I’rab terbagi menjadi tiga, yaitu
I’rab Lafdzi, I’rab Taqdiri dan I’rab Mahalli.[1]
1. I’rab Lafdzi
I’rab
Lafdzi adalah pengaruh dari amil yang
terlihat diakhir kalimah. I’rab ini terdapat pada kalimah mu’rab yang huruf
akhirnya tidak berupa huruf illat, seperti (يُكْرِمُ الأُسْتاَذُ الْمُجْتَهِدَ).[2]
2. I’rab Taqdiri
I’rab
Taqdiri adalah pengaruh dari amil yang
tidak terlihat pada akhir kalimah, sehingga harakat yang menjadi tanda i’rab
dikira-kirakan karena tidak diucapkan. I’rab ini terdapat dalam kalimah mu’rab
yang huruf terakhirnya mu’tal ‘alaih, waw atau ya’, dalam lafal yang
diidlafahkan kepada ya’ mutakallim, lafal yang dihikayahkan (jika lafal itu
berupa jumlah), dan pada isim mabni atau jumlah yang telah dijadikan nama.[3]
a. I’rabnya Fi’il Mu’tal
Fi’il Mudlari’ yang huruf
terakhirnya berupa waw atau ya’, maka ketika nashab, alamat nashabnya yang
berupa fathah diperlihatkan, karena fathah dianggap ringan, seperti (لَنْ يَدْعُوَ) dan (لَنْ يَرْمِيَ).[4]
Adapun Fi’il Mudlari’ yang huruf
terakhirnya berupa alif, maka alamat nashabnya tidak boleh diperlihatkan tetapi
dikira-kirakan karena alif tidak boleh menerima harakat (karena ta’addzur).
Arti ta’addzur adalah selamatnya alamat i’rab untuk tidak diperlihatkan.[5]
Adapun Fi’il Mudlari’ yang huruf
terakhirnya berupa waw, ya’ atau alif, maka ketika dibaca rafa’, alamat
rafa’nya dikira-kirakan, karena waw dan ya’ dianggap berat (Tsiqal) bila
menyandang harakat dlammah, sedangkan alif tidak boleh diberi harakat, seperti
(يَغْزُو), (يَهْتَدِي) dan (يَخْشَى).[6]
Arti tsiqal adalah terlihatnya dlammah dan kasrah pada waw atau ya’
adalah mungkin, akan tetapi itu dianggap berat.[7]
Oleh karenanya, dlammah dan kasrah dibuang dan dikira-kirakan, artinya keduanya
digambarkan didalam hati.[8]
b. I’rabnya Isim Mu’tal
Isim Mu’tal terbagi menjadi dua,
yaitu :
1) Isim Mu’tal Ya’ atau yang dinamakan dengan Isim
Manqush, yaitu kalimah isim yang mu’rab yang huruf terakhirnya berupa ya’
yang tetap dan dikasrah huruf sebelum ya’,
seperti (اَلْقَاضِي).[9]
Isim ini ketika dikosongkan dari (ال) dan idlafah, maka ya’ dibuang,
baik dalan pelafalan maupun penulisan, pada saat rafa’ dan jer, seperti (حَكَمَ قَاضٍ
عَلَى جَانٍ), sedangkan
pada saat nashab, maka ya’ masih ditetapkan, seperti (جَعَلَكَ اللهُ هَادِياً
اِلَى الْحَقِّ دَاعِياً اِلَيْهِ).[10]
Adapun ketika bersama (ال) atau idlafah, maka ya’ harus
ditetapkan disemua keadaan, baik rafa’, nashab atau jer, seperti (حَكَمَ الْقَاضِي
عَلَى الْجَانِيْ) dan (جَاءَ
قَاضِي الْقُضَاةِ).[11]
Dan ketika ditatsniyyahkan, maka ya’
yang dibuang harus dikembalikan, sehingga kita ucapkan pada semisal (قَاضٍ) ketika ditatsniyyahkan dengan (قَاضِيَانِ).[12]
I’rabnya Isim Manqush adalah ketika
dibaca rafa’ dan jer maka alamat rafa’ dan jernya dikira-kirakan karena ya’
berharakat kasrah atau dlammah dianggap berat, seperti (جَاءَ الْقَاضِيْ) dan (مَرَرْتُ بِالْقَاضِيْ). Sedangkan ketika nashab, maka
alamat nashabnya diperlihatkan, karena fathah dianggap ringan oleh ya’, seperti
(رَأَيْتُ
الْقَاضِيَ).[13]
2) Isim Mu’tal Waw atau yang dinamakan dengan Isim Maqshur,
yaitu kalimah isim yang mu’rab yang huruf terakhirnya berupa alif yang tetap,
baik alif tersebut ditulis dengan bentuk alif,[14]
seperti (اَلْعَصَا), atau dengan bentuk ya’, seperti (مُوسَى).
Alif pada Isim Maqshur selamanya
tidaklah asli, adakalanya merupakan gantian dari huruf lain atau tambahan. Alif
yang merupakan gantian adakalanya merupakan gantian dari waw, seperti (اَلْعَصَا), atau ya’, seperti (اَلْفَتَى). Dan yang tambahan adakalanya
ditambahkan untuk ta’nits, seperti (حُبْلَى) karena berasal dari (اَلْحَبْلُ) atau untuk ilhaq atau disamakan dengan wazannya kalimah yang
lain, seperti (اَرْطَى) yang diilhaqkan dengan (جَعْفَر).
Alif tersebut ditulis dengan bentuk
ya’ ketika berada keempat atau lebih, seperti (بُشْرَى) dan (مُصْطَفَى), atau berada ketiga tetapi asal
dari alif tersebut adalah ya’, seperti (اَلْفَتَى). Dan alif tersebut ditulis dengan bentuk alif ketika berada
ketiga dan asalnya adalah waw, seperti (اَلْعَصَا).
Ketika Isim Maqshur ditanwin, maka
alifnya dibuang, dalam pelafalannya, dan ditetapkan dalam penulisannya, seperti
(كُنْ
فُتًى يَدْعُو اِلَى هُدًى).
I’rabnya Isim Maqshur adalah disemua
keadaan, baik rafa’, nashab maupun jer, alamat i’rabnya dikira-kirakan, seperti
(جَاءَ
مُصْطَفَى), (رَأَيْتُ مُصْطَفَى) dan (مَرَرْتُ بِمُصْطَفَى).
c. I’rabnya Isim Yang Diidlafahkan Kepada Ya’ Mutakallim
Isim yang shahih akhir (ketika tidak
berupa isim maqshur, isim manqush, isim tatsniyyah, atau jama’ mudzakar salim)
ketika diidlafahkan kepada ya’ mutakallim, maka ketika rafa’ dan nashab
dii’rabi dengan dlammah dan fathah yang dikira-kirakan pada huruf terakhirnya
dan yang mencegah dari memperlihatkannya adalah terlihatnya kasrah munasabah
(artinya kasrah yang untuk mencocokinya),[15]
seperti (رَبِّيَ
اللهُ) dan (اَطَعْتُ رَبِّي).
Adapun ketika jer, maka dii’rabi
dengan kasrah yang terlihat pada huruf terakhirnya, menurut qaul shahih,[16]
seperti (لَزِمْتُ
طاَعَةَ رَبِّي).
Jika yang diidlafahkan kepada ya’
mutakallim adalah Isim Maqshur, maka alifnya ditetapkan seperti keadaannya
semula, dan dia dii’rabi dengan harakat yang dikira-kirakan pada alif seperti
halnya isim itu telah dii’rabi sebelum bertemu dengan ya’ mutakallim,[17]
seperti (هَذِهِ
عَصَايَ), (اَمْسَكْتُ
عَصَايَ) dan (تَوَكَّأْتُ
عَلَى عَصَايَ).
Dan jika yang diidlafahkan kepada
ya’ mutakallim adalah Isim Manqush, maka ya’ isim tersebut diidghamkan kepada
ya’ mutakallim. Ketika nashab dii’rabi dengan fathah yang dikira-kirakan pada
ya’ yang mencegah dari mem-perlihatkannya adalah terlihatnya sukunnya idgham,
seperti (حَمِدْتُ
اللهَ مُعْطِيَّ الرِّزْقَ). Dan ketika rafa’ dan jer, maka dii’rabi dengan dlammah atau
kasrah yang dikira-kirakan pada ya’ yang mencegah dari memperlihatkannya adalah
karena dianggap berat (ketika rafa’) dan sukunnya idgham (ketika jer),[18]
seperti (اللهُ
مُعْطِيَّ الرِّزْقَ) dan (شَكَرْتُ
لِمُعْطِيَّ الرِّزْقَ)
Jika yang diidlafahkan kepada ya’
mutakallim adalah isim tatsniyyah, maka alifnya ditetapkan seperti keadaannya
semula, seperti (هَذَانِ
كِتاَبَايَ), sedangkan
ya’nya maka diidghamkan kedalam ya’ mutakallim, seperti (عَلِمْتُ
وَلَدَيَّ).[19]
Dan jika yang diidghamkan kepada ya’
mutakallim adalah jama’ mudzakar salim, maka wawnya (yaitu ketika dibaca rafa’)
diganti ya’ lalu ya’ itu kita idghamkan kepada ya’ mutakallim, seperti (مُعَلِّيَّ
يُحِبُّونَ اَدَبِي). Adapun ya’-nya
(ketika nashab dan jer), maka diidghamkan kepada ya’ mutakallim juga, seperti (اَكْرَمْتُ
مُعَلِّمِيَّ).[20]
Isim tatsniyyah dan jama’ mudzakar
salim yang diidlafahkan kepada ya’ mutakallim, dii’rabi dengan huruf seperti
halnya keadaan keduanya sebelum diidlafahkan kepada ya’ mutakallim, seperti
yang telah kalian lihat.[21]
d. I’rab Hikayah
Hikayah adalah menyampaikan seperti
apa yang telah didengar. Hikayah adakalanya menghikayahkan kalimah atau
menghikayahkan jumlah, yang kedua macam hikayah itu diucapkan sesuai dengan
lafalnya.[22]
Hikayah kalimah adalah seperti
diucapkan (كَتَبْتُ:
يَعْلَمُ) “Aku telah
menulis kalimat (يَعْلَمُ).” Lafal (يَعْلَمُ) asalnya adalah fi’il mudlari’ yang
dibaca rafa’ karena dikosongkan dari amil naashib dan jaazim, namun disini
lafal itu dihikayah-kan sehingga menjadi maf’ul bihnya (كَتَبْتُ) dan i’rabnya adalah taqdiri yang
mencegah dari memperlihatkannya adalah terlihatnya harakat hikayah.
Terkadang ‘alam dihikayahkan setelah
(مَنْ) istifhamiyyah, jika tidak
didahului dengan huruf ‘athaf, seperti diucapkan (رَأَيْتُ
خاَلِداً) lalu orang
yang ditanya berkata, (مَنْ
خاَلِداً؟). Jika
didahului huruf ‘athaf maka tidak diperbolehkan untuk menghikayahinya, tetapi
diucapkan (وَ
مَنْ خاَلِدٌ؟).[23]
Hikayah jumlah adalah seperti
diucapkan (قُلْتُ:
لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهَ). Jumlah tersebut dihikayahkan dan mahallnya adalah nashab
dengan amil berupa fi’il sebelumnya dan i’rabnya adalah mahalli.[24]
e. I’rabnya Lafal Yang Dijadikan Nama
Jika kalimah mabni telah dijadikan
nama, maka kita biarkan kalimah itu seperti keadaannya semula, dan i’rabnya
adalah dikira-kirakan dalam ketiga keadaan. Jadi, ketika kita memberi nama
seseorang dengan (رُبَّ) atau (مَنْ) atau (حَيْثُ), maka kita ucapkan (جَاءَ رُبَّ), (اَكْرَمْتُ حَيْثُ) dan (اَحْسَنْتُ اِلَى
مَنْ), sehingga
harakat i’rab dikira-kirakan pada huruf terakhirnya yang mencegah dari
memperlihatkannya adalah harakat bina’ yang asli.
Begitu juga ketika jumlah kita
jadikan nama, seperti (تَأَبَّطَ
شَراًّ), maka
bentuknya tidak usah kita ubah untuk i’rab yang baru sifatnya, sehingga kita
ucapkan (جَاءَ
تَأَبَّطَ شَراًّ). Dan i’rab
yang baru datang sifatnya itu kita kira-kirakan yang mencegah dari
memperlihatkannya harakat i’rab yang asli.
3. I’rab Mahalli
I’rab Mahalli adalah perubahan yang
bersifat i’tibari dengan sebab amil, sehingga perubahan itu tidaklah terlihat
dan tidak dikira-kirakan.[25]
I’rab ini terdapat pada kalimah yang
mabni, seperti, (جَاءَ
هَؤُلاَءِ التَّلاَمِيْذُ), (اَكْرَمْتُ
مَنْ تَعَلَّمَ), (اَحْسَنْتُ اِلَى
الَّذِيْنَ اجْتَهَدُوا), dan (لَمْ
يَنْجَحْنَ الْكَسْلاَنُ), dan juga terjadi dalam jumlah yang dihikayahkan.[26]
Kalimah huruf, fi’il amar, fi’il
madli yang tidak didahului perabot syarat yang bisa menjazemkan, isim fi’il dan
isim shaut, maka huruf akhirnya tidak mengalami perubahan, secara lafdzi, taqdiri
atau mahalli.[27] Oleh
karenanya, dikatakan bahwa kalimah-kalimah itu tidak punya tempat dari i’rab (laa
mahalla laha minal i’rabi).
Adapun fi’il mudlari yang mabni,
maka i’rabnya adalah mahalli, ketika rafa’, nashab dan jazem, seperti (هَلْ يَكْتُبْنَ
وَ يَكْتُبَنَّ وَ اللهِ لَنْ يَكْتُبَنَّ وَ لَنْ يَكْتُبْنَ وَ لَمْ تَكْتُبْنَ
وَ لَمْ يَكْتُبَنَّ).[28]
Dan fi’il madli yang didahului
perabot syarat yang bisa menjazemkan, maka dia dijazemkan dengannya secara
mahalli, seperti (اِنِ
اجْتَهَدَ عَلِيٌّ اَكْرَمَهُ مُعَلِّمُهُ).[29]
[2] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 22
[3] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 22
[4] Syarah Ibnu
‘Aqil, hlm. 14
[5] Syarah Ibnu
‘Aqil, hlm. 14
[6] Syarah Ibnu
‘Aqil, hlm. 14
[7] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 23
[8] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 23
[9] Syarah Ibnu
‘Aqil, hlm. 14
[10] Tasywiq
al-Khillan, hlm. 48, Syarah Ibnu ‘Aqil, hlm. 14
[11] Syarah Ibnu
‘Aqil, hlm. 14
[12] Syarah Ibnu
‘Aqil, hlm. 14
[13] Syarah Ibnu
‘Aqil, hlm. 14
[14] Syarah Ibnu
‘Aqil, hlm. 14
[15] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 24
[16] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 24
[17] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 24
[18] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 24-25
[19] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 25
[20] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 25
[21] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 26
[22] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 26
[23] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 27
[24] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 27
[25] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 27
[26] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 27
[27] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 28
[28] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 28
[29] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 28
ماشاءالله
ReplyDeleteDahsyat
ماشاءالله
ReplyDeleteDahsyat