PANDANGAN ULAMA TERHADAP STATUS ANAK DARI SEWA RAHIM


1. Menurut H. Salim Dimyati sebagaimana dikutip oleh Salim HS, bayi tabung yang menggunakan sel telur dan sperma dari suami-isteri yang sah, lalu embrionya ditranplantasikan kepada ibu yang lain (ibu pengganti), maka anak yang dilahirkannya tidak lebih hanya anak angkat belaka, tidak ada hak mewarisi dan diwarisi, sebab anak angkat bukanlah anak sendiri, tidak boleh disamakan dengan anak kandung.[1]

2. Salim di dalam bukunya, bayi tabung, tinjauan aspek hukum mengatakan bahwa anak yang dihasilkan dari proses bayi tabung  yang menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami-isteri, kemudian embrionya ditransfer ke dalam rahim surrogate mother, maka anak itu dianggap anak susuan. Menurut beliau, hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah yang menjelaskan tentang masalah susuan (ar-radla’ah). Oleh  sebab  itu, anak sussuan tersebut berhak mendapatkan warisan dari orang  tua  biologis (pemilik sperma dan ovum), sedangkan dari surrogate mother  (ibu titipan) ia tidak berhak mendapatkan warisan.[2]

3. Menurut Ali Akbar sebagaimana dikutip Salim beliau mengatakan, bahwa status anak yang dilahirkan oleh surrogate mother (ibu titipan), dapat dikualifikasikan sebagai anak susuan.[3]

4. Menurut Suwito, status anak yang dilahirkan oleh isteri yang lain dari suami yang sama adalah anak tiri sekaligus anak susuan. Hal ini disebabkan terjadinya konsepsi manusia adalah pertemuan  sperma  dan ovum.[4]

Suwito juga mengatakan bahwa, status anak dari bibit suami-isteri yang ditanamkan pada orang lain, maka anak tersebut dapat diqiyaskan dengan anak susuan karena wanita yang melahirkan hanya dititipi embrio hasil pertemuan sperma dan ovum pasangan yang terikat dengan akad nikah.[5]

5. Menurut Majelis Tarjih Muhammadiyah, status anak yang dilahirkan oleh isteri yang lain dari suami yang sama adalah sama dengan anak susuan. Hal ini disebabkan karena janin itu sehari-hari memakan makanan dari ibu yang ditempatinya.[6]

Sedangkan mengenai status anak yang dilahirkan dari model titipan, Majelis Tarjih Muhammadiyah tidak menyebutkan secara jelas.  Mereka hanya mengatakan bahwa bayi tabung yang dilaksanakan selain menggunakan sperma dan ovum dari suami  isteri,  jika  sampai  terjadi kelahiran, maka anak tersebut termasuk anak yang tidak sah. Kedudukannya sama dengan anak yang diperoleh di luar perkawinan, yang berarti sama dengan anak zina.[7]

7. Menurut M Ali Hasan, jika diperhatikan, maka nasab anak hasil inseminasi (dengan menggunakan sperma donor) adalah lebih kabur daripada anak zina. Sebab anak hasil zina, walau bagaimanapun masih dapat diketahui bapaknya (tidak sah), paling tidak oleh ibu si anak itu.

Berbeda dengan anak hasil inseminasi (bayi tabung), tidak dapat diketahui laki-laki (donor) itu dan memang harus tetap dirahasiakan, dan hanya dokter saja yang mengetahuinya. Jadi mengenai status anak itu ditinjau dari hukum Islam adalah sama dengan status anak zina.[8]

8. Menurut H. Salim Dimyati sebagaiman dikutip oleh Salim, bayi tabung yang menggunakan sperma ayah donor, sedangkan sel telurnya dari ibu dan diperoleh dengan operasi langsung dari kandungan telurnya. Di sini jelas adanya unsur ketiga dalam tubuh si ibu. Maka dalam hal ini telah terjadi perzinahan terselubung, meskipun tidak melakukan perzinahan secara fisik. Anak yang lahir karenanya termasuk anak zina.[9]

9. Said Sabiq berpendapat sebagaimana dikutip Salim, bahwa anak yang diproses melalui bayi tabung yang menggunakan sperma donor bukanlah anak zina, sebab tidak melengkapi unsur pokok, yakni bertemunya dua jenis alat vital. Si bayi adalah anak “ghairu syar’i” atau syubhat dari suami si perempuan yang mengerami jabang bayi itu. Anak itu adalah anak suami yang mengerami.[10]

10. Menurut Majelis Muzakarah al-Azhar Panji Masyarakat, status anak dari sperma dan ovum dari suami isteri yang dimasukkan dalam rahim wanita lain, anak tersebut disebut sebagai anak zina. Hal ini  didasarkan dengan surat al-Baqarah ayat 233 serta hadis Rasulullah yang mengatakan bahwa adalah dosa besar di sisi Allah bagi seorang laki-laki menyirami (dituangkan, dimasukkan, disemprotkan, walaupun ke dalam tabung yang kemudian ditransfer ke dalam  rahim) ladang (wanita) yang bukan punyanya (isterinya).[11]

11. Menurut Bakar Abu Zaid sebagaimana dikutip Yahya Abdurrahman al-Khatib, beliau mengatakan bahwa apabila seorang wanita hamil dari dua benih orang lain, atau dari ovumnya sendiri sedangkan sperma dari laki-laki yang bukan suaminya, maka anak itu adalah anak (hasil) zina yang esensinya sendiri telah diharamkan oleh syara’, sehingga disepakati bahwa puncaknya (anak yang dilahirkan) juga haram. Melahirkan anak dengan cara ini mengandung tiga keburukan, di antaranya anak itu adalah anak zina.[12]






[1] Salim, Bayi tabung. , hlm. 43.
[2] Ibid. , hlm. 47.
[3] Ibid. , hlm. 46.
[4] Suwito, “Inseminasi Buatan. , hlm. 29.
[5] Ibid.
[6] Keputusan Muktamar Tarjih Muhammadiyah ke 21, Bayi Tabung. , hlm. 73.
[7] Ibid. , hlm. 72.
[8] M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah. ,  hlm. 83.
[9] Salim, Bayi tabung. , hlm. 46.
[10] Ibid. . hlm. 43.
[11] Majelis Muzakarah al-Azhar  Panji  Masyarakat,  Islam  dan  Masalah-Masalah kemasyarakatan,  alih bahasa Azyumardi Azra, cet. ke-  1 (Jakarta: Handayani  Offset,  1983), hlm. 207.
[12] Yahya Abdurrahman al-Khatib, Hukum-Hukum. , hlm. 173.

No comments:

Post a Comment