Seperti
halnya karya seni yang lain, seperti patung, musik, dan sebagainya, seni lukis
juga mendapat banyak pembahasan dari para ulama atau ahli hukum Islam tentang
boleh atau tidak bolehnya, haram atau halalnya seni lukis, yang menjadikan
mahluk hidup sebagai obyek lukisannya. Diantaranya adalah :
1.
Imam Nawawi. Dengan berdasarkan beberapa hadits sahih yang ditemukan memberi
petunjuk tentang adanya larangan pelukisan mahluk bernyawa dan pendapat para
sahabat serta para ulama ia berpendapat bahwa syara’ telah melarang lukisan
mahluk bernyawa, dan itu adalah sekeras-kerasnya pelarangan.
Di
mana disebutkan bahwa Rasulullah SAW melarang pembuatan lukisan dan patung,
karena hal tersebut menunjukkan perbuatan yang menyamai aktivitas Allah sebagai
maha pencipta. Pelarangan akan lukisan mahluk bernyawa adalah mutlak sifatnya,
baik itu pada pakaian, permadani, uang logam, emas, perak, dan dinding atau lainnya.
Bagi setiap orang yang menciptakan gambar atau lukisan mahluk bernyawa, Allah
akan memberikan azab yang pedih, akan diperintahkan kepada mereka untuk
memberikan nyawa terhadap apa yang sudah mereka ciptakan itu.[1]
2.
Ibn Bathal berkata, bahwa hadits-hadits yang berisi larangan Nabi SAW tentang
lukisan mahluk bernyawa tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah SAW menolak
keberadaan gambar, baik gambar itu memiliki bayangan atau tidak, baik gambar
itu dibuat untuk dihinakan atau tidak, serta baik gambar itu ditempelkan pada
baju, dinding, permadani, maupun pada kertas-kertas lainnya.
3.
Imam Thabari mengatakan bahwa orang-orang yang menggambar sesuatu yang disembah
selain Allah, sedangkan dia mengetahui dan sengaja. Orang yang berbuat demikian
adalah kufur. Tetapi kalau tidak ada maksud seperti di atas, maka dia tergolong
orang yang berdosa sebab menggambar saja.[2]
4.
Yusuf al-Qardlawi membolehkan pelukisan mahluk bernyawa walaupun ia mengatakan
bahwa hukumnya hanya makruh saja. Ia mengatakan bahwa subyek gambar mempunyai
pengaruh soal haram dan halalnya. Misalnya gambar yang subyeknya menyalahi
aqidah dan syari’at serta tata kesopanan agama dan yang semua orang Islam
mengharamkannya, begitu juga lukisan yang dibuat dengan maksud untuk menandingi ciptaan Allah.[3]
5.
Ath-Thahawi, salah seorang dari ulama madzhab Hanafi berpendapat: Syara'
melarang semua gambar pada permulaan waktu, termasuk lukisan pada pakaian.
Karena pada waktu itu adalah fase dimana aqidah harus benar-benar ditancapkan dalam
jiwa orang Islam, mereka pada waktu itu baru saja meninggalkan syirik.
Tetapi
setelah larangan itu berlangsung lama, kemudian dibolehkan gambar yang ada pada
pakaian karena suatu dharurat. Syara' pun kemudian membolehkan gambar yang
tidak berjasad karena sudah dianggap orang-orang bodoh tidak lagi
mengagungkannya, sedang yang berjasad tetap dilarang. Yang dimaksud gambar yang
berjasad di sini adalah gambar dengan wujud 2 dimensi seperti gambar pada
kertas atau lukisan, sedangkan yang dimaksud dengan gambar yang berjasad adalah
seperti patung. Namun apabila gambar yang tidak berjasad tersebut dikultuskan
dan diagung-agungkan maka tetap saja haram.[4]
6.
Dr. Tsarwat ’Ukashah seorang sarjana ahli hukum Islam berpendapat bahwa adanya
pelarangan melukis mahluk bernyawa adalah untuk tujuan melindungi orang Islam
dari kembali kepemujaan berhala. Larangan terhadap pelukisan mahluk bernyawa
adalah tidak mutlak, tetapi terbatas oleh situasi dan kondisi. Ketika keadaan
dimana keyakinan orang Islam sudah aman atau tidak kembali kepada penyembahan
berhala maka lukisan menjadi sah hukumnya.[5]
[1] Imam Nawawi, shahih Muslim bi Sarh
an-Nawawi, hlm. 84.
[2] Ibid
[3] Yusuf al-Qardlawi, al-Halal wa
al-Haram, hlm. 110.
[4] At-Thahawi, dalam Achmad Sunarto,
Halal dan Haram Dalam Islam, hlm. 122.
[5] Tharwat ‘Ukashah, Tarikh al-Fan al-Taswir al-Islam, Beirut :
al-Muassasah al-Arabiyah, 1997, hlm. 14.
No comments:
Post a Comment