Dari segi bahasa, kata "tetangga",
yang dalam bentuk tunggal bahasa Arab yaitu (الجار) dan jamaknya (جيران).[1] Sedangkan
dalam Kamus Arab Indonesia tetangga
yaitu (جاور).[2] Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetangga berarti orang yang tempat tinggalnya
(rumahnya) berdekatan/jiran.[3]
Pengertian
yang sama dikemukakan WJS. Poerwadarminta, tetangga yaitu orang setangga,
sebelah menyebelah.[4] Dengan
singkat Sutan Muhammad Zain menyatakan bahwa tetangga yaitu jamak daripada
tangga.[5]
Dari
segi istilah, Al-Asfihani sebagaimana dikutip Waryono Abdul Ghafur
mendefinisikan tetangga dengan orang yang rumahnya dekat dengan kita atau
penghuni yang tinggal di sekeliling rumah kita, sejak dari rumah pertama hingga
rumah keempat puluh.
Ada
yang berpendapat, tetangga tidak dibatasi pada jumlah empat puluh rumah. Yang
jelas, apa yang dipraktekkan di sekitar kita dengan adanya RT atau RW, sudah
menunjukkan semangat al-Qur'an dalam bertetangga. Karena itu, yang dinamakan
tetangga bisa meliputi satu komplek perumahan atau bahkan lebih.[6]
Dalam
susunan masyarakat; tidak terlepas dari adanya suatu persekutuan yang ada
diantara tiga komponen, yaitu rumah tangga, tetangga dan masyarakat. Rumah
tangga biasanya dipimpin seorang ayah, tetangga dipimpin oleh seorang ketua RT
dan masyarakat dipimpin oleh seorang ketua RK, selanjutnya Lurah/Camat, Bupati,
Presiden.
Dalam
sebuah rumah tangga, pasti terdapat tetangga yang istilahnya adalah berdekatan
tangganya atau pintu rumahnya kita. Tetangga itu bervariasi. Ada kalanya kita
memperoleh tetangga yang jelek perilakunya, kadang juga kita mendapatkan yang
baik. Tetangga yang baik ialah yang suka menolong dan memperhatikan keadaan
kita. Tetangga yang jelek ialah yang suka menyakiti, iri hati, sombong dan
memamerkan kekayaannya. Namun tetangga apapun namanya jika terjadi sesuatu
musibah, maka biasanya yang akan datang membantu paling awal.[7]
Di
dalam Al-Qur'an hanya terdapat dua surat tentang tetangga yaitu QS. al-Nisa
ayat 36 dan Q.S. al-Ahzab ayat 60-61:
و اعبدوا الله و لا
تشركوا به شيئا و بالوالدين إحسانا و بذي القربى و اليتامى و المساكين و الجار ذي
القربى و الحار الجنب و الصاحب بالجنب و ابن السبيل و ما ملكت أيمانكم إن الله لا
يحب من كان مختالا فخورا
Mengabdilah
kepada Allah dan jangan mempersekutukan sesuatu dengan Dia, dan berbuat baiklah
kepada ibu bapak, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga-tetangga dekat, tetangga-tetangga orang yang asing, teman yang di sampingmu,
dan orang dalam perjalanan, dan yang menjadi milik tangan kananmu. Allah tidak
menyukai orang yang congkak, membanggakan diri.
(QS. al-Nisa: 36).[8]
لئن لم ينته
المنافقون و الذين في قلوبهم مرض و المرجفون في المدينة لنغرينك بهم ثم لا
يجاورونك فيه إلا قليلا ملعونين أينما ثقفوا أخذوا و قتلوا تقتيلا
Sesungguhnya
jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam
hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah, niscaya Kami
perintahkan kamu mereka, kemudian mereka
tidak menjadi tetanggamu melainkan dalam
waktu yang sebentar, dalam keadaan terla'nat. Di mana saja mereka dijumpai,
mereka ditangkap dan dibunuh dengan sehebat-hebatnya.
(Q.S. al-Ahzab: 60).[9]
Ahmad
Mustafa Al-Maragi dalam Tafsir
al-Maragi menafsirkan QS. al-Nisa: 36
sebagai berikut: bahwa tetangga adalah satu macam dari kaum kerabat, karena
dekatnya tempat. Kadang-kadang, orang lebih cinta kepada tetangga dekatnya
daripada kepada saudaranya seketurunan. Oleh karena itu, hendaknya dua keluarga
bertetangga sailing tolong-menolong; membina kasih sayang dan kebaikan antar
mereka.
Jika suatu keluarga tidak berbuat baik kepada tetangganya, maka bisa
dikatakan tidak ada kebaikan yang diberikan keluarga itu kepada seluruh
manusia. Islam telah menganjurkan supaya bergaul dengan baik bersama tetangga,
meski ia bukan Muslim. Nabi Saw. pernah menjenguk anak tetangganya yang sedang
sakit, padahal ia seorang Yahudi.
Suatu ketika, Ibnu Umar menyembelih kambing,
lalu berkata kepada budaknya, "Sudahkah kamu memberi hadiah kepada
tetangga kita yang beragama Yahudi? Sudahkah?" Hasan Basri membatasi
tetangga dengan empat puluh rumah dari keempat arah. Yang lebih utama adalah
tidak membatasi tetangga dengan rumah, kemudian membual pengertian bahwa tetangga
adalah orang yang dekat dengan anda. Wajah anda selalu berpapasan dengan
wajahnya di waktu pergi pada pagi hari, dan pulang ke rumah pada sore hari.
Penghormatan terhadap tetangga sudah menjadi tabiat bangsa Arab sebelum Islam,
kemudian Islam menguatkannya dengan ajaran yang terdapat di dalam Al-Qur'an dan
As-Sunnah. Di antara tanda-tanda penghormatan itu adalah mengirim hadiah
kepadanya, mengundangnya untuk makan bersama, berziarah, menjenguknya apabila
sakit dan lain sebagainya.[10]
Al-Imam
al-Hafiz Imaduddin Abul Fida Ismail ibn Kasir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azîm. Dalam tafsir ini dijelaskan bahwa Ali ibnu
Talhah meriwayatkan dari ibnu Abbas, yang dimaksud dengan (الجار ذي القربى) ialah tetangga yang antara kamu dan dia ada hubungan kerabat,
sedangkan (الجار الجنب) ialah tetangga yang antara kamu dan dia tidak ada hubungan
kerabat.
Hal
yang sama diriwayatkan dari Ikrimah, Mujahid, Maimun ibnu Mihran, ad-Dahhak,
Zaid ibnu Aslam, Muqati ibnu Hayyan dan Qatadah (الجار ذي القربى) (dan berbuat baiklah kepada tetangga yang dekat/ an-Nisa: 36)
yakni tetangga yang muslim. Sedangkan (الجار الجنب) (dan berbuat baiklah kepada tetangga yang jauh/an-Nisa:36)
yakni yang beragama Yahudi dan Nasrani. Sedangkan Jabir al-Ju'fi meriwayatkan
dari asy-Sya'bi dari Ali dan Ibnu Mas'ud
sehubungan dengan makna firman-Nya: (الجار ذي القربى) (dan berbuat baiklah kepada) tetangga yang dekat (an-Nisa:
36), yakni istri. Mujahid mengatakan pula sehubungan dengan makna firman-Nya: (الجار الجنب) (dan berbuat baiklah kepada tetangga yang jauh/an-Nisa:36)
yaitu teman seperjalanan.[11]
Hamka
dalam Tafsir Al Azhar mengatakan surat
an-Nisa ayat 36, mengandung arti bahwa tetangga dekat kata setengah ahli tafsir
ialah tetangga yang seagama, tetangga jauh ialah tetangga yang berlainan agama.
Disebut sekali keduanya, supaya sama dihormati menurut taraf pelayakannya.
Ziarah-menziarahi dalam suasana kegembiraan, lawat-melawat seketika ada yang sakit,
jenguk-menjenguk seketika ada kematian.
Apabila seorang muslim mukmin
bertetangga dengan orang yang berlain agama, si muslim wajib lebih dahulu
memperlihatkan ketentuan agama ini di dalam hidupnya. Bukan satu siasat
mengambil muka, tetapi didorong oleh perintah agama, menentukan hukum dosa dan
pahala, haram dan wajib. Rasulullah Saw bertetangga dengan orang Yahudi di
madinah. Apa saja hal-hal yang terjadi dalam suasana bertetangga, Rasulullah
menunjukkan kemuliaan budi beliau.
Di dalam sebuah hadis riwayat Bukhari dari
ibnu Umar, bahwa Rasulullah pernah menyembelih seekor kambing. Baru saja
selesai menguliti, dia sudah menyuruh
khadam beliau menghantar dagingnya ke rumah tetangga Yahudinya itu. Kemudian beliau
tanyakan sampai dua tiga kali. Sudahkah engkau antarkan daging itu ke rumah
tetangga Yahudi itu?. "Dan sahabat di samping."
Ada ahli tafsir mengartikannya
isteri sendiri, sebab dialah sahabat di samping kita siang dan malam, tetapi
ahli tafsir lain mengatakan ini bukan buat isteri, meskipun memang dia hidup di
samping kita. Sebab ayat terkhusus tentang pergaulan dengan isteri sudah ada.
"al-Shahib" (sahabat). "Bi al-Janbi" (di samping, di dekat
diri). Sebab itu kita condong kepada arti dari penafsir yang lain, yaitu teman
sejawat, atau sahabat karib. Bukankah di samping anak dan isteri kita, kaum
keluarga kita yang jauh ataupun dekat, kitapun mempunyai sahabat atau teman
karib, yang kadang-kadang dapat tempat menumpahkan rahasia hati kita. Teman seperjuagan,
sahabat sehaluan, kawan yang sama mata kehidupan, atau yang di zaman sekarang
kita namai Relasi (Relation)? Bukankah teman sahabat di samping kita ini amat
penting kedudukannya dalam pergaulan hidup kita sehari-hari? Maka ayat ini
mengkhususkan perhatian kita kepada sahabat di samping itu, supaya persahabatan
jangan dikendurkan.[12]
Dalam Tafsir Jalalain, Imam al-Suyuti menjelaskan tetangga dekat adalah
yang dekat dalam bertetangga atau dalam pertalian darah. Sedangkan tetangga
jauh adalah teman sejawat, teman seperjalanan atau satu profesi bahkan ada pula
yang mengatakan istri.[13]
Adapun
dalam menafsirkan Q.S. al-Ahzab ayat 60-61 sebagai berikut:
Hamka
dalam Tafsir Al Azhar menjelaskan bahwa surat al-Ahzab ayat 60-61 yaitu:
Pangkal ayat ini berisi ancaman keras kepada tiga unsur yang menghalangi
perkembangan masyarakat Islam yang telah tumbuh di Madinah, terutama sesudah
Islam menang menghadapi musuh-musuhnya pihak luar, yaitu orang Yahudi selama
ini. Meskipun mereka telah mengikat janji akan hidup berdampingan secara damai
dengan kaum Muslimin ketika mula saja Nabi saw. hijrah ke Madinah, namun satu
demi satu perkauman Yahudi itu memungkiri janjinya dan menyatakan sikap
dengkinya.
Yang
pertama ialah Yahudi Bani Qainuqa'. Sesudah kaum Muslimin mencapai kemenangan
dalam peperangan Badr, ketika kaum Muslimin bergembira dan bersyukur, mereka
mencemooh dan mengatakan bahwa kemenangan itu tidak ada artinya, sebab yang
dihadapi ialah orang yang bodoh yang tidak mengerti ilmu perang! "Kalau
kalian berhadapan dengan kami satu waktu kelak, baru kalian tahu kelak siapa
kami! Bukan cukup hingga mencemooh dan memperkecil kemenangan Rasulullah saw.
itu saja, bahkan mereka telah lebih berani. Seorang perempuan Islam pergi ke
pasar Bani Qainuqa' hendak menjual perhiasannya, lalu dia berhenti berteduh di muka
kedai seorang tukang sepuh. Lalu perempuan itu dikerumuni oleh beberapa pemuda
Yahudi. Mereka ingin hendak mempermainkannya dan hendak memegang badannya.
Perempuan itu sangat marah. Lalu oleh Yahudi tukang sepuh itu ditarik ujung
kainnya lalu diangkat ke atas, sehingga seketika dia berdiri kelihatanlah
bahagian badannya yang kita namai kehormatan.
Mereka
pun riuh rendah tertawa. Perempuan itu memekik setinggi-tingginya bercampur
marah dan malu. Lalu kedengaran pekik itu oleh seorang pemuda Islam yang berada
di situ. Disentaknya pisaunya ditikamnya Yahudi tukang sepuh itu. Maka dia pun
dikeroyok oleh Yahudi yang lain sehingga mati pula.
Hal
ini lekas ketahuan oleh Rasulullah. Maka segeralah dikepung benteng pertahanan
Yahudi Bani Qainuqa' itu. Jelaslah bahwa mereka tidak sanggup melawan, sehingga
setelah 15 hari terkepung mereka menyerah. Akhirnya karena permintaan dari
pelindungnya, Abdullah bin Ubay semua mereka diusir dari Madinah.
Kedua
ialah Bani Nadhiir yang ketika Rasulullah datang ke kampung mereka hendak
mengumpulkan uang diyat (ganti qishas), karena ada seorang Muslim membunuh
dengan kekhilafan terhadap kaum yang telah mengikat perjanjian, sesuai dengan perjanjian
yang telah disetujui bersama ketika Nabi mula-mula hijrah. Maka ketika
Rasulullah duduk bersandar berlepas lelah di dinding rumah salah seorang
mereka, mereka telah mengatur komplot hendak membunuh Nabi dengan menjatuhkan
sebuah lesung batu dari sutuh rumah itu tepat mengenai kepala Nabi. Yang kalau
maksud itu berhasil, matilah Nabi waktu itu.
Tetapi Jibril datang memberitahu
dan Nabi segera meninggalkan tempat itu. Sesampai di Madinah Rasulullah
memerintahkan kepada Muhammad bin Muslimah menyampaikan ultimatum Rasulullah:
"Beritahu Bani Nadhiir! Mereka mesti berangkat. meninggalkan Madinah.
Dalam masa 10 hari mesti selesai semua. Kalau masih ada kedapatan yang tinggal
selepas sepuluh akan dipotong lehernya!" Mereka coba juga pada mulanya
hendak bertahan, karena ada bisikan dari kaum Munafiq menyuruh bertahan dan mereka
bersedia membantu. Tetapi setelah Bani Nadhiir bertahan karena janji munafiq
akan membantu, terutama kepala munafiq 'Abdullah bin Ubay ternyata bahwa janji
itu hanya di mulut saja, tidak dalam kenyataan. Rencana mereka bertahan gagal.
Rencana Nabi berlaku sepenuhnya. Mereka mesti berangkat. Boleh bawa seluruh
harta mereka, kecuali senjata. Sebelum berangkat mereka rusak binasakan lebih
dahulu harta benda mereka yang berdiri kokoh.
Ketiga,
ialah Bani Quraizhah. Mereka disapu bersih, laki-laki dihukum bunuh semua,
perempuan-perempuan dan kanak-kanak jadi tawanan. Dengan ini bersihlah kota Madinah, pusat
pertama dari Daulah Islamiyah daripada musuh-musuhnya yang selalu mengganggu
dia, dan yang tinggal di Madinah hanya satu bangsa dan satu suku bangsa, yaitu
Arab. Baik Arab keturunan Adnan, yaitu Muhajirin yang datang dari Mekkah, atau keturunan
Qahthan, yaitu Anshar yang menyambut di Madinah yang berintikan Us dan Khazraj.
Tetapi setelah Yahudi habis, ternyata bahwa sisa-sisa perangai buruk masih
belum habis. Dalam ayat ini dijelaskan tiga macam, yaitu kaum munafiq, kaum
yang dalam hatinya ada penyakit dan pengacau-pengacau.
Perangai
buruk ini ternyata tiga coraknya: 1) munafiq, 2) dalam hati ada penyakit dan 3)
selalu mengacau. Tiga perangai bukan berarti tiga macam golongan, lalu
dibagi-bagi orangnya: si anu munafiq, si fulan berpenyakit dalam hatinya dan si
fulan tukang kacau. Namun kesan atau bekas dari ketiga perangai buruk itu masih
terasa, meskipun Yahudi telah hapus dari Madinah.
Sa'id
'bin Manshur merawikan dari Abi Ruzain, bahwa beliau ini mengatakan:
"Ketiganya itu adalah satu. Artinya ialah bahwa mereka telah mengumpulkan
ketiga perangai tersebut." Perangai munafiq ialah apabila berhadapan mulut
mereka manis, sebagai orang yang setuju. Tetapi kalau berkumpul dengan
kawan-kawannya se faham, kerjanya hanya menyebut yang buruk-buruk saja.
Surat
ke-2, Al-Baqarah dari ayat 8 sampai ayat 20 menguraikan sifat-sifat orang
munafiq. Orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit, menurut keterangan
'Ikrimah, seorang Ulama Tabi'in ialah orang yang fikirannya tidak sehat lagi
karena telah terpusat kepada syahwat terhadap perempuan saja. Ingatannya siang
malam hanya kepada perempuan bagaimana supaya nafsunya lepas dengan berzina.
Orang-orang semacam inilah yang mengintip perempuan yang keluar setelah hari
malam, sehingga terpaksa turun wahyu memerintahkan isteri-isteri Nabi dan
anak-anak perempuan Nabi dan isteri-isteri orang beriman memakai jilbab kalau
keluar dari rumah, baik siang, apalagi malam. Ungkapan Al-Qur'an tentang orang
ini, yaitu "orang-orang yang dalam hatinya ada penyakit", adalah
ungkapan yang tepat sekali. Ahli-ahli ilmu jiwa modern pun berpendapat bahwa
orang semacam ini tidak normal lagi. Baik dia laki-laki atau perempuan.
Penyakit ketagihan bersetubuh itu dinamai "sex maniac". Telah tumpul
otaknya karena kekuatan energi dirinya telah terkumpul kepada alat kelaminnya
belaka. Orang-orang semacam ini dapat mengacaukan masyarakat yang sopan, dia
tidak tahu malu.
Penglihatan
matanya sudah "ganjil", meleleh seleranya melihat pinggul orang perempuan
atau melihat susu mereka di balik kain. "Pengacau-pengacau di Madinah".
"Pengacau-pengacau" kita pilih jadi makna dari kalimat al-murjifuuna.
Sebab Al-Qurthubiy di dalam tafsirnya memberikan tafsiran demikian.
"Al-murjifuuna" di Madinah ialah kaum yang selalu menyiarkan berita-berita
buruk kepada orang-orang yang beriman yang akan menggoncangkan hati mereka.
Kalau Rasulullah pergi berperang, maka sebelum datang berita dari
Rasulullah sendiri mereka terlebih
dahulu telah membuat berita sendiri, misalnya bahwa perang Rasulullah kalah,
khabarnya si anu mati terbunuh, atau sekian ribu musuh telah bersiap hendak
menyerbu ke Madinah". Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Qurthubi dari penafsiran Qatadah.
Ibnu
'Abbas menjelaskan arti irjaaf sebagai pokok kata dari murjifuun, ialah
mencari-cari fitnah. Atau menyebarkan berita-berita bohong untuk mencari
keuntungan dari penyebaran berita begitu". Sebab itu rajafa dan raajifah itu berarti juga goncang dan gempa. Sebab itu
maka tukang-tukang pengacau itu ialah orang-orang yang suka sekali menyebarkan
berita-berita yang menggoncangkan, bahkan mengacaukan. Itulah yang di dalam
kata modem disebut orang tukang propokasi. Tukang kacau, tukang sebarkan berita
bohong. Tukang bikin ribut.
Di
zaman perang dahulu disebut "radio lutut". Orang yang lemah jiwanya, atau
orang banyak yang tidak sempat berfikir (massa psychologi) bisa cepat terpengaruh
oleh berita-berita bohong semacam ini. Maka Tuhan mengancam bahwa jika ketiga
perangai itu masih ada dan bukti-bukti telah dikumpulkan, "akan kami
kerahkan engkau terhadap mereka". Tegasnya kalau perangai-perangai buruk
itu tidak juga diubah, Allah akan mengizinkan Nabi memusnahkan mereka,
menangkapi mereka, memerangi mereka, menghapuskan pengaruh mereka.
Akibatnya
ialah: "Kemudian itu tidaklah mereka akan bertetangga lagi dengan engkau
di situ". Artinya bahwa mereka akan dimusnahkan atau sekurang-kurangnya
bahwa orang-orang yang diragukan kesetiannya disuruh saja pindah ke negeri
lain, sebagaimana telah dilakukan dengan orang-orang Yahudi dari tiga kaum itu,
Bani Qainuqa', Bani Nadhiir dan Bani Quraizhah.
"Kecuali
dalam masa sedikit" (Ujung ayat 60). Artinya ialah bahwa kalau perintah
Allah datang menggencet mereka, tidaklah akan lama mereka dapat hidup sentosa.
Kian lama hidup mereka akan kian sempit. Atau hanya sedikit masa diberi
kesempatan buat mereka tinggal di Madinah. Karena barangsiapa yang dibolehkan
tinggal di Madinah berartilah bahwa dia telah menjadi tetangga Rasulullah..
Bagaimana orang-orang yang telah terang-terangan jadi musuh akan dibiarkan jadi
tetangga. "Mereka dalam keadaan terkutuk di mana saja mereka
dijumpai". (Pangkal ayat 61). Artinya bahwa yang tidak segera mengubah
perangai-perangai buruk itu sekurangnya akan diusir. Memang setelah turun Surat
Baraah atau At-Taubah pernahlah orang-orang yang ditandai masih munafiq itu
diusir keluar dari dalam masjid.
Orang-orang Islam berkata kepada mereka:
"Keluar dari sini! Engkau munafiq!" Maka orang-orang yang telah
terusir itu akan hinalah dia ke mana saja pun dia pergi. Ke mana dia akan pergi
di waktu itu?. Padahal kian lama kekuasaan Islam makin meluas? Niscaya akan
ditanyakan orang: "Dari mana orang baru ini dahulunya?" Bukankah dia
ini dahulu tinggal di Madinah, kota Rasul? Mengapa dia telah di sini sekarang?
Apakah dia dimuntahkan oleh masyarakat Muslimin? "Dan mereka akan dibunuh
sampai semusnah-musnahnya". (Ujung ayat 61). Artinya bahwa kalau mereka
tidak mengubah perangai salah satu dari dua akan mereka temui: Pertama diusir
habis dan menjadi orang hina di mana saja mereka dijumpai. Atau yang kedua,
yaitu dibunuh dibikin habis. Yang kedua ini tidaklah sampai bertemu, karena
dengan meninggalnya orang yang mereka anggap pemimpin mereka, yaitu 'Abdullab,
bin Ubay, maka yang tinggal sudah berdiam diri dan tunduk.[14]
Ibn
Kasir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azîm menjelaskan:
لنغرينك بهم
Niscaya
Kami perintahkan (untuk memerangi) mereka. (al-Ahzab:
60)
Ali
ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud
ialah Kami benar-benar akan menjadikanmu berkuasa atas mereka. Menurut Qatadah,
sesungguhnya Kami akan perintahkan kamu untuk memerangi mereka. As-Saddi
mengatakan bahwa sesungguhnya Kami memberikan pelajaran kepada mereka
melaluimu.
ثم لا يجاورونك فيها
إلا قليلا ملعونين
Kemudian
mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang
sebentar, dalam keadaan terlaknat. (Al-Ahzab: 60-61).
Lafaz mal'u nina berkedudukan menjadi hal atau kata
keterangan keadaan bagi mereka. Yakni masa tinggal mereka di Madinah sebentar
lagi karena dalam waktu yang dekat mereka akan diusir darinya dalam keadaan terlaknat,
yaitu dijauhkan dari rahmat Allah.
أينما ثقفوا أخذوا
Di
mana saja mereka dijumpai, mereka ditangkap. (Al-Ahzab:
61)
Maksudnya,
dimanapun mereka ditemukan, mereka ditangkap karena hina dan jumlah mereka
sedikit.[15]
و قتلوا تقتيلا
Dan
dibunuh dengan sehebat-hebatnya. (Al-Ahzab: 61)
T.M.Hasbi
Ash Shiddiqy dalam Tafsir al Qur’an al
Majid an Nur, menafsirkan Q.S. al-Ahzab ayat 60 yaitu jika orang-orang munafik
dan orang-orang yang pikirannya dipengaruhi hawa nafsu dan orang-orang yang
gemar sekali menyebabkan kabar-kabar bohong yang meng'aibkan kaum Muslimin perangilah
mereka dan pasti engkau dapat mengusir mereka dari kota Madinah.
Mereka hanya
sebentar saja lagi berdiam bersma-sama dengan engkau (bertetangga) di kota
Madinah. Golongan munafik, orang-orang berbudi rendah demikian pula orang-orang
yang suka sekali mengadakan provokasi, diancam oleh Allah dengan peperangan,
pembunuhan atau pengusiran dari negeri. Dalam waktu yang singkat itu mereka
senantasa pula jauh dan rahmat Allah dan ke mana saja mereka pergi, mereka
menghadapi kehinaan bahkan di mana saja mereka berada mereka senantiasa dalam buruan,
penangkapan dan pembunuhan.[16]
Berdasarkan
uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa di dalam Al-Qur'an hanya terdapat
dua surat tentang tetangga yaitu QS. al-Nisa ayat 36 dan Q.S. al-Ahzab ayat
60-61. meskipun hanya dua surat namun maknanya sangat dalam bahwa keimanan dan
Islam seseorang tidak cukup hanya menunaikan lima rukun Islam saja, namun
menjalin hubungan baik dengan tetangga sangat besar pengaruhnya dalam memelihara
amal ibadah.
[1] Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Pustaka
Progressif, Yogyakarta, 1997, hlm. 222.
[2] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir
Al-Qur’an, Jakarta, 1973, hlm. 94.
[3] Depdiknas, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hlm. 1187.
[4] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai
Pustaka, Jakarta, 1976, hlm. 1065.
[5] Sutan Muhammad Zain, Kamus
Modern Bahasa Indonesia, Grafika, Jakarta, tth, hlm. 990.
[6] Waryono Abdul Gahfur, Tafsir
Sosial Mendialogkan Teks Dengan Konteks, Penerbit eLSAQ Press, Yogyakarta,
2005, hlm. 159.
[7] Mochtar Husein, Etika Islam Meneladani Perilaku Rasulullah
Saw, UII Press, Yogyakarta, 2002, hlm. 56-57.
[8] Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an,
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama, 1986, hlm. 123.
[9] Ibid., hlm. 679.
[10] Ahmad Mustafâ Al-Marâgî, Tafsîr
al-Marâgî, Juz. V, Mustafa Al-Babi
Al-Halabi, Mesir, 1394 H/1974 M, hlm. 55-56
[11] Al-Imam al-Hafizh Imaduddin Abu
al-Fida Ismâ'îl ibn Katsîr al-Qurasyî al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’an al-Azîm,
Juz 5, Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, Cairo, tth, hlm. 122-123.
[12] Hamka, Tafsir Al Azhar, juz, V,
PT Pustaka Panji Mas, Jakarta, 1999, hlm. 65-66
[13] Imam Jalal al-Din al-Mahalli, ,
Tafsir Jalalain, Juz. 1, Dâr al-Fikr, Kairo, t.th., hlm. 332.
[14] Hamka, Tafsir Al Azhar, Juz.
22, PT Pustaka Panji Mas, Jakarta, 1999, hlm. 131-135
[15] Ismâ'îl ibn Katsîr al-Qurasyî
al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’an al-Azîm., Dâr al-Ma’rifah, Beirut, 1978, hlm.
196-197
[16] T.M.Hasbi Ash Shiddiqy, Tafsir
al Qur’an al Majid an Nur, Juz 4, PT Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1995, hlm.
3207
No comments:
Post a Comment