Hubungan perkawinan
menimbulkan kewajiban nafkah atas suami untuk istri dan anak-anaknya.[1] Jumhur ulama sepakat
atas wajibnya suami untuk memberikan nafkah kepada
istrinya.[2] Suami harus memberikan nafkah kepada istri, baik sedang hidup bersama maupun sedang bepergian,[3] hal senada
disampaikan Ibnu Rusyd dalam kitabnya
Bidayah al-Mujtahid bahwa ulama berpendapat suami yang bepergian jauh
itu wajib memberikan
nafkah.[4]
Kewajiban
untuk memenuhi nafkah
istri yang telah
dinikahinya ini tidak hilang saat suami bepergian. Bepergiannya
suami pun bukan hanya untuk melakukan perjalanan yang biasa, dengan
tujuan mulia sekalipun, seperti
berperang di jalan Allah pun Islam mengharuskan suami untuk lebih mendahulukan
kewajiban ini.
Dari Ibnu Umar, katanya Umar pernah menulis surat kepada para panglima perang dengan berkata:
“panggillah orang satu persatu, mereka pada
meninggalkan Madinah, perintahkan pulang ke rumah untuk hidup bersama istri mereka
atau mereka harus mengirimkan nafkah istri mereka ke Madinah atau mereka harus
menceraikan istri mereka dan mengirimkan
nafkah mereka yang sudah-sudah”.[5]
1. Kadar nafkah
Ulama fikih sepakat
bahwa nafkah minimal yang harus dikeluarkan adalah yang dapat memenuhi kebutuhan pokok, yakni makanan,
pakaian dan tempat tinggal. Untuk
kebutuhan yang terakhir ini, menurut ulama fikih, tidak harus milik
sendiri, melainkan boleh
dalam bentuk kontrakan, apabila tidak mampu untuk memiliki sendiri.[6] Ulama fikih
telah memahami bahwa dari ketiga unsur kebutuhan primer manusia dalam hal ini keluarga,
terdapat komponen yang paling sulit yakni kebutuhan akan tempat tinggal. Mereka
telah menjelaskan bahwa tidak wajib milik sendiri melainkan dalam bentuk
kontrakan pun diperbolehkan.
Imam Syafi’i
menjelaskan nafkah isteri di ukur dengan ukuran syara’ yang disesuaikan dengan kemampuan
seorang suami. Orang kaya memberikan dua mud sehari, orang yang sedang memberikan
satu setengah mud sehari dan orang tak berpunya memberikan satu mud sehari. Hal
ini sedikit berbeda dengan pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad
yang mengatakan nafkah istri itu diukur dan di takar dengan keadaan.[7]
Wajib hukumnya bagi
suami kaya memberi nafkah kepada istri yang kaya, yaitu sebanyak nafkah yang biasa diberikan
kepada orang kaya. Sedangkan suami yang
miskin wajib memberi nafkah kepada istri yang miskin sesuai dengan
kecukupannya. Suami yang kaya wajib memberi nafkah kepada istri yang miskin
dengan nafkah pertengahan antara dua nafkah mereka. Suami yang fakir memberikan
nafkah kepada istri yang kaya adalah sekadar yang diperlukannya.[8]
Ukuran atas semua pembiayaan
dan belanja suami kepada keluarga adalah kedudukan sosial dan tingkat kehidupan
ekonomi suami dan keluarga tersebut. Tidak
melebih-lebihkan yang membawa
kepada beban kesanggupan suami dan tidak pula menyedikitkan tanggung jawab atas
kesanggupan suami terhadap pemberian
nafkah kepada keluarga. Semua berjalan
sesuai dengan kemampuan suami dengan apa yang dihasilkan dari mata pencahariannya
sehari-hari.
Dijelaskan di dalam
kitab al-Raudhah: “yang benar adalah pendapat yang menyatakan tidak diperlukannya
adanya ukuran tertentu.” Hal ini disebabkan adanya perbedaan waktu, tempat,
keadaan dan kebutuhan sehari-hari pada setiap individu.[9] Selain
karena tidak ada ketentuan syariat yang menetapkan ketentuan kadar dan dengan
melihat perbedaan di atas tersebut.
2. Batalnya memberikan nafkah
Istri yang
ditalak tiga tidak
berhak mendapatkan nafkah, selain
itu nafkah bisa gugur apabila istri nusyuz:[10] para
ulama madzhab sepakat bahwa istri yang
melakukan nusyuz tidak berhak atas nafkah
yang diberikan suaminya, mereka hanya berbeda pendapat tentang batasan nusyuz yang mengakibatkan
gugurnya nafkah.[11]
Hanafi berpendapat
manakala istri bertempat tinggal di rumah suaminya dan tidak keluar dari rumah tanpa
seizin suaminya, maka dia masih disebut istri
yang patuh sekalipun tidak bersedia untuk
dicampuri. Sedangkan ulama yang lainnya berbeda pendapat, mereka
berpandangan bahwa apabila istri tidak memberi kesempatan kepada suami untuk menggauli
dirinya dan berkhalwat dengannya tanpa alasan berdasarkan syara’ maupun rasio.
Akan dipandang bagi istri tersebut melakukan nusyuz yang mengakibatkan suami
tidak berkewajiban memberikan nafkah kepadanya.
[1] H.M.A
Tihami, Sohari sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih
Nikah Lengkap, (Jakarta : Rajawalipers,
2010), 161
[2] Muhammad Ibnu
Rusyd, Bidayah al-Mujtahid
wa Nihayatul Muqtasid, (Kairo : Darussalam,2006), 1359
[3] Muhammad
Rawwas Qal’ahji, Ensiklopedi Fiqih
Umar bin Khatab
r.a, Cet.I, Penerjemah Muhammad Abdul
Mujieb et al, Kitab Asli;
Mausu’ah Fiqh Umar Ibnil
Khat}ab, (Jakarta : PT
Raja Grapindo Persada, 1999), 392
[4] Muhammad Ibnu Rusyd, Bida<yah al-Mujtahid wa
Niha<yatul Muqtashid, 1363
[5] Muhammad Rawwas Qal’ahji, Ensiklopedi Fiqih Umar
bin Khattab ra, 39216Abdul Aziz Dahlan et al, Ensiklopedi Hukum Islam, hal 1281
[6] Abdul Aziz Dahlan et al, Ensiklopedi Hukum Islam,
hal 1281
[7] T.M. Hasby Ash-Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqih Islam,
(Jakarta : Bulan Bintang, 1991), 286
[8] Muhammad
bin Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat
Madzhab, Cet.XIII (Bandung : Hasyimi Press, t.t.), 411
[9] Kamil
Muhammad ‘Uwaiah, Fikih Wanita edisi
lengkap (al-Jami’fii Fiqh al-Nisa’),Penerjemah Muhammad Abdul Ghoffar
E.M., (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2007), 453
[10] Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakah{at (Kajian
Fiqih Nikah Lengkap), 161-162
[11] Muhammad
Jawad Mughniyah, Fiqih Lima
Madzhab Ja’fari, Hanafi,
Maliki, Syafi’i, Hambali,
(Jakarta : Lentera, Cetakan 25, 2010), 402
No comments:
Post a Comment