MAHAR BERUPA JASA MENURUT MAZHAB IMAM ABU HANIFAH



Abu Hanifah dari madzhab Hanafi, berpendapat bahwa mahar adalah kewajiban tambahan dalam akad nikah, sama statusnya dengan  nafkah. Mahar mengajarkan al-Qur’an atau melayani istri menurut  Imam Kamaluddin bin al-Humam al-Hanafi dalam  kitab  Syarh  Fathul  Qadir yaitu: 

و ان تزوج حر امرأة على خدمته لها سنة او على تعليم القرآن صح النكاح و لها مهر المثل و قال محمد لها قيمة خدمته سنة و ان تزوج عبد امرأة بإذن مولاه على خدمته لها سنة جاز و له الخدمة

“Jika seseorang  yang merdeka menikah  dengan  mahar  akan melayani  istri 1 tahun atau mengajarinya al-Qur’an, maka bagi istri adalah mahar mitsil. Muhammad berkata: bagi istri tersebut adalah harga pelayanan.  Jika seorang hamba sahaya menikah dengan izin tuannya dengan mahar melayani istri selama 1 tahun, maka diperbolehkan dan bagi  istri  mendapat  pelayanan suami tersebut”.[1] 

Penjelasan dari kitab di atas adalah jika seseorang yang merdeka, menikah dengan mahar akan  melayani istri selama satu tahun atau mengajarinya al-Qur’an, maka bagi istri adalah mahar mitsil.

Pendapat hukum mengajarkan al-Qur’an sebagai  mahar  menurut Imam Kamaluddin bin al-Humam al-Hanafi dengan mengutip Imam  Abu Hanifah yaitu bahwa mengajarkan al-Qur’an sebagai mahar adalah  fasad (rusak) dan harus mengganti mahar mitsil. Alasan hukumnya terdapat dalam kitab Syarh Fathul Qadir karangan Imam Ibnu al-Humam, sebagai berikut:

ولأني حنيفة ان الموجب الأصلي مهر المثل إذ هو الأعدل و العدول عنه عند صحة النسمية و قد فسدت لمكان الجهالة

“Menurut Abu Hanifah, sesungguhnya yang asli diwajibkan adalah  mahar mitsil  karena mahar  mitsil itu  yang  paling  adil, dan kalaupun  ada yang mengadakan perpindahan memilih tidak memakai mahar  mitsil itu dibolehkan ketika mereka telah memilih mahar musamma,  menurut  Abu  Hanifah  itu  tidak  sah atau rusak karena tidak jelas”.[2] 

Dasar Imam Kamaluddin bin al-Humam al-Hanafi dalam mengajarkan al-Qur’an sebagai mahar diganti dengan mahar mitsil adalah dalam firman Allah QS. an-Nisa’ ayat 24:

و المحصنت من النساء إلا ما ملكت ايمنكم كتب الله عليكم و أحل لكم ما وراء ذلكم ان تبتغوا بأموالكم محصنين غير مسفحين فما استعتمتم به منهن فأتوا أجورهن فريضة و لا جناح عليكم فيما ترضيتم به من بعد الفريضة ان الله كان عليما حكيما

“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai  ketetapan-Nya atas  kamu.  Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu  nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna),  sebagai suatu kewajiban; dan  Tiadalah  mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.[3]

Fungsi kata bi pada kalimat bi amwalikum dalam ayat ini menunjukkan memiliki hak untuk mendapatkan manfaat dengan jalan mengganti, yaitu dengan membayar mahar.

Sejalan dengan Abu Hanifah, menurut al-Kasani yang juga dari madzhab Hanafi menyebutkan bahwa mahar merupakan ganti kepemilikan manfaat.  Suami  berhak  mendapat  manfaat  dari  isteri, dengan terjadinya transaksi (ijab dan kabul). Suami  harus  membayar  mahar untuk  mendapat hak manfaat ini.

Ulama Hanafiah mengatakan jika laki-laki menikah  dengan  mahar manfaat  benda berupa menghuni rumah miliknya (laki-laki), menaiki hewannya,  mengangkut barang bawaan di atas untanya, menanam di lahannya selama  kurun waktu tertentu, maka penyebutan mahar sah dan perempuan berhak mendapatkan manfaat yang telah  disebutkan.  Hal  ini tidak ada perselisihan.[4]

Ukuran minimal mahar mitsil menurut Abu Hanifah adalah sepuluh dirham,[5] jika lelaki menikah dengan mahar berupa benda yang dapat diukur, ditimbang, atau dihitung sedangkan harganya pada waktu akad setara dengan 10 dirham atau lebih, kemudian harganya berkurang di bawah 10 dirham sebelum diserahkan, maka perempuan tidak memiliki hak untuk menuntut lebih, karena yang dianggap adalah  harga di saat akad. Adapun jika lelaki menikah dengan mahar benda yang harganya setara 8 dirham di saat akad, maka perempuan menuntutlah dua sisanya, meski harganya di saat penyerahan naik  menjadi 10 dirham. Dasar hukumnya adalah hadits yang diriwayatkan dalil yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dan al-Baihaqi sebagai berikut:

عن جابر بن عبد الله رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم لا ينكح النساء إلا كفؤا و لا يزوجهن إلا الأولياء و لا مهر دون عشرة دراهم

“Dari Jabir ibn Abdullah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Jangan nikahkan wanita kecuali sekufu’ dan jangan mengawinkan wanita kecuali para walinya, dan tidak ada mahar yang kurang dari sepuluh dirham”.[6]

Menikah dengan mahar manfaat maknawi (manfaat bersifat abstrak) seperti mengajar al-Qur’an, fiqh, ilmu agama yang lain, atau mengajar halal-haram  sesuatu, merupakan pendekatan kepada  Allah yang tidak boleh memberikan  uang  sewa  atas  pengajaran itu, maka  terdapat perselisihan  pendapat. 

Tiga imam Hanafiyah  (Abu  Hanifah,  Abu  Yusuf, Muhammad  bin  Hasan  al-Syaibani) berpendapat bahwa al-Qur’an dan hukum-hukum agama tidak boleh dijadikan pengajaran sebagai imbangan harta sehingga tidak sah untuk  dijadikan mahar, namun darinya wajib dibayar mahar mitsil, karena ia  merupakan manfaat  yang tidak  bisa mengimbangi harta (tidak bisa dihitung dengan uang).[7]

Terkadang memberi fatwa tentang diperbolehkannya mengambil gaji atas pengajaran al-Qur’an dan  ilmu-ilmu agama karena  darurat,  karena terkadang tidak ditemukan orang yang mengajarkan ilmu-ilmu agama padahal hal itu wajib atas kaum muslimin.

Kaidahnya adalah sesuatu yang patut mendapatkan upah sah dijadikan  mahar, karena upah merupakan harta yang  memiliki  harga  yang bisa  menjadi mahar. Berdasarkan hal ini, boleh memfatwakan keabsahan menjadikan  pengajaran  al-Qur’an  dan  fiqh  sebagai  mahar  secara  pasti.

Sebagian ulama menentang pendapat itu dari  sisi  yang lain,  yakni dengan melihat bahwa dengan demikian laki-laki akan menjadi pembantu perempuan,  sedangkan pembantu lelaki  merdeka terhadap perempuan diharamkan maka tidak bisa menjadi mahar. Penentangan ini tidak ada arti apa-apa, karena seorang pengajar al-Qur’an dan ilmu tidak bisa disebut sebagai pembantu, bahkan secara urfi ia disebut sebagai tuan.[8]

Mahar selain pengajaran, seperti menikah dengan mahar ketaatan laki-laki  terhadap perempuan yang mana ketaatan tersebut tidak  boleh diberi upah seperti menikah dengan mahar laki-laki  menjadi  badal  haji perempuan maka tidak sah dan bagi perempuan ditetapkan mahar  mitsil.

Lelaki menikah dengan perempuan dengan mahar berupa menalak seorang perempuan tanpa disertai dengan harta maka sama juga tidak sah dan bagi perempuan ditetapkan mahar mitsil, begitu pula jika lelaki menikah dengan mahar berupa menjadi pelayan perempuan sedangkan dia adalah orang merdeka dan bukan seorang hamba sahaya, maka tidak sah.[9]

Suami memiliki hak bertindak atas perempuan, jika dia menjadi pembantu  perempuan, maka lelaki dianggap remeh jika perempuan mempunyai hak menggunakan lelaki seperti tuan menggunakan hambanya. Hal ini tidak diperbolehkan, berbeda jika memang lelaki tersebut adalah hamba sahaya dan perempuan rela lelaki tersebut menjadi suaminya, maka sah lelaki tersebut menikah dengan perempuan tersebut dengan mahar menjadi pelayan bagi perempuan  tersebut, karena sifat kepelayanan sudah melekat pada lelaki itu, maka tidak ada penghalang untuk melayani isterinya.

Pelayanan yang tidak dianggap hina, menikah dengan mahar menanamkan  tanaman bagi perempuan di tanah milik perempuan itu sendiri, atau menggembalakan kambing  milik  perempuan  selama  waktu tertentu, maka hal ini sah untuk menjadi mahar, menurut pendapat yang benar. Para ulama menyatakan dalam pembahasan ijarah  (sewa  orang), anak tidak boleh menyewa ayahnya untuk menjadi pembantu, tetapi boleh menyewanya untuk menggembala, bertani karena tidak ada kehinaan sama sekali.

Pelayanan yang tidak hina pula, menikah dengan mahar menggembalakan kambing ayah si perempuan seperti yang terjadi pada Nabi Musa a.s.  dengan mertuanya yakni Nabi  Syuaib  a.s.  yang telah dikisahkan  oleh  Allah  dalam al-Qur’an.  Syari’at  kaum  sebelum  kita merupakan syari’at bagi kita jika tidak ada nasikh (hukum pengganti). Keadaan seperti ini, wali mengganti mahar mitsil bagi si istri.[10]

Seorang laki-laki menikah dengan mahar mendatangkan perempuan lain yang  merdeka  sebagai pelayan  maka mahar sah  jika perempuan yang lain itu rela, jika seorang lelaki menikah dengan mahar mendatangkan laki-laki lain sebagai pelayan selama waktu tertentu dan laki-laki lain itu rela, maka mahar demikian ini tidak boleh jika pelayanan laki-laki lain itu bisa menjadikan fitnah, dengan demikian  mahar diganti dengan harga pelayanan itu. 

Mahar dengan mendatangkan laki-laki lain yang tidak ada kekhawatiran terjadinya fitnah, maka  boleh-boleh saja, sedangkan jika laki-laki lain itu tidak rela menjadi pelayan maka mahar ditetapkan harga pelayanannya. Seorang laki-laki menikah dengan mahar mendatangkan laki-laki lain sebagai pelayan selama waktu yang tidak ditentukan, dalam masalah ini juga terdapat perincian yang telah disebutkan yakni boleh jika tidak ada fitnah dan tidak boleh jika ada fitnah.




[1] Imam  Kamal  bin  Muhammad  bin  Abdulrahim  al-Ma’ruf  bin  al-Humam  al-Hanafi, Syarh Fathul al-Qadir, Juz 3, Beirut Libanon: Darl al-Kutub al-‘Ilmiyah, tt, h. 326.
[2] Ibid., h. 339.
[3] Yayasan Penyelenggara  Penterjemah al-Qur’an, Al-Qur’an  dan  Terjemahnya, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2006, h. 65.
[4] Wahbah al-Zuhaily,  al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu,  Juz IX, Beirut Libanon: Dar al-Fikr, tt, h. 6758.
[5] Imam Kamal bin Muhammad bin Abdulrahim al-Ma’ruf bin al-Humam al-Hanafi, op. cit., h. 335.
[6] Ahmad bin al-Husain bin Ali bin Musa Abu Bakr al-Baihaqiy, Sunan al-Baihaqiy al-Kubra, Juz VII, h. 240.
[7] Wahbah al-Zuhaily, op. cit., h. 6768.
[8] Abdurrahman Jaziri, Kitab Fiqh ala Madzhabi Arba’ah, Juz IV, Beirut Libanon: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1990, h. 98.
[9] Ibid.
[10] Ibid., h. 99.

No comments:

Post a Comment