Sejak
lahir hingga berumur dua tahun, seorang anak yang disusui ibunya secara
psikologis amat penting dalam proses pembinaan kepribadian anak. Pada usia
balita inilah dasar-dasar perkembangan kepribadian sedang diletakkan. Jika anak
mendapatkan dan mengalami kasih sayang dan kemesraan dengan penuh
ketulusan, maka kepribadiannya kelak
akan berkembang dengan utuh dan teguh, sehat dan wajar. Demikian pula
dalam pemberian makanan hendaknya selalu memperhatikan waktu, cara dan
kedisiplinan yang baik, agar pengaruh positifnya diperoleh anak-anaknya.
Hubungan
orang tua yang efektif penuh kemesraan dan tanggung jawab yang didasari kasih sayang yang tulus, menyebabkan
anak-anaknya akan mampu mengembangkan aspek-aspek kegiatan manusia
pada umumnya, ialah kegiatan yang bersifat individual, kegiatan sosial,
dan kegiatan keagamaan.[1]
Bermacam-macam
cara yang efektif perlu dilaksanakan oleh orang tua agar masa kanak-kanak dapat
dikembangkan kepribadian yang luhur. Kehidupan yang penuh keteladanan,
pemberian keterangan yang sangat dibutuhkan, latihan-latihan dalam
keluhuran budi dan penolakan atas tingkah laku yang tercela serta pujian
atas penghargaan tingkah laku atau perkataan yang baik,
semuanya itu merupakan cara-cara yang dapat dan perlu dibiasakan dalam
kehidupan yang sedang dijalani.[2]
Selain
hal tersebut di atas, bentuk tanggung jawab orang tua antara lain:
1. Tanggung jawab pendidikan iman
2. Tanggung jawab pendidikan moral
3. Tanggung jawab pendidikan
intelektual
4. Tanggung jawab pendidikan
psikologis
5. Tanggung jawab pendidikan sosial
6. Tanggung jawab pendidikan seks.[3]
Anak
masih perlu bantuan dari orang tua dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan
tersebut. Bila anak itu dititipkan pada seorang pembantu, maka orang tua atau
khususnya ibu harus tahu betul bahwa pembantu tersebut mampu membimbing dan
membantu anak-anak dalam melakukan pekerjaannya. Kalau pembantu ternyata tidak dapat melakukannya, maka anak-anak yang akan menderita kerugian.
Pembentukan
kepribadian seorang anak dimulai ketika anak berusia 0-5 tahun. Anak akan
belajar dari orang-orang dan lingkungan sekitarnya tentang hal-hal yang
dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya. Anak yang berada di lingkungan
orang-orang yang sering marah, memukul, dan melakukan tindakan kekerasan
lainnya, anak tersebut juga akan bertumbuh menjadi pribadi yang keras. Untuk
itu, ibu atau orang tua harus bijaksana dalam memberikan arahan atau ajaran
kepada anak. Sehingga Ibu mempunyai pengaruh besar dalam pendidikan anak.[4]
Kadang-kadang
hanya karena lingkungan yang kurang mendukung sewaktu anak masih kecil akan
mengakibatkan dampak yang negatif bagi pertumbuhan kepribadian anak pada usia
selanjutnya. Seperti kasus-kasus kenakalan remaja, keterlibatan anak dalam
dunia narkoba, dan sebagainya bisa jadi karena pembentukan kepribadian di masa
kanak-kanak yang tidak terbentuk dengan baik. Masa anak seusia 0-2 tahun bisa
disebut sebagai periode vital. Karena kondisi fisik dan mental bayi menjadi fundasi
kokoh bagi perkembangan dan pertumbuhan selanjutnya.[5]
Untuk
itu, orang tua harus bijaksana mengatur waktu dalam mendidik anak. Bekerja
untuk memenuhi kebutuhan keluarga memang sangat mulia, tetapi tetap harus
diingat bahwa tugas utama seorang ibu adalah mengatur rumah tangga. Misalnya
ketika Ibu yang harus berangkat bekerja pagi hari dan pulang pada sore hari
tetap harus meluangkan waktu untuk berkomunikasi, bercanda, memeriksa
tugas-tugas sekolahnya meskipun ibu sangat capek setelah seharian bekerja di
luar rumah. Tetapi pengorbanan tersebut akan menjadi suatu kebahagiaan jika
melihat anak-anaknya bertumbuh menjadi pribadi yang kuat dan stabil.
Sedangkan
untuk ibu yang bekerja di dalam rumah pun tetap harus mampu mengatur waktu
dengan bijaksana. Tetapi tugas tersebut tentunya bukan hanya tugas ibu saja
tetapi ayah juga harus ikut menolong ibu untuk melakukan tugas-tugas rumah
tangga sehingga keutuhan dan keharmonisan rumah tanggapun akan tetap terjaga
dengan baik. Ayah merupakan mitra bersama dalam mendidik dan mengarahkan
anak-anaknya. Selanjutnya ibu disebut sebagai arsitek kepribadian.[6]
Anak-anak
adalah karunia dan rahmat dari Allah SWT,
kehadiran mereka di dalam keluarga adalah sesuatu yang dinantikan, karena anak-anak merupakan salah satu sebab yang membawa
kebahagian untuk kedua orang tua.
Sebaliknya pada masyarakat jahiliyyah dulu, kehadiran anak-anak terutama
anak-anak perempuan, adalah merupakan sesuatu yang sangat memalukan. Di dalam
Islam di samping kehadiran anak-anak merupakan karunia dan rahmat dari Allah
s.w.t mereka juga merupakan amanah Allah yang diberikan kepada kedua orang
tuanya yang merupakan perantara (wasilah) yang boleh membawa keuntungan yang
besar jika amanah tersebut diperlihara dengan baik.
Kedua
orang tua berkewajiban mendidik, mengarahkan dan mengasuh agar menjadi individu
yang sholeh dan berakhlak mulia. Maka
apabila kewajiban ini dilaksanakan dengan baik oleh kedua orang tua dan pendidik, maka ia merupakan kebahagian di dunia dan akhirat. Begitu pula dalam keluarga, orang
tua punya tanggung jawab yang sangat besar dalam membentuk karakter dan
kepribadian anaknya.
Pendidikan
anak-anak dalam Islam mestilah dilakukan sejak awal (baca: dini). Semakin awal
adalah semakin baik. Karena keadaan anak-anak lebih dekat dengan fitrahnya.
Sama halnya dengan riwayat Ibnu Sina: “Ketika anak telah diasuh oleh ibunya,
maka ajarkanlah etika Islam sebelum ia diserang oleh nilai-nilai yang
buruk". Seorang pendidik oleh Ibnu Sina diharapkan mampu menanamkan sikap
keagamaan pada anak didiknya.[7]
Sejalan
dengan hal tersebut, tanggung jawab orang tua menurut Ibnu Khaldun diarahkan
:
1. Mempersiapkan seorang anak dari
segi keagamaan
Yaitu
mengajarnya syiar-syiar agama menurut Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah sebab
dengan cara itu potensi iman dapat diperkuatkan.
2. Menyiapkan seseorang anak dari segi
akhlak.
3. Menyiapkan seseorang dari segi
pemikiran, sebab dengan pemikiran yang betul seseorang itu dapat memegang
berbagai pekerjaan dan ketrampilan tertentu.[8]
Sementara
Imam Al-Ghazali menekankan pada pembentukan pribadi khalifah bagi anak didik
yang memiliki fitrah, ruh disamping tubuh badan yang sehat dan akal yang
cerdas, serta melahirkan anak-anak yang menghayati perjuangan Islam sebagaimana
yang ditunjukkan oleh Rasulullah.[9]
Orang
tua adalah orang yang pertama kali bertanggung jawab atas terwujudnya
kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Ia mempunyai
tugas untuk memberikan hak-hak penuh
kepada anak-anaknya. Diantara
hak-hak anak tersebut adalah:
1. Anak berhak atas kesejahteraan,
perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya
maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.
2. Anak berhak atas pelayanan untuk
mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan
kepribadian bangsa, untuk menjadi warganegara yang baik dan berguna.
3. Anak berhak atas pemeliharaan dan
perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.
4. Anak berhak atas perlindungan
terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan
dan perkembangannya dengan wajar.[10]
Orang
tua, orang-orang dewasa dan masyarakat berperan penting untuk membantu
anak-anak dan remaja untuk mengembangkan kemampuan, agar dapat memberikan
partisipasi yang berarti dalam kehidupannya di dunia. Bantuan tersebut terutama
dalam bentuk kemampuan membangun komunikasi yang baik dengan mereka.[11]
Dari
keterangan tersebut kirnya dapat dipahami bahwa para orang tua dan masyarakat
mampu menjamin kebebasan anak-anak dan remaja untuk mengekspresikan diri. Juga
mempertimbangkan pandangan-pandangan mereka ketika harus mengambil keputusan
mengenai hal-hal yang mempengaruhi kehidupan
anak dan remaja.
Maka, makna partisipasi anak adalah mengajak mereka untuk berdialog,
bertukar pikiran dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk belajar
mempengaruhi dan berinteraksi dengan lingkungannya secara konstruktif. Setiap
anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya serta juga berhak menerima, mencari
dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi
pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatuhan.
Anak
juga wajib untuk menghormati orang tua atau wali dalam mencintai keluarga,
masyarakat dan menyayangi teman. Selain itu juga anak wajib menunaikan ibadah
sesuai dengan ajaran agamanya serta melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
Partisipasi
anak mengharuskan orang dewasa mendengar apa yang diinginkan oleh anak, melalui
cara komunikasi mereka yang sangat beragam. Tapi mendengar pendapat anak tidak
lalu berarti mendukung semua pandangan mereka. Makna sesungguhnya adalah
mengajak anak-anak dan remaja untuk berdialog dan bertukar pendapat serta
memberi kesempatan untuk belajar mempengaruhi dunia disekitar mereka secara
konstruktif.
Orang
tua dalam keluarga adalah ibarat tiang penyangga dalam rumah. Sehingga, salah
satu unsur penting dari proses kependidikan di dalam keluarga adalah orang tua—yang selanjutnya boleh dikatakan sebagai pendidik. Di pundak
pendidik terletak tanggungjawab yang amat besar dalam upaya mengantarkan
peserta didik ke arah tujuan pendidikan yang dicita-citakan. Hal ini disebabkan
pendidikan merupakan cultural transition yang bersifat dinamis ke arah
suatu perubahan secara kontinyu, sebagai sarana vital bagi membangun kebudayaan
dan peradaban umat manusia.
Orang
tua dalam porses belajar mengajar memiliki fungsi yang sangat strategis dalam
melaksanakan tugas mendidik dan mengajar, karena melalui proses pendidikan akan
terbentuklah sikap dan perilaku anak didik. Orang tua sebagai seorang pendidik
disebut sebagai seorang muaddib yaitu orang yang berusaha mewujudkan budi
pekerti yang baik atau akhlakul karimah, atau sebagai pembentukan nilai-nilai moral
atau transfer of values. Sedangkan orang tua sebagai pengajar atau
mu’allim adalah orang yang mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan kepada anak
didik, sehingga anak didik mengerti, memahami, menghayati dan dapat mengamalkan
berbagai ilmu pengetahuan yang disebut sebagai transfer of knowledge.
Untuk
itu, orang tua dituntut agar benar-benar memiliki kepribadian atau karakter
yang sesuai dengan predikatnya sebagai muaddib maupun sebagai mu’allim. Di
samping itu orang tua juga harus bisa mengemban tugas dan tanggung jawab yang
dinilai semakin berat akan tetapi sangat mulia. Oleh karena itu ia dituntut
memiliki daya kreatifitas, aktivitas dan dinamika dalam proses pendidikan di
tingkat keluarga, agar terjadi dalam suasana edukatif yang lebih bermakna,
sehingga proses pendidikan keluarga dapat mewujudkan pribadi muslim yang baik.
Hal ini nampak bahwa tanggung jawab orang tua tidak jauh daripada tanggung
jawab guru. Bahkan bisa saja dikatakan lebih besar tanggung jawab orang tua
daripada guru.[12]
Dalam
pendidikan Islam, seorang pendidik hendaknya memiliki karakteristik yang dapat
membedakannya dari pendidik yang lain. Dengan karakteristiknya menjadi ciri dan sifat yang akhirnya menyatu
dalam totalitas kepribadiannya dan kemudian
teraktualisasikan lewat perkataan dan perbuatannya. Kaitannya dengan
ini kepribadian adalah unsur yang menentukan keakraban hubungan pendidik dengan
anak didik karena tidak seorangpun yang dapat menjadi seorang pendidik yang
sejati (mulia) kecuali bila dia menjadikan dirinya sebagai bagian dari anak
didik.[13]
Orang
tua, terutama Ibu sebagai pendidik dituntut memenuhi batasan-batasan yang berbeda tentang karakter
seorang pendidik yang oleh hemat penulis
hal itu lebih di dasarkan atau ditekankan pada sifat (kepribadian) dan juga
dari segi skill, kemampuan yang terdapat pada pendidik tersebut. Seperti halnya
Al-Nahlawi membagi karakteristik pendidik kepada beberapa bentuk:
a. Mempunyai watak dan sifat
robbaniyah yang terwujud dalam tujuan,
tingkah laku, dan pola pikirnya.
b. Bersifat ikhlas, melaksanakan tugasnya
sebagai pendidik semata-mata untuk mencari keridloan Allah.
c. Bersifat sabar dalam mengajarkan
berbagai pengetahuan.
d. Jujur dalam menyampaikan apa yang
diketahuinya.
e. Senantiasa membekali diri dengan ilmu,
kesediaan diri untuk terus mendalami dan mengkajinya lebih lanjut.
f. Mampu menggunakan metode mengajar secara
bervariasi sesuai dengan prinsip-prinsip penggunan metode pendidikan.
g. Mampu mengelola anak didik, tegas
dalam bertindak dan professional.
h. Mengetahui kehidupan psikis peserta
didik.
i. Tanggap terhadap berbagai kondisi dan
perkembangan dunia yang dapat mempengaruhi jiwa, keyakinan atau pola berfikir
peserta didik.
j. Berlaku adil terhadap peserta
didiknya.[14]
Sementara
itu, Al-Abrasyi memberikan batasan tentang karakteristik pendidik:
1. Seorang pendidik hendaknya memiliki
sifat zuhud, yaitu melaksanakan tugasnya bukan semata-mata karena materi, akan
tetapi lebih dari itu adalah karena mencari keridlaan Allah.
2. Seorang pendidik hendaknya bersih
fisiknya dari segala macam kotoran dan bersih jiwanya dari segala macam sifat
tercela.
3. Hendaknya ihlas dan tidak ria dalam
melaksanakan tugasnya.
4. bersifat pemaaf dan mema’afkan kesalahan
orang lain (terutama siswa) sabar dan sanggup
menahan amarah, senantiasa membuka diri dan menjaga kehormatannya.
5. Mampu mencintai peserta didiknya sebagaimana
ia mencintai anaknya sendiri (sifat keibuan/bapak).
6. Mengetahui karakter peserta didiknya
seperti pembawaannya, kebiasaan, perasaan, dan berbagai potensi yang
dimilikinya.
7. Menguasai pelajaran yang
diajarkannya dengan baik dan professional.[15]
Beberapa
karakter yang disebutkan di atas merupakan watak yang harus dimiliki seorang pendidik,
khususnya orang tua dalam mendidik anak-anaknya mulai dari bayi hingga dewasa
juga seharusnya memegang beberapa karakter yang harus dimiliki orang tua dalam rangka sukses membentuk kepribadian anaknya.
Kepribadian anak tidak akan begitu saja terbentuk tanpa proses didikan orang tua. Sehingga makna kontribusi orang tua terhadap
kepribadian anaknya sangatlah erat—apalagi pembentukan karakter seorang bayi.
Asumsi
semacam itu, menunjukkan bahwa kebanyakan Bapak-Ibu terkadang bersikap lepas tangan
terhadap perkembangan kepribadian anak. Mereka beranggapan bahwa mereka telah menunaikan
kewajiban dan hak anak telah terpenuhi manakala anak-anak mereka sudah beranjak
remaja dan masuk sekolah untuk mendapatkan pelajaran yang akan menjamin masa
depan hidup mereka.
Garis
pendidikan anak dalam membentuk pribadi yang mantap adalah bersumber dari Al-Qur’an.
Pendidikan Al-Qur’an termasuk syiar agama yang diterima oleh umat Islam di seluruh
dunia Islam. Oleh karena pendidikan Al-Qur’an dapat meresapi ke dalam hati dan
memperkuatkan iman, dan pengajaran Al-Qur’an patut didahulukan sebelum mengembangkan
ilmu-ilmu yang lain. Adapun semangat pendidikan dalam Al-Qur’an adalah semangat
moral atau akhlak.[16]
Dengan
demikian, dapat dimengerti bahwa kepribadian yang dimaksudkan sebagai
unsur “jiwa” dan “raga” anak bergantung pada
sikap dan prilaku orang tuanya.[17]
Selanjutnya, kepribadian yang dimiliki anak juga dipengaruhi oleh besar dan
kecilnya tanggung jawab orang tua dalam membentuk kepribadian anaknya. Sehingga
dalam hal menyusui pun, Islam sangat tegas menekankan kepada para ibu untuk
memberikan Air Susu Ibu (ASI) kepada anaknya. Karena secara pemberian ASI adalah
bagian dari tanggung jawab orang tua yang terkait dengan pembentukan kepribadian
bayi.
Kepribadian
yang ditransfer kepada anak oleh tua adalah unsur yang terbaik menurut agama Islam.
Dalam hal ini, besar kemungkinan bahwa yang
dimaksudkan dengan kepribadian yang harus dimiliki orang Islam adalah dengan akhlaq mahmudah
(sifat terpuji).
[1]
Hasan Basri, Keluarga
Sakinah (Tinjauan psikologi dan Agama), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999 cet-4
hal. 90
[2]
Ibid hal 92
[3]
Abdullah Nashih Ulwan,
Pemeliharaan Kesehatan Jiwa, PT Remaja Rosdakarya-Bandung cet-3 hal. 142
[4]
Adil Fathi Abdullah,
Menjadi Ibu Dambaan Umat, Gema Insani Press, Jakarta, hal. 11.
[5]
Kartini Kartono,
Psikologi Anak: Psikologi Perkembangan, Mandar Maju, Bandung, 1995, hal. 78.
[6]
Ali Qaimi,
Buaian Ibu Diantara
Surga dan Neraka:
Peran Ibu dalam
Mendidik Anak, Penerbit Cahaya Bogor, 2000, hal. 126.
[7]
Jamal Abdurrahman,
Pendidikan Ala Kanjeng
Nabi: 120 Cara
Rasulullah SAW Mendidik Anak,
Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2003, hal. 216.
[8]
Marasuddin Siregar,
Konsepsi Pendidikan Ibnu
Khaldun: Suatu Analisa Fenomenologi, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 1999, hal. 35.
[9]
H. Ramayulis, Ilmu
Pendidikan Islam, Kalam Mulia, Jakarta, 2000, hal. 66.
[10]
Undang-Undang Nomor. 4
Tahun 1979, Tanggal. 23 Juli 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, bab II pasal 2.
[11]
Hasan Basri, op.cit hal
80
[12]
Sholeh Abdul
Aziz, At-Tarbiyah wa
Turuqu Al-Tadris, Juz.
1, Darul Ma’arif,
Mesir, tth, hal. 159.
[13]
Syaiful Bahri
Djamarah, Guru dan
Anak Didik dalam
Interaksi Edukatif, cet.
I, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hal. 41.
[14]
H. Samsul
Nizar, M.A, Filsafat
Pendidikan Islam: Pendekatan
Historis, Teoritis dan Praktis,
Ciputat Pers, Jakarta, 2002, hal. 45.
[15]
H. Samsul Nizar, M.A,
Ibid, hal. 46.
[16]
Fazlur Rahman, Islam,
Bandung, Penerbit Pustaka, 2000, hal. 263.
[17]
E. Koswara, Teori-Teori
Kepribadian, PT. Eresco, Bandung, 1991, hal. 11.
No comments:
Post a Comment