Maf’ul
Min Ajlih, atau yang disebut dengan maf’ul
lah, adalah masdar qalbi yang disebutkan sebagai illat atau alasan
terjadinya suatu perbuatan yang bersekutu dengan amilnya dalam fa’il dan
waktunya,[1]
seperti lafal (اتِّقَاءَ) dalam (قُمْ لِزَيْدٍ
اتِّقَاءَ شَرِّهِ) “Berdirilah
kamu untuk menjaga keburukannya.”
Yang dimaksud dengan masdar qalbi
adalah masdarnya fi’il yang asalnya adalah anggota batin, seperti (التَّعْظِيْمُ), (الإِجْلاَلُ), (التَّحْقِيْرُ), (الخَشْيَةُ), (الخَوفُ), (الرَّغْبَةُ), (الرَّهْبَةُ), (الحَيَاءُ), (الْجَهْلُ) dan semisalnya. Lawannya adalah
perbuatan anggota tubuh atau anggota dzahir, seperti (القِرَاءَةُ), (الجُلُوسُ), (الكِتاَبَةُ), (القُعُودُ), (القِيَامُ) dan semisalnya.
Syarat Nashabnya Maf’ul Min Ajlih
Dari definisi di atas, maka dapat
diketahui bahwa syarat dari maf’ul min ajlih ada lima, yaitu:[2]
a. Harus
berupa masdar.
Sehingga jika tidak berupa masdar,
maka tidak diperbolehkan untuk membacanya nashab, seperti (وَ الْأَرْضَ
وَضَعَهاَ لِلْأَناَمِ).
b. Harus
berupa masdar qalbi, artinya dari perbuatan batin.
Sehingga jika tidak berupa masdar
qalbi, maka tidak boleh dibaca nashab, seperti (جِئْتُ
لِلْقِرَاءَةِ).
c. dan
d. Masdar qalbi itu harus sama dengan
amilnya dalam fa’il dan waktunya, artinya zaman dan fa’ilnya fi’il dan masdar
harus sama, sehingga jika zaman dan fa’ilnya berbeda, maka tidak diperbolehkan
dibaca nashab, seperti (سَافَرْتُ لِلْعِلْمِ), karena zamannya bepergian adalah
madli sedangkan zamannya ilmu adalah mustaqbal, dan (اَجْبَبْتُكَ
لِتَعْظِيْمِطَ الْعِلْمَ) karena fa’ilnya mahabbah adalah mutakallim sedangkan
fa’ilnya ta’dzim adalah mukhathab.
Makna samanya fi’il dan masdar dalam
waktunya adalah jika perbuatan terjadi disebagian waktunya masdar, seperti (جِئْتُ حُباًّ
لِلْعِلْمِ) “Aku
datang karena mencintai ilmu,” atau awal waktunya perbuatan adalah akhir
dari waktunya masdar, seperti (اَمْسَكْتُهُ خَوفاً مِنْ فِرَارِهِ) “aku menahannya karena takut
bila dia lari,” atau dibalik, seperti (اَدبْتُهُ اِصْلاَحاً لَهُ) “Aku mengajari dia etika karena
untuk memperbaiki dia.”
e. Masdar
qalbi yang sama dalam fa’il dan zamannya dengan fi’il itu haruslah menjadi
illat bagi terjadinya suatu perbuatan, yaitu dengan sekiranya sah bila menjadi
jawabnya (لِمَ
فَعَلْتَ ؟) “Untuk apa
kamu melakukan itu?”
Namun, jika syarat-syarat di atas
tidak terpenuhi, maka diwajibkan untuk membaca jer masdar dengan huruf jer yang
berfaidah ta’lil, seperti lam, (مِنْ) dan (فِي).[3]
Contohnya, (جِئْتُ
لِلْكِتاَبَةِ), (وَ لاَ
تَقْتُلُوا اَولاَدَكُمْ مِنْ اِمْلاَقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَ اِياَّهُمْ) dan (دَخَلَتِ
امْرَأَةٌ النَّارَ فِي هِرَّةٍ حَسَبَتْهاَ لاَ هِيَ اَطْعَمَتْهاَ وَ لاَ
هِيَ تَرَكَتْهاَ تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ الْأَرْضِ).
Hukum Maf’ul Min Ajlih
Maf’ul min ‘ajlih mempunyai tiga
hukum, yaitu:[4]
a. Dibaca
nashab, ketika syaratnya sudah terpenuhi, menjadi maf’ul min ‘ajlih yang
sharih. Jika ada lafal disebutkan untuk ta’lil tetapi syaratnya tidak
terpenuhi, maka dia dijerkan dengan huruf jer yang berfaidah untuk ta’lil,
seperti penjelasan diatas. Dan dianggap bahwa lafal itu bermahall nashab
sebagai maf’ul min ‘ajlih ghairu sharih.
b. Diperbolehkan
mendahulukan maf’ul min ‘alih atas amilnya, baik dia dibaca nashab atau
dijerkan, seperti (رَغْبَةً
فِي الْعِلْمِ اَتَيْتُ).
c. Tidak
diwajibkan untuk membaca nashab masdar yang sudah memenuhi syarat untuk dibaca
nashab menjadi maf’ul min ‘ajlih, tetapi boleh dibaca nashab dan boleh dibaca
jer. Demikian itu terjadi ditiga bentuk, yaitu:[5]
1) Masdar
dikosongkan dari (ال) dan idlafah, namun yang paling
banyak adalah dibaca nashab, seperti (وَقَفَ النَّاسُ اِحْتِراَماً
لِلْعِلْمِ).
2) Masdar
bebarengan dengan (ال), dan yang paling banyak adalah
dijerkan dengan huruf jer, seperti (سَافَرْتُ لِلرَّغْبَةِ فِي الْعِلْمِ).
3) Masdar
itu diidlafahkan, kedua perkara itu (nashab atau jer) adalah sama, sehingga
kita ucapkan (تَرَكْتُ
الْمُنْكَرَ خَشْيَةَ اللهِ اَو لِخَشْيَةِ اللهِ اَو مِنْ خَشْيَةِ اللهِ).
terimkasih, izinkan saya belajar. dan semoga mejadi ilmu yang bermamfaat
ReplyDelete