TUJUAN TAKLIK TALAK


Taklik talak adalah salah satu bentuk perjanjian yang dilakukan dengan sukarela, namun sekali taklik talak tersebut diucapkan, maka hal tersebut tidak dapat dicabut kembali. Artinya jika dikemudian hari isteri tidak rela dan tidak ridlo atas apa yang telah dilakukan suami berdasarkan perjanjian taklik talak tersebut si isteri dapat mengadukan ke Pengadilan Agama untuk meminta diceraikan dari suaminya.[1] Dengan  kata lain isteri berhak untuk mengajukan khulu’.[2]

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa taklik talak yang sudah diperjanjikan tersebut bertujuan untuk melindungi isteri dari kesewenang-wenangan suami, meskipun pada kenyataanya masih banyak suami yang melanggar hal tersebut dengan melakukan berbagai tindak kekerasan terhadap isteri (KDRT), tidak memberi nafkah dan lain sebagainya. Khoiruddin Nasution mengatakan bahwa taklik talak tersebut merupakan sumber kekuatan spiritual yang bersifat tidak langsung[3] bagi perempuan yang dapat dimaksimalkan sebagai alat untuk melindungi dirinya dari kesewenangan suami.[4]

Selain itu, lembaga taklik talak ini menurut Zaini Ahmad Noeh sangat menguntungkan bagi pihak wanita yaitu membekali wanita dengan hujjah syar’i yang sah, yang berperan untuk melepaskan diri dari penderitaan akibat perbuatan yang dijanjikan suami sendiri, itupun bila isteri tidak rela atau tidak ridlo atas perbuatan suaminya.

Menurut Snouck Hurgronye sebagaimana dikutip oleh Zaini Ahmad Noeh menyatakan bahwa dilembagakanya pembacaan taklik talak pada setiap akad nikah menyebabkan kedudukan wanita yang menikah jauh lebih kuat daripada sekedar jika memberlakukan hukum islam secara biasa (het op nagenoeg geheel Java en Madura geldende institiuut der voorwaardelijke veerstooting na elk  huwelijk, waardoor de positie van de gehuwde vrouw belangrijk sterker wordt dan door aanvoudige toepassing der mohammedaansche wet het geval zou zijn).

Lebih lanjut Zaini menyatakan bahwa selama ini tidak ada fakta atau hukum yurisprudensi yang menyatakan dari sudut pandang syar’i bahwa taklik talak mengakibatkan madlarat bagi kaum wanita. Dan jika taklik talak dirasa merugikan kaum pria, itu tidak lain karena pria   yang bersangkutan tidak dapat mengendalikan diri dari berprilaku tidak islami.[5] Taklik talak ini merupakan penyeimbang bagi wanita (isteri) untuk bisa bersama-sama memiliki hak dalam memutus hubungan perkawinan.[6]

Abdul Mannan memberi kesimpulan terhadap taklik talak yang berlaku di Indonesia saat ini memiliki unsur-unsur perlindungan baik terhadap suami maupun isteri, yakni terkandung maksud melindungi hak-hak isteri dan juga terkandung maksud untuk melindungi suami dari kemungkinan penipuan isteri ataupun nusyuznya isteri.[7]




[1] Lihat Josep Schacht, An Intoduction to Islamic Law (Oxford at the Clarendon Press, 1977), dialihbahasakan oleh IAIN Raden Fatah Palembang,  Pengantar Hukum Islam,  (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama R.I, 1985), hlm. 212
[2] Pengajuan cerai karena pelanggaran taklik talak disamakan dengan dengan khulu’ disatu sisi, karena keduanya sama-sama harus membayar iwadl (pengganti). Sehingga talak yang dijatuhkan atas dasar taklik talak dianggap sebagai talak  ba’in, dimana suami boleh kembali kepada isterinya dengan jalan melaksanakan akad  nikah  baru.  Lihat  Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang   Perkawinan,  Yogyakarta: Liberty, t.th), hlm. 116. disisi lain pengajuan karena pelanggara taklik talak juga disamakan dengan fasakh, karena pembuktian dalam perkara taklik talak sama dengan pembuktian dalam perkara  fasakh. Seperti untuk membuktikan bahwa suami tidak memberi nafkah isterinya dalam perkara talak talak adalah sama mudah dan sama sukarnya dengan membuktikan bahwa suami tidak   memberi   nafkah   isterinya   dalam  perkaa  fasakh.  Lihat Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm 208
[3] Khoiruddin membagi kekuatan spiritual perempuan kedalam dua   kelompok.   Yakni kekuatan  spiritual yang bersifat  langsung  dan  kekuatan  spiritual yang bersifat  tidak langsung. Bersifat  langsung mempunyai arti bahwa adanya kekuatan tersebut tanpa perlu adanya persetujuan dari pihak   lain,   seperti:   kekuatan   ekonomi,   kekuatan   pendidikan   dll,   sebaliknya   bersifat  tidak langsung mempunyai arti keberadaan kekuatan tersebut perlu persetujuan dari pihak lain. Dalam hal ini termasuk taklik talak. Lihat Khoiruddin Nasution, ” Kekuatan Spiritual Perempuan dalam Taklik Talak dan Perjanjian Perkawinan,”  Artikel  (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, t.th), hlm. 1. diambil dari  http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/kekuatan%20S spiritual%20perempuan   .pdf.
[4] Lihat Thahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim Word,  ( New Delhi: The Indian Law Institute, 1972), hlm. 196
[5] Zaini Ahmad Noeh, Op. Cit., hlm 70-71
[6] Dick Van Der Meij,  Dinamika Kontemporer dalam Masyarakat Islam,  (Jakarta: INIS, 2003), hlm. 112-114
[7] Abdul Mannan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungna   Peradilan   Agama,  ( Jakarta: Kencana, 2006), hlm 410

No comments:

Post a Comment