. Pada malam harinya orang itu mimpi didatangi Rasulullah saw. dan
berkata kepadanya: ‘Datanglah engkau kepada ‘Umar dan sampaikan salamku
kepadanya. Beritahukan dia bahwa mereka akan memperoleh hujan’. Katakan juga
kepadanya: ‘Engkau harus bijaksana …bijaksana’ ! Kemudian orang itu segera
menyampaikan berita mimpinya kepada Khalifah ‘Umar. Ketika itu ‘Umar berkata:
‘Ya Rabb (Ya Tuhanku), mereka mohon pertolongan-Mu karena aku memang tidak
dapat berbuat sesuatu’ “
Hadits itu isnadnya shohih. Demikian juga yang
dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah Wan-Nihayah jilid 1/91 mengenai
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 18 H. Ibnu Abi Syaibah juga
mengetengahkan hadits itu dengan isnad shohih dari riwayat Abu Shalih As-Saman
yang berasal dari Malik ad-Dariy, seorang bendaharawan (Khazin) pada
zaman Khalifah Umar. Menurut Saif dalam kitabnya Al-Futuh orang yang
mimpi didatangi Rasulullah saw. itu ialah sahabat Nabi saw. yang bernama Bilal
bin Al-Harits Al-Muzny. Dalam kitab Fathul Bari jilid 11/415 Ibnu Hajar
mengatakan bahwa hadits tersebut isnadnya shohih.
Para imam ahli hadits yang mengetengahkan hadits
tersebut dan para imam berikutnya yang mengutip hadits itu dalam berbagai kitab
yang mereka tulis, tidak ada seorangpun diantara mereka ini yang mengatakan
bahwa tawassul dengan makam Rasulullah saw. itu perbuatan kufur, sesat atau
syirik. Dan juga tidak ada diantara mereka itu yang mengatakan hadits tersebut
Palsu.
Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalany sendiri turut mengetengahkan dan
membenarkan hadits tersebut. Mengenai kedalaman ilmu, keutamaan perangai para
imam yang mengetengahkan hadits tersebut telah dikenal semua ulama tidak perlu
keterangan yang lebih jauh. Hadits ini jelas sebagai dalil tawassul kepada Rasulullah
setelah wafatnya, sahabat Nabi saw. ini bukan hanya berziarah saja kepada
beliau saw., tapi sambil mohon kepada Rasulullah saw. agar beliau saw. berdo’a
kepada Ilahi untuk menurunkan hujan.
Riwayat-riwayat di atas juga menguatkan bahwa berapa di
kalangan sahabat Nabi kala itu sudah menjadi hal yang biasa jika seseorang
memiliki hajat untuk bertawassul, walaupun kepada Rasulullah yang secara dhahir
telah meninggal dunia.
Lantas apakah golongan madzhab Wahabi masih bersikeras
menyatakan bahwa Salaf Sholeh tidak pernah mencontohkan perbuatan tersebut
sesuai dengan pemahaman mereka terhadap ajaran syari’at Nabi?
Sekali lagi pertanyaan yang muncul, apakah golongan ini
berani menyatakan para sahabat besar itu sebagai pelaku syirik atau bid’ah
karena telah bertawassul kepada yang telah wafat?
Pertanyaan semacam ini belum pernah ada jawaban yang
memuaskan dari kalangan golongan pengingkar, karena mereka akan berbenturan
dengan pemuka Salaf Sholeh seperti sahabat-sahabat besar yang telah kami
sebutkan di atas, termasuk Ummul mukminin Aisyah, istri Nabi sendiri.
8. Tawassul dengan hanya menyebut
nama Rasulullah saw.. Al-Haitsam bin Khanas meriwayatkan kesaksiannya sendiri
sebagai berikut:
“Ketika
aku datang kepada ‘Abdullah bin Umar ra. kulihat ada seorang yang menderita
kejang kaki (kaku hingga tidak dapat berjalan). ‘Abdullah bin Umar berkata
kepadanya: ‘Sebutlah orang yang paling kau cintai‘! Orang yang kejang itu
berseru: ‘Ya Muhammad’ ! Saat itu juga aku melihat ia langsung dapat berjalan
seperti orang yang terlepas dari belenggu “.
9. Imam Mujahid meriwayatkan hadits
dari Abdullah bin ‘Abbas sebagai berikut:
“Seorang
yang menderita penyakit kejang kaki datang kepada ‘Abdullah bin ‘Abbas ra.
Kepadanya ‘Abdullah bin ‘Abbas berkata: ‘Sebutlah orang yang paling kau cintai
!’ Orang itu lalu menyebut; ‘Muhammad saw’.! Seketika itu juga lenyaplah
penyakitnya“. Ibnu Taimiyyah juga mengetengahkan riwayat ini dalam kitabnya
Al-Kalimut-Thayyib bab 47 halaman 165.
Guna mengakhiri kajian kali ini, kita akan memberikan
satu contoh lagi dari riwayat (atsar) para sahabat berkaitan dengan
legalitas syariat Islam terhadap permasalahan istighotsah/tawassul, terkhusus
kepada pribadi yang dianggap telah mati.
10. Dalam sebuah riwayat panjang
tentang kisah Utsman bin Hunaif (salah seorang sahabat mulia Rasulullah saw.)
yang disebutkan oleh at-Tabrani dari Abi Umamah bin Sahal bin Hunaif yang
bersumber dari pamannya, Utsman bin Hunaif. Disebutkan bahwa,
“Suatu
saat seorang lelaki telah beberapa kali mendatangi khalifah Utsman bin Affan
agar memenuhi hajatnya. Saat itu, Utsman tidak menanggapi kedatangannya dan
tidak pula mem- perhatikan hajatnya. Kemudian lelaki itu pergi dan ditengah
jalan bertemu Utsman bin Hunaif dan mengeluhkan hal yang dihadapinya kepadanya.
Mendengar hal itu, lantas Utsman bin Hunaif mengatakan kepadanya: ‘Ambillah
bejana dan berwudhulah. Kemudian pergilah ke masjid (Nabi) dan shalatlah dua
rakaat’. Seusainya maka katakanlah: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon
kepada-Mu dan mendatangi-Mu demi Nabi-Mu Muhammad yang sebagai Nabi pembawa
Rahmat. Wahai Muhammad, aku menghadapkan wajahku kepadamu untuk memohon kepada
Tuhanku. Maka kabulkanlah hajatku’ Kemudian sebutkanlah hajatmu. Beranjaklah
maka aku akan mengiringimu’.
Kemudian
lelaki itu melakukan apa yang telah diberitahukan kepadanya. Selang beberapa
saat, lalu ia kembali mendatangi pintu rumah Utsman (bin ‘Affan). Utsman pun
mempersilahkannya masuk dan duduk di satu kursi dengannya, seraya berkata:
Apakah gerangan hajatmu? Kemudian ia menyebutkan hajatnya, dan Utsman pun
segera memenuhinya. Ia (Utsman) berkata kepadanya: ‘Aku tidak ingat terhadap
hajatmu melainkan baru beberapa saat yang lalu saja’.
Ia (Utsman bin Affan) pun
kembali mengatakan: ‘Jika engkau memiliki hajat maka sebutkanlah (kepadaku)’!
Setelah itu, lelaki itu keluar meninggalkan rumah Utsman bin Affan dan kembali
bertemu Utsman bin Hunaif seraya berkata: ‘Semoga Allah membalas kebaikanmu’ !
Dia (Utsman bin Affan) awalnya tidak melihat dan memperhatikan hajatku sehingga
engkau telah berbicaranya kepadanya tentangku.
Utsman
bin Hunaif berkata: ‘Demi Allah, aku tidak pernah berbicara tentang kamu
kepadanya. Tetapi aku telah melihat Rasulullah saw. didatangi dan dikeluhi oleh
seorang yang terkena musibah penyakit kehilangan kekuatan penglihatannya,
kemudian Nabi bersabda kepadanya: ‘Bersabarlah’! Lelaki itu menjawab: ‘Wahai
Rasulullah, aku tidak memiliki penggandeng dan itu sangat menyulitkanku’. Nabi
bersabda: ‘Ambillah bejana dan berwudhulah, kemudian shalatlah dua rakaat,
kemudian bacalah do’a-do’a berikut….’
(info: ini mengisyaratkan pada hadits tentang sahabat yang mendatangi Rasulullah
karena kehilangan penglihatannya yang diriwayatkan dalam kitab “Musnad Ahmad”
4/138, “Sunan at-Turmudzi” 5/569 hadits ke-3578, “Sunan Ibnu Majah”
1/441 dan “Mustadrak as-Shohihain” 1/313) berkata Ibnu Hunaif: “Demi
Allah, kami tidak akan meninggalkan [cara tawassul itu]. Percakapan itu begitu
panjang sehingga datanglah seorang lelaki yang seakan dia tidak mengidap satu
penyakit”. (Lihat: Kitab “Mu’jam at-Tabrani” 9/30 nomer 8311, “al-Mu’jam
as-Shoghir” 1/183, dikatakan hadits ini sahih)
Al-Mundziri (At-Targhib jilid 1/44 dan Majma’uz
Zawaid jilid 11/279) mengatakan hadits diatas ini shahih begitupun juga
Ibnu Taimiyyah yang mengatakan bahwa hadits yang diriwayatkan At-Thabarani di atas
ini berasal dari Abu Ja’far yang nama aslinya Umar bin Yazid, seorang perawi
hadits yang dapat dipercaya. Abu Abdullah al-Maqdisi mengatakan bahwa hadits
itu shahih. Juga Al-Hafidz Nuruddin Al-Haitsami membenarkan hadits itu.
Lihat hadits di atas ini contoh yang cukup jelas
seorang yang diajari oleh Ustman bin Hunaif agar urusannya dimudahkan oleh
Allah swt. dengan berdo’a dan tawassul kepada Rasulullah saw. sambil menyertakan
dalam do’anya itu nama Rasulullah saw. dan memanggil beliau saw. Pada waktu itu
tidak ada satupun sahabat yang memprotes. Bila hal tersebut dilarang/di
haramkan dalam agama Islam atau berbau syirik maka tidak mungkin akan di
amalkan oleh sahabat Nabi Utsman bin Hunaif ini.
Utsman bin Hunaif ra. pernah menyaksikan sendiri
peristiwa seorang buta yang mengeluh pada Rasulullah saw., kemudian Rasulullah
saw. menyuruh seorang tuna netra untuk wudu’ dan sholat dua raka’at. Setelah
sholat seorang buta itu berdo’a pada Allah swt. sambil menyertakan nama Nabi
saw. dalam do’anya itu.
Bila hal ini berbau syirik tidak mungkin Rasulullah
saw. memerintahkan atau mengajari orang ini untuk berdo’a sambil tawassul
dengan nama beliau. Beliau saw. adalah contoh dari umatnya semua perbuatan yang
beliau lakukan bakal ada umatnya yang meniru dan beliau saw. tidak akan dan
tidak pernah menyuruh umatnya untuk melakukan sesuatu yang keluar dari akidah
syariat Islam dan berbau kesyirikan !!
Sedangkan hadits yang terakhir di atas Utsman bin
Hunaif -atas prakarsanya sendiri- mengamalkan cara berdo’a yang diajarkan Rasulullah
saw. pada orang buta tersebut. Peristiwa terakhir ini terjadi setelah wafat Rasulullah
saw. pada zamannya khalifah ketiga.
Utsman bin Hunaif ra memahami ajaran Rasulullah saw.yang
mengajarkan diperbolehkannya tawassul kepada beliau saw. pada masa hidupnya
namun ia juga terapkan pada setelah kematian beliau saw.. Apakah pemahaman
sahabat Utsman bin Hunaif itu tidak bisa dibenarkan?
Sebodoh itukah sahabat
Utsman bin Hunaif yang menerapkan hadits Rasulullah tentang tawassul kepada
yang masih hidup dengan legalitas tawassul kepada yang wafat?
Jika ada pengikut
sekte Wahabi yang berani menyatakan bahwa sahabat Utsman bin Hunaif adalah
bodoh maka jangan segan-segan juga untuk menyatakan bahwa khalifah Ali bin Abi
Thalib dan Ummul-mukminin ‘Aisyah pun bodoh, sebagaimana banyak sahabat
lainnya. Kenapa tidak?
Bukankah mereka semua membenarkan ajaran tawassul/
istighotsah kepada Rasulullah saw. yang telah wafat ? Atau selama ini pemahaman
madzhab Salafi (baca: Wahabi) yang salah ?, bahwa Nabi tidak ‘wafat’, dhahirnya
saja ‘wafat’, tetapi ruh beliau saw. selalu hidup dan mendengar setiap
permintaan yang diajukan umatnya kepada beliau, sebagai sarana (wasilah) menuju
kepada Allah swt.
Hadits-hadits diatas dan masih banyak hadits-hadtis
tawassul yang tidak di kemukakan disini itu semuanya jelas mengarah kebolehan
atau legalitas dari tawassul. Karena kefanatikan dan keangkuhan kepada
madzhabnya, golongan pengingkar selalu berusaha menolak dan memutar balik makna
hadits-hadits yang berlawanan dengan faham akidahnya. Padahal, riwayat sahabat
Utsman bin Hunaif –yang menjadi kepercayaan sahabat Ali dan Umar (Lihat: Kitab
“Siar A’lam an-Nubala’” 2/320) sebegitu jelasnya, sebagaimana keberadaan
matahari di siang hari yang cerah. Namun, bagaimana pun, kebenaran harus
disampaikan, karena tugas kita hanyalah menyampaikan.
Sebagaimana yang telah kami kemukakan bahwa ulama-ulama
pakar telah menulis mengenai bertawassulnya Nabi Adam as. kepada Rasulullah
saw. umpama; di dalam kitab Mustadrak al-Hakim, jilid 2, halaman 15;
kitab ad-Durr al-Mantsur, jilid 1, halaman 59; dengan menukil dari
Thabrani, Abu Na’im al-Ishfahani. Demikian juga hadits tentang bertawassulnya Rasulullah
saw. dengan hak-hak para nabi sebelumnya. Sebagaimana juga Thabrani
meriwayatkannya didalam kitabnya al-Kabir dan al-Awsath. Begitu juga Ibnu
Hibban dan al-Hakim, mereka berdua menshohihkannya. Selanjutnya, hadits
bertawassul kepada orang-orang yang berdo’a, terdapat juga didalam shohih
Ibnu Majjah, jilid 1, halaman 261, bab al-Masajid; dan begitu juga
di dalam musnad Ahmad, jilid 3, halaman 21. Demikian juga dengan
riwayat-riwayat yang lain.
Disamping itu, sesuatu yang menunjukkan diperbolehkannya
tawassul/ istighotsah ialah, ijma’ kaum muslimin, dan begitu juga sejarah hidup
orang-orang yang sezaman dengan Rasulullah saw. Kaum muslimin, sejak dahulu
hingga sekarang, mereka bertawassul kepada para nabi dan orang-orang sholeh.
Tidak ada seorang ulama pun yang memprotes dan mengharamkan, mensyirikkan
perbuatan ini, kecuali golongan Wahabi/Salafi dan pengikutnya Begitu pun juga
halnya dengan permintaan tolong kepada hamba Allah, tidak langsung kepada Allah
swt., itu adalah mustahab. Sebagaimana yang telah kami kemukakan bahwa Allah swt.
berfirman:
“Jika kamu berdua bertobat kepada Allah,
maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan
jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah
pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan
selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula”. (Q.S. 66:4)
Apakah kita benar-benar menyekutukan sesuatu kepada
Allah ketika kita percaya bahwa Jibril as, orang beriman dan para malaikat yang
juga bisa sebagai Maula (pelindung) kita dan Naseer (Penolong)
bersama-sama dengan Allah?
Jika kita tetap memakai pengertian Syirik sebagaimana
pendapat golongan pengingkar maka kita secara otomatis telah membuat Allah
sendiri Musyrik (Na‘udzubillah) dan begitu pula dengan
orang-orang yang percaya terhadap seluruh ayat Al-Qur’an. Dan masih banyak
firman Allah swt. yang mengatakan selain Dia ada hamba-hamba-Nya yang bisa
menolong.
Sedangkan dalam hadits-hadits Rasulullah saw. diantaranya
disebutkan:
وَاللهُ فِى عَوْنِ العَبْدِ مَاكَانَ العَبْدُ فِى عَوْنِ أخِيْهِ
“Allah
menolong hamba-Nya selagi hamba itu mau menolong saudaranya”. (HR Muslim,
Abu Daud dan lainnya
إنَّ لِلَّهِ خلْـقًا خَلَقَهُمْ لِحَوَائِجِ النَّاسِ يَفْزَعُ النَّاسُ
إلَيْهِمْ فِي حَوَائِجِهِمْ واُولاَئِـكَ الآمِنُوْنَ مِنْ عَذَابِ اللهِ
“Allah
mempunyai makhluk yang diciptakan untuk keperluan orang banyak. Kepada mereka
itu banyak orang yang minta pertolongan untuk memenuhi kebutuhannya. Mereka
adalah orang-orang yang selamat dari siksa Allah”.
11. Sebuah riwayat dari ‘Abdullah
bin Abbas ra. mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Banyak
Malaikat Allah dimuka bumi selain yang bertugas mengawasi amal perbuatan
manusia. Mereka mencatat setiap lembar daun yang jatuh dari batangnya. Karena
itu jika seorang diantara kalian tersesat ditengah sahara (atau tempat
lainnya), hendaklah ia berseru: ‘Hai para hamba Allah tolonglah aku’ “.
(HR.At-Thabrani dengan para perawi yang terpercaya).
12. ‘Abdullah bin Mas’ud ra
meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
“Jika
seorang diantara kalian ternak piaraannya terlepas ditengah sahara, hendaklah
ia berseru: ’Hai para hamba Allah, tahanlah ternakku…hai para hamba Allah
tahanlah ternakku’. Karena sesungguhnya Allah mempunyai makhluk (selain manusia)
dimuka bumi yang siap memberi pertolongan”. (HR. Abu Ya’la dan At-Thabarani
dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya, kecuali satu orang yang dipandang
lemah yaitu Ma’ruf bin Hasan). Imam Nuruddin ‘Ali bin Abubakar Al-Haitsami juga
mengetengahkan riwayat ini dalam Majma’uz-Zawaid Wa Manba’ul-Fuwa’id
jilid X/132.
13. ‘Utbah bin Ghazwan mengatakan
bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda:
“Jika
seorang dari kalian kehilangan sesuatu atau ia mem- butuhkan bantuan, saat ia
berada didaerah dimana ia tidak mempunyai kenalan, maka ucapkanlah; ’Hai para
hamba Allah, tolonglah aku’, karena sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba
(makhluk-makhluk ciptaan-Nya selain manusia) yang tidak kita lihat”. Dan
‘Utbah sendiri telah mencoba melaksanakan anjuran Rasulullah saw. ini !
Riwayat di atas ini diketengahkan oleh At-Thabarani
dengan para perawi yang dapat dipercaya, kecuali Yazid bin ‘Ali yang oleh
At-Thabarani di pandang lemah, karena Yazid ini tidak hidup sezaman dengan
‘Utbah. Dan masih banyak lagi riwayat-riwayat lain yang tidak kami cantumkan
disini.
Hadits-hadits di atas ini juga menunjukkan permintaan
tolong kepada hamba Allah yang tidak kelihatan (ghoib), tidak langsung minta
tolong kepada Allah! Apakah orang yang minta pertolongan pada hamba Allah tidak
langsung kepada Allah swt. disebut ‘musyrik atau durhaka’?
Jadi, sekali lagi permintaan tolong/istighotsah itu
bukan berarti berbuat ke kufuran apa pun kecuali jika disertai keyakinan sebab
utama pertolongan bukan dari Allah swt. melainkan dari orang yang dimintai
tolong itu sendiri. Kita harus mempunyai keyakinan bahwa orang yang mohon
pertolongan itu adalah upaya/iktisab sedangkan yang dimintai pertolongan itu
hanya sekedar washithah.
Begitupun juga soal minta syafa’at kepada Nabi atau
kepada para waliyullah atau kepada orang shaleh yang telah wafat. Namun kita
tidak boleh mempunyai keyakinan bahwa Nabi, para waliyullah dan orang-orang
shalih yang telah wafat tersebut dapat memberi syafa’at tanpa seizin Allah swt.
Kaum muslimin juga percaya bahwa yang mohon syafa’at itu adalah ‘upaya/iktisab’
sedangkan yang diminta syafa’at adalah ‘washithah’, tidak lebih dari itu
!!
Allah swt. menetapkan bahwa Ka’bah sebagai arah kiblat
kita dalam menunaikan sholat. Ini bukan berarti kita disuruh atau menyembah
Ka’bah tersebut tapi tidak lain kita hanya menghormati/ta’dzim pada
Ka’bah itu, karena sebagai pusaka suci peninggalan Bapak para Nabi yaitu Nabi
Ibrahim a.s. dan sebagai bangunan pertama yang didirikan manusia dibumi sebagai
tempat beribadah kepada Allah swt. Bila ada seorang muslim yang ber- keyakinan
bahwa dia beribadah demi Ka’bah -karena ruku’ dan sujud menghadap kearahnya-
atau mencium dan mengusap Hajar Aswad sebagai ibadah/penyembahan, maka
hancurlah keimanan dan keislamannya. Begitu juga sama halnya dengan tawassul,
kita berdo’a kepada Allah swt. bukan menyekutukan-Nya atau menyembah kepada
hamba Allah yang kita tawassuli tersebut !
Segala sesuatu dalam kehidupan ini mempunyai wasithah.
Rasulullah saw. menerima wahyu juga melalui wasithah yaitu malaikat Jibril as.
Banyak hadits yang meriwayatkan bahwa para sahabat sering mengadukan duka
deritanya pada beliau saw. dan mohon dido’akan oleh beliau agar memperoleh
kebaikan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Dengan demikian beliau sendiri
juga merupakan wasithah bagi para sahabatnya. Beliau saw. tidak pernah bersabda
pada sahabatnya jangan mengadukan nasibmu padaku, atau kalian berbuat kufur
atau syirik karena minta padaku tidak langsung pada Allah swt., dan sebagainya.
Para sahabat mengetahui pula bahwa apa yang diberikan Rasulullah saw. pada
hakekatnya adalah seizin Allah dan atas limpahan karunia-Nya kepada beliau saw.
Sebagaimana sabda beliau saw.: (Innamaa Anaa Qoosimun
Wallahu Mu’thi) artinya: “Aku hanyalah membagikan, Allah-lah yang memberi”.
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar dari
saudara-saudara kita yang berkata; Si A Penolong si B atau kebutuhan si A
dicukupi oleh si B dan sebagainya. Padahal kita tahu bahwa yang menolong dan
mencukupi kebutuhan semua makhluk adalah Allah swt. Minta pertolongan pada
orang lain ini tidak dipandang sebagai perbuatan syirik karena didalamnya tidak
terdapat unsur mempertuhankan orang yang dimintai pertolongan tersebut.
Tawassul itu merupakan salah satu cara berdo’a dan juga
merupakan satu cara menghadapkan diri kepada Allah swt., sedangkan yang menjadi
tujuan pokok hakiki/sebenarnya adalah Allah swt. Pihak yang kita tawassuli
sudah tentu orang yang dicintai oleh orang yang bertawassul padanya, dengan
mempunyai keyakinan pula bahwa Allah swt. cinta pada pihak yang dijadikan
wasilah. Jika tidak demikian, tidak mungkin orang akan bertawassul padanya.
Bertawassul/berwasilah ini bukan suatu kelaziman atau keharusan hanya sarana
yang bermanfaat, dikabulkan atau tidaknya wasilah ini sepenuhnya ditangan Allah
swt. Karena semua do’a itu adalah mutlak tertuju kepada Allah swt.
Sebagaimana yang telah kami kemukakan bahwa segenap
kaum muslimin telah bersepakat cara berwasilah dengan amal kebaikan, umpama
orang yang berpuasa, shalat, membaca Al-Qur’an, bersedekah dan lain sebagai nya
tidak lain ia bertawassul dengan amal kebaikan tersebut, bahkan ke mungkinan
terkabul permohonan/do’anya kepada Allah swt. lebih dapat di harapkan. Tawassul
dengan cara ini -dengan amal kebaikan- telah di sepakati kebenarannya oleh para
ulama, termasuk Ibnu Taimiyah dalam risalahnya ‘Qa’idah Jalilah Fit Tawassul
Wal Wasilah’, karena ada hadits Rasulullah saw. dari Abdullah bin Umar yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim yang menceriterakan tentang tiga
orang yang tersekap di dalam goa hingga tidak bisa keluar.
Masing-masing berdo’a pada Allah swt. dengan tawassul
pada amal kebaikannya (yang telah pernah mereka amalkan) sendiri-sendiri. Orang
pertama bertawassul dengan amal baktinya pada orang tua. Orang kedua
bertawassul dengan amal shalihnya dan menjauhkan diri dari maksiat, sedangkan
orang yang ketiga bertawassul dengan amal menjaga amanat dan menunaikannya
dengan baik. Terbukti dengan tawassul secara begitu do’a mereka dikabulkan oleh
Allah swt. akhirnya mereka bisa keluar dari goa tersebut.
Sedangkan letak perberdaan pendapat para ulama yaitu
bila bertawassul tidak dengan amal kebaikannya tapi tawassul dengan pribadi
orang lain seperti riwayat-riwayat yang telah disebutkan sebelumnya. Sebenarnya
pendapat-pendapat dalam hal ini hanya mengenai bentuknya saja, bukan mengenai
inti/pokok persoalannya.
Sebab, pada hakekatnya bertawassul dengan pribadi
seseorang sama artinya dengan tawassul dengan amal kebaikan pribadi yang
ditawassuli itu. Karena pribadi orang yang ditawassuli tersebut adalah
pribadinya yang diyakini amal kebaikannya.
Memisahkan antara keduanya sama halnya memisahkan dua
hal yang memiliki relasi erat, bahkan sampai pada derajat hubungan
sebab-akibat. Karena, pengkabulan do’a manusia sholeh oleh Allah swt.
disebabkan karena kepribadiannya yang luhur, dan kepribadian luhur itulah yang
menyebabkan kedudukan mereka diangkat oleh Allah swt..
Riwayat Bilal bin Harrits mendatangi kubur nabi ﷺ itu dusta. Kedustaannya terlihat jelas dari beberapa sisi, yang paling jelas adalah dustanya perkataan : "Bilal mendatangi kubur nabi sambil menangis di sisinya". Perkataan ini seolah-olah menggambarkan kepada kita bahwa kubur nabi ﷺ seperti kuburan orang lain yang dapat didatangi oleh siapa saja. Ini sebuah kedustaan yang nyata bagi orang yang mengetahui sejarah bahwa nabi ﷺ dimakamkan di dalam kamar 'Aisyah radhiallahu ’anha, yang tentu saja tidak ada yg diperbolehkan masuk kecuali atas izinnya.
ReplyDeleteDan Umar sendiri bertawasul kpd Abbas bin Abdul Muthalib, paman beliau ﷺ ketika meminta hujan sebagaimana do'a beliau sebagai berikut :
اَللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَسْتَسْقِي إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا, وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا
"Ya Allah, kami dulu meminta hujan kepada-Mu melalui pangkat nabi kami yang tinggi, lalu Engkau turunkan hujan untuk kami. Sekarang kami meminta hujan kepada-Mu melalui pangkat paman nabi kami yang tinggi, maka turunkanlah hujan untuk kami".