Hubungan
anak dengan Ibu secara psikologis sebenarnya sudah mulai terbangun semasa anak
dalam kandungan. Masa kehamilan merupakan masa perpindahan sifat-sifat bawaan
dari kedua orang tuanya kepada anak. Seorang ibu tidak dapat mengubah sifat-sifat
bawaan yang dipindahkan kepada anak yang tengah dikandungnya. Persoalan yang harus diperhatikan selama masa
ini adalah kemungkinan terjadinya cacat atau efek samping yang diderita anak
akibat kelalaian atau ketidak tahuan ibu terhadap masalah tersebut.
Selama
masa ini, seorang ibu berhubungan secara fisik dan emosional dengan sang anak
melalui plasenta yang menyalurkan makanan dari darah ibunya. Karenanya, seorang
ibu harus senantiasa mengawasi dirinya, baik secara batiniyah maupun
lahirinyah, agar anak yang dikandungnya terlindung dari marabahaya dan dapat tumbuh
sempurna. Masa kehidupan dalam rahim merupakan masa penting yang berpengaruh
pada masa depannya. Sehat atau cacat dirinya, amat bergantung pada kondisi yang
terbentuk dalam rahim ibunya. Bahkan, pembentukan asas kebahagiaan dan penderitaan
anak dimulai sejak dalam rahim.[1]
Kemudian
pada proses kelahiran, seorang anak akan berpisah secara tiba-tiba dari ibunya dan
keluar menuju dunia baru yang suhunya lebih rendah dari suhu rahim. Mulai saat itu,
ia harus menghirup udara dari lingkungan barunya. Sungguh semua itu membuatnya menderita,
sehingga menjadikannya menangis. Dengan tangisnya, ia mengingatkan orang lain akan
presensi/kehadirannya. Karena itu, ia
pun amat memerlukan seseorang yang dapat meringankan penderitaannya tersebut.
Sosok
ibu akan memeluk, menenangkan, dan menumbuhkan harapan dalam hatinya. Ia pun akan
merasakan manisnya kehidupan baru. Seorang anak menghabiskan waktu sembilan bulan
dalam perut ibunya; memperoleh makanan dari
tubuh, ruh, dan darah ibunya.[2]
Sejak
itulah perkembangan kehidupan emosional bayi, yakni berlangsung melalui unitas psikis
diantara ibu dan janinnya. Penghayatan ‘psikis
dan semua emosi ibu “menular”, ikut dialami oleh calon bayinya. Jika ibunya mengalami
gangguan emosional yang sangat kuat dan ia menolak keras kehamilannya, banyak
kemungkinannya ibu tersebut akan
mengalami keguguran kandungan, karena bayi itu
juga tidak mau hidup, sebab ditolak
oleh ibunya.
Sebaliknya,
bila ibu yang bersangkutan mengharapkan sekali bayinya dan memupuk kehamilannya
dengan perasaan penuh kasih sayang, maka janinnya akan tumbuh dalam iklim
psikologis hangat mesra dan sehat. Setiap harinya, setiap kondisi ibu itu akan
mempengaruhi perkembangan emosional dan temperamen bayinya yang bakal lahir.[3]
Setelah
bayi itu lahir, ia akan menghabiskan waktu selama dua tahun untuk meminum air susu
ibunya (ASI). Semua itu tentu mendatangkan harapan dan kehangatan. Sepanjang
masa tersebut, ia menjalin tali kasih yang erat dengan ibunya. Bahkan dapat dikatakan
bahwa keduanya tak lain dari dua tubuh dengan satu ruh.
Dalam
kondisi bagaimanapun dalam sebuah keluarga, perhatian ibu kepada anaknya
haruslah tetap terjaga. Allah telah berfirman bahwa seorang ibu hendaklah menyusui
anaknya selama dua tahun, karena
diketahui bahwa pada masa-masa itu bayi benar-benar membutuhkan kasih sayang
murni dari seorang ibu. Sebagaimana firman Allah:
“Para ibu hendaknya menyusui anak-anaknya selama
dua tahun penuh yaitu bagi yang ingin menyempurnakan sususan…..”
Tindakan
atau perlakuan orang tua terhadap bayinya dengan cara mengganti ASI dengan susu
lain tanpa ada sebab-sebab yang jelas, hanya akan merugikan anak. Anak akan kehilangan
makanan dan minuman yang sangat menentukan pertumbuhan fisiknya. Lebih
dari itu, anak kehilangan kontak batin dengan
ibunya, yaitu kasih sayang seperti yang
dirasakan oleh anak-anak lain selama menyusu.
Menurut
Dr. Judy Levi, “menyusui menumbuhkan perasaan dibutuhkan oleh seorang makhluk
kecil darah daging kita. Menimbulkan rasa nikmat dan puas, yang mendekatkan
hubungan antara ibu dan bayinya.[4]
Kebutuhan
emosi sang bayi juga sangat besar, kasih sayang dan percaya diri dengan
nalurinya yang dianugrahkan Tuhan didapatkan sang bayi melalui proses menyusui,
terutama mulutnya yang sangat sensitif (perasa). Sebaliknya si ibu, memiliki
kebutuhan lahiriyah agar sang bayi mengambil air susu dari payudaranya.
Bayi
berumur tiga bulan biasanya tak henti-hentinya memandangi wajah ibunya selagi dia menyusu, menatap mata ibunya dan
mencintai ibunya dengan segenap jiwa raganya.
Pada usia lima atau enam bulan dia biasanya senang mempermainkan payudara ibunya,
minta dibelai oleh ibunya dengan kasih sayang.[5]
Dari
uraian di atas, jelaslah bahwa selama proses menyusui ada manfaat kejiwaan bagi
ibu dan bayi. Hal ini membantu terjadinya ikatan diantara keduanya, sehingga menjadi
tak terpisahkan dan mencintai satu sama lain.
Dekat
secara emosional dengan ibunya pada saat dini mungkin meningkatkan penampilan pendidikan
anak kelak di kemudian hari. Ikatan batin
bayi dan ibu bisa menjadi landasan yang kuat dalam meletakkan dasar-dasar pendidikan watak dan
kepribadian pada periode-periode sebelumnya.
[1] Ali Qaimi, Peran Ibu dalam
Mendidik Anak, Cahaya, 2002 hal 65.
[2] Kartini Kartono, Psikologi
Perkembangan, CV. Mandar Maju, 1995, hal. 88-89.
[3] Ibid, hal 90.
[4] Udy Levi, Petunjuk Menyusui,
terj. Dra. Noesreini Meliala, Dian Rakyat, Jakarta, 1991, hal 2.
[5] H. Syahrah
Obos dan H.
Syahidin, B.A. (ed),
Melahirkan Anak Berkualitas, Ramadhani, Solo, 1996, hal. 108.
Masya Allah istimewanya air susu ibu. Perkembangan anak bayi juga harus dipantau dengan baik. Buat artikelnya dong gan.
ReplyDelete