Diperbolehkan mendahulukan maf’ul bih atas fa’il atau
mengakhirkannya pada semisal (كَتَبَ زُهَيْرٌ
الدَّرْسَ) dan (كَتَبَ الدَّرْسَ
زُهَيْرٌ).
Diwajibkan mendahulukan salah satu dari fa’il dan maf’ul
di lima tempat, yaitu:[1]
a. Ketika
khawatir terjadinya kesamaran, karena samarnya i’rab beserta tidak adanya
qarinah, sehingga tidak bisa diketahui mana fa’il dan maf’ulnya. Maka
diwajibkan untuk mendahulukan fa’il, seperti (عَلَّمَ
مُوسَى عِيْسَى). Dan jika
tidak ada kesamaran karena ada qarinah yang menunjukkannya, maka diperbolehkan
untuk mendahulukan maf’ul, seperti (اَكْرَمَتْ
مُوسَى سَلْمَى).
b. Ketika ada dlamir yang kembali kepada maf’ul bersambung
dengan fa’il, sehingga diwajibkan untuk mengakhirkan fa’il dan mendahulukan
maf’ul, seperti (اَكْرَمَ
سَعِيْداً غُلاَمُهُ) dan tidak diperbolehkan
mengucapkan (اَكْرَمَ
غُلاَمُهُ سَعِيْداً). Namun, jika ada dlamir yang
kembali kepada fa’il bersambung dengan maf’ul, maka diperbolehkan mendahulukan
maf’ul atau mengakhirkannya, seperti (اَكْرَمَ
الْاُسْتاَذُ تِلْمِيْذَهُ وَ اَكْرَمَ تِلْمِيْذَهُ الْأُسْتاَذُ).
c. Ketika fa’il dan maf’ul berupa dlamir semua, dan tidak
ada peringkasan pada salah satunya, maka diwajibkan untuk mendahulukan fa’il
dan mengakhirkan maf’ul, seperti (اَكْرَمْتُهُ).
d. Salah satu dari fa’il dan maf’ul berupa dlamir muttashil
dan yang lainnya berupa isim dzahir, maka diwajibkan untuk mendahulukan yang
berupa isim dlamir, sehingga fa’il didahulukan pada semisal, (اَكْرَمْتُ
عَلِياًّ), dan maf’ul didahulukan pada semisal, (اَكْرَمَنِي
عَلِيٌّ).
e. Ketika salah satu dari fa’il dan maf’ul meringkas pada
fi’il dengan (اِلاَّ) atau (اِنَّماَ), maka
diwajibkan untuk mendahulukan dari fa’il dan maf’ul yang fi’il teringkas
padanya, maf’ul yang diringkas adalah seperti (ماَ
اَكْرَمَ سَعِيْدٌ اِلاَّ خاَلِداً), dan fa’il
yang teringkas adalah seperti (ماَ
اَكْرَمَ سَعِيْداً اِلاَّ خاَلِدٌ وَ اِنَّماَ اَكْرَمَ سَعِيْداً خاَلِدٌ).
Wajib Mendahulukan Maf’ul atas Fi’il
dan Fa’il
Diperbolehkan mendahulukan maf’ul bih atas fi’il dan
fa’il secara bersamaan pada semisal (عَلِياًّ
اَكْرَمْتُ) dan (اَكْرَمْتُ
عَلِياًّ).
Wajib mendahulukan maf’ul atas fi’il dan fa’il di empat
masalah, yaitu:[2]
a. Maf’ul
berupa isim syarat, seperti (مَنْ يُضْلِلِ
اللهُ فَماَ لَهُ
مِنْ هاَدٍ).
b. Maf’ul berupa isim istifham, seperti (فَأَيَّ
آيَاتِ
اللهِ تُنْكِلرُونَ؟).
c. Maf’ulnya berupa (كَمْ) atau (كَأَيِّنْ) yang
khabariyyah, seperti (كَمْ كِتاَبٍ مَلَكْتَ!) dan (كَأَيِّنْ مِنْ عِلْمٍ حَوَيْتَ!).
d. Ketika yang menashabkan maf’ul itu adalah jawabnya (اَماَّ), dan tidak
ada bagi jawabnya (اَماَّ) isim yang
dibaca nashab yang didahulukan selain maf’ul itu, seperti (فَأَماَّ
الْيَتِيْمَ فَلاَ تَنْهَرْ وَ اَماَّ السَّائِلَ فَلاَ تَنْهَرْ).
Mendahulukan Salah Satu Maf’ul
Ketika maf’ul berbilang dalam kalam, maka ada sebagian
yang memang asal didahulukan atas yang lainnya, adakalanya memang asalnya
adalah mubtada’ seperti dalam bab (ظَنَّ), atau
adakalanya maf’ul berupa fa’il makna seperti dalam bab (اَعْطَى).
Kedua maf’ulnya (ظَنَّ) dan sesamanya
asalnya adalah mubtada’ dan khabar, sehingga ketika kita mengucapkan (عَلِمْتُ
اللهَ رَحِيْماً) “aku yakin, Allah adalah Dzat
yang Maha Penyayang,” maka asalnya adalah (اللهُ
رَحِيْمٌ). Dan kedua maf’ulnya (اَعْطَى) dan sesamanya
asalnya bukanlah mubtada’ dan khabar, namun maf’ul yang pertama adalah fa’il
dalam makna, sehingga ketika kita mengucapkan (اَلْبَسْتُ
الْفَقِيْرَ ثَوباً) “aku telah memakaikan pakaian
kepada orang fakir,” maka (الْفَقِيْرَ) adalah fa’il
dalam makna karena dialah yang memakai pakaian.
Ketika fi’il menashabkan dua maf’ul, maka yang asal
adalah mendahulukan maf’ul pertama, karena asalnya adalah mubtada’ dalam bab (ظَنَّ) dan karena
asalnya adalah fa’il makna dalam bab (اَعْطَى), seperti (ظَنَنْتُ
الْبَدْرَ طاَلِعاً) dan (اَعْطَيْتُ
سَعِيْداً الْكِتاَبَ). Dan diperbolehkan untuk
membaliknya jika diamankan dari keserupaan,[3]
seperti (ظَنَنْتُ طاَلِعاً الْبَدْرَ) dan (اَعْطَيْتُ
الْكِتاَبَ سَعِيْداً).
Diwajibkan mendahulukan salah satu maf’ul atas yang
lainnya di empat masalah, yaitu:[4]
a. Tidak
bisa diamankan dari kesamaran, maka diwajibkan mendahulukan maf’ul yang haknya
adalah didahulukan, yaitu maf’ul yang pertama, seperti (اَعْطَيْتُكَ اَخاَكَ), jika yang dikhithabi adalah yang diberi yang mengambil dan
saudaranya adalah yang diberi yang diambil, dan semisal (ظَنَنْتُكَ خاَلِداً), jika Said adalah yang disangka kalau dia adalah Khalid. Dan
jika tidak maka dibalik.
b. Jika salah satu
dari kedua maf’ul adalah isim dzahir dan yang lainnya berupa isim dlamir, maka
diwajibkan untuk mendahulukan maf’ul dlamir mengakhirkan maf’ul isim dzahir,
seperti (اَعْطَيْتُكَ دِرْهَماً) “aku
memberi kamu satu dirham.” Dan (الدِّرْهَمَ
اَعْطَيْتُهُ سَعِيْداً) “dirham aku memberikannya
kepada Said.”
c. Jika salah satu maf’ul meringkas fi’il, maka diwajibkan
untuk mengakhirkan maf’ul yang diringkas, baik berupa maf’ul pertama atau yang
kedua, seperti (ماَ اَعْطَيْتُ
سَعِيْداً إِلاَّ دِرْهَماً) “tidaklah aku memberi Said
kecuali satu dirham,” dan (ماَ
اَعْطَيْتُ الدِّرْهَمَ إِلاَّ سَعِيْداً) tidaklah
aku memberi satu dirham kecuali kepada Said.”
d. Ketika maf’ul pertama mengandung dlamir yang kembali
kepada maf’ul kedua, maka diwajibkan untuk mengakhirkan maf’ul pertama dan
mendahulukan maf’ul kedua, seperti (اَعْطِ
الْقَوسَ باَرَيْهاَ).
manfaat banget
ReplyDeleteBarakallah. Sangat bermanfaat. Membantu tugas saya :)
ReplyDelete