Mengenai
ihdad (berkabung) dan permasalahannya Ibnu Rusyd menjelaskansebagai berikut.
“Kaum
Muslimin telah sepakat bahwa ihdad (berkabung) wajib hukumya atas perempuan
muslimah yang merdeka dalam iddah kematian suami. Al-Hasan yang berbeda pendapatnya.
Kemudian berselisih pendapat mengenai
perempuan-perempuan yang selain itu,
mengenai selain iddah kematian suami, serta mengenai hal-hal yang dilarang bagi perempuan yang sedang ber-ihdad
dan hal-hal yang dibolehkan untuknya.”
Ulama
bersepakat terhadap kewajiban ihdad atas seorang perempuan pada masa
meninggalnya seorang suami, yakni dari pernikahan yang sah meskipun seorang
perempuan belum di dukhul, adapun dasar dari pernyataan tersebut adalah Hadits
Nabi S.A.W.:
حدثنا
محمد بن مثنى حدثنا محمد بن جعفر حدثنا شعبة عن حميد بن نافع قال سمعت زينب بنت ام
سلمة قالت توفي حميم لأبي حبيبة فدعت بصفرة فمسحته بذراعيها و قالت إنما أصنع هذا
لأني سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول لا يحل لامرأة تؤمن بالله و اليوم
الآخر ان تحد فوق ثلاث إلا على زوج أربعة أشهر و عشرا و حدثته زينب عن أمها و عن
زينب زوج النبي صلى الله عليه و سلم او عن امرأة من بعض أزواج النبي صلى الله عليه
و سلم (رواه مسلم)
“Menceritakan
padaku Muhammad bin al-Mutsanna menceritakan
padaku Ja’far, menceritakan padaku Syu’bah dari Humaid bin Nafi’ berkata
aku mendengarkan Zainab binti Umm Salamah berkata Hamim (saudara laki-lakinya)
meninggalkan Ummi Habibah, kemudian Umi
Habibah memakai wangi-wangian berwarna kuning, kemudian mengusapnya dengan dua tangannya, dan Ummi Habibah berkata sesungguhnya aku memakai
wangi-wangian ini karena aku mendengarkan Rasulullah S.A.W bersabda,
“Tidak boleh seorang perempuan yang
beriman kepada Allah dan hari akhir berkabungdi atas tiga hari, kecuali untuk
suaminya selama empat bulan sepuluh hari. Dan Ummi Habibah memberitahukan tentang
ibunya dan tentang Zainab isteri Rasulullah, dan tentang seorang perempuan yang
menjadi bagian istri Rasul.” (HR. Muslim)
Sebagaimana
yang telah disepakati oleh para Ulama, atas dasar hadits tersebut tidak terdapat
masa ihdad bagi laki-laki. Dan atas dasar tersebut menunjukkan bahwa atas dasar
hadits tersebut, maka bagi seorang perempuan, tidak terdapat ihdad yang tertalak
raj’iy. Akan tetapi, Imam Syafi’y berpendapat bahwa bagi perempuan yang
tertalak raj’iy sunnah melakukan
ihdad jika tidak terdapat harapan antara
suami isteri rujuk kembali.[1]
Imam
Syafi’iy menemukan seorang perempuan wajib berihdad, dan sebagian sahabat
berpendapat pula, bahwa yang lebih baik baginya ia menghias diri dengan sesuatu
yang mendorong suami kembali padanya, sedangkan perempuan yang ditalak karena
khuluk. Maka ada dua qaul, dan qaul yang lebih unggul dari keduanya juga tidak wajib
ihdad karena dia iddah dari talak,
sehingga menyerupai perempuan yang ditalak raj’iy dan ia juga diputuskan dengan
talak, sehingga tidak dapat dibebani
dengan kesusah-payahan, berbeda
dengan perempuan yang ditinggal mati suaminya menurut qaul qadim,
ia wajib berihdad karena ia ditalak ba’in dan sedang beriddah serupa dengan perempuan yang
ditinggal mati suaminya.[2]
Imam
Malik berpendapat bahwa ihdad diwajibkan atas perempuan muslimah dan ahli kitab,
baik yang masih kecil maupun sudah dewasa. Mengenai hamba perempuan yang ditinggal mati oleh orang tuannya,
baik ia sebagai ummul walad[3] (hamba perempuan yang
telah memperoleh anak dari tuannya) atau bukan, maka menurut Imam Malik, tidak
wajib ihdad atasnya. Pendapat ini juga dikemukakan oleh para fuqaha amshar (fuqaha
negeri-negeri besar). Pendapat Imam Malik yang terkenal mengenai ahli kitab
ditentang oleh Ibnu Nafi’ dan Asyhab (dua orang di antara pengikut Imam Malik).
Tetapi, pendapat keduanya ini juga diriwayatkan
oleh keduanya dari Imam Malik, dan orang
pengikut Imam Malik juga dikemukakan oleh Imam Syafi’i, yakni bahwasanya tidak ada kewajiban ihdad
perempuan ahli kitab.
Dalam
kaitan ini, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak ada ihdad atas perempuan
yang masih kecil dan perempuan ahli kitab. Dan segolongan fuqaha berpendapat bahwasanya tidak ada ihdad atas hamba perempuan
yang telah dikawini oleh tuannya. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Imam Abu
Hanifah.
Demikianlah
silang pendapat fuqaha yang terkenal berkenaan dengan perempuan-perempuan yang wajib
ber-ihdad di antara berbagai macam isteri, dan perempuan-perempuan yang tidak
wajib ber-ihdad. Mengenai silang pendapat fuqaha berkaitan dengan masalah
ihdad, Imam Malik berpendapat bahwa tidak ada ihdad, kecuali pada iddah kematian
suami. Imam Abu Hanifah dan Tsauri berpendapat bahwa ihdad pada iddah karena talak
ba’in wajib hukumnya. Sedangkan menurut pandangan Imam Syafi’i, ia hanya
menganggap ber-ihdad bagi perempuan yang ditalak, tetapi ia tidak
mewajibkannya.
Mengenai
untuk siapa dia melakukan ihdad, hampir semua Ulama berpendapat bahwa ihdad
hanya dilakukan untuk suami yang menikahinya dengan nikah
yang sah dan
yang meninggal dalam
masa perkawinannya dan tidak
berlaku untuk lainnya.
Menurut
pendapat Syarifuddin Anwar dan Misbah Musthafa,[4] mengenai wajib ihdad tidak
terdapat perbedaan antara perempuan
Islam dan perempuan dzimmy, sekalipun suaminya seorang kafir dzimmy,
dan tidak ada perbedaan
antara perempuan merdeka dan perempuan amat (budak), dan antara
perempuan mukallaf, dan wali wajib mencegah
isteri yang masih kecil dan isteri yang gila, seperti yang dicegah sendiri oleh perempuan mukallaf,
di maksudkan dari statemen ini, bahwa perempuan yang beriddah selain karena
wafatnya suami, dia tidak wajib berihdad,
demikian juga perempuan yang di talak raj’iy,
karena dia sebenarnya masih berstatus isteri dalam hukum.
Para
ulama Madzhab sepakat atas wajibnya perempuan yang ditinggal mati suaminya
untuk melakukan ihdad (berkabung), baik perempuan itu sudah lanjut usia maupun masih
kecil, muslimah maupun non-muslimah, kecuali Hanafi. Madzhab ini mengatakan
bahwa, perempuan dzimmi[5] dan yang masih kecil tidak
harus menjalani ihdad. Sebab mereka berdua adalah orang-orang yang tidak dikenai
kewajiban (ghair mukallaf).[6]
Yang
dimaksud dengan ihdad adalah, hendaknya perempuan yang ditinggal mati suaminya
itu tidak bersolek atau mengenakan sesuatu yang bisa menarik perhatian orang
untuk melihat dirinya dan menjadi terikat. Bentuknya, diserahkan sepenuhnya pada
tradisi yang berlaku di masyarakat.
Tentang
kenapa dia harus berkabung, menjadi bahasan di kalangan ulama. Hal yang disepakati
adalah, bahwa ihdad atau berkabung hanya berlaku terhadap perempuan yang
bercerai dari suaminya karena kematian suaminya. Inilah maksud semula dari
ditetapkannya berkabung dalam Islam. Tujuannya ialah untuk menghormati dan
mengenang suaminya yang
meninggal.
Adapun
terhadap suami yang menceraikannya dalam bentuk thalaq ba’in, ulama berbeda pendapat.
Menurut Imam Malik[7]
tidak wajib berkabung untuk selain suami yang meninggal. Abu Hanifah dan al-Tsawriy[8] berpendapat bahwa wajib berkabung
untuk suami yang menceraikannya dalam bentuk
ba’in, dikiaskan kepada suami yang mati.
Imam
Syafi’i[9] mengatakan, bahwa
berkabung untuk suami yang cerai ba’in hanyalah sunnah. Perempuan yang menjalani
iddah dari thalaq raj’iy menurut kesepakatan ulama tidak mesti perempuan menjalani
masa berkabung, bahkan lebih baik dia melakukan sesuatu yang dapat menarik
mantan suaminya untuk rujuk.
[1] Al-Maktabah al-Syamilah,
Mausu’ah al-Fiqhiyyah, Juz II, (Maktabah Dar al-Tsaqafah, 2002), hal 97
[2] Syarifuddin Anwar dan
Misbah Musthafa, Solusi Orang Shalih, Jilid 2 (Suarabaya: Bina Iman, 1993),
hal 275-279
[3] Seorang budak yang di beli
Sayyid dan kemudian di nikahi, adapun budak ini bisa merdeka jika Sayyid
meninggal keterangan kaidah, hal 25
[4] Ibid, hal 275-279
[5] Adalah seorang
kafir atau non muslim
yang hidup dikalangan
orang muslim sedangkan dia masih membayar pajak di daerah
muslim,
[6] Muhammad Jawwad Muhgniyah,
Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2007), hal 471
[7] Nama lengkapnya adalah Malik
bin Anas bin Malik bin Abu Amir, lahir di Madinah Thn 93 H wafat 179H pertama
kali belajar pada Abdurrahman bin
Hurmuz, adapun guru dalam bidang fiqh adalah Rabi’ah
bin Abd al-Rahman, yang masyhur
dengan panggilan Rabi’ah
al-Ra’yu, Hudhari Bik, Tarikh
al-Tasyri’ al-Islamy, (Surabaya: al-Hidayah), hal 79
[8] Pertama kali
belajar fiqh pada
Ibn Abi Layla
kemudian berpindah kepada
Abu Hanifah, ia menjadi salah satu murid dekat Abu Hanifah,
jasanya sungguh besar terhadap perkembangan fiqh Hanafi, di
mana sepeninggal Abu
Hanifah ia merupakan
pengikut Madzhab Hanafi
yang banyak karyanya. Di samping
murid Hanafi yang lain yakni, Abu Yusuf, Op.Cit, Hudhori, hal 234
[9] Adalah Abdullah
Ibn Muhammad bin
Idris bin Abbas
bin Utsman bin
Syafi’iy al-Syafi’I al-Muthaliby, yakni Abdul Muthalib merupakan
ayah Rasulullah yang ke empat dan ayah yang ke 1X bagi al-Syafii,
lahir di Ghuzah
thn 150 H
wafat 204 H,
Hudhari Bik, alih
bahasa Muhammad Zuhri, Tarikh
Tasyri’ al-Islamy Sejarah Pembinaan Hukum Is lam, (Semarang: Darul Ihya’,
1980), hal 433
No comments:
Post a Comment