Isim
Tafdlil adalah sifat yang dibuat dari fi’il
untuk menunjukkan kalau ada dua perkara yang bersekutu dalam satu sifat, namun
salah satunya mempunyai kelebihan atas yang lainnya dalam sifat itu, seperti (خَلِيْلٌ أَعْلَمُ مِنْ سَعِيْدٍ وَ أَفْضَلُ مِنْهُ) “Khalil
lebih alim dibandingkan Sa’id dan lebih mulia darinya.”
Atau
dapat juga didefinisikan dengan kalimah isim yang dibuat mengikuti wazan (اَفْعَلَ) untuk maushuf (isim yang disifati)
yang memiliki makna lebih dari yang lainnya, seperti (اَحْسَنَ) “lebih baik” dan (اَفْضَلَ) “lebih utama.”
Terkadang
pengunggulan itu terjadi diantara dua perkara didalam dua sifat yang berbeda,
sehingga yang diinginkan dengan tafdlil ketika itu adalah kalau salah satu dari
perkara itu telah mempunyai nilai lebih dalam sifatnya atau yang satunya lagi
dalam sifatnya, seperti perkataan mereka (الصَّيْفُ أَحَرُّ مِنَ الشِّتَاءِ) “Musim kemarau lebih panas dari
musim penghujan.” Artinya musim kemarau lebih sangat dalam panasnya
dibandingkan musim penghujan dalam dinginnya. Dan perkataan mereka (العَسَلُ أَحْلَى مِنَ الْخَلِّ) “Madu lebih manis dibandingkan
cuka”. Artinya madu itu mempunyai nilai lebih dalam manis-nya atas cuka
dalam keasamannya.
Terkadang
isim tafdlil dipergunakan dengan dikosongkan dari makna tafdlil, seperti
perkataan (أَكْرَمْتُ
الْقَوْمَ أَصْغَرَهُمْ وَ أَكْبَرَهُمْ) “Aku telah memuliakan kaum,
yang kecil dan yang besar” yang kita inginkan adalah yang kecil dan yang
besar. Nanti akan dijelaskan mengenai permasalahan itu.
Wazan Isim Tafdlil
Isim
tafdlil hanya mempunyai satu wazan, yaitu (أَفْعَلُ) dan mu’annatsnya adalah (فُعْلَى), seperti (أَفْضَلُ) dan (فُضْلَى), (أَكْبَرُ) dan (كُبْرَى). Hamzahnya (أَفْعَلُ) telah dibuang ditiga kalimah,
yaitu (خَيْرٌ), (شَرٌّ) dan (حَبٌّ), seperti (خَيْرُ النَّاسِ مَنْ يَنْفَعُ النَّاسَ), (شَرُّ
النَّاسِ الْمُفْسِدُ) dan syair,
مُنِعْتَ شَيْئاً فَأَكْثَرْتَ الْوَلُوعَ بِهِ * وَ حَبُّ شَيْءٍ إِلَى الإِنْسَانِ مَا مُنِعاَ
Ketiganya adalah isim tafdlil yang asalnya
adalah (أَخْيَرُ), (أَشَرُّ) dan (أَحَبُّ). Mereka telah membuang hamzah
karena sudah banyaknya penggunaan dan sudah biasa terjadi di lidah mereka. Dan
diperbolehkan untuk menetapkan hamzahnya sesuai dengan aslinya, namun qalil
hukumnya dalam (خَيْرٌ) dan (شَرٌّ), dan banyak terjadinya dalam (حَبٌّ).
Syarat Membuat Isim Tafdlil
Syarat-syarat di atas juga diperhitungkan atau berlaku juga pada kedua fi’ilnya fi’il ta’ajjub, yaitu dua shighat (مَا اَفْعَلَهُ) dan (اَفْعِلْ بِه), seperti (مَا اَكْرَمَ زَيْدًا) dan (اَكْرِمْ بِه) (sungguh mulianya Za’id)
Isim tafdlil tidak boleh dibuat
kecuali dari fi’il tsulatsi yang mutasharrif, bisa dilebihkan, sempurna (taam),
tidak dinafikan (mutsbat), tidak dimabnikan majhul dan tidak menunjukkan
pada makna warna, aib atau hiasan.[1]
Jika
kita ingin membuat isim tafdlil atau fi’il ta’ajjub dari lafal yang tidak
memenuhi syarat di atas, maka kita harus mendatangkan shighat yang sudah
memenuhi syarat, seperti (أَشَدُّ), (أَكْثَرُ) atau semisalnya, dan masdarnya
lafal yang tidak memenuhi syarat itu kita jadikan sebagai tamyiznya isim
tafdlil atau maf’ulnya fi’il ta’ajjub, seperti (فُلاَنٌ اَشَدُّ دَحْرَجَةً مِنْ فُلاَنٍ), (مَا اَشَدَّ دَحْرَجَتَهُ) dan (اَشْدِدْ بِدَحْرَجَتِهِ).
Akan tetapi para ulama’ Kuffah telah
memperbolehkan membuat fi’il ta’ajjub dan isim tafdlil dari (بَيَاض) dan (سَواَد) secara khusus dengan tidak syadz,
seperti perkataan al Mutanabbi,
إِبْعَدْ بَعِدْتَ بَيَاضاً لاَ بَيَاضَ لَهُ * لأَنْتَ أَسْوَدُ فِي عَيْنِي مِنَ الظُّلَمِ
[1] Sehingga tidak diperbolehkan isim tafdlil dibuat dari
semisal (ماَ كَتَبَ) karena dinafikan, atau (أَكْرَمَ) karena
hurufnya lebih dari tiga, atau (بِئْسَ) atau
semisalnya karena berupa fi’il jamid, tidak boleh dibuat dari fi’il yang
dimabnikan majhul, atau dari (صَارَ), (كَانَ) dan
semisalnya yaitu dari fi’il naqish, atau (مَاتَ) karena tidak
bisa diunggulkan, karena tidak ada pengunggulan dalam kematian sebab kematian
adalah satu hanya macamnya atau bentuknya yang bermacam-macam. Akan tetapi,
jika yang diinginkan dengan kematian adalah sebuah kelemahan atau kebodohan
secara majazi, maka diperbolehkan, seperti (فُلاَنٌ أَمْوَتُ
قَلْباً مِنْ فُلاَنٍ) yang artinya (أَضْعَفُ), dan semisal
(هُوَ
أَمْوَتُ مِنْهُ) yang artinya (أَبْلَدُ).
Tidak boleh dibuat dari semisal (سُودٌ), karena
menunjukkan pada warna, atau (عَوِرَ) karena menunjukkan pada aib, atau
(كَحلَ) karena
menunjukkan pada sifat hiasan. Sehingga, tidak diperbolehkan untuk diucapkan (هَذَا
أَسْوَدُ مِنْ هَذَا وَ أَعْوَرُ مِنْ هَذَا وَ أَكْحَلُ مِنْهُ).
Syadz perkataan mereka dalam semisal (العَوْدُ
اَحْمَدُ), karena dibuat dari (حَمِدَ). (هُوَ
أَزْهَى مِنْ دِيْكَ) karena dibuat dari (زُهِيَ) dan itu
adalah fi’il mabni majhul. (هُوَ أَخْضَرُ مِنْهُ) karena isim
tafdlilnya mereka buat dari (اُخْتُضِرَ) yang hurufnya lebih dari empat
huruf dan di-mabnikan majhul, seperti halnya syadz perkataan mereka, (هُوَ
أَسْوَدُ مِنْ حلكِ الْغُرَابِ وَ أَبْيَضُ مِنَ اللَّبَنِ) karena mereka telah membuatnya
dari lafal yang menunjukkan pada warna.
No comments:
Post a Comment