TAWASSUL KEPADA RASULULLAH SAW. DIKALA WAFATNYA



1. Abu Darda’ dalam sebuah riwayat menyebutkan:

Suatu saat, Bilal (al-Habsyi) bermimpi bertemu dengan Rasulullah. Beliau bersabda kepada Bilal: ‘Wahai Bilal, ada apa gerangan dengan ketidak perhatianmu (jafa’)? Apakah belum datang saatnya engkau menziarahiku?’ Selepas itu, dengan perasaan sedih, Bilal segera terbangun dari tidurnya dan bergegas mengendarai tunggangannya menuju ke Madinah. Lalu Bilal mendatangi kubur Nabi sambil menangis lantas meletakkan wajahnya di atas pusara Rasul. Selang beberapa lama, Hasan dan Husein (cucu Rasulullah) datang. Kemudian Bilal mendekap dan mencium keduanya”. (Tarikh Damsyiq jilid 7 Halaman: 137, Usud al-Ghabah karya Ibnu Hajar jilid: 1 Halaman: 208, Tahdzibul Kamal jilid: 4 Halaman: 289, dan Siar A’lam an-Nubala’ karya Adz-Dzahabi Jilid: 1 Halaman 358)

Bilal menganggap ungkapan Rasulullah saw. dalam mimpinya sebagai teguran dari beliau saw., padahal secara dhohir beliau saw. telah wafat. Jika tidak demikian, mengapa sahabat Bilal datang jauh-jauh dari Syam menuju Madinah untuk menziarahi Rasulullah saw.? Kalau Rasulullah benar-benar telah wafat -sebagaimana anggapan madzhab Wahabi bahwa yang telah wafat itu sudah tiada- maka Bilal tidak perlu menghiraukan teguran Rasulullah itu.

Apa yang dilakukan sahabat Bilal juga bisa dijadikan dalil atas ketidakbenaran paham Wahabisme –pemahaman Ibnu Taimiyah dan Muhamad bin Abdul Wahhab– tentang pelarangan bepergian untuk ziarah kubur sebagaimana yang mereka pahami tentang hadits Syaddur Rihal.

Apakah Bilal khusus datang jauh-jauh dari Syam hanya sekedar berziarah dan memeluk pusara Rasulullah saw. tanpa mengatakan apapun (tawassul) kepada penghuni kubur tersebut? Sekarang mari kita lihat riwayat lain yang berkenaan dengan diperbolehkannya tawassul secara langsung kepada yang telah meninggal:

Masyarakat telah tertimpa bencana kekeringan di zaman kekhalifahan Umar bin Khattab. Bilal bin Harits –salah seorang sahabat Nabi– datang ke pusara Rasul dan mengatakan: ‘Wahai Rasulullah, mintakanlah hujan untuk umatmu karena mereka telah (banyak) yang binasa’. Rasul saw. menemuinya di dalam mimpi dan memberitahukannya bahwa mereka akan diberi hujan (oleh Allah)”. (Fathul Bari jilid 2 halaman 398, atau as-Sunan al-Kubra jilid 3 halaman 351)

Hadits-hadits di atas mencakup sebagai dalil tentang kebolehan tabarruk dan tawassul kepada orang yang dhahirnya telah wafat, hal itu telah dicontohkan oleh tokoh Salaf Saleh.

Apakah golongan pengingkar lupa siapa Bilal al-Habsyi? Apakah Bilal bukan sahabat mulia Rasulullah saw. yang tergolong Salaf Sholeh yang harus diikuti? Apakah mungkin Bilal lupa atau tidak tahu bahwa menangis di atas pusara, apalagi sambil meletakkan muka diatasnya tergolong syirik atau bid’ah (versi Wahabisme)? Entah siapa yang harus diikuti, fatwa Muhammad bin Abdul Wahhab (pendiri Wahabisme) seorang khalaf (lawan Salaf) yang melarang perbuatan itu, ataukah kita harus mencontoh apa yang dilakukan Bilal dan Abu Ayyub al-Anshari yang keduanya tergolong sahabat mulia Rasulullah?

2. Berkata al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Musa an-Nukmani dalam karyanya yang berjudul ‘Mishbah adz-Dzolam’; Sesungguhnya al-Hafidz Abu Said as-Sam’ani menyebutkan satu riwayat yang pernah kami nukil darinya yang bermula dari Khalifah Ali bin Abi Thalib yang pernah mengisahkan:

Telah datang kepada kami seorang badui setelah tiga hari kita mengebumikan Rasulullah. Kemudian ia menjatuhkan dirinya ke pusara Rasulullah saw. dan membalurkan tanah (kuburan) di atas kepalanya seraya berkata: ‘Wahai Rasulullah, engkau telah menyeru dan kami telah mendengar seruanmu. Engkau telah mengingat Allah dan kami telah mengingatmu. Dan telah turun ayat; ‘Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang’ (QS an-Nisa: 64) dan aku telah mendzalimi diriku sendiri. Dan aku mendatangimu agar engkau memintakan ampun untukku. Kemudian terdengar seruan dari dalam kubur: ‘Sesungguhnya Dia (Allah) telah mengampunimu’”. (Kitab “Wafa’ al-Wafa’” karya as-Samhudi 2/1361)

Dari riwayat di atas menjelaskan bahwa; bertawassul kepada Rasulullah pasca wafat beliau adalah hal yang legal dan tidak tergolong syirik atau bid’ah. Bagaimana tidak? Sewaktu prilaku dan ungkapan tawassul/istigho- tsah itu disampaikan oleh si Badui di pusara Rasul –dengan memeluk dan melumuri kepalanya dengan tanah pusara– yang ditujukan kepada Rasulullah yang sudah dikebumikan, hal itu berlangsung di hadapan Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib. Dan khalifah Ali sama sekali tidak menegurnya, padahal beliau adalah salah satu sahabat terkemuka Rasulullah yang memiliki keilmuan yang sangat tinggi dimana Rasulullah pernah bersabda berkaitan dengan Ali bin Abi Thalib kw. sebagai berikut: ‘Ali bersama kebenaran dan kebenaran bersama Ali’. (Kitab “Tarikh Baghdad” karya Khatib al-Baghdadi 14/321, dan dengan kandungan yang sama bisa dilihat dalam kitab “Shohih at-Turmudzi” 2/298).

Dalam Kitab “Mustadrak as-Shohihain” karya al-Hakim an-Naisaburi 3/124 dijelaskan,

Ali bersama al-Qur’an dan al-Qur’an bersama Ali, keduanya tidak akan pernah terpisah hingga hari kebangkitan’.

Dalam Kitab “Mustadrak as-Shohihain” 3/126,

Aku (Rasulullah saw.) adalah kota ilmu dan Ali adalah pintu gerbangnya. Barangsiapa menghendaki (masuk) kota maka hendaknya melalui pintu gerbangnya’.

Dalam Kitab "Mustadrak as-Shohihain” 3/122,

Engkau (Ali) adalah penjelas kepada umatku tentang apa-apa yang mereka selisihkan setelah (kematian)-ku’.

Dan masih banyak lagi riwayat mengenai Khalifah Ali kw.ini.

Jika tawassul/istighotsah terhadap orang yang telah wafat adalah syirik, bid’ah, tidak legal/dibolehkan (ghair syar’i), –sebagaimana yang diisukan oleh kelompok golongan pengingkar– tidak mungkin Imam Ali bin Abi Thalib kw. yang menjadi saksi perbuatan si Badui muslim akan berdiam diri yakni tidak melarangnya. Jika hal itu tidak legal/dibolehkan (ghair syar’i) maka ada dua kemungkinan:

a. Imam Ali adalah sahabat yang tidak tahu apa-apa (bodoh) tentang hukum Islam, terkhusus masalah larangan bertawassul kepada orang yang telah wafat.

Dimana dari ungkapan pada poin ini juga meniscayakan bahwa, Rasulullah saw. telah berbohong kepada kita (umatnya), bahwa ternyata Imam Ali bukan pemilik keutamaan-keutamaan seperti hadits-hadits di atas. Bagaimana mungkin orang yang tidak memiliki kemuliaan semacam itu lantas direkomendasikan oleh Rasulullah saw. yang dijuluki al-Amin (dipercaya) itu?

b. Hadits-hadits pujian Rasulullah terhadap pribadi khalifah Ali itu benar. Dan diamnya Imam Ali atas perbuatan si Badui tadi membuktikan bahwa bertawassul/istighotsah terhadap orang yang dhahirnya telah wafat itu adalah legal menurut syari’at Islam.

Karena telah dipahami bahwa khalifah Ali kw. sebagai pintu gerbang ilmu Rasulullah saw., yang selalu bersama kebenaran, selalu bersama al-Qur’an dan yang diberi mandat Rasulullah saw. untuk menjelaskan hal-hal yang terjadi perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin, setelah wafat Rasulullah saw..

Tentu, bagi seorang Ahlusunnah wal Jama’ah sejati, pasti ia akan memilih kemungkinan yang kedua ini. Karena kemungkinan yang pertama itu sangat berat resikonya di dunia mau pun di akhirat, terkhusus bagi pengaku Ahlus sunnah wal Jama’ah. Kecuali jika kita melakukan kesalahan sebagaimana apa yang sering dilakukan oleh kebanyakan ulama Wahabi, mudah memvonis sebuah hadits yang tidak sesuai dengan doktrin akidahnya dengan vonis hadits lemah (dho’if), tanpa melakukan pengecekan secara detail terlebih dahulu.

3. Syeikh Abu Manshur As-Shabbagh dalam kitabnya Al-Hikayatul Masyhurah mengemukakan kisah peristiwa yang diceriterakan oleh Al-‘Utbah sebagai berikut:

Pada suatu hari ketika aku (Al-‘Utbah) sedang duduk bersimpuh dekat makam Rasulullah saw., tiba-tiba datanglah seorang Arab Badui. Didepan makam beliau itu ia berkata:

‘As-Salamu’alaika ya Rasulullah. Aku mengetahui bahwa Allah telah berfirman: Sesungguhnya jika mereka ketika berbuat dhalim terhadap diri mereka sendiri segera datang kepadamu (hai Muhammad), kemudian mohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun me mohonkan ampun bagi mereka, tentulah mereka akan mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang (An-Nisa: 64).

Sekarang aku datang kepadamu ya Rasulullah untuk mohon ampunan kepada Allah atas segala dosaku, dengan syafa’atmu, ya Rasulullah..’. Setelah mengucapkan kata-kata itu ia lalu pergi. Beberapa saat kemudian aku (Al-‘Utbah) terkantuk. Dalam keadaan setengah tidur itu aku bermimpi melihat Rasulullah saw. berkata kepadaku : ‘Hai ‘Utbah, susullah segera orang Badui itu dan beritahukan kepadanya bahwa Allah telah mengampuni dosa-dosanya’ ”.

Peristiwa di atas ini dikemukakan juga oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Idhah bab 4 hal. 498. Dikemukakan juga oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya mengenai ayat An-Nisa : 64. Para ulama pakar lainnya yang mengetengahkan peristiwa Al-‘Utbah ini ialah: Syeikh Abu Muhammad Ibnu Qaddamah dalam kitabnya Al-Mughny jilid 3/556 ; Syeikh Abul Faraj Ibnu Qaddamah dalam kitabnya Asy-Syarhul-Kabir jilid 3/495 ; Syeikh Manshur bin Yunus Al-Bahuty dalam kitabnya Kisyaful-Qina (kitab ini sangat terkenal dikalangan madzhab Hanbali) jilid 5/30 dan Imam Al-Qurthubi (Tafsir Al-Qurthubi jilid 5/265) yang mengemukakan peristiwa semakna tapi kalimatnya agak berbeda.

Hadits-hadits di atas, jelas lelaki itu tawassul kepada Rasulullah saw agar beliau saw. berdo’a kepada Allah swt. untuk orang itu. Kalau ini bukan di katakan sebagai dalil tawassul, mengapa orang tersebut tidak langsung berdo’a kepada Allah swt. tanpa mohon kepada beliau saw. untuk mendo’akannya ?

4. Ad-Darami meriwayatkan:

Penghuni Madinah mengalami paceklik yang sangat parah. Mereka mengadu kepada Aisyah ra (ummul Mukminin). Aisyah mengatakan: ‘Lihatlah pusara Nabi ! Jadikanlah ia (pusara) sebagai penghubung menuju langit sehingga tidak ada lagi penghalang dengan langit’. Dia (perawi) mengatakan: Kemudian mereka (penduduk Madinah) melakukannya, kemudian turunlah hujan yang banyak hingga tumbuhlah rerumputan dan gemuklah onta-onta dipenuhi dengan lemak. Maka saat itu disebut dengan tahun ‘al-fatq’ (sejahtera)”. (Lihat: Kitab “Sunan ad-Darami” 1/56)

5. Hadits serupa di atas yang diriwayatkan secara berangkai dari Abu Nu’man dari Sa’id bin Zaid, dari ‘Amr bin Malik Al-Bakri dan dari Abul Jauza bin ‘Abdullah yang mengatakan sebagai berikut:

Ketika kota Madinah dilanda musim gersang hebat, banyak kaum muslimin mengeluh kepada isteri Rasulullah saw. ‘Aisyah ra. Kepada mereka ‘Aisyah berkata: ‘Datang-lah kemakam Nabi saw. dan bukalah atapnya agar antara makam beliau dan langit tidak terhalang apapun juga’. Setelah mengerjakan saran ‘Aisyah ra.itu turunlah hujan hingga rerumputan pun tumbuh dan unta-unta menjadi gemuk”. (ini menggambarkan betapa banyaknya hujan yang turun hingga kota Madinah menjadi subur kembali). (Kitab Sunan Ad-Daramy jilid 1/43)

6. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shohih dari Abu Salih as-Saman dari Malik ad-Dar –seorang bendahara Umar–. yang berkata:

Masyarakat mengalami paceklik pada zaman (kekhalifahan) Umar. Lantas seseorang datang kemakam Nabi saw. seraya berkata: ‘Ya Rasulullah mohonkan (kepada Allah swt) hujan untuk umatmu, karena mereka hendak binasa’. Kemudian didalam tidur bermimpi datanglah seseorang dan berkata kepadanya: ‘Datangilah Umar’! Saif juga meriwayatkan hal tersebut dalam kitab al-Futuh; Sesungguhnya lelaki yang bermimpi tadi adalah Bilal bin al-Harits al-Muzni, salah seorang sahabat. (Lihat: Kitab Fathul Bari 2/577)

7. Hadits lainnya yang semakna dengan hadits terakhir diatas ini tentang tawassul pada Rasulullah saw. dimuka makam beliau yaitu yang diketengahkan oleh Al-Hafidz Abu Bakar Al-Baihaqy. Hadits itu diriwayatkan secara berangkai oleh para perawi: Abu Nashar, Ibnu Qatadah dan Abubakar Al-Farisy dari Abu ‘Umar bin Mathar, dari Ibrahim bin ‘Ali Adz-Dzihly, dari Yahya bin Yahya dari Abu Mu’awiyah, dari A’masy bin Abu Shalih dan dari Malik bin Anas yang mengatakan sebagai berikut:

Pada zaman Khalifah Umar Ibnul Khattab ra. terjadi musim kemarau amat gersang. Seorang datang kemakam Rasulullah saw. kemudian berkata: ‘Ya Rasulullah, mohonkanlah hujan kepada Allah bagi umat anda. Mereka banyak yang telah binasa’. Pada malam harinya orang itu mimpi didatangi Rasulullah saw. dan berkata kepadanya: ‘Datanglah engkau kepada ‘Umar dan sampaikan salamku kepadanya. Beritahukan dia bahwa mereka akan memperoleh hujan’. Katakan juga kepadanya: ‘Engkau harus bijaksana …bijaksana’ ! Kemudian orang itu segera menyampaikan berita mimpinya kepada Khalifah ‘Umar. Ketika itu ‘Umar berkata: ‘Ya Rabb (Ya Tuhanku), mereka mohon pertolongan-Mu karena aku memang tidak dapat berbuat sesuatu’

Hadits itu isnadnya shohih. Demikian juga yang dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah Wan-Nihayah jilid 1/91 mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 18 H. Ibnu Abi Syaibah juga mengetengahkan hadits itu dengan isnad shohih dari riwayat Abu Shalih As-Saman yang berasal dari Malik ad-Dariy, seorang bendaharawan (Khazin) pada zaman Khalifah Umar. Menurut Saif dalam kitabnya Al-Futuh orang yang mimpi didatangi Rasulullah saw. itu ialah sahabat Nabi saw. yang bernama Bilal bin Al-Harits Al-Muzny. Dalam kitab Fathul Bari jilid 11/415 Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits tersebut isnadnya shohih.

Para imam ahli hadits yang mengetengahkan hadits tersebut dan para imam berikutnya yang mengutip hadits itu dalam berbagai kitab yang mereka tulis, tidak ada seorangpun diantara mereka ini yang mengatakan bahwa tawassul dengan makam Rasulullah saw. itu perbuatan kufur, sesat atau syirik. Dan juga tidak ada diantara mereka itu yang mengatakan hadits tersebut Palsu. 

Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalany sendiri turut mengetengahkan dan membenarkan hadits tersebut. Mengenai kedalaman ilmu, keutamaan perangai para imam yang mengetengahkan hadits tersebut telah dikenal semua ulama tidak perlu keterangan yang lebih jauh. Hadits ini jelas sebagai dalil tawassul kepada Rasulullah setelah wafatnya, sahabat Nabi saw. ini bukan hanya berziarah saja kepada beliau saw., tapi sambil mohon kepada Rasulullah saw. agar beliau saw. berdo’a kepada Ilahi untuk menurunkan hujan.

Riwayat-riwayat di atas juga menguatkan bahwa berapa di kalangan sahabat Nabi kala itu sudah menjadi hal yang biasa jika seseorang memiliki hajat untuk bertawassul, walaupun kepada Rasulullah yang secara dhahir telah meninggal dunia.

Lantas apakah golongan madzhab Wahabi masih bersikeras menyatakan bahwa Salaf Sholeh tidak pernah mencontohkan perbuatan tersebut sesuai dengan pemahaman mereka terhadap ajaran syari’at Nabi?

Sekali lagi pertanyaan yang muncul, apakah golongan ini berani menyatakan para sahabat besar itu sebagai pelaku syirik atau bid’ah karena telah bertawassul kepada yang telah wafat?

Pertanyaan semacam ini belum pernah ada jawaban yang memuaskan dari kalangan golongan pengingkar, karena mereka akan berbenturan dengan pemuka Salaf Sholeh seperti sahabat-sahabat besar yang telah kami sebutkan di atas, termasuk Ummul mukminin Aisyah, istri Nabi sendiri.

8. Tawassul dengan hanya menyebut nama Rasulullah saw.. Al-Haitsam bin Khanas meriwayatkan kesaksiannya sendiri sebagai berikut:

Ketika aku datang kepada ‘Abdullah bin Umar ra. kulihat ada seorang yang menderita kejang kaki (kaku hingga tidak dapat berjalan). ‘Abdullah bin Umar berkata kepadanya: ‘Sebutlah orang yang paling kau cintai‘! Orang yang kejang itu berseru: ‘Ya Muhammad’ ! Saat itu juga aku melihat ia langsung dapat berjalan seperti orang yang terlepas dari belenggu “.

9. Imam Mujahid meriwayatkan hadits dari Abdullah bin ‘Abbas sebagai berikut:

Seorang yang menderita penyakit kejang kaki datang kepada ‘Abdullah bin ‘Abbas ra. Kepadanya ‘Abdullah bin ‘Abbas berkata: ‘Sebutlah orang yang paling kau cintai !’ Orang itu lalu menyebut; ‘Muhammad saw’.! Seketika itu juga lenyaplah penyakitnya“. Ibnu Taimiyyah juga mengetengahkan riwayat ini dalam kitabnya Al-Kalimut-Thayyib bab 47 halaman 165.

Guna mengakhiri kajian kali ini, kita akan memberikan satu contoh lagi dari riwayat (atsar) para sahabat berkaitan dengan legalitas syariat Islam terhadap permasalahan istighotsah/tawassul, terkhusus kepada pribadi yang dianggap telah mati.

10. Dalam sebuah riwayat panjang tentang kisah Utsman bin Hunaif (salah seorang sahabat mulia Rasulullah saw.) yang disebutkan oleh at-Tabrani dari Abi Umamah bin Sahal bin Hunaif yang bersumber dari pamannya, Utsman bin Hunaif. Disebutkan bahwa,

Suatu saat seorang lelaki telah beberapa kali mendatangi khalifah Utsman bin Affan agar memenuhi hajatnya. Saat itu, Utsman tidak menanggapi kedatangannya dan tidak pula mem- perhatikan hajatnya. Kemudian lelaki itu pergi dan ditengah jalan bertemu Utsman bin Hunaif dan mengeluhkan hal yang dihadapinya kepadanya. 

Mendengar hal itu, lantas Utsman bin Hunaif mengatakan kepadanya: ‘Ambillah bejana dan berwudhulah. Kemudian pergilah ke masjid (Nabi) dan shalatlah dua rakaat’. Seusainya maka katakanlah: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan mendatangi-Mu demi Nabi-Mu Muhammad yang sebagai Nabi pembawa Rahmat. Wahai Muhammad, aku menghadapkan wajahku kepadamu untuk memohon kepada Tuhanku. Maka kabulkanlah hajatku’ Kemudian sebutkanlah hajatmu. Beranjaklah maka aku akan mengiringimu’.

Kemudian lelaki itu melakukan apa yang telah diberitahukan kepadanya. Selang beberapa saat, lalu ia kembali mendatangi pintu rumah Utsman (bin ‘Affan). Utsman pun mempersilahkannya masuk dan duduk di satu kursi dengannya, seraya berkata: Apakah gerangan hajatmu? Kemudian ia menyebutkan hajatnya, dan Utsman pun segera memenuhinya. Ia (Utsman) berkata kepadanya: ‘Aku tidak ingat terhadap hajatmu melainkan baru beberapa saat yang lalu saja’. 

Ia (Utsman bin Affan) pun kembali mengatakan: ‘Jika engkau memiliki hajat maka sebutkanlah (kepadaku)’! Setelah itu, lelaki itu keluar meninggalkan rumah Utsman bin Affan dan kembali bertemu Utsman bin Hunaif seraya berkata: ‘Semoga Allah membalas kebaikanmu’ ! Dia (Utsman bin Affan) awalnya tidak melihat dan memperhatikan hajatku sehingga engkau telah berbicaranya kepadanya tentangku.

Utsman bin Hunaif berkata: ‘Demi Allah, aku tidak pernah berbicara tentang kamu kepadanya. Tetapi aku telah melihat Rasulullah saw. didatangi dan dikeluhi oleh seorang yang terkena musibah penyakit kehilangan kekuatan penglihatannya, kemudian Nabi bersabda kepadanya: ‘Bersabarlah’! Lelaki itu menjawab: ‘Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki penggandeng dan itu sangat menyulitkanku’. Nabi bersabda: ‘Ambillah bejana dan berwudhulah, kemudian shalatlah dua rakaat, kemudian bacalah do’a-do’a berikut….’ (info: ini mengisyaratkan pada hadits tentang sahabat yang mendatangi Rasulullah karena kehilangan penglihatannya yang diriwayatkan dalam kitab “Musnad Ahmad” 4/138, “Sunan at-Turmudzi” 5/569 hadits ke-3578, “Sunan Ibnu Majah” 1/441 dan “Mustadrak as-Shohihain” 1/313) berkata Ibnu Hunaif: “Demi Allah, kami tidak akan meninggalkan [cara tawassul itu]. Percakapan itu begitu panjang sehingga datanglah seorang lelaki yang seakan dia tidak mengidap satu penyakit”. (Lihat: Kitab “Mu’jam at-Tabrani” 9/30 nomer 8311, “al-Mu’jam as-Shoghir” 1/183, dikatakan hadits ini sahih)

Al-Mundziri (At-Targhib jilid 1/44 dan Majma’uz Zawaid jilid 11/279) mengatakan hadits diatas ini shahih begitupun juga Ibnu Taimiyyah yang mengatakan bahwa hadits yang diriwayatkan At-Thabarani di atas ini berasal dari Abu Ja’far yang nama aslinya Umar bin Yazid, seorang perawi hadits yang dapat dipercaya. Abu Abdullah al-Maqdisi mengatakan bahwa hadits itu shahih. Juga Al-Hafidz Nuruddin Al-Haitsami membenarkan hadits itu.

Lihat hadits di atas ini contoh yang cukup jelas seorang yang diajari oleh Ustman bin Hunaif agar urusannya dimudahkan oleh Allah swt. dengan berdo’a dan tawassul kepada Rasulullah saw. sambil menyertakan dalam do’anya itu nama Rasulullah saw. dan memanggil beliau saw. Pada waktu itu tidak ada satupun sahabat yang memprotes. Bila hal tersebut dilarang/di haramkan dalam agama Islam atau berbau syirik maka tidak mungkin akan di amalkan oleh sahabat Nabi Utsman bin Hunaif ini.

Utsman bin Hunaif ra. pernah menyaksikan sendiri peristiwa seorang buta yang mengeluh pada Rasulullah saw., kemudian Rasulullah saw. menyuruh seorang tuna netra untuk wudu’ dan sholat dua raka’at. Setelah sholat seorang buta itu berdo’a pada Allah swt. sambil menyertakan nama Nabi saw. dalam do’anya itu. 

Bila hal ini berbau syirik tidak mungkin Rasulullah saw. memerintahkan atau mengajari orang ini untuk berdo’a sambil tawassul dengan nama beliau. Beliau saw. adalah contoh dari umatnya semua perbuatan yang beliau lakukan bakal ada umatnya yang meniru dan beliau saw. tidak akan dan tidak pernah menyuruh umatnya untuk melakukan sesuatu yang keluar dari akidah syariat Islam dan berbau kesyirikan !!

Sedangkan hadits yang terakhir di atas Utsman bin Hunaif -atas prakarsanya sendiri- mengamalkan cara berdo’a yang diajarkan Rasulullah saw. pada orang buta tersebut. Peristiwa terakhir ini terjadi setelah wafat Rasulullah saw. pada zamannya khalifah ketiga.

Utsman bin Hunaif ra memahami ajaran Rasulullah saw.yang mengajarkan diperbolehkannya tawassul kepada beliau saw. pada masa hidupnya namun ia juga terapkan pada setelah kematian beliau saw.. Apakah pemahaman sahabat Utsman bin Hunaif itu tidak bisa dibenarkan? 

Sebodoh itukah sahabat Utsman bin Hunaif yang menerapkan hadits Rasulullah tentang tawassul kepada yang masih hidup dengan legalitas tawassul kepada yang wafat? 

Jika ada pengikut sekte Wahabi yang berani menyatakan bahwa sahabat Utsman bin Hunaif adalah bodoh maka jangan segan-segan juga untuk menyatakan bahwa khalifah Ali bin Abi Thalib dan Ummul-mukminin ‘Aisyah pun bodoh, sebagaimana banyak sahabat lainnya. Kenapa tidak?

Bukankah mereka semua membenarkan ajaran tawassul/ istighotsah kepada Rasulullah saw. yang telah wafat ? Atau selama ini pemahaman madzhab Salafi (baca: Wahabi) yang salah ?, bahwa Nabi tidak ‘wafat’, dhahirnya saja ‘wafat’, tetapi ruh beliau saw. selalu hidup dan mendengar setiap permintaan yang diajukan umatnya kepada beliau, sebagai sarana (wasilah) menuju kepada Allah swt.

Hadits-hadits diatas dan masih banyak hadits-hadtis tawassul yang tidak di kemukakan disini itu semuanya jelas mengarah kebolehan atau legalitas dari tawassul. Karena kefanatikan dan keangkuhan kepada madzhabnya, golongan pengingkar selalu berusaha menolak dan memutar balik makna hadits-hadits yang berlawanan dengan faham akidahnya. Padahal, riwayat sahabat Utsman bin Hunaif –yang menjadi kepercayaan sahabat Ali dan Umar (Lihat: Kitab “Siar A’lam an-Nubala’” 2/320) sebegitu jelasnya, sebagaimana keberadaan matahari di siang hari yang cerah. Namun, bagaimana pun, kebenaran harus disampaikan, karena tugas kita hanyalah menyampaikan.

Sebagaimana yang telah kami kemukakan bahwa ulama-ulama pakar telah menulis mengenai bertawassulnya Nabi Adam as. kepada Rasulullah saw. umpama; di dalam kitab Mustadrak al-Hakim, jilid 2, halaman 15; kitab ad-Durr al-Mantsur, jilid 1, halaman 59; dengan menukil dari Thabrani, Abu Na’im al-Ishfahani. Demikian juga hadits tentang bertawassulnya Rasulullah saw. dengan hak-hak para nabi sebelumnya. Sebagaimana juga Thabrani meriwayatkannya didalam kitabnya al-Kabir dan al-Awsath. Begitu juga Ibnu Hibban dan al-Hakim, mereka berdua menshohihkannya. Selanjutnya, hadits bertawassul kepada orang-orang yang berdo’a, terdapat juga didalam shohih Ibnu Majjah, jilid 1, halaman 261, bab al-Masajid; dan begitu juga di dalam musnad Ahmad, jilid 3, halaman 21. Demikian juga dengan riwayat-riwayat yang lain.
Disamping itu, sesuatu yang menunjukkan diperbolehkannya tawassul/ istighotsah ialah, ijma’ kaum muslimin, dan begitu juga sejarah hidup orang-orang yang sezaman dengan Rasulullah saw. Kaum muslimin, sejak dahulu hingga sekarang, mereka bertawassul kepada para nabi dan orang-orang sholeh. Tidak ada seorang ulama pun yang memprotes dan mengharamkan, mensyirikkan perbuatan ini, kecuali golongan Wahabi/Salafi dan pengikutnya Begitu pun juga halnya dengan permintaan tolong kepada hamba Allah, tidak langsung kepada Allah swt., itu adalah mustahab. Sebagaimana yang telah kami kemukakan bahwa Allah swt. berfirman:
 “Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula”. (Q.S. 66:4)
Apakah kita benar-benar menyekutukan sesuatu kepada Allah ketika kita percaya bahwa Jibril as, orang beriman dan para malaikat yang juga bisa sebagai Maula (pelindung) kita dan Naseer (Penolong) bersama-sama dengan Allah?
Jika kita tetap memakai pengertian Syirik sebagaimana pendapat golongan pengingkar maka kita secara otomatis telah membuat Allah sendiri Musyrik (Naudzubillah) dan begitu pula dengan orang-orang yang percaya terhadap seluruh ayat Al-Qur’an. Dan masih banyak firman Allah swt. yang mengatakan selain Dia ada hamba-hamba-Nya yang bisa menolong.
Sedangkan dalam hadits-hadits Rasulullah saw. diantaranya disebutkan:
وَاللهُ فِى عَوْنِ العَبْدِ مَاكَانَ العَبْدُ فِى عَوْنِ أخِيْهِ
Allah menolong hamba-Nya selagi hamba itu mau menolong saudaranya”. (HR Muslim, Abu Daud dan lainnya
إنَّ لِلَّهِ خلْـقًا خَلَقَهُمْ لِحَوَائِجِ النَّاسِ يَفْزَعُ النَّاسُ إلَيْهِمْ فِي حَوَائِجِهِمْ واُولاَئِـكَ الآمِنُوْنَ مِنْ عَذَابِ اللهِ
Allah mempunyai makhluk yang diciptakan untuk keperluan orang banyak. Kepada mereka itu banyak orang yang minta pertolongan untuk memenuhi kebutuhannya. Mereka adalah orang-orang yang selamat dari siksa Allah”.
11. Sebuah riwayat dari ‘Abdullah bin Abbas ra. mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Banyak Malaikat Allah dimuka bumi selain yang bertugas mengawasi amal perbuatan manusia. Mereka mencatat setiap lembar daun yang jatuh dari batangnya. Karena itu jika seorang diantara kalian tersesat ditengah sahara (atau tempat lainnya), hendaklah ia berseru: ‘Hai para hamba Allah tolonglah aku’ “. (HR.At-Thabrani dengan para perawi yang terpercaya).
12. ‘Abdullah bin Mas’ud ra meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
Jika seorang diantara kalian ternak piaraannya terlepas ditengah sahara, hendaklah ia berseru: ’Hai para hamba Allah, tahanlah ternakku…hai para hamba Allah tahanlah ternakku’. Karena sesungguhnya Allah mempunyai makhluk (selain manusia) dimuka bumi yang siap memberi pertolongan”. (HR. Abu Ya’la dan At-Thabarani dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya, kecuali satu orang yang dipandang lemah yaitu Ma’ruf bin Hasan). Imam Nuruddin ‘Ali bin Abubakar Al-Haitsami juga mengetengahkan riwayat ini dalam Majma’uz-Zawaid Wa Manba’ul-Fuwa’id jilid X/132.
13. ‘Utbah bin Ghazwan mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda:
Jika seorang dari kalian kehilangan sesuatu atau ia mem- butuhkan bantuan, saat ia berada didaerah dimana ia tidak mempunyai kenalan, maka ucapkanlah; ’Hai para hamba Allah, tolonglah aku’, karena sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba (makhluk-makhluk ciptaan-Nya selain manusia) yang tidak kita lihat”. Dan ‘Utbah sendiri telah mencoba melaksanakan anjuran Rasulullah saw. ini !
Riwayat di atas ini diketengahkan oleh At-Thabarani dengan para perawi yang dapat dipercaya, kecuali Yazid bin ‘Ali yang oleh At-Thabarani di pandang lemah, karena Yazid ini tidak hidup sezaman dengan ‘Utbah. Dan masih banyak lagi riwayat-riwayat lain yang tidak kami cantumkan disini.
Hadits-hadits di atas ini juga menunjukkan permintaan tolong kepada hamba Allah yang tidak kelihatan (ghoib), tidak langsung minta tolong kepada Allah! Apakah orang yang minta pertolongan pada hamba Allah tidak langsung kepada Allah swt. disebut ‘musyrik atau durhaka’?
Jadi, sekali lagi permintaan tolong/istighotsah itu bukan berarti berbuat ke kufuran apa pun kecuali jika disertai keyakinan sebab utama pertolongan bukan dari Allah swt. melainkan dari orang yang dimintai tolong itu sendiri. Kita harus mempunyai keyakinan bahwa orang yang mohon pertolongan itu adalah upaya/iktisab sedangkan yang dimintai pertolongan itu hanya sekedar washithah.
Begitupun juga soal minta syafa’at kepada Nabi atau kepada para waliyullah atau kepada orang shaleh yang telah wafat. Namun kita tidak boleh mempunyai keyakinan bahwa Nabi, para waliyullah dan orang-orang shalih yang telah wafat tersebut dapat memberi syafa’at tanpa seizin Allah swt. Kaum muslimin juga percaya bahwa yang mohon syafa’at itu adalah ‘upaya/iktisab’ sedangkan yang diminta syafa’at adalah ‘washithah’, tidak lebih dari itu !!
Allah swt. menetapkan bahwa Ka’bah sebagai arah kiblat kita dalam menunaikan sholat. Ini bukan berarti kita disuruh atau menyembah Ka’bah tersebut tapi tidak lain kita hanya menghormati/ta’dzim pada Ka’bah itu, karena sebagai pusaka suci peninggalan Bapak para Nabi yaitu Nabi Ibrahim a.s. dan sebagai bangunan pertama yang didirikan manusia dibumi sebagai tempat beribadah kepada Allah swt. Bila ada seorang muslim yang ber- keyakinan bahwa dia beribadah demi Ka’bah -karena ruku’ dan sujud menghadap kearahnya- atau mencium dan mengusap Hajar Aswad sebagai ibadah/penyembahan, maka hancurlah keimanan dan keislamannya. Begitu juga sama halnya dengan tawassul, kita berdo’a kepada Allah swt. bukan menyekutukan-Nya atau menyembah kepada hamba Allah yang kita tawassuli tersebut !
Segala sesuatu dalam kehidupan ini mempunyai wasithah. Rasulullah saw. menerima wahyu juga melalui wasithah yaitu malaikat Jibril as. Banyak hadits yang meriwayatkan bahwa para sahabat sering mengadukan duka deritanya pada beliau saw. dan mohon dido’akan oleh beliau agar memperoleh kebaikan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Dengan demikian beliau sendiri juga merupakan wasithah bagi para sahabatnya. Beliau saw. tidak pernah bersabda pada sahabatnya jangan mengadukan nasibmu padaku, atau kalian berbuat kufur atau syirik karena minta padaku tidak langsung pada Allah swt., dan sebagainya. Para sahabat mengetahui pula bahwa apa yang diberikan Rasulullah saw. pada hakekatnya adalah seizin Allah dan atas limpahan karunia-Nya kepada beliau saw.
Sebagaimana sabda beliau saw.: (Innamaa Anaa Qoosimun Wallahu Mu’thi) artinya: “Aku hanyalah membagikan, Allah-lah yang memberi”.
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar dari saudara-saudara kita yang berkata; Si A Penolong si B atau kebutuhan si A dicukupi oleh si B dan sebagainya. Padahal kita tahu bahwa yang menolong dan mencukupi kebutuhan semua makhluk adalah Allah swt. Minta pertolongan pada orang lain ini tidak dipandang sebagai perbuatan syirik karena didalamnya tidak terdapat unsur mempertuhankan orang yang dimintai pertolongan tersebut.
Tawassul itu merupakan salah satu cara berdo’a dan juga merupakan satu cara menghadapkan diri kepada Allah swt., sedangkan yang menjadi tujuan pokok hakiki/sebenarnya adalah Allah swt. Pihak yang kita tawassuli sudah tentu orang yang dicintai oleh orang yang bertawassul padanya, dengan mempunyai keyakinan pula bahwa Allah swt. cinta pada pihak yang dijadikan wasilah. Jika tidak demikian, tidak mungkin orang akan bertawassul padanya. Bertawassul/berwasilah ini bukan suatu kelaziman atau keharusan hanya sarana yang bermanfaat, dikabulkan atau tidaknya wasilah ini sepenuhnya ditangan Allah swt. Karena semua do’a itu adalah mutlak tertuju kepada Allah swt.
Sebagaimana yang telah kami kemukakan bahwa segenap kaum muslimin telah bersepakat cara berwasilah dengan amal kebaikan, umpama orang yang berpuasa, shalat, membaca Al-Qur’an, bersedekah dan lain sebagai nya tidak lain ia bertawassul dengan amal kebaikan tersebut, bahkan ke mungkinan terkabul permohonan/do’anya kepada Allah swt. lebih dapat di harapkan. Tawassul dengan cara ini -dengan amal kebaikan- telah di sepakati kebenarannya oleh para ulama, termasuk Ibnu Taimiyah dalam risalahnya ‘Qa’idah Jalilah Fit Tawassul Wal Wasilah’, karena ada hadits Rasulullah saw. dari Abdullah bin Umar yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim yang menceriterakan tentang tiga orang yang tersekap di dalam goa hingga tidak bisa keluar.
Masing-masing berdo’a pada Allah swt. dengan tawassul pada amal kebaikannya (yang telah pernah mereka amalkan) sendiri-sendiri. Orang pertama bertawassul dengan amal baktinya pada orang tua. Orang kedua bertawassul dengan amal shalihnya dan menjauhkan diri dari maksiat, sedangkan orang yang ketiga bertawassul dengan amal menjaga amanat dan menunaikannya dengan baik. Terbukti dengan tawassul secara begitu do’a mereka dikabulkan oleh Allah swt. akhirnya mereka bisa keluar dari goa tersebut.
Sedangkan letak perberdaan pendapat para ulama yaitu bila bertawassul tidak dengan amal kebaikannya tapi tawassul dengan pribadi orang lain seperti riwayat-riwayat yang telah disebutkan sebelumnya. Sebenarnya pendapat-pendapat dalam hal ini hanya mengenai bentuknya saja, bukan mengenai inti/pokok persoalannya.
Sebab, pada hakekatnya bertawassul dengan pribadi seseorang sama artinya dengan tawassul dengan amal kebaikan pribadi yang ditawassuli itu. Karena pribadi orang yang ditawassuli tersebut adalah pribadinya yang diyakini amal kebaikannya.
Memisahkan antara keduanya sama halnya memisahkan dua hal yang memiliki relasi erat, bahkan sampai pada derajat hubungan sebab-akibat. Karena, pengkabulan do’a manusia sholeh oleh Allah swt. disebabkan karena kepribadiannya yang luhur, dan kepribadian luhur itulah yang menyebabkan kedudukan mereka diangkat oleh Allah swt..


1 comment:

  1. Riwayat Bilal bin Harrits mendatangi kubur nabi ﷺ itu dusta. Kedustaannya terlihat jelas dari beberapa sisi, yang paling jelas adalah dustanya perkataan : "Bilal mendatangi kubur nabi sambil menangis di sisinya". Perkataan ini seolah-olah menggambarkan kepada kita bahwa kubur nabi ﷺ seperti kuburan orang lain yang dapat didatangi oleh siapa saja. Ini sebuah kedustaan yang nyata bagi orang yang mengetahui sejarah bahwa nabi ﷺ dimakamkan di dalam kamar 'Aisyah radhiallahu ’anha, yang tentu saja tidak ada yg diperbolehkan masuk kecuali atas izinnya.

    Dan Umar sendiri bertawasul kpd Abbas bin Abdul Muthalib, paman beliau ﷺ ketika meminta hujan sebagaimana do'a beliau sebagai berikut :

    اَللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَسْتَسْقِي إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا, وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا

    "Ya Allah, kami dulu meminta hujan kepada-Mu melalui pangkat nabi kami yang tinggi, lalu Engkau turunkan hujan untuk kami. Sekarang kami meminta hujan kepada-Mu melalui pangkat paman nabi kami yang tinggi, maka turunkanlah hujan untuk kami".

    ReplyDelete