TRADISI PEMBACAAN KITAB MAULID


Pembacaan kitab-kitab maulid dilaksanakan dalam suasana yang dikondisikan secara khusus, terutama pada hari-hari dan momentum yang dipilih. Misalnya sebagai wirid rutin, dipilihlah malam senin yang dipercaya sebagai malam hari kelahiran Rasulullah, atau malam Jum’at sebagai hari agung umat Islam. 

Demikian pula, pembacaan dilaksanakan secara terus menerus selama bulan Rabi’ al-Awal sebagai bulan kelahiran Rasulullah terutama  pada tanggal  1 sampai 12 pada bulan tersebut. Selain itu, kitab maulid dibacakan saat kelahiran bayi, serta sedala upacara yang dihubungkan dengan siklus  kemanusiaan.[1]

Kesakralan suasana terbangun oleh alunan pelantun dan pembaca prosa lirik  maulid dan kekhusukan peserta, yang untuk beberapa daerah sering pula memberikan senggakan berupa lafadz ”Allah” setiap satu kalimat selesai dibaca. Disamping itu, sakralitas pembacaan maulid juga terjadi pada lagu-lagu pujian (sholawat) terhadap rasulullah yang dinyanyikan berkali-kali. Pada kelompok masyarakat tertentu, sering pula disertai dengan iringan musik serta tarian, yang menambah kekhusukan peserta. Hal-halyang mendatangkan kekhusyukan itulah yang sering mendatangkan kerinduan pada peserta, untuk tetap merengkuh pembacaan kitab maulid sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tradisi keagamaanya.

Yang juga tidak kalah menarik adalah fenomena saat Srakalan (mahal al-qiyam) Suasana yang terbangun  sangat sakral. pada saat berdiri untuk menyanyikan sholawat asraqal badru, setelah imam atau orang yang membaca prosa lirik sampai cerita kelahiran Nabi, suasananya sangat khusyuk. Hal ini merupakan ekspresi kegembiraan yang luar bisa atas kelahiran Nabi. Walaupun hal ini merupakan sesuatu yang sulit diterima pemikiran logis, namun bagi kalangan pengikut pembacaan dipegang secara kuat.[2]

Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani seorang ulama makkah masa kini yang juga melestarikan tradisi pembacaan maulid, berusaha memberikan penjelasan yang masuk akal tentang fenomena ini. Bahwa berdiri pada saat penyebutan kelahiran Nabi tidak dilakukan oleh ulama terdahulu (kaum salaf). Tapi hal itu tidak berarti dilarang walaupun hukumnya tidak wajib, tidak sunnah, dan bahkan tidak boleh meyakini dengan kedua hukum itu. 

Sikap berdiri diambil sebagai gerakan tubuh untuk mengungkapkan sikap hotrmat kaum muslimin dan karena kegembiraan dan suka cita (farhah wa surur) atas kelahiran beliau serta bersyukur kepada allah bahwa ia telah mengutus nabi yang menerangi kehidupan manusia, bukan karena beliau yang hadir secara fisik pada saat itu jadi niatnya adalah untuk menghormati dan menghargai kebesaran kedudukannya sebagai rasul.[3] 

Jadi memang pesertalah yang berusaha menghadirkan nabi dalam dirinya. Jadi memang secara umum bisa dikatakan kebiasaan itu sebagai bid’ah, namun merupakan bid’ah yang bisa ditoleransi. Sebab tidak semua bid’ah sesat banyak diantara tradisi baru yang baik dan tidak melanggar rambu-rambu teologis.




[1] Ahmad Anas, Menguak Pengalaman Sufistik Pengalaman Keagamaan Jamaah Maulid al-Diba’ Girikusumo, (Semarang: Pustaka Pelajar, 2003), hlm.,79
[2] Machasin, Dibaan / Barjanjen  dan identitas  keagamaan umat, dalam jurnal Theologia, Fak Ushuluddin IAIN Walisongo, vol 12, no 1 Pebruari, 2001.
[3] Lihat Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani, al-Bayan wa al ta’rif  fi Dzikra al Maulid al Nabawiyay al-syarif tp., ttp 1995, hlm 20-23, juga dalam karya Haul Ihtifal bidzikra al- Maulid al-Nabawy al-Syarif diterjemahkan oleh Drs. K.H.A idhoh Anas, MA dengan judul Bolehkah Perayaan Maulid Nabi saw? tp., Pekalongan, 1999, hlm 18-22.

No comments:

Post a Comment