Minimnya
data tentang pesantren, baik berupa manuskrip atau peninggalan sejarah lain
yang menjelaskan tentang awal sejarah pesantren, menjadikan
keterangan-keterangan yang berkenaan dengannya sangat beragam. Asal usul dan
kapan persisnya munculnya pesantren di Indonesia sendiri belum bisa diketahui
dengan pasti.
Pasalnya meski mayoritas
para peneliti, seperti Karel Steenbrink, Clifford Geerts, dan yang lainnya,
sepakat bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional asli
Indonesia, namun mereka mempunyai pandangan yang berbeda dalam melihat proses lahirnya
pesantren. Setidaknya perbedaan pandanga ini dapat dikategorikan dalam dua
kelompok besar.[1]
Pertama,
kelompok ini berpendapat bahwa pesantren merupakan hasil kreasi anak bangsa
setelah mengalami persentuhan budaya dengan budaya pra-Islam. Pesantren
merupakan sistem pedidikan Islam yang memiliki kesamaan dengan sistem
pendidikan Hindu-Budha. Pesantren disamakan dengan mandala dan asrama dalam
khazanah lembaga pendidikan pra-Islam.
Nurcholis
Madjid menegaskan pesantren mempunyai hubungan historis dengn lembaga pra-Islam
yang sudah ada semenjak kekuasaan Hindu-Budha, sehingga tinggal meneruskannya
melalui proses Islamisasi dengan segala bentuk penyesuaian dan perubahannya. Termasuk
dalam kelompok ini adalah Th. G. Th. Pigeaud dalam bukunya, Java in the
Fourteenth Century; Zamarkhsary Dhofier dalam Kitab Kuning: Studi Tetang
Pandangan Kyai, dan Nurcholis Madjid dalam Bilik-Bilik Pesantren.[2]
Kedua,
kelompok yang berpendapat bahwa pesantren diadopsi dari lembaga pendidikan
Islam Timur-Tengah. Kelompok ini meragukan pendapat yang pertama bahwa lembaga
mandala dan asrama yang sudah ada
semenjak zaman Hindu-Budha merupakan tempat berlangsungnya pengajaran tekstual sebagaimana
di pesantren. Termasuk dalam kelompok ini adalah Martin Van Bruinessen, salah
seorang sarjana Barat yang concern terhadap sejarah perkembangan dan tradisi
pesantren di Indonesia.[3]
Martin
Van Bruinessen menyatakan tidak mengetahui kapan pesantren muncul untuk pertama
kalinya.Namun, memang banyak pihak yang menyebut dengan berpijak pada pendapat
sejarawan yang banyak mengamati kondisi masyarakat Jawa, Pigeud dan de Graaf
yang menyatakan bahwa pesantren sudah ada semenjak abad ke 16. Namun tidak
jelas, apakah semua itu merupakan lembaga pendidikan tempat pengajaran
langsung.
Lebih
jauh lagi, Martin juga menyangkal pendapat yang menyatakan, pesantren ada
seiring dengan keberadaan Islam di Nusantara. Menurutnya, pesantren muncul
bukan sejak masa awal islamisasi, tetapi baru sekitar abad ke-18 dan berkembang
pada abad ke-19 M. Meski pada abad ke-16 dan ke-17 sudah ada guru yang
mengajarkan agama Islam di masjid dan istana yang memungkinkan pesantren berkembang
dari tempat-tempat tersebut, namun tegas Martin, pesantren tersebut baru muncul
pada era belakangan. Hal ini terbukti dengan ditemukannya istilah pesantren
dalam karya-karya sastra klasik Nusantara, seperti dalam Serat Centini dan Serat
Cebolek. Bahkan, istilah pondok pesantren juga tidak dijumpai dalam dua naskah
lama yang ditulis pada abad ke-16 dan ke-17 yakni Wejangan Seh Bari dan Sejarah
Banten.[4]
Dalam
lintas sejarah, di era kemerdekaan Alwi Shihab menegaskan bahwa Syaikh Maulana
Malik Ibrahim atau sunan Gresik (w. 1419 H) merupakan orang pertama yang
membangun pesantren sebagai tempat mendidik dan menggembleng para santri.
Bahkan, dari hasil penelusuran sejarah ditemukan sejumlah bukti kuat yang
menunjukkn bahwa cikal bakal pendirian pesantren pada periode awal ini terdapat
di daerah-daerah sepanjang pantai utara Jawa, seperti Giri (Gresik), Ampel
Denta (Surabaya), Bonang (Tuban) dan sebagainya. Kota-kota tersebut pada waktu
itu merupakan kota kosmopolitan yang menjadi jalur penghubung perdagangan
dunia, sekaligus sebagai tempat persinggahan para pedagang dan mubaligh Islam
yang datang dari Jazirah Arabia seperti Persia, Irak, Hadramaut dan sebagainya.[5]
[1] Hanun Asrahah, Pelembagaan,
Pesantren: Asal Usul dan Perkembangan
Pesantren di Jawa, (Jakarta: Depag RI,
2004), Cet. Ke-1, h.1-7.
[2] Amin Haedari et al., Masa Depan
Pesantren: Dalam Tantangan Globalitas dan Tantangan komplesitas Global
(Jakarta: IRD Press, 2004), cet. Ke-1, h. 2
[3] Ibid., h. 4
[4] Ibid., h. 5
[5] Ibid., h. 7
No comments:
Post a Comment