PEMBENTUKAN SIFAT-SIFAT TERPUJI ANAK


Setiap orang tua menginginkan anak-anaknya menjadi anak yang mempunyai perilaku baik. Akan tetapi, yang sering terjadi adalah anak mempunyai perilaku yang baik tergantung situasi. Pada situasi tertentu ia dapat berperilaku yang diharapkan, di situasi yang lain ia seperti menjadi orang yang berbeda. Selanjutnya, setelah diketahui tentang peran serta orang tua dalam membentuk kepribadian anak, maka kepribadian yang diharapkan untuk dibentuk adalah kepribadian mukmin yang bertumpu pada akhlak mulia atau dengan tata krama yang sering disebut dengan sifat-sifat terpuji. 

Tanggung jawab orang tua dalam membentuk kepribadian anak sesuai dengan nasehat Lukman Al-Hakim kepada anaknya.[1] Disebutkan oleh Lukman bahwa:

“Wahai anakku!  Dirikanlah shalat dan suruhlah yang baik dan cegahlah perkara yang mungkar. Dan bersabarlah atas musibah yang menimpa kamu. Sesungguhnya itulah perkara yang diwajibkan. Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” 

Nesehat Lukman tersebut memberikan keterangan yang cukup jelas bahwasanya orang tua memiliki tanggung jawab untuk menanamkan sifat-sifat terpuji. Sifat terpuji adalah perilaku manusia yang mendapatkan ridlo dari Allah. Dengan demikian nampak bahwa yang menjadi tumpuan sifat terpuji dalam nasehat Lukman adalah dekat atau mengenal Allah sebagai Tuhan umat Islam.

Kita tahu bahwa anak-anak dapat mengenal Tuhan melalui bahasa dalam lingkungannya. Pada awalnya tidak memperhatikan tapi lama-kelamaan akan mengundang kekaguman pada Tuhan. Dan lambat laun akan memikirkan Tuhan dalam kehidupannya. Karena ada pengaruh  yang kuat pada lingkungan sekitar yang disertai emosi dan perasaan tertentu maka lama-kelamaan makin luas dan dan mulailah  perhatiannya  tentang  Tuhan  akan tumbuh. 

Karena pengalaman-pengalaman yang tidak mengenakkan maka timbul kegelisahan pada diri anak lalu timbullah pertanyaan-pertanyaan tentang Tuhan yang tujunnya menghilangkan kegelisahan. Jadi pemikiran tentang Tuhan adalah pemikiran tentang kenyataan luar, yang pada umur sangat muda itu tidak disukai si anak tapi untuk  melanjutkan  pertumbuhan dan menyesuaikan diri dengan kenyataan  itu, ia harus menderita sedikit dari pengalaman pahit, maka ia pun  menerima fikiran tentang Tuhan setelah diingkarinya.[2]

Orang tua adalah pusat kehidupan rohani si anak dan sebagai penyebab perkenalannya dengan dunia luar, maka setiap reaksi emosi anak dan pemikiranya di kemudian hari terpengaruh terhadap perilaku orang tuanya di waktu masih kecil. Sehingga disinilah orang tua sangat berperan dalam penanaman jiwa dan kepercayaan terhadap Tuhan.  Dari lingkungan keluargalah pembentukan jiwa anak dimulai. Untuk itu alangkah baiknya jika anak mendapatkan perhatian yang layak untuk si anak demi perkembangan jiwanya.

Pengaruh lingkungan merupakan dapat tidaknya si anak menerima pemikiran  tentang  Tuhan,  baik  dalam  perilakunya  yang  lemah lembut atau minta di kasihani oleh Tuhan. Demikianlah masuknya pemikiran Tuhan terhadap si anak. Pengaruh dari lingkungan  hendaklah dengan pelatihan-pelatihan keagamaan sehingga timbulah  rasa yang aman pada pertumbuhan jiwa anak. Jika  pelatihan-pelatihan  itu cocok pada anak, maka pada waktu dewasa kelak akan semakin terasa kebutuhan terhadap agama. Dan sebaliknya jika pelatihan-pelatihan itu tidak cocok pada jiwa anak maka pada waktu dewasa akan timbul atheis atu kurang peduli terhadap agama. 

Perkembangan agama pada anak terjadi melalui pengalaman hidupnya waktu kecil. Baik dalam keluarga, sekolah, maupun dalam lingkungan masyarakat. Semakin banyak pengalaman agama maka semakin banyak unsur agama dalam pribadi anak. 

Dalam Islam terdapat dua konsep kehidupan beragama: yaitu iman dan takwa. Takwa merupakan asas dari barbagai kebajikan, bahkan sebagai induk segala perbuatan manusia. Sedangkan iman merupakan pernyataan pembenaran dengan kalbu sehingga terbebas dari perbuatan dusta. Ada beberapa kaidah primer seyogyanya dipegang teguh dalam upaya pendidikan keimanan bagi anak:

1. Pendidikan itu hendaknya dilandasi pernikahan yang berlangsung sebagai wujud dari fitrah manusia selaku hamba Allah yang selalu beribadah hanya kepada Allah.  

2. Pernikahan yang dilakukan hendaknya diarahkan kepada kemaslahatan pribadi dan masyarakat yang mewariskan keturunan hamba Allah yang beriman, sehat lahir dan batin, dunia dan akhirat.[3]

Pendidikan keimanan ditujukan unutk membentuk insan-insan yang beriman yang selanjutnya menjadi pengarah dan pengedali bagi perilakunya. Ini dapat dilakukan dengan metode-metode sebagai berikut:

a. Peneladanan
b. Pembiasaan
c. Pembetulan yang salah
d. Melerai yang bertengkar dengan adil
e. Memperingatkan yang lupa[4]

Anak-anak bukanlah orang dewasa yang kecil. Oleh karena itu agama yang cocok untuk orang dewasa tidak cocok bagi anak-anak.  Jika agama punya arti bagi anak maka agama harus disajikan cara yang kongrit dengan bahasa yang mudah dipahami dan kurang bersifat dogmatis.[5] Kita tahu bahwa pendidikan iman ialah mengikat anak dengan dasar-dasar iman, membiasakannya sejak mulai paham melaksanakan rukun-rukun Islam dan mengajarinya sejak mumayyiz dasar-dasar syari’at yang agung. 

Dalam hal keimanan, universalitas konsep pendidikan keimanan  yang merupakan wasiat dan petunjuk dari Rasulullah SAW dalam  mengikat anak-anak dengan dasar-dasar iman, rukun-rukun, dan  hukum-hukum  syari’at.

Wasiat dan petunjuk Rasulullah sebagai berikut:

1). Perintah mengawali (mendidik anak) dengan kalimat “La Ilaha Ilalah”
2). Mengenalkan hukum halal-haram sebagai yang pertama kali dipahami.
3). Menyuruh beribadah sejak usia 7 tahun
4) Mendidik untuk mencintai Rasulullah SAW, mencintai ahli bait, dan cinta membaca al-Qur’an[6]

Maka bila seorang anak sejak dini sudah diajarkan dasar-dasar keimanan kepada Allah, menyandarkan diri kepada Allah, takut kepada Allah, hanya minta tolong kepada-Nya, niscaya ia akan punya kemampuan fitri dan tanggapan naluri ruh menerima kemuliaan dan keutamaan dan akhirnya akan terbiasa dengan akhlak yang mulia (sifat terpuji). Diantara sifat terpuji dalam Islam adalah:

1. Taubat 

Artinya meninggalkan segala perbuatan tercela yang telah dikerjakannya dengan niat karena membesarkan Allah.  Orang yang bertaubat pasti memenuhi syarat-syarat berikut:

a) Meninggalkan maksiat dengan penuh kesadaran
b) Menyesal dengan perbuatan yang telah dikerjakan
c) Berazam tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi

2.  Khauf 

Artinya takut kepada Allah, takut atas murka-Nya dengan memelihara agama dan melakukan perkara-perkara yang dicegah.

3. Zuhud 

Artinya bersih atau suci hati dari kehendak, lebih dari keperluannya serta tidak  bergantung  kepada  makhluk  lain.  Hatinya  sentiasa  ingat  bahwa harta  yang  dimilikinya  adalah  sebagai  amanah  dari  Allah—bukan  untuk berbangga-bangga diri.

4.  Sabar 

Artinya tabah atau kuat menghadapi sesuatu ujian yang menjadikan duka cita bagi hamba Tuhan.

5.  Syukur 

Artinya menyadari bahwa semua nikmat yang diperolehnya, baik  yang lahir maupun batin semuanya adalah dari Allah dan  merasa gembira dengan nikmat itu serta bertanggungjawab kepada Allah.

6.  Ikhlas 

Artinya mengerjakan amal ibadah dengan penuh ketaatan serta semua perbuatan yang dilakukan semata-mata mengharapkan keridhaan Allah, bukan karena tujuan lain.

7.  Tawakal

Artinya berserah diri kepada Allah dalam melakukan sesuatu rancangan.

8. Mahabbah 

Artinya cinta kepada Allah dan hatinya sentiasa cenderung untuk berkhidmat dan beribadat kepadaNya serta bersungguh-sungguh menjaga diri dan menjauhkan dari melakukan kemaksiatan.

Dengan demikian, seorang anak hendaknya paham dan benar-benar mengerti dalam hal perbuatan terpuji untuk selalu dijalankan. Sementara sifat terpuji itu patut untuk dikenalkan dan diajarkan kepada anak-anak oleh orang tuanya. Dengan kata lain, anak juga diperintahkan untuk menjauhi sifat-sifat tercela. 

Rumah-tangga  atau  keluarga  adalah  tempat  yang  pertama  dan  utama bagi anak untuk memperoleh pembinaan mental dan  pembentukan kepribadian, yang kemudian ditambah dan disempurnakan oleh sekolah. Demikian pula halnya pendidikan agama,  harus dilakukan oleh orang membiasakannya pada tingkah-laku dan akhlak yang diajarkan oleh agama.[7]

Pada masa ini anak belum mengerti tentang akhlak-akhlak yang baik, seperti kejujuran dan keadilan (terlalu abstrak). Untuk merealisasikannya, orang tua yang sangat relevan dengan hal tersebut, agar anak dapat meniru dengan baik. 

Untuk itu, orang tua harus memberikan perlakuan yang adil serta dibiasakan pula untuk berbuat adil, sehingga rasa keadilan dapat tertanam dalam  jiwanya,  juga  dengan nilai-nilai agama dan kaidah-kaidah  sosial lainnya yang menjadi dasar untuk pembinaan mental dan kepribadian anak itu sendiri. Karena terkadang manusia itu cenderung tidak konsisten, tidak berpegang pada pendirian yang telah dinyatakannya (Q.S. Yunus, 10: 12).[8]

Kalau pendidikan agama tidak diberikan kepada anak sejak kecil, maka akan berakibat tidak terdapat unsur agama dalam  kepribadiannya sehingga sukar  baginya  untuk  menerima  ajaran  itu  kalau ia telah dewasa dan anak mudah melakukan segala sesuatu  menurut dorongan dan keinginan jiwanya tanpa memperhatikan  hukum-hukum  atau  norma-norma  yang  berlaku.

Sebaliknya kalau dalam kepribadian seseorang terdapat nilai-nilai dan unsur-unsur agama, maka segala keinginan dan kebutuhan dapat dipenuhi dengan cara yang wajar dan tidak melanggar hukum-hukum agama. 

Sesuai dengan dasar agama Islam, maka kepribadian seseorang berisi kepercayaan yang menjadi bagian dari kepribadian, tidak hanya dapat diucapkan secara lisan saja, tetapi harus disertai dengan perbuatan. Hal ini hanya mungkin melalui pendidikan agama, karena kepercayaan bahwa Tuhan itu ada harus disertai dengan kepercayaan kepada ajaran, hukum, dan peraturan-peraturan yang ditentukan oleh Tuhan. 

Dengan demikian jelaslah bahwa semua itu menjadi dasar dalam pembinaan mental dan pembentukan kepribadian yang akan mengatur sikap, tingkahlaku dan cara menghadapi segala problem dalam hidup. Mengingat pentingnya pendidikan agama bagi pembinaan mental dan akhlak anak-anak, dan karena banyak orang tua yang tidak mengerti agama, maka pendidikan agama seyogyanya dilanjutkan di sekolah—sebagai kelanjutan proses belajar secara formal.[9]

Fungsi utama dalam pembentukan sifat terpuji adalah melakukan tazkiyatun nafs. Tazkiyatun nafs pada hakikatnya adalah proses pembersihan jiwa dan hati dari berbagai dosa dan sifat-sifat tercela yang mengotorinya, dan selanjutnya peningkatan kwalitas jiwa dan hati tersebut dengan mengembangkan sifat-sifat terpuji yang diridhai  Allah, serta potensi-potensi positifnya dengan mujahadah, ibadah dan berbagai perbuatan baik lainnya, sehingga hati dan jiwa menjadi bersih dan baik serta berkwalitas. Yang selanjutnya menjadikannya mempuyai sifat-sifat dan prilaku yang baik dan terpuji.[10]

Hal yang demikian akan melahirkan sifat yang baik. Sifat baik adalah merupakan tema yang lazim tentang keadilan akhlak yang dinyatakan dalam nilai-nilai agama dan moral.[11] Al-Ghazali memberikan garis panduan kepada orang-orang yang beriman mengenai tahap keadilan ini kepada empat sifat-sifat yang terpuji seperti:

1. Hikmah, yaitu kualitas pemikiran yang membolehkan manusia membuat pilihan dengan membedakan antara baik dengan buruk dan menahan dirinya daripada perbuatan yang tercela seperti marah, dan mengabadikan keseimbangan antara perbuatan yang membabi buta dan penipuan. 

2. Berani, yaitu kualitas keberangan dan kemarahan yang boleh diterangkan sebagai satu bentuk keberanian moral, bukan tergesa-gesa, tidak juga pengecut, tetapi keadaan pertengahan antara kedua-duanya. Dengan dipimpin oleh syariah dan akal, keberanian mengajak manusia berkelakuan baik, mengikuti jalan yang betul dan lurus serta menghindari yang salah. Ia juga berani mendorong  manusia  menjadi  tabah  kepada keadaan dan belas kasihan kepada orang lain. 

3.  Kesederhanaan, yaitu  satu  kualiti  yang  sederhana  lewat  manusia  untuk mengikuti jalan pertengahan antara dua keadaan yang melampaui batas, yaitu perasaan tamak dan permusuhan. Manusia mencoba untuk berlaku adil kepada orang lain dan bersikap sederhana dalam cara hidupnya. 

4. Keadilan, yaitu bukan semata-mata sifat terpuji tetapi "keseluruhan sifat terpuji". Ia adalah kesempurnaan segala sifat terpuji, terdiri daripada "keadaan yang seimbang" dan sederhana dalam  kelakuan  pribadi dan orang banyak. Sikap yang adil (insaf) yang mengajak manusia supaya mengikuti apa yang diterangkan sebagai jalan keadilan.[12]

Orang dewasa adalah “role model” bagi anak-anak. Anak mengidentifikasikan diri dengan lingkungan dan orang dewasa di sekitarnya. Mereka mengambil nilai tidak hanya yang disosialisasikan secara verbal tapi juga yang dicontohkan dalam perilaku keseharian. Maka alam sosial itu bagai pena tajam yang mengguratkan sketsa kepribadian anak, dan mewarnai merah-hijau warna masa depannya. Tempat tinggal dan lingkungan keluarga—tanpa diragukan lagi—merupakan permulaan yang sebenarnya dalam semua kondisi ini.[13]

Anak belajar menghargai jika ia tumbuh dalam asuhan kasih sayang. Anak belajar melawan jika ia tumbuh dalam penindasan. Anak menjadikan kekerasan sebagai jalan keluar persoalan jika ia tumbuh dalam alam peperangan. Itu bukan hanya petuah klasik yang pantas untuk diulang-ulang, di dalamnya ada pelajaran yang pantas untuk direnungkan. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi impresi mengenai kehidupan kita sendiri yang terkadang terbayangi oleh keengganan, ketakutan atau rasa malu di saat usia kanak-kanak (0-3 tahun).[14]

Anak tumbuh dalam asuhan manusia dewasa untuk ditumbuhkan kodrat manusiawinya. Ditumbuhkan fitrahnya sebagai jiwa suci yang dipenuhi oleh kasih dan hasrat mencintai. Anak dipercayakan sebagai amanat untuk suatu saat  dikembalikan  pada  Tuhan  sesuai dengan  tujuan dititipkannya. Mereka bukan hak mutlak orang dewasa, apalagi bertahta di atas keringkihan mereka dengan menjadikan mereka harta propertinya. Sehingga mereka dapat diperlakukan semau-maunya, dieksploitasi, atau dikorbankan untuk membayar nafsu berkuasa orang dewasa.

Jika kita ingin memutus rantai kekerasan yang ada dalam kehidupan kita, bukan dimulai dengan mengajarkan apa itu kekerasan pada anak. Orang dewasalah yang harus belajar untuk tidak melakukan tindak kekerasan. Apalagi memanfaatkan anak secara struktural maupun biologis sebagai pihak yang lemah untuk sasaran tindakan kekerasan itu.

Sebaliknya limpahan kasih sayang, perhatian dan perlindunganlah yang harus diberikan agar anak tumbuh dalam atmosfer yang penuh dengan cinta kasih dan perdamaian. Di masa depan mereka akan menginternalisasikan nilai-nilai luhur itu dalam kehidupan mereka, dan tentu saja mewariskannya pada generasi berikutnya. Makna anak sebagai investasi moral luhur seperti inilah yang seharusnya kita perjuangkan dengan sikap kemesraan terhadap anak. Bekal yang diberikan kepada anak adalah kuat badannya, pemberani hatinya dan kuat dalam berazam. Agar tumbuh menjadi remaja yang kuat, bebas dari segala penyakit jiwa, penyakit jasmani, maupun kekurangan dalam akhlaknya.[15]

Anak itu harapan masa depan. Karenanya, mereka perlu dipersiapkan agar kelak menjadi sumber daya manusia yang berkualitas, sehat, bermoral dan berguna bagi masyarakat. Untuk itu perlu dipersiapkan sejak dini yaitu sejak dalam kandungan melalui pengasuhan yang baik. Anak perlu diasuh karena mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan. 

Perkembangan anak terjadi melalui beberapa tahapan dan setiap tahapan mempunyai ciri dan tuntutan tersendiri. Pengasuhan anak perlu disesuaikan dengan tahapan perkembangan tersebut. Perkembangan anak dipengaruhi faktor bawaan dan pengaruh lingkungan. 

1.  Faktor bawaan

Sifat yang dibawa anak sejak lahir seperti penyabar, pemarah, pendiam, banyak bicara, cerdas, atau tidak cerdas. Keadaan fisik seperti warna kulit, bentuk hidung, sampai rambut. Faktor bawaan merupakan warisan dari sifat Ibu/Bapak atau pengaruh sewaktu anak berada dalam kandungan, misalnya pengaruh gizi, penyakit, dll. Faktor bawaan dapat mempercepat, menghambat atau melemahkan pengaruh dari lingkungan. Tidak  dapat  dibandingkan  anak  yang  satu  dengan  yang  lain  tanpa memperhitungkan faktor ini. 

2. Faktor Lingkungan

Faktor dari luar diri anak yang mempengaruhi proses perkembangan anak. Meliputi suasana dan cara pendidikan  lingkungan  tertentu, lingkungan rumah atau keluarganya, dan hal lain seperti sarana dan prasarana yang tersedia misalnya alat bermain atau lapangan bermain. Faktor lingkungan dapat merangsang berkembangnya fungsi tertentu dari anak yang dapat menghambat  atau  mengganggu  kelangsungan perkembangan anak. Pengaruh yang sangat besar dan sangat menentukan dirinya nanti sebagai orang dewasa adalah ketika anak berusia di bawah 6 tahun, sehingga lingkungan keluarga sangat perlu diperhatikan.

Hakikat mengasuh anak adalah proses mendidik agar kepribadian anak dapat berkembang dengan baik, ketika dewasa jadi bertanggung jawab. Pola asuh yang baik menjadikan anak berkepribadian kuat, tak mudah putus asa, dan tangguh menghadapi tekanan hidup. Sebaliknya, pola asuh yang salah menjadikan anak rentan terhadap stres, mudah terjerumus pada hal-hal yang negatif seperti tawuran, perilaku seks bebas, cemas, dan depresi. 

Mengasuh anak melibatkan seluruh aspek kepribadian anak --jasmani, intelektual, emosional, ketrampilan, norma, dan nilai-nilai. Hakikat mengasuh anak  meliputi  pemberian  kasih sayang  dan  rasa  aman, sekaligus disiplin dan contoh yang baik. Karenanya, diperlukan suasana kehidupan keluarga yang stabil dan bahagia. Stabilitas dan kebahagiaan keluarga hanya bertumpu pada investasi sifat-sifat terpuji dari orang tua kepada anak.



[1] Jamal  Abdurrahman,  Pendidikan  Ala  Kanjeng  Nabi:  120  Cara  Rasulullah  SAW Mendidik Anak, Op.Cit, hal. 259.
[2] Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang, Jakarta, hal. 50.
[3] Ahmad  Tafsir,  Pendidikan  Agama  dalam  Keluarga,  Bandung:  PT.  Remaja  Rosda Karya, 2000, hal. 72
[4] Ahmad Tafsir, Ibid, hal. 116.
[5] Zakiah Darajat, Op.Cit, hal. 54.
[6] Abdullah  Nasih  Ulwan,  Pemeliharaan  Kesehatan  Jiwa  Anak,  Bandung:  Remaja Rosda Karya, Offset, 1996, hal. 146
[7] Husain Mazhahiri, Pintar Mendidik Anak, PT. Lentera Basritama, Jakarta, hal. 203.
[8] Rif’at Syauqi  Nawawi,  Konsep  Manusia  Menurut  Al-Qur’an,  dalam  Rendra (ed), Metodologi Psikologi Islami, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 13.
[9] Rif’at Syauqi Nawawi, MA, Ibid.
[10] M.  Quraish  Shihab,  M.A,  Wawasan  Al-Quran:  Tafsir  Maudhu'i  atas  Pelbagai Persoalan Umat, Penerbit Mizan, Bandung, 1999, hal. 203.
[11] Yusuf Qardlawi, Merasakan Kehadiran Tuhan, Mitra Pustaka, Yogayakarta, 2001, hal. 181.
[12] M.  Utsman  Najati,  Belajar  EQ  dan  SQ  dari  Sunnah  Nabi,  Penerbit  Hikmah, Jakarta, 2002, hal.145.
[13] Husain Mazhahiri, Pintar Mendidik Anak, Op.Cit, hal. 107.
[14] Kartini Kartono, Psikologi Anak: Psikologi Perkembangan, Op.Cit, hal. 7.
[15] Musthafa Husein Atthar, Keagungan dan Akhlaq Pribadi Rasulullah, Pustaka Arafah, Solo, 2003, hal. 142.

No comments:

Post a Comment