DASAR HUKUM HARTA BERSAMA SEBAB PEMBATALAN PERNIKAHAN



Dengan putusnya  hubungan  perkawinan  sebab  pembatalan,  maka  akan timbul suatu permasalahan mengenai akibat hukum dari pembatalan perkawian tersebut. Salah satu dari beberapa akibat hukum yang timbul dari pembatalan perkawinan adalah mengenai status harta bersama yang dimiliki oleh pasangan suami isteri tersebut. 

Dan mengenai status harta bersama tersebut ada beberapa dasar hukum  yang mengatur adanya harta bersama dalam sebuah ikatan perkawinan yang mana apabila suatu perkawinan berlangsung maka seketika itu juga timbullah harta bersama antara suami isteri. 

Apabila perkawinannya putus karenan perceraian, kematian dan karena alasan putusan perkawinan yang lainnya maka salah satu akibat hukum putusnya  suatu  perkawinan  adalah  harta bersama.

Dasar hukum harta bersama dalam sebuah perkawinan dapat diambil dari dasar fikih munakahat dan hukum perkawinan di Indonesia sebagai berikut:

1.  Dasar hukum harta bersama dalam Fikih Munakahat

Apabila akad nikah terlaksana, maka secara otomatis terjadi harta bersama. pendapat ini dipusatkan pada akad nikah yang merupakan mitsaqan ghalidza,  sebuah ikatan yang kokoh, yang kuat, yang menggunakan kalimat-kalimat  Allah  untuk menghalalkan  apa  yang semula diharamkan. 

Perjanjian yang kuat ini tidak semata  berdampak pada halalnya hubungan  suami-isteri, tapi terhadap semua aspek kehidupan termasuk di dalamnya adalah mengenai harta yang didapatkan selama ikatan perkawinan. Beberapa ayat Qur’an yang dianggap mendukung adalah sebagai berikut :

a. QS. An-Nisa’: 19

“Dan bergaulah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan  padanya kebaikan  yang banyak.” (QS.  An-Nisa’ : 19)

b. QS. Nisa’ : 21

“Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah  bergaul  (bercampur)  dengan yang lain sebagai suami isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.”

c. QS. An-Nisa : 34

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”

d. QS. Ar-Rum : 21

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri  dari  jenismu  sendiri, supaya  kamu  cenderung  dan merasa aman dan tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.” (QS. Ar-Rum : 21)

e. QS. Al-Baqarah: 228

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah maha perkasa, maha bijaksana.”

Dari beberapa ayat Al-Qur’an di atas adalah beberapa ayat yang bisa digunakan sebagai dasar hukum adanya harta bersama dalam  sebuah  ikatan perkawinan,  yakni  dari  beberapa  ayat  di  atas  dapat  difahami atau dimaknai sebagai berikut:

Ayat pertama (4:19) yang memerintahkan kepada suami untuk mempergauli  isteri  dengan baik  dianggap sebagai sebuah perintah untuk merelakan sebagian hasil  kerja suami untuk isteri dalam bentuk pemilikan bersama terhadap  harta. 

Ayat  kedua  (4:21) yang melarang suami  menarik kembali  apa-apa  yang telah diberikannya kepada isteri dipandang sebagai relasi dari ayat pertama ketika terjadi perceraian.

Ayat ketiga (4:34) yang menyatakan bahwa suami adalah  pemimpin bagi perempuan karena mereka menginfakkan harta pendapatan suami melalui harta  bersama kepada isteri.

Ayat keempat (30:21) yang menyatakan bahwa suami dan isteri  diciptakan  dari  jenis  yang  sama  untuk  mencurahkan  kasih sayang dipandang sebagai wujud pencurahan kasih sayang itu dengan memberikan sebagian harta dalam bentuk harta bersama.

Ayat kelima (2:228) yang menyebutkan bahwa masing-masing  suami dan isteri memiliki hak dan kewajiban yang sepadan  dipandang  sebagai adanya hak isteri terhadap  harta yang didapatkan suami.

 Semua ayat di atas dipandang mendukung kesatuan harta suami isteri secara total yang diwujudkan dalam akad nikah. Karena akad nikah adalah sebuah  bentuk  persatuan yang kuat, mengikat semua bentuk aktivitas suami dan isteri dan bersifat kekal maka tidak diperlukan akad syirkah untuk menyatukan harta suami dan isteri.[1]

2.  Ketentuan dalam Hukum Perkawinan di Indonesia

Dasar hukum harta bersama diatur dalam hukum perkawinan di Indonesia. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan mengatur harta kekayaan dalam perkawinan, pada bab VII dalam judul harta benda dalam perkawinan. Bab ini terdiri dari tiga pasal. Selengkapnya akan dikutip berikut ini:

Pasal 35

(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama;

(2)  Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak mentukan lain.

Pasal 36

(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak;

(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri  mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Pasal 37

Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.[2]

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga mengatur tentang harta bersama. Secara berurutan akan dikutip sebagai berikut:

Pasal 85

Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri.

Pasal 86

(1)  Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan.

(2)  Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.

Pasal 87

(1) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh  masing-masing  sebagai  hadiah atau warisan adalah di  bawah penguasaan  masing-masing para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan;

(2) Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya.

Pasal 88

Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaiannya perselisihan itu diajukan kepada pengadilan Agama.[3]





[1] Dedi Susanto, Kupas Tuntas  Masalah  Harta  Gono  Gini,  Yogyakarta:  Pustaka  Yustisia, 2011, hlm.130-133
[2] UU Perkawinan (Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974), Semarang:  Aneka  Ilmu,  1990, hlm. 13
[3] Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Fokus Media, 2007,  hlm. 31-32.

No comments:

Post a Comment