Sighat
taklik talak yang saat ini diberlakukan di Indonesia yang termuat dalam buku
nikah adalah sebagai berikut:
Sesudah
akad nikah, saya… bin…. berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan
menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli isteri saya
bernama…. binti…. dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf) menurut ajaran syari’at Islam.
Selanjutnya saya mengucapkan shighat taklik talak atas isteri saya itu sebagai
berikut:
Sewaktu-waktu
saya :
(1)
Meninggalkan isteri saya dua tahun berturut-turut,
(2)
Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya,
(3)
Atau saya menyakiti badan/jasmani isteri saya,
(4)
Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) isteri saya enam bulan lamanya.
Kemudian
isteri saya itu tidak ridla dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama atau
petugas yang memberinya hak untuk mengurus pengaduan itu dan pengaduanya
dibenarkan serta diterima oleh Pengadilan atau petugas tersebut, dan isteri
saya membayar uang sebesar 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) sebagai iwadl
(pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya. Kepada
pengadilan atau petugas tersebut tadi saya kuasakan untuk menerima uang iwadl
(pengganti) itu dan kemudian menyerahkanya kepada Badan Kesejahteraan Masjid
(BKM) Pusat, untuk keperluan ibadah sosial.
Sighat
taklik talak sebagaimana di atas, memiliki 10 unsur, yakni:
1. Tentang meninggalkan isteri selama
dua tahun.
Menurut
Prof. Notosusanto sebagaimana dikutip oleh Abdul Mannan mengatakan bahwa pengertian meninggalkan yakni suami tidak bersedia memenuhi hak-hak
isteri dan tidak mau menceraikanya. Sedangkan pemaknaan terhadap kata
‘meninggalkan’ dalam praktek Peradilan Agama diartikan bahwa suami tidak jelas
alamat atau keberadaanya tetapi pergi jauh dari tempat tinggal bersama.[1]
Dalam menafsirkan makna meninggalkan perlu dianalogikan terhadap pasal 19 huruf b PP No. 9 Tahun 1975, sehingga rumusan
meninggalkan mempunyai arti meninggalkan tempat kediaman bersama.
2. Tentang tidak memberi nafkah selama
3 bulan lamanya
Nafkah
mempunyai beberapa arti: belanja untuk memelihara kehidupan, rezeki, makanan
sehari-hari, uang belanja yang diberika kepada isteri. Sedangkan dalam
Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa yang dimaksud nafkah meliputi: nafkah
dalam arti sempit (makanan dan minuman), kiswah, tempat kediaman bagi isteri,
biaya rumah tangga, biaya perawatan dan pengobatan.[2]
3. Tentang menyakiti badan atau
jasmani isteri
Yang dimaksud dalam poin ketiga sighat taklik
talak di atas adalah menyakiti badan atau jasmani, dimana hal ini tidak masuk
kategori menyakiti mental atau rohani. Adapun perbuatan-perbuatan yang dikategorikan ke dalam bentuk menyakiti
badan atau jamani meliputi pukulan yang:
a. Menimbulkan rasa sakit yang keras
b. Mendatangkan kerusakan badan atau
jasmani
c. Memukul wajah dan tempat rawan
lainya.
d. Dilakukan dengan bertubi-tubi
e. Pukulan dilakukan dengan tanpa
pembalut
Menurut
Abdul Mannan, dalam praktiknya, hakim memberi pengertian menyakiti badan jasmani
bukan hanya sekedar pemukulan tetapi meliputi, mendorong isteri sampai jatuh,
menjambak rambut, menendang dengan kaki dan sebagainya. Adapun tentang kadar
sakit yang bagaimana hal itu bersifat relatif.
Artinya
adakalanya suami menganggap memukul isterinya dengan ringan sekali, namun
isteri merasa amat disakiti. Dalam hal ini
terbukti atau tidaknya kadar sakit yang dapat memenuhi syarat taklik
diserahkan kepada ‘urf dan ijtihad hakim yang memutus perkara, jika memang di
kemudian hari si isteri mengadukanya.
Dalam
hal ini pelu dilihat juga sampai sejauh mana perbuatan suami dalam menyakiti badan
atau jasmani isteri, apakah dalam rangka melaksanakan mu’āsyarah bi al-ma’rūf atau tidak, dalam hal
yang melampaui batas atau tidak. Karena apabila melampaui batas maka hal
tersebut bisa dikategorikan melanggar taklik talak, namun jika masih dalam
taraf sewajarya, yang diperbolehkan oleh syara' maka tidak dianggap melanggar.
Hal tersebut terkait dengan masalah ta'dib (pemberian pelajaran terhadap
isteri) dalam surat Al-Nisa':34 yang berbunyi:
Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena
mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka
wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[3] ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka).[4] wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya,[5] Maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka
mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya.[6] Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi lagi Maha besar.[7]
Sikap memukul di atas dibenarkan oleh syara’ yang mana sekiranya tindakan pemisahan dari
tempat tidur juga tidak membuat isteri jera. Artinya jika tindakan pemukulan
ini terpaksa dilakukan, maka harus tetap memperhatikan hal-hal berikut:[8]
a. Pukulanya tidak mendatangkan
kerusakan, yaitu khususnya badan serta tidak pada satu tempat.
b. Tidak dilakukan secara
bertubi-tubi.
c. Dilakukan dengna menggunakan
balutan (sapu tangan).
d. Tentang suami membiarkan isteri 6
bulan lamanya
Kata membiarkan mempunyai arti, 1) tidak melarang, 2) tidak mengindahkan atau tidak
memperdulikan. Maksudnya suami tidak mengindahkan dan tidak
memperdulikan hak-hak isterinya. Pengertian tersebut dianalogikan dengan pasal 34 ayat (3) UU No. 1/1974,
yakni jika suami atau isteri melalaikan kewajibanya, masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada pegadilan Agama.
Jadi
subtansi dari poin ini adalah suami tidak memperdulikan hak-hak isteri. Antara makna
meninggalkan pada poin pertama sighat taklik
dengan kata membiarkan pada poin keempat sighat taklik masih belum ada keseragaman penafsiran, hal itu dikarenakan sighat
taklik masih bersifat umum, sehingga keumuman sighat tersebut harus dikaitkan dengan
ada atau tidaknya alasan pembenar syar'i atas makna meninggalakan dan membiarkan tersebut,
artinya perlu dilihat apa yang yang
menjadi tujuan waktu diucapkan sighat, apakah seseorang tersebut lebih ke arah meghendaki terjadinya
peristiwa yang ditaklikkan semata atau justru lebih ke arah memotivasi
terciptanya mu'asyarah bi al-ma'ruf dalam rumah tangga.
e. Isteri tidak ridlo
f.
Isteri mengadukan halnya ke Pengadilan Agama
g. Pengaduan isteri diterima oleh
Pengadilan
h. Isteri membayar uang iwadl
i. Jatuhnya talak suami satu kepada
isteri
j. Uang iwadl oleh suami diterimakan kepada
pengadilan, untuk selanjutnya diserahkan kepada pihak ketiga untuk kepentingan
ibadah sosial.
Unsur
kelima sampai terakhir memiliki arti bahwa dalam hal ini selama isteri tidak
ridla terhadap perbuatan suami yang tidak sesuai dengan apa yag sudah diperjanjikan
dalam taklik talak, maka isteri dapat mengajukan ke Pengadilan Agama sebagai
alasan putusnya perceraian. Dengan kata lain perceraian yang diakibatkan
pelanggaran taklik talak tidak serta merta jatuh, agar perceraian benar-benar
jatuh maka isteri harus mengadukanya ke Pengadilan Agama.
Perceraian
yang sah hanya terjadi di depan sidang Pengadilan Agama dimana setelah pengadilan
yang bersangkutan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, dan ternyata gugatan
isteri benar-benar beralasan dan terbukti.[9] Aturan tentang perceraian
ini sesuai dengan pasal 39 ayat (1) Undang-undang No.1 tahun 1974 jo. Pasal 115
dan pasal 123 Kompilasi Hukum Islam. Aturan ini jelas berbeda dengan aturan
dalam fikih-fikih klasik yang menyatakan bahwa taklik talak dapat terjadi dengan
pernyataan sepihak dari pihak suami, baik secara lisan atau tertulis. Tujuan dari
aturan tersebut adalah dalam rangka implementasi dari salah satu asas perkawinan,
yakni mempersulit perceraian.
[1] Abdul Mannan, Masalah Ta’lik
Talak Dalam Hukum Perkawinan Di Indonesia dalam Mimbar Hukum No. 23 Tahun VI
(Jakarta: Al-Hikmah, 1995), hlm. 406
[2] Nafkah yang dimaksudkan disini
merupakan salah satu dari tiga jenis nafkah sebagaimana yang diungkapkan oleh
Murtadla Muthahhari. Yaitu: 1) nafkah yang harus dikeluarkan oleh si pemilik atas
apa yang dimilikinya, seperti
pembelanjaan yang dikeluarkan oleh seseorang yang memiliki hewan (nafkah
pemilikan), 2) nafkah atau pembiayaan oleh seseorang untuk anak-anaknya ketika belum
dewasa atau ketika mereka belum mempunyai penghasilan atau nafkah yang
dikeluarkan oleh seseorang untuk ayah dan ibunya ketika mereka membutuhkanya.
Basis dari nafkah ini bukan karena pemilikan melainkan hak-hak yang dimiliki
secara alami., 3) nafkah yang dikeluarkan oleh seseorang pria kepada isterinya. Nafkah ini bukan berbasis pemilikan
atau hak alamiyah, sehingga tidak bergantung kepada ketidakmampuan atau
ketidak sanggupan pihak yang diberi nafkah. Sehingga dalam kondisi apapun
sebatas kemampuan suami tetap wajib mengurusnya. Perbedaan dari ketiga jenis
nafkah tersebut, dimana jenis pertama dan kedua, apabila si pria yang
berkewajiban itu tidak melaksanakan kewajibanya maka ia berdosa tetapi
pengabaian kewajiban ini tidak menjadi hutang yang dibayar kembali (berakibat
hukuman). Sedangkan pada jenis ketiga apabila suami melalaikanya, maka si
isteri berhak mengambil tindakan hukum melalui pengadilan. Dan apabila suami
terbkti bersalah maka isteri berhak mendapatkan kembali nafkah dari suami.
Lihat Murtadha Muthahhari, Hak-hak Wanita dalam Islam, dialihbahasakan oleh M. Hashem,( Jakarta: Lentera,
2001), Cet VI, hlm. 143-144
[3] Maksudnya: tidak berlaku curang
serta memelihara rahasia dan harta suaminya.
[4] Maksudnya: Allah Telah
mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya dengan baik.
[5] Nusyuz: yaitu meninggalkan
kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah
tanpa izin suaminya.
[6] Maksudnya: untuk
memberi pelajaran kepada isteri yang
dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat,
bila nasehat tidak
bermanfaat barulah dipisahkan
dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul
mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. bila cara pertama telah
ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.
[7] Depertemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahanya, hlm. 85
[8] Abdul Mannan, Op. Cit, hlm. 415
[9] Kamal Mukhtar, Op. Cit, hlm.
209
No comments:
Post a Comment